Jam 08 pas
Meira menyusuri trotoar menuju kampusnya. Pagi itu jalanan tampak lengan, mungkin karna semua orang sudah memulai aktivitasnya lebih pagi sebelum Meira.
Seperti biasa, Meira menunggu bus di halte sambil memeluk buku dan makalah ditangan kananya sementara tangan kirinya sibuk menenteng tas yang berisi laptop.
Sesekali Meira menoleh ke arah bus yang harusnya sudah datang beberapa menit yang lalu namun tumben hari itu bus tujuannya ke kampus telat beberapa menit dari jadwal yang biasanya.
Meira berdecak tak sabar sambil melirik jam tangannya yang kini sudah menunjukkan pukul 8 lewat 10.
Ah mampus! bakal telat, karna pelajaran pertamanya dimulai jam 8.20 wib sedangkan dia butuh waktu sekitar setengah jam dari halte itu untuk bisa sampai tepat waktu ke kampusnya.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh orang orang berlari. Meira menoleh dan seketika mulutnya ternganga saat menyaksikan gerombolan pria dari arah play over melangkah membentuk sebuah formasi manusia.
Mereka terlihat membawa senjata tajam ditangannya masing masing, ada yang membawa celurit, tongkat kayu dan ikat pinggang yang di lilit ditangan.
Belum hilang keterkejutan Meira, tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul lagi gerombolan manusia dengan spesies yang sama persis.
Namun meira seketika menyipitkan matanya saat melihat beberapa orang itu memakai alamamater yang sama persis seperti yang dia pakai saat ini.
Astaga! tidak salah lagi memang para mahasiswa dari kampusnya.
Mereka membawa berbagai peralatan seperti hendak perang. Seketika Meira menelan ludahnya berat.
"Mereka pasti mau tawuran!!!" Meira mematung saat menyadari kondisinya saat ini yang sedang berada di tengah tengah dua kubu yang hendak melakukan kebodohan sepanjang hidupnya itu.
Refleks, Meira langsung bersembunyi di balik pohon peneduh di samping halte bus.
Tatapannya menyapu seluruh isi jalan yang kini sudah di blokade oleh kedua kubu itu sehingga tidak ada lagi satu kendaraan pun yang lewat disana.
Meira tidak bisa lari kemana mana, karna sudah tidak ada lagi jalan kosong yang bisa di lewatinya. Kecuali dia mau dengan suka rela jadi bahan cincangan orang orang yang sedang hilang akal sehatnya di depannya itu.
Namun, seketika meira ingat kenapa dia tidak lari saja ke arah gerombolan teman sekampusnya? Mereka yang melihat almamaternya pasti akan langsung mengenalinya dan tidak akan ada yang bakal menyakitinya.
Tapi sialnya saat Meira berdiri dan hendak berlari ke sisi teman teman sekampusnya, tiba-tiba lawan dari kubu kampusnya mendekat dan membuat Meira mengurungkan niatnya.
Meira kembali jongkok, dia bisa mendengar dengan jelas teriakan dan gemuruh langkah kaki kubu lawan kampusnya sudah berada ditengah tengah jalan persis sejajar dengan tempat dimana dia jongkok dan bersembunyi dibawah pohon.
Tak lama, gantian gerombolan mahasiswa dari kampusnya yang berlari serentak mendekati kubu lawan.
Tawuran pun pecah diantara kedua kubu, Meira bergetar ditempatnya menyaksikan adegan saling baku hantam antar mahasiswa dengan senjata ditangan mereka masing-masing.
Meira berdoa semoga tidak ada yang bisa melihat keberadaannya. Namun memang pada dasarnya itu hari sialnya, seseorang mengenakan kaos hitam polos yang berdiri tidak jauh dari tempatnya memergokinya, seketika pria itu menghentikan aksinya yang sedang membabi buta memukuli lawannya.
Laki-laki itu tertegun, Meira juga tertegun. Keduanya saling pandang, Laki-laki itu menyipitkan kedua matanya saat mengenali almamater yang Meira kenakan.
