Sebuah desa bernama Pakis Rejo terletak di sebuah kota kecil di Jawa Tengah merupakan sebuah desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan juga beternak. Sebagian besar masyarakat sana mengolah sawah untuk ditanami berbagai jenis padi untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, dan juga mereka juga banyak yang memelihara kerbau untuk kebutuhan membajak sawah serta untuk di ternak hingga beranak pinak dan memberikan untung yang besar bagi si pemelihara. Begitu juga dengan orang tuaku, mereka tentu saja memiliki sawah dan juga beternak kerbau seperti warga yang lainnya.
Pada suatu hari, muncul teror sesosok pocong yang menggemparkan seluruh warga desa Pakis Rejo. Saat itu aku masih anak-anak. Pocong itu meneror setiap warga dari rumah kerumah, bahkan dijalan-jalan saat ada warga yang melintas di jalan desaku.
"Pak,jare ono pocong keliling desa saiki.( Pak, katanya ada pocong keliling desa saat ini )"kata ibuku malam itu ketika bapak pamit mau berangkat ronda malam dikampung.
"Yo piye maneh bu, wong wes jatahe ronda. Gelem ragelem yo kudu menyat.(ya mau gimana lagi bu, orang udah gilirannya ronda. Mau gak mau ya harus berangkat)" jawab bapak sambil keluar rumah dengan membawa sarung dan senter. Dari dulu dikampungku memang selalu diadakan giliran ronda malam. Selain untuk menjaga desa agar tetap aman dari maling yang bisa saja menjarah rumah dan juga kerbau, kegiatan itu juga bisa sebagai ajang silaturahmi antara bapak-bapak warga desa karena pada siang harinya mereka semua sibuk di sawah masing-masing tanpa ada waktu untuk bercengkrama.
Aku yang saat itu sedang membantu ibu mengupas kacang tanah hanya diam mendengarkan obrolan ibu dan bapak soal pocong di desa kami.
"Bu, jare dhe Muji winginane ditekani pocong juga nang mburi kandang.(Bu, kata budhe Muji kemarin di datangi pocong juga di belakang kandang)"kataku pada Ibu saat Bapak sudah berangkat ronda.
"Uwis toh Nah ojo mbok bahas, mengko nek koe weruh dewe malah wedi.(udah toh Nah jangan kamu bahas, nanti kalau kamu ketemu sendiri malah takut)"ujar Ibuku supaya aku tidak membahas soal pocong tadi. Tidak dipungkiri, sebenarnya Ibu juga merasa takut dengan adanya setan pocong tersebut.
"Wooiii kang Tejo, kok mung dewe wong loro toh ? Lah Bardi karo Sardi nandi iki ?(Wooiii kang Tejo, kok cuma kita aja berdua toh ? Lah Bardi sama Sardi mana ini ?)"tanya bapak saat sampai di pos ronda dan hanya mendapati Kang Tejo yang sedang duduk sendirian di pos ronda sambil menghisap sebatang rokok menyan.
"Embuh iki podo nandi wong loro kae. Jo muni mergo teror pocong kae njuk do wegah metu ronda ( gak tau nih pada kemana dua orang itu. Jangan bilang gara-gara teror pocong itu terus mereka tidak mau keluar untuk ronda)."jawab Kang Tejo sambil terus menghisap rokok yang terselip di jari nya. Dan akhirnya hanya Bapak dan Kang Tejo yang ronda malam itu.
"Ngopi ra Kang ?(kopi tidak kang?)" kang Tejo menawarkan segelas kopi pada bapak. Bapak mengangguk tanda setuju. Bapak melihat-lihat sekitar, suasana sangat sepi sekarang. Hanya terdengar suara kerbau warga yang sesekali bersuara. Sedangkan Kang Tejo sibuk menyeduh kopi di gelas.
"Bluk" terdengar suara seperti benda jatuh. Kang Tejo yang saat itu sedang mengaduk kopi langsung lompat dari dipan di pos ronda. Bapak juga dengan sigap mengambil senter dan mencari-cari sumber suara itu.
"Ssstt... kang. Kang Kusno." panggil Kang Tejo lirih. Bapakku yang mendengar Kang Tejo memanggil hanya menengok dan meletakkan telunjuk di depan bibir, seolah-olah memberi isyarat supaya Kang Tejo tidak bersuara.