"Sial!!" Ucapnya sambil berlari ke arah Meira. Meira langsung mengambil ancang ancang dengan menatap penuh kewaspadaan.
Semakin dekat dengan Meira laki-laki itu semakin membungkuk seraya mengulurkan tangannya.
"Lo pergi cep.."
Kalimatnya terputus ketika Meira dengan sigap langsung berdiri dan memukuli pria itu dengan buku dan laptop ditangannya. Laki laki itu spontan melindungi dirinya dengan kedua tangannya.
"Sst! Hei dengerin gue!!!" Perintahnya sambil mencengkram kedua lengan Meira dengan kuat.
Namun Meira yang sedang ketakutan justru membabi buta. Dia makin kalap memukuli laki laki itu.
"Ssst diem bego!!!!" Seru laki laki itu sambil melihat sekitar dengan wajah cemas. Suasana sedang kacau kacaunya. Seluruh mahasiswa sedang kalap dan diluar kendali. Ini malah ada cewek nyempil segala, pake almamater kampusnya pulak!
"Lo mau celaka disini? Cepet pergi sebelum ada yang liat lo!!!" Perintahnya sambil melotot tajam ke arah Meira.
Namun Meira tak juga mau mendengarkan, terus saja di pukulinya pria itu tanpa ampun.
"Ck.. nyusahin aja sih lo!" Ucap pria itu kesal. Akhirnya pria itu menarik paksa Meira untuk berlari ke sisi kubu kampusnya.
Meira yang melihat cengkraman tangan pria itu di lengannya malah tambah histeris.
"Tolong! To.." Meira malah menjerit keras sehingga pria itu terpaksa merengkuhnya dan memeluknya dari belakang. Satu tangannya membekap mulut Meira dan satunya lagi berusaha memegangi tubuh gadis itu agar mau diam.
Mata pria menyapu sekeliling jalan, riuh suara tawuran dan lemparan batu dari dua kubu bertaburan memenuhi langit disekitar merela. Dia menarik nafas lega saat melihat tak seorangpun yang melihat ke arahnya.
Arga nama laki laki itu langsung dengan cepat menyeret tubuh Meira ke sisi teman-temannya. Namun Meira terus memberontak.
Arga merasa kewalahan karna Meira terus memukul tubuhnya dengan kedua tangannya, namun karna pemberontakannya itu tak juga membuahkan hasil akhirnya Meira berinisiatif untuk menggigit tangan Arga.
Sontak Arga terpekik dan refleks melepaskan tubuh Meira.
Meira langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur, namun baru melangkah sekitar tiga jengkal Arga dengan mudah bisa kembali menangkap tubuhnya dari belakang.
"Cukup!!!" Teriak Arga keras sampai-sampai membuat Meira seketika membeku ditempat.
"Gue anak kampus Mandala juga bego!!!" Dengusnya kesal, karna sedari tadi Meira yang coba diselamatkannya malah tak bisa diajak diam.
Meira langsung menoleh kaget.
Meira tak tahu kalau pria itu ternyata anak dari kampusnya juga karna pria itu hanya mengenakan kaos polos dengan jaket hitam bukan memakai Almamater seperti yang Meira pakai di badannya.
Arga melirik lagi ke arah jalanan, suasana semakin kacau balau, seluruh ruas jalan kini benar-benar tertutup tanpa bisa dilalui.
Menyadari situasi yang semakin berbahaya ini tanpa sadar genggaman tangannya pada tangan Meira semakin menguat.
Meira ikut menatap tawuran di depannya dengan tubuh yang semakin gemetar. Arga bisa menyadari itu dia langsung menoleh ke Meira.
"Copot alamamater lo cepeet!!!" Perintahnya sambil mencoba membantu membuka paksa almamater itu.
"Gak!! Gue gak mau!!! Gue cuman pake tangtop tau!!!!"
Ck, Arga berdecak kesal.
"Emang kenapa kalau lo cuman pake tangtop? yang penting masih pake bajukan? Atau lo mau abis di gebugin disini sama anak anak jayakerta? Gue sih terserah, cuman gue kasian aja kalo lo sampe mati sia sia disini.."