"Kang, ojo nekat. Jo nganu medi cumplung.(Kang, jangan nekat. Jangan-jangan hantu cumplung)"bisik Kang Tejo pada Bapak. Cumplung dalam bahasa Indonesia artinya kelapa yang busuk dan berlubang. Biasanya karena dimakan oleh tupai. Sedangkan medi cumplung adalah istilah orang jawa menyebut hantu berbentuk kelapa yang bilamana diambil oleh orang dan dibawa dalam gendongan biasanya lama-lama akan semakin berat dan muncul mata yang melotot dan mulut yang menyeringai menakutkan. Bahkan akan tumbuh rambut di seluruh kelapa itu seolah-olah berubah menjadi sebuah kepala.
Bapak tetap melanjutkan pencariannya, sedangkan Kang Tejo hanya mengekor dibelakangnya.
"Kang, mending dewe mencar wae. Sampeyan mrono kae, aku tak metu kene.(Kang, mendingan kita mencar saja. Kamu kesana itu, aku tak lewat sini)."kata Bapak kepada Kang Tejo yang masih saja mengekor dibelakangnya.
"Tapi kang,"Kang Tejo berusaha menolak saran Bapak.
"Ojo tapi-tapian. Mengko nek ternyata wong sing niat gawe elek malah keno awak dewe. Iki tugase dewe saiki sik jaga. Wes ndang cepetan.(Jangan tapi-tapian. Nanti kalau ternyata ada orang yang berniat jelek malah kita berdua yang kena. Ini tugas kita yang saat ini sedang jaga. Udah ayo cepetan.)"bantah Bapak pada Kang Tejo yang enggan untuk berpencar. Jujur saja pasti Kang Tejo merasa takut untuk berjalan sendirian ditengah malam begini. Penerangan yang kurang di desa karena saat ini listrik belum merata keseluruh desa. Hanya beberapa rumah yang tergolong mampu yang sudah diterangi dengan listrik. Rumah yang lainnya hanya menggunakan lampu teplok ( lampu dengan sumbu dan bahan bakar minyak tanah ) untuk didalam rumah, dan untuk keluar rumah mereka biasa menggunakan obor. Dengan berbekal sebuah senter yang ia bawa dari rumah, mau tak mau ia mengikuti saran bapak untuk tetap berkeliling mencari sumber suara seperti barang jatuh tadi.
Setelah lama mencari namun tak ada hasil, Kang Tejo dan bapakku kembali berkumpul di pos ronda.
"Ora ono opo-opo kang. Aku wes muter seko sisih kono maring sebelah wetan gak nemu blas sing nyurigai. ( tidak ada apa-apa kang. Aku sudah muter dari sebelah sana ke sebelah timur tidak menemukan sama sekali yang mencurigakan)" kata Kang Tejo pada bapak.
"Podo Kang, aku juga ora nemu opo-opo.( sama Kang, aku juga tidak menemukan apa-apa)."jawab Bapak.
"Krassaakk bluuggg" kembali terdengar suara benda jatuh tak jauh dari tempat Bapak dan Kang Tejo jaga malam. Keduanya saling berpandangan. Serempak keduanya berdiri dan mendekati sumber suara tadi. Terlihat sebuah bayangan hitam memanjang berada di semak-semak pohon pisang yang rimbun tak jauh dari pos ronda.
"Opo kui kang ? koyo bandosa.(Apa itu Kang ? Seperti keranda)."tanya Kang Tejo pada Bapak. Bapak dan Kang Tejo terperanjat melihat sebuah keranda mayat berada di semak-semak pohon pisang yang lumayan rimbun.
"Ayo lapor Pak Sukma."ajak Bapak pada Kang Tejo. Segera Bapak dan Kang Tejo menuju rumah kepala desa untuk memberi tahukan adanya keranda mayat di kebun pisang.
Bapak dan Kang Tejo bergegas menuju rumah Pak Sukma seorang kepala desa.
"Tok...tok...tok...Paaakkk... Pak Sukmaaa..."berkali-kali Bapak dan Kang Tejo mengetuk pintu rumah Pak Sukma. Namun lama tak dibukakan pintu. Mungkin karena sudah larut malam sehingga Pak Sukma dan keluarganya sudah terlelap.
"Ceklek"pintu rumah Pak Sukma terbuka.
"Kang Kusno, Kang Tejo, ono opo tengah wengi mrene iki (Kang Kusno, Kang Tejo, ada apa tengah malam begini kemari) ?"tanya Pak Sukma sambil menggulung sarung yang melilit tubuhnya.
"Anu Pak kades, itu disana.. anu..itu.."Pak Tejo berbicara terbata-bata.
"Anu apa Kang Tejo,coba jelaskan pelan-pelan."saran Pak Sukma pada Kang Tejo.
"Itu Pak kades, disana, di semak-semak pohon pisang dekat pos ronda, tadi kita melihat ada bandosa (keranda mayat)."jawab Bapak pada Pak kades.
"Bandosa ? tenane Pak Kusno. Opo ora salah weruh sampeyan ?"tanya Pak Sukma kurang yakin.
"Leres Pak (bener Pak), tadi kita liat ada keranda disana."Kang Tejo menimpali.
"Yasudah, ayo kita lihat kesana sama-sama."ajak Pak Sukma pada Bapak dan Kang Tejo.
"Buuu...Buunneeee... aku tak nang pos ronda sedelok. Jarene ono masalah nang kono (Buuu...Buunneeee... aku mau ke pos ronda sebentar. Katanya ada masalah disana)." pamit Pak Sukma pada istrinya. Tak lama istri Pak Sukma keluar dari dalam rumah menemui suaminya.
"Ono opo toh Pak?(ada apa toh Pak?)"istri Pak Sukma penasaran.
"Uwes koe tunggu omah. Aku ora suwe. Lawang kunci seko njero. Ojo dibuka nek uduk Bapak sik ngundang.(Udah kamu tunggu rumah. Aku tidak lama. Pintu kunci dari dalam. Jangan dibuka kalau bukan Bapak yang manggil)."pesan Pak Sukma pada istrinya. Istri Pak Sukma mengangguk dan bergegas mengunci pintu dari dalam. Pak Sukma, Kang Tejo dan Bapak bergegas menuju pos ronda bersama.
"Tok..tok..tok.."beberapa waktu sejak kepergian Pak Sukma untuk menuju pos ronda bersama Bapak dan Kang Tejo pintu rumah Pak Sukma ada yang mengetuk dari luar. Bergegas Bu Tari istri Pak Sukma berjalan menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Sejenak ia teringat pesan suaminya untuk tak membukakan pintu pada siapapun kecuali suaminya yang memanggil.
"Sopo nang njobo?(siapa diluar?)"tanya Bu Tari dibalik pintu. Tak ada jawaban.
"Tok..tok..tok.."kembali terdengar pintu diketuk. Penasaran, di lihatnya melalui lubang kunci di pintu.
"Bapak"panggil Bu Tari pelan. Dilihatnya suaminya berdiri di depan pintu. Segera ia membuka pintu untuk suaminya tersebut.
"Kok ditanya diem aja toh Pak. Gimana tadi di pos ronda ?" tanya Bu Tari sambil membukakan pintu untuk suaminya itu. Tak ada tanggapan apapun. Suaminya langsung berjalan menuju kamar, Bu Tari yang heran dengan kelakuan suaminya segera menyusulnya ke kamar.
"Mungkin Bapak lelah."pikir Bu Tari tanpa ada rasa curiga. Dikamar dilihatnya sang suami sudah berbaring di tempat tidur. Bu Tari masih enggak mengajaknya berbicara. Ia segera menyusulnya merebahkan diri di sebelah tubuh suaminya itu.
Sementara itu di pos ronda, Kang Tejo, Bapak dan juga Pak Sukma melihat sekeliling pos untuk mencari keberadaan keranda mayat yang tadi dilihat oleh Bapak dan Kang Tejo.
"Iku Pak bandosa ne.(itu Pak kerandanya)."ucap Bapak sambil menunjuk arah keranda yang tersangkut di antara semak-semak dan pohon pisang.
"Ayo di jupuk, ditarik wae jajal.(ayo diambil, ditarik saja coba)"perintah Pak Kades pada Bapak dan Kang Tejo. Setelah bersusah payah, akhirnya keranda itu bisa dikeluarkan dari semak-semak.