Ucapan Arga itu malah membuat Meira semakin panik. Mati sia-sia? Meira langsung menggeleng kuat, enak aja sukses aja belum gue, masa udah mati sih!!! Gumam Meira.
Akhirnya dia langsung melepaskan almamater itu tanpa basa basi lagi. Seketika Arga menatap Meira dihadapannya yang kini cuman memakai tangtop berwarna hitam polos, belahan dada Meira kini bisa terekspos dengan jelas di matanya.
" Tinggalin almamater itu disini!!"
"Engga mau! Gue cuman punya satu almamater doang!!!"
Arga semakin gemas pada gadis itu, benar benar susah di atur!
"Masih banyak di koperasi, Ntar gue beliin selusin buat lo!!!"
Arga pun langsung mengambil paksa almamater itu dan meletakannya dibawah pohon. Dia lalu menghampiri meira dan menarik pergelangan tangan kanannya.
"Inget jangan jauh-jauh dari gue!!"
Meira menoleh cemas, perasaannya jadi tiba-tiba tidak enak mendengar kalimat itu.
"Terpaksa kita terobos tawuran kalau mau keluar dari sini!!!"
Hah? Meira langsung membulatkan matanya. Benarkan laki laki ini emang nekat!
"Ayo!!!" Arga menarik paksa Meira yang masih bengong.
Situasi disana benar benar sangat tidak kondusif. Tawuran bukan hal yang baru bagi Arga. Tapi sekarang ada seorang gadis bersamanya. Dan Arga merasa bertanggung jawab menyelamatkan gadis itu.
Makanya dia harus segera membawa gadis itu keluar dari tempat itu secepatnya. Mata elang arga menatap tajam pada setiap pergerakan manusia disekitarnya.
Beberapa kali dia hendak diserang namun Arga langsung dengan sigap menghindar, namun tak ayal, sesekali balas menyerang meski pergerakannya sangat terbatas karna satu tangannya tetap fokus menggenggam lengan Meira agar gadis itu tidak kena pukulan.
Sial memang nasib mereka saat itu. Teman teman Arga tak ada satupun di dekatnya, mereka malah sedang sibuk melawan jauh dari posisi Arga dan Meira, Arga jadi tidak bisa meminta bantuan siapapun.
"Argaaaaa!!!" Seseorang berteriak dari arah belakang, refleks Arga dan Meira menoleh bersamaan.
Matanya terbelalak ketika seseorang itu membawa celurit panjang ditangannya. Dan dengan cepat pria itu melayangkan celuritnya ke arah Arga.
Arga yang tak punya senjata apapun tak bisa melawan selain mencoba menahan celurit itu dengan tangan kosong.
Bersambung
Arga mencoba menahan ujung celurit yang terarah padanya dengan tangan kirinya. Darah segar seketika mengalir deras dari tangan Arga. Meira sontak terbelalak kaget.
Pria dihadapan Arga terus menekan celuritnya sampai-sampai Arga memekik menahan sakit di telapak tangannya yang sudah tertikam benda tajam itu.
Meira tak tinggal diam, dia langsung melepaskan genggaman tangan Arga dan lari menghampiri pria yang menyerang Arga, Meira langsung memukul mukul tubuh pria itu dengan menggunakan laptop ditangannya.
Terserah deh laptop yang masih di cicilnya itu rusak, yang penting sekarang dia bisa membantu menolong Arga dulu.
Serangan Meira berhasil, pria itu sempat terhuyung saat Meira memukul keras dibagian kepalanya.
BRUGH
Pria itu langsung jatuh dan celurit itupun terlepas dari tangannya.
Arga langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk balas menyerang lawannya itu.
Akhirnya adu jotos pun tak terelakan lagi diantara keduanya. Mereka saling serang dengan tangan kosong.
Beberapa kali Arga menonjok pria itu dan begitupun sebaliknya. Namun ditengah tengah pergulatan itu, tiba-tiba saja dua orang teman dari lawannya itu datang dan membantu pria itu untuk menyerang Arga.