"Arep dikapakno iki bandosa pak kades?(mau diapakan ini keranda Pak kades?)" tanya Bapak pada Pak Sukma.
"Ayo ndang gowo maring langgar. Pasrahno marang Pak Yai(ayo cepet bawa ke mushola. Pasrahkan pada Pak Kyai)."Pak Kades memberi saran. Segera mereka bertiga memikul keranda tersebut menuju mushola milik keluarga Pak Kyai.
"Kok tambah abot ki piye?(kok tambah berat ini gjmana ?)" kang Tejo mengeluh jika keranda yang ia panggul bertiga terasa semakin berat.
"Iyo ki, kok tambah abot ya.(Iya nih, kok tambah berat ya)."Bapak juga merasakan hal yang sama seperti Kang Tejo.
"Ayo turunkan, kita cek saja."perintah Pak Kades yang berada di belakang saat memikul keranda. Saat itu keranda masih tertutup dengan kain penutup. Segera mereka membuka perlahan untuk melihat apa yang membuat keranda terasa semakin berat. Sontak saja ketiganya lari tunggang langgang melihat sesosok pocong berada dalam keranda yang mereka pikul.
"Duh Gusti opo kui. Ayo ndang mlayu.(Ya Tuhan apa itu. Ayo cepetan lari)."teriak Pak Kades pada Bapak dan Kang Tejo. Serentak mereka bubar dan meninggalkan keranda tersebut. Mereka lari kerumah masing-masing.
"Tok..tok..tok.. Buu..Bunneee... buka pintunya Bu."terdengar suara dari luar rumah Pak Sukma. Bu Tari yang baru saja mulai memejamkan mata kembali bangkit dari tempat tidur dan mencari sumber suara tersebut.
"Sopo?(siapa)"jawab Bu Tari sedikit berteriak, dilihatnya sebelahnya kosong. Tak ada suaminya yang tadi sudah tidur disampingnya.
"Bapak Bu, ayo cepetan buka pintunya Bu."teriak Pak Sukma dari luar.
"Bapak?"Bu Tari mulai ketakutan. Bukannya suaminya tadi sudah pulang kerumah dan tidur bersamanya. Bergegas Bu Tari keluar dari kamar menuju ruang tamu untuk membukakan pintu suaminya.
"Bapak dari mana lagi toh, trus kenapa ngos-ngosan gitu kaya abis ngejar maling?"tanya Bu Tari pada suaminya yang buru-buru masuk dan kembali menutup pintu.
"Kok dari mana lagi, yo dari pos ronda toh. Kan tadi Bapak sudah pamit sama Ibu kalau mau ke pos ronda."jawab Pak Sukma sambil ngos-ngosan dan mengibas-ngibaskan sebuah kipas kayu ke arah wajahnya.
"Tapi bukannya Bapak tadi sudah pulang?"tanya Bu Tari kembali.
"Pulang? kapan Bapak pulang Bu. La ini Bapak baru pulang dari sana. Bapak lari tadi ketemu pocong di pos ronda. Hhiiiii..."jawab Pak Sukma sambil bergidik ngeri. Bu Tari yang mendengar penjelasan dari suaminya merasa bingung. Dia yakin sekali kalau tadi suaminya sudah pulang, bahkan tidur bersamanya. Namun anehnya saat terdengar ketukan pintu dan suaminya memanggil dari luar, sosok suami yang tadi berada disampingnya sudah tidak ada lagi. Wajahnya memucat, tangannya juga gemetaran mengingat siapa sosok yang sedari tadi bersamanya.
"Prang"terdengar suara piring seng jatuh kelantai. Sontak saja Pak Sukma dan Bu Tari terkejut mendengarnya. Keduanya saling pandang. Pak Sukma segera berdiri dari tempat duduknya dan berjalan perlahan menuju dapur di ikuti oleh istrinya mengekor dibelakangnya.
Wajah Bu Tari dan Pak Sukma memucat. Pintu dapur yang langsung mengarah keluar terbuka lebar. Padahal sudah jelas-jelas setiap menjelang maghrib Bu Tari menutup dan mengunci semua pintu dan jendela Tampak diluar sana sosok pocong berdiri tak jauh dari kandang kerbau miliknya. Dengan wajah yang sudah membusuk penuh belatung dan darah yang mengalir dari kedua bola mata yang hampir lepas membuat Pak Sukma dan Bu Tari tak mampu berteriak ataupun lari. Keduanya berdiri mematung tanpa bisa bersuara sedikitpun.