Arga dikeroyok habis habisan oleh para lawannya itu. Dengan jumlah yang tidak seimbang dan karna tangan Arga juga sedang terluka karna kena tikaman celurit tadi, Arga jadi tidak bisa sepenuhnya melawan.
Akhirnya Arga tumbang saat salah seorang dari mereka memukulnya tepat dibagian belakang kepalanya dengan menggunakan balok kayu.
Meira melengking histeris seiring dengan robohnya tubuh Arga ke atas aspal jalan dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
"Tidak!!!!" Meira berteriak keras seraya berlari menghampiri Arga yang walau pun dia sudah tak berdaya namun para pria itu rupanya masih tak berhenti memukulinya.
"Hentikan! jangan pukulin dia lagi!" Pinta Meira dengan suara yang mulai terisak.
Meira memegang salah satu tangan pria yang sedang memukuli Arga. Dia mencoba menahan tangan pria itu dengan sekuat tenaga. Tapi pria itu seperti kesetanan.
"Minggir!"
Pria itu malah mendorong keras tubuh Meira hingga menyebabkan gadis itu terpental ke belakang dan keningnya berbenturan keras dengan sisi trotoar jalan.
"Aw!"
Meira berteriak keras saat merasakan sakit di bagian kepalanya.
Arga sontak membuka matanya perlahan, dia melirik Meira yang sedang memegangi kepalanya sendiri. Keningnya terlihat mengeluarkan darah akibat benturan tadi.
Arga menarik napas dalam-dalam sambil mengepalkan kedua tangannya kuat kuat. Perlahan dia bangkit, seluruh orang yang menggebuginya tadi sampai terbengong bengong karna melihat pentolan kampus Mandala itu bisa berdiri lagi dengan gagahnya, padahal jelas jelas mereka baru saja memukulinya hingga nyaris te was.
"Jangan sentuh dia bangsat!" Suara Arga melengking keras di tengah-tengah gemuruh suasana tawuran.
Para lawannya itu langsung mencoba menyerangnya kembali, namun kini Arga membalas pukulan mereka dengan membabi buta, entah sisa tenaga itu datang dari mana.
Melihat Meira terluka rasanya Arga marah besar.
Akhirnya mereka semua tamat di tangan Arga dengan kondisi yang hampir sekujur tubuh mengalami lebam akibat di pukul terus menerus oleh si pentolan kampus itu.
Meira melihat Arga kini tengah berjalan ke arahnya. Kepalanya terasa berat sekali. Pandangan matanya menjadi kabur dan lama kelamaan gelap. Meira pingsan.
Arga langsung berlari kencang menangkap punggung Meira yang melemah dan hampir jatuh lagi ke aspal.
"Hei bangun.." Arga mencoba menepuk pelan pipi gadis itu tapi Meira telah tak sadarkan diri.
Arga pun langsung merengkuh tubuh Meira dan menggendong tubuh gadis itu kedalam pelukannya.
Beruntungnya para teman temannya yang lain yang melihat kejadian itu langsung membentuk dinding pertahanan ditengah tawuran agar Arga bisa keluar dari jalan itu.
Dengan susah payah, akhirnya Arga bisa menembus keluar dari blokade lawan dengan di tolong oleh teman temannya.
Setelah berlari cukup jauh dan setelah yakin posisi dia sekarang sudah aman, dengan masih menggendong tubuh Meira Arga tidak memperdulikan tatapan orang orang dijalan yang terarah kepadanya.
Arga langsung menyetop taksi yang lewat dan membawa Meira kerumah sakit.
"Hei bertahanlah!" Ucap Arga sambil menatap cemas kening Meira yang mulai mengeluarkan banyak darah. Padahal dirinya sendiri juga sedang terluka parah namun Arga sudah lupa dengan rasa sakitnya itu.
Tak lama taksi pun berhenti di sebuah rumah sakit besar. Arga langsung membopong keluar tubuh Meira dan berlari menuju ruang IGD.
Untungnya ada suster yang sedang berjaga disana.
"Sus, tolong panggilkan dokter, periksa kondisi dia sus! Keningnya terluka sus!" Pinta Arga sambil meletakan tubuh Meira ke atas ranjang dengan hati-hati.
Tak lama suster yang lain muncul bersama dengan seorang dokter.
"Silahkan bapak tunggu diluar dulu ya, kami akan memeriksa kondisi pasien."
Salah satu perawat menyuruh Arga keluar dari ruangan IGD. Arga menolak dan bersikukuh untuk menemani Meira didalam ICU. Mata Suster seketika tertuju pada luka di sekujur tubuh Arga terutama di telapak tangannya.
"Yasudah ayo masuk, bapak juga terluka kita harus segera mengobatinya." Perawat yang berusia paruh baya itu akhirnya memapah tubuh Arga ke dalam IGD.
Arga dibaringkan disamping tempat tidur Meira.
Arga melirik Meira yang sedang di periksa bagian kepalanya oleh sang Dokter. Terlihat suster sedang menyuntikkan infusan ke tangan Meira.
Suster yang lainnya membersihkan luka sayat ditangan Arga akibat terkena celurit tadi. Arga hanya diam bahkan ketika suster membalurkan alkohol ke lukanya, dia tak meringis sedikit pun.
Dia terlalu fokus melihat ke arah Meira. Setelah membersihkan luka Meira, Dokter pun mempersiapkan beberapa alat untuk menjahit luka di kepalanya.
Meira membuka matanya perlahan saat merasakan kepalanya berdecit nyeri. Dokter mulai menjahit dengan perlahan luka di kepala Meira agar pendarahan segera berhenti.
Arga spontan memegang tangan Meira yang berada disampingnya. Ketika jarum tajam itu menusuk kulit gadis itu, Meira meringis kesakitan sambil mencengkram lengan Arga dengan kuat.
Sejam lebih mereka dirawat di ruang IGD. Akhirnya mereka berdua dipindahkan keruang perawatan biasa setelah luka luka ditubuh mereka sudah selesai di obati.
Arga sudah boleh pulang saat itu juga namun tidak dengan Meira. Dia masih harus menginap semalam karna luka dikepalanya yang cukup parah.
Arga memperhatikan tubuh Meira yang sedang terbaring disebelahnya. Perlahan Arga bangkit dari tempat tidurnya dan mendekat kesisi ranjang Meira. Arga duduk disamping ranjang Meira, gadis itu sedang tertidur karna efek obat bius tadi.
Arga bergerak mundur sambil merogoh kantung celananya. Dia mengeluarkan ponsel dari sana.
"Hallo, cepat kalian semua kesini, gue ada dirumah sakit melati"
Arga langsung menutup telponnya setelah mengatakan itu.
Tok tok tok
Terdengar pintu diketuk dari luar dan tak lama seseorang melangkah masuk ke ruang perawatan. Arga menoleh dan seketika matanya membulat tajam menatap sosok dihadapannya.
"Siska..." Dengusnya dengan suara yang sarat akan kebencian.
"Arga! Kamu ngapain disini?" Tanya wanita itu yang juga sangat terkejut melihat adik dari mantan pacarnya kini berada tepat dihadapannya.
"Harusnya saya yang melontarkan pertanyaan itu.." Arga menatap Siska dengan sinis.
"Meira adik saya, saya kesini untuk melihat keadaanya setelah mendapatkan telpon dari rumah sakit.."
Arga ternganga tak percaya. Dunia begitu sempit rupanya. Jadi nama gadis itu Meira! dan ternyata dia adalah adik dari wanita bangsat yang sudah membuat kakaknya Stefan sampai bunuh diri dengan menenggak racun gara gara ditinggal nikah oleh perempuan yang kini berdiri tepat di hadapannya.
Arga menatap Siksa dengan menahan amarah yang begitu besar.
"Arga, aku benar benar minta maaf soal Stefan, sungguh aku pun sangat berduka mendengar berita itu, aku tidak tahu kalau Stefan bisa sampai senekat itu.." Ucap Siska. Jujur dia juga masih sangat bersalah setiap ingat kejadian itu.
"Bagaimana dia tidak nekat. Kau sudah meninggalkannya begitu saja tanpa mengabarinya kau malah menikah dengan orang lain!" Arga tampak menggertakan giginya menahan emosi.