"Brruukkk"tiba-tiba Bu Tari terjatuh dan pingsan. Pak Sukma yang melihatnya tak mampu berbuat apapun karena ia sendiripun sangat ketakutan. Perlahan ia merangkak berniat untuk menutup pintu dan mata terus memandang ke arah pocong yang masih berdiri di luar sana.
"Allah...Allah..."hanya itu yang mampu keluar dari mulut Pak Sukma. Tubuhnya serasa lemas tanpa tulang, semakin dekat dengan pintu dilihatnya pula sosok pocong itu tak bergeming dari tempatnya berdiri.
"Krriieettt... bruk."akhirnya Pak Sukma berhasil menutup pintu. Dengan sedikit perasaan lega Pak Sukma duduk bersandar di belakang daun pintu sambil memandang sosok istrinya yang masih tergeletak dilantai dapur. Di intipnya keluar melalui celah pintu, tak dilihatnya lagi sosok pocong tersebut. Segera Pak Sukma menghampiri istrinya yang belum sadarkan diri juga.
"Bu..Bune..bangun Bu."Pak Sukma mengguncang-guncangkan tubuh istrinya.
"Pak...po..pocongnya mana Pak?"tanya Bu Tari setelah sadarkan diri.
"Uwis lungo Bu (sudah pergi Bu). Ayo Bu kita ke kamar saja."ajak Pak Sukma sambil membantu istrinya bangun dan menuntunnya berjalan perlahan.
Sementara itu Bapak ku dan Kang Tejo kembali melanjutkan ronda.
"Kang, Kang Kusno, bali njo.(Kang, Kang Kusno, pulang yuk.)"ajak Kang Tejo pada Bapakku. Bapakku hanya mengangguk. Akhirnya mereka pulang dan harus berpisah di persimpangan jalan.
"Kang, mbok aku di terno."(Kang, tolong aku di anterin.)"pinta Kang Tejo pada Bapak.
"Opo sih Kang,wes kono muliho tak delokno seko kene.(Apa sih Kang, udah sana pulang tak lihatin dari sini)"jawab Bapak pada Kang Tejo. Dan akhirnya mereka berpisah.
"Buk..buk..buk..."terdengar suara kaki berlari ke arah Bapak. Bapak yang mendengar suara tersebut langsung memilih untuk berjalan cepat supaya segera sampai kerumah.
"Tok..tok..tok.. Bu, Bu.. buka pintu Bu."terdengar suara Bapak menggedor pintu depan minta dibukakan. Segera ibu terbangun dan bergegas menuju ruang depan untuk membuka pintu.
"Loh Kang Tejo kok ikut kesini?"ucap Ibu saat melihat Kang Tejo lari terbirit-birit dari kejauhan. Bapak yang tadinya mau masuk kerumah langsung menoleh dan melihat Kang Tejo berlari ke arahnya.
"Ono opo Kang?(ada apa Kang)."tanya Bapak penasaran.
"A..aku nginep sini aja y Kang."pinta Kang Tejo sambil terengah-engah. Bapak dan Ibu hanya saling berpandangan.
"La emange kenopo Kang?(la memangnya kenapa Kang)"tanya Bapak penasaran. Kang Tejo tak menjawab. Ia malah langsung buru-buru masuk kerumah dan duduk di ruang tamu dengan wajah pucat dan seluruh badan yang gemetar. Bapak dan Ibuku segera menghampiri Kang Tejo setelah menutup kembali pintu ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu menuju dapur untuk mengambil air minum untuk Bapak ku dan Kang Tejo.
"Ini Kang diminum dulu."ucap Ibu sambil menyerahkan dua gelas teh hangat untuk Bapak dan Kang Tejo.
"Ono opo Kang, coba alon-alon critakno.(ada apa Kang, coba pelan-pelan ceritakan)."pinta Bapak pada Kang Tejo yang masih gemetaran seperti ketakutan. Kang Tejo tak menjawab, ia malah celingukan kesana kemari seperti mencari-cari sesuatu.