"Maaf, seandainya aku bisa memutar waktu, aku tidak akan membiarkan ini terjadi, aku bisa apa Arga, keluargaku lah yang sudah menjodohkan ku." Mata Siska terlihat mulai berkaca kaca.
Dia kembali teringat dengan mantan kekasihnya itu. Stefan dan Siska telah menjalin hubungan selama 5 tahun, Siska dan Stefan saling mencintai namun keluarga Siska tiba tiba memutuskan untuk menikahkan Siska dengan orang lain.
Dan tentu saja hal itu membuat Stefan langsung terguncang dan tak lama dia mengakhiri hidupnya sendiri.
Arga melirik Meira yang masih terbaring di tempat tidurnya. Tatapan kasihan yang tadi dia tunjukan untuk Meira mendadak lenyap. Kini berganti dengan lirikan kebencian penuh dendam.
"Aku, akan membalas kematian kakakku lewat adikmu Meira!" Setelah berucap demikian Arga pun keluar kamar dengan membanting pintu di belakangnya.
Siska langsung lemas mendengar ucapan Arga barusan.
Apa yang akan dia lakukan pada adikku Meira?'
Siska tau keluarga Arga bukanlah keluarga biasa saja, mereka itu konglomerat kelas kakap. Dia bisa melakukan apapun dengan kekuatan uang yang mereka miliki.
Bersambung
Arga duduk di sudut kamarnya sambil memegangi bingkai foto dengan figuran dia dan kakaknya yang sedang bermain bola.
Sudah lama sekali dia tak berani melihat foto kakaknya itu, dia sangat trauma, setiap kali dia melihatnya, Arga tak kuasa menahan gejolak sakit di dalam dadanya.
Kehilangan orang yang begitu dekat dengannya membuatnya hampir gila saat itu.
Meskipun sudah setahun berlalu, namun kekosongan itu belum juga sembuh. Arga masih sangat merindukan sosok kakaknya. Karna selama ini hanya sosok itu yang dekat dengan dirinya dirumah besarnya ini.
Tok tok tok
Tiba tiba terdengar suara pintu di ketuk. Arga menoleh dan melihat ayahnya sudah berdiri di badan pintu kamarnya sambil memandangnya dengan wajah datar.
"Kau belum tidur ga?"
Tanya Pak Heru Alexander sambil menyalakan lampu kamar Arga yang sedari tadi sengaja tak dinyalakan, hanya terlihat sedikit cahaya yang berasal dari pantulan rembulan lewat pintu jendela kamarnya yang terbuka.
Arga hanya diam tak bergeming.
Hubungannya dengan sang ayah memang tidak berjalan harmonis semenjak ayahnya menikah lagi dengan wanita lain yang kini sudah menjadi ibu tirinya yang bernama Nyonya Lusi.
Orang tua Arga telah lama bercerai saat Arga masih duduk di bangku SMP, Arga tidak diberitahu alasannya. Dia hanya tahu kalau orang tuanya sudah tidak bisa bersama sama lagi untuk mengasuhnya. Saat itulah Arga merasa dunianya benar benar hancur total.
Orang tua Arga sepakat jika kedua anaknya itu diurus oleh sang ayah sementara ibunya Arga memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di bandung.
Tak ada lagi kebahagiaan yang Arga rasakan di dalam rumah semenjak perceraian itu. Saat itulah hari harinya terasa sangat berat untuk dilewati, Arga merasa Ayahnya terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya.
Apalagi semenjak Ibu Tiri dan kakak tirinya yang bernama Andrew ikut tinggal dirumahnya, Arga merasa semakin tercekik dan tak bebas dirumahnya sendiri.
"Apa kau sedang merindukan Stefan?" Ayah Arga melangkah lalu kemudian duduk disamping Arga.
Dia ikut menatap bingkai foto ditangan Arga, raut mukanya seketika berubah sedih.
"Iya, aku sangat merindukannya, hanya dialah satu satunya orang yang peduli padaku dirumah ini, sayang sekali bukan, kenapa kakak tidak mengajak aku menenggak racun saat itu ya? Padahal aku akan dengan senang hati menemaninya!" Arga menatap nanar bingkai ditangannya.
Dia mencibir ayahnya sendiri lewat perkataannya barusan.
Tuan Hero pun menoleh kaget sambil menahan emosinya.
"Jangan sembarangan bicara Arga!" Tuan Heru merasa geram mendengarnya.
Sekarang Arga adalah satu satunya anak kandung Tuan Heru, bagaimana pun dia sangat menyayangi anaknya itu.
"Memangnya kenapa? Aku serius! kalaupun aku mati aku siap! untuk apa hidup dirumah yang sangat megah ini tapi aku selalu merasa sendirian!"
Arga berdiri dan hendak pergi meninggalkan Tuan Heru, namun Tuan Heru buru buru mencegat tangannya.
"Kau mau kemana? Arga, dengarkan ayah! Ayah harus bilang berapa kali, ayah sangat peduli dan sayang kepadamu, kenapa kau selalu menganggap ayah ini orang yang jahat?"
"Ayah peduli padaku? Apa ayah punya waktu untukku?"
"Ayah harus mengurusi banyak sekali perusahaan Arga, kau tau kan bisnis keluarga kita sedang berkembang pesat, apalagi semenjak Stefan tiada, tidak ada lagi yang membantu ayah di perusahaan."
Arga tersenyum kecut tanpa menoleh sedikitpun.
"Klasik, alasan ayah tidak pernah berubah!"
Arga hendak pergi lagi namun Tuan Heru terus berusaha mencegahnya.
"Ayah harus apa agar kau percaya ayah menyayangimu?"
Arga diam sesaat.
Tiba tiba saja dia langsung teringat Meira adik dari Siska yang tak lain adalah seseorang yang sudah membuat kakaknya bunuh diri. Arga langsung terbersit satu rencana jahat untuk Meira.
"Nikahkan aku dengan seseorang, maka aku akan percaya ayah menyayangiku!"
"Hah?" Tuan Heru langsung membulatkan matanya mendengar permintaan tidak masuk akal dari anaknya itu.
Dua hari berlalu semenjak hari itu..
setelah mengambil pertimbangan yang tidak gampang, akhirnya Tuan Heru menyetujui permintaan Arga.
Dia berharap setelah menikah, Arga tidak akan merasa kesepian lagi dan dengan begitu Tuan Heru bisa memperbaiki hubungannya dengan putranya itu.
"Siapa calon mu Arga? Kenalkan pada ayah, ayah ingin tahu dia gadis seperti apa.."Seru Tuan Heru di suatu pagi saat mereka sedang sarapan bersama di meja makan.
"Pap, kau yakin akan setuju dengan ide gilanya Arga!" Ibu Tiri Arga protes karna merasa keputusan suaminya itu sangatlah gegabah, mengingat mereka ini adalah salah satu keluarga ningrat di jakarta. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan secara sembarangan.
Lusi ingin Arga menikah dengan yang gadis yang sepadan kastanya dengan mereka.
"Bagaimana kalau Arga salah pilih? Malu Pap! Malu loh nanti kita! Gimana kalau dia milih orang yang gak jelas asal usulnya, jangan buru buru menyetujuinya." Lusi masih terus nyerocos sambil melirik tajam ke arah Arga.
Arga malah tersenyum sinis mendengarnya.
"Bagus sekali kalimat Anda barusan, SEMPURNA! harusnya saya mengucapkan kalimat itu dulu ketika ayah mau menikah dengan Anda." Arga menyindir Ibu Tirinya dengan satu tepuk tangan keras.
"Kau lancang sekali Arga!" Andrew kakak tiri Arga menggebrak meja dengan keras karna merasa Arga sangat tidak sopan kepada ibu kandungnya.
"Arga, hormati dia, bagaimanapun dia itu ibumu!" Perintah Tuan Heru.
"Dia itu istri ayah, dia bukan ibuku!" Ucap Arga santai sambil mencomot roti tawar di meja dan menggantungkannya di sela bibirnya.