"Kang."ucap Bapak ku lagi. Kang Tejo menatap Bapak, namun wajah ketakutan tak hilang dari sana.
"Ono pocong Kang (ada pocong Kang)."ucap Kang Tejo pelan. Bapak dan Ibu yang mendengar perkataan Kang Tejo terdiam, namun dari sorot matanya terlihat seperti terkejut. Bukan tak percaya, tapi memang semua orang tahu kalau di desa kami sedang ada teror hantu pocong. Aku yang mengintip dari pintu kamar langsung menutup mulut agar tak berteriak. Karena tak sopan bila mendengarkan percakapan orang tua.
"Wis tenang no disik atimu Kang, mengko nek wes lego lanjutno ceritamu (sudah tenangkan dulu hatimu Kang, nanti kalau sudah lega baru lanjutkan ceritamu)."pinta Bapak pada Kang Tejo sambil menyerahkan segelas teh hangat supaya segera diminum Kang Tejo. Seketika air teh itu langsung tandas diminumnya tanpa sisa. Sepertinya Kang Tejo juga sudah mulai tenang.
"Mau pas aku lewat kandang kebo ne Lek Sarmi aku dicegat pocong Kang. Aku wes berusaha nekat tapi poconge malah soyo suwi nyedak nang aku. Aku gilapen Kang (tadi pas aku lewat kandang kerbau milik Lek Sarmi aku dicegat pocong Kang. Aku sudah berusaha nekat tapi pocongnya malah semakin lama semakin mendekat. Aku ketakutan Kang)."Kang Tejo mulai mau bercerita.
"Aku wedi Kang, raine ancur, bosok tur mambune marai eneg(Aku takut Kang, wajahnya hancur, busuk dan aromanya busuk bikin mual)."Kang Tejo bergidik ngeri.
Ibu dan Bapak terlihat sangat antusias mendengar cerita Kang Tejo.
"Aku langsung mlayu mbalik berharap ono Kang Kusno bisa ngancani muleh. Tapi sampeyan malah ninggal aku melu mlayu.(Aku langsung lari putar balik berharap ada Kang Kusno bisa menemani pulang. Tapi kamu malah ninggalin aku ikutan lari)."ucap Kang Tejo terlihat kesal.
"Hahahahaha... sepurane Kang. Aku dewe juga wedi. Tak kiro ono pocong mlayu ngetutna aku. (Hahahahaha... maaf Kang. Aku sendiri juga takut. Aku kira ada pocong lari ngikutin aku)."Bapak malah tertawa mendengar cerita Kang Tejo. Karena memang tadi Bapak lebih memilih berjalan cepat agak lari karena takut mendengar suara seperti sesuatu sedang mengejarnya dari belakang dan Bapak tak berani sedikitpun menoleh ke belakang. Ibu pun juga ikut tertawa menanggapi cerita Kang Tejo. Sedangkan Kang Tejo masih saja cemberut karena rasa takutnya belum hilang.
"Lagian sejak kapan pocong bisa lari, kang." umpatnya membuat gelak tawa di antara mereka. Aku yang mendengar obrolan mereka dari dalam kamar pun ikut tertawa meskipun ku tahan.
Rasa kantuk yang menyerang mataku tak dapat ku tahan. Ku tinggalkan tempat dimana aku berdiri menguping pembicaraan Kang Tejo dengan orang tuaku dan segera beranjak untuk tidur.
"Aaaaaaaaaa.....bruk."mendadak semua menjadi gelap. Aku jatuh dan tak sadarkan diri. Lama rupanya Ibu dan Bapak membantuku untuk segera siuman, namun aku tak kunjung sadar. Ibu dengan setia menggosok-gosokkan minyak angin ke kepala dan lubang hidungku, sedangkan Bapak memijat kaki ku.
"Emmmhhh.."aku menggeliat dan akhirnya sadar setelah hampir satu jam pingsan.
"Nduk, kowe nangopo ? Rapopo toh ? Opo sing di roso ?(Nduk:panggilan untuk anak perempuan. Kamu kenapa ? Gak apa-apa kan ? Apa yang kamu rasakan?)."begitulah kira-kira pertanyaan Ibuku saat aku baru saja membuka mata. Tampak rasa begitu khawatir pada mereka melihatku terbaring dilantai saat mereka menemukan ku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!