Arga langsung meninggalkan meja makan tanpa merasa sudah membuat suasana disana menjadi sangat tegang.
Ayah Arga menggelengkan kepalanya melihat tingkah anak kandungnya itu.
Entah harus dengan cara apa lagi dia mendidik Arga agar mau menurut kepadanya.
Semenjak perceraian itu perangai Arga benar benar berubah total, dulu dia anak yang sangat penurut, namun lihatlah sekarang, dia seperti berandalan yang tak membiarkan siapapun mengatur hidupnya, apalagi semenjak kepergian kakaknya Devano, tambah tambah saja sifat membangkangnya.
"Lihat kelakukan anakmu Papi, dia masih semester 5 tapi sudah minta nikah! Apa apaan itu! Andrew saja yang sudah bekerja belum ku ijinkan untuk ke arah sana. Kau malah gegabah sekali mengijinkannya mengambil keputusan sebesar itu!" Lusi mendengus kesal saat Arga telah pergi dari hadapan mereka.
"Bagaimana kalau dia memilih gadis dari orang miskin? Malu Pap! Muka mami mau taro dimana?" Lusi berdecak sambil mengoles roti tawarnya dengan selai kacang. Dia pun langsung menyodorkan roti itu ke piring suaminya.
"Sudahlah mah biarkan saja, papa sudah menyerah menangani Arga, mungkin setelah menikah, sikap Arga bisa berubah jadi lebih baik, makanya papah menyetujui permintaannya itu." Sergah Tuan Heru seraya berdiri sambil menenteng tas kerjanya.
"Kau tidak mau sarapan dulu pap?" Tanya Lusi sambil ikut berjalan keluar.
"Aku sudah kehilangan selera makan." Jawab Tuan Heru sambil menghela nafas jengkel. Andrew pun ikut berdiri dan mengikuti langkah ayahnya dari belakang.
Andrew adalah kakak tiri Arga, umurnya lebih tua 3 tahun dari Arga. Dia diberikan tugas untuk mengurus salah satu perusahaan milik pak Heru yang berada di jakarta.
Hubungannya dengan Arga tidak terlalu baik karna Arga memang dari awal tidak pernah menunjukkan sikap ramah meskipun sekarang mereka sudah menjadi saudara di dalam rumah itu.
Sementara itu di kampus Mandala
Meira sudah masuk kembali seperti biasanya, meskipun perban di kepalanya saja masih belum copot, dia tak ingin melewatkan waktu yang sia sia dengan hanya berdiam diri dirumah.
Bukan apa apa, Meira bisa kuliah itu karna bantuan beasiswa, jadi kalau dia sampai absen, itu akan otomatis mempengaruhi penilaiannya. Meira tidak ingin jika sampai beasiswanya di cabut, karna hanya beasiswa inilah harapan satu satunya Meira untuk bisa mengenyam bangku kuliah.
Semenjak kedua orang tuanya bangkrut, ayah dan ibunya bercerai. Meira tinggal bersama ibunya yang sudah menikah lagi dengan seorang duda yang sayangnya hanya menjadi benalu di rumah mereka. Ayah tirinya itu seorang penjudi dan pemabuk berat.
Dia jugalah yang sudah menjadi biang kerok diantara hubungan Siska dan Devano. Ayah tirinya itu sudah tega menjadikan Siska sebagai bahan taruhan judinya. Saat kalah dia pun terpaksa menikahkan Siska dengan Anak temannya itu.
Tempramen ayahnya begitu buruk. Dia bahkan tak segan segan memukuli Meira dan kakaknya Siska jika emosinya sedang kumat.
Ibu Meira bekerja sebagai seorang karyawan swasta di suatu perusahaan. Gajinya yang tak seberapa hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari hari saja.
Dia juga tak tau mengapa dulu orang tuanya bercerai. Padahal Meira sangat menentang perpisahan itu, namun apa mau dikata, ibunya tetap bersikukuh untuk segera berpisah dengan ayahnya.
Meira tidak tahu dimana ayahnya sekarang karna semenjak bercerai ayahnya sudah tidak pernah lagi mengunjunginya sekalipun.
bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!