NovelToon NovelToon

Rahim Sewaan

Anak Gelap

Belaian tangan itu membuat Raina terbuai. Dia masuk ke dalam pelukan pria yang tidak kenal atau temui sebelumnya. Rasanya hangat dan menenangkan hatinya.

Bau parfum yang dia gunakan terasa menenangkan hingga dia masuk dalam kegiatan panas yang mereka lakukan tidak berpikir bagaimana nasibnya ke depan karena suatu rasa menuntutnya untuk kegiatan gila ini. Rasa ini mendorongnya untuk melakukan hal jauh. Pikirannya menolak tetapi tubuhnya sangat menginginkannya.

Wanita itu sempat menyentuh tatto bergambar bulu yang memanjang dari bawah ketiak hingga bagian perut kanannya. Sangat unik menurutnya.

Raina menatap manik mata Jamrud pria itu sebelum penyatuan itu membuat dia meringis karena sakit.

"Sial! Ternyata kau masih gadis," umpat pria itu kesal. Dia lalu diri dan membuat karet pengaman. Dia tidak ingin menyiakan kesempatan yang tidak pernah dia dapatkan selama ini.

"Jika kau merasakan nyeri kau boleh memegang erat lenganku," ucap pria itu sambil menatap mata wanita itu. Suasana kamar itu temaram sehingga pria itu tidak bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas di tambah minuman alkohol yang telah dia konsumsi membuat pikirannya tidak fokus. Namun dia bisa melihat tanda hitam di punggung wanita itu walau sekilas.

***

Sepuluh tahun kemudian.

"Sudah kukatakan jika anak itu hanya buat sial untukmu saja!" ucap Ina, kakak dari Raina.

"Kakak, sudah cukup! Kau tidak perlu mengatakan hal itu lagi!" seru Raina tidak terima. "Kalau tidak mau menolong tinggal katakan saja tidak perlu menghina anakku!"

Tangis Raina mulai terdengar.

"Kenapa kau tidak mau mendengar kenyataan ini! Dia datang ke dunia ini dan membuat masa depanmu hancur. Kau harus berhenti kuliah selama setahun karena hamil dan melahirkan anak ini. Tetangga dan saudara menghujat kita karena kau punya anak tanpa suami. Ayah sakit-sakitan dan akhirnya meninggal karena menahan perasaannya. Ibu akhirnya berjuang membesarkan anakmu agar kau bisa meneruskan pendidikan mu dan pergi bekerja. Ketika kau baru saja bekerja anakmu mulai sakit-sakitan dan butuh banyak biaya sehingga aset milik keluarga habis untuk membiayai pengobatannya."

"Ibu baru saja meninggal dan kau datang untuk meminjam sejumlah uang yang besar untuk pengobatan putramu itu. Dari mana kau bisa membayar hutangmu itu? Sedangkan aset rumah saja sudah kau gadaikan. Kenapa tidak kau biarkan saja putramu itu mati, kau jadi bisa menikah lagi dan mencari pendamping yang bisa menopang biaya hidupmu ke depannya. Jangan sampai kau dan anakmu nantinya keluar dari rumah warisan itu dan menjadi gembel!"

"Kakak! Kau memang keterlaluan. Aku sudah cukup diam menghadapi semua hinaan dan cacian darimu. Namun, kini tidak lagi! Hingga aku mati aku tidak akan pernah meminta pertolongan darimu." tunjuk Anjani. Dia hendak berbalik ketika Ina membalas perkataannya.

"Buka matamu, Raina. Anak itu memang selalu membuatmu susah. Jika kau bisa cari ayah ini dan minta bantuan darinya agar anak itu bisa menjalani operasi transplantasi ginjal. Namun, sayangnya, kau sendiri tidak tahu seperti apa wajah pria itu. Menyedihkan," ejek Ina. Wanita itu kesal karena dia tidak mendapatkan apapun dari kematian orang tuanya karena semuanya habis untuk pengobatan Leon, putra Raina.

Raina sendiri menyeka air matanya ketika meninggalkan rumah besar milik Ina kakaknya. Kakaknya beruntung mendapatkan suami seorang pengusaha travel. Dia juga punya anak-anak yang sehat. Di samping itu dia masih bekerja di sebuah bank swasta dengan gaji besar. Sesuatu yang Raina impikan selama ini. Namun impiannya hilang tatkala kantor memecatnya setelah dia tidak pergi bekerja selama beberapa hari karena harus mengurus pemakaman ibunya dan membawa Leon ke rumah sakit.

Dengan langkah gontai Raina keluar dari rumah kakaknya, satu-satunya saudara yang dia miliki. Dia mendekati motornya dan mengendarai hingga sampai ke rumah. Netranya menangkap bayangan Leon sedang duduk di teras rumah seraya memegang buku pelajaran miliknya.

Laju kendaraannya dia hentikan di depan pintu garasi. Dia mendorong masuk sepeda motor matic itu masuk ke dalam lalu menutupnya. Setelah itu dia mendekati Leon yang sudah menunggunya. Senyuman selalu terlihat dari wajahnya yang pucat.

"Kau tidak masuk ke dalam, udara di luar dingin sedang gerimis pula," kata Raina mengajak putranya masuk.

"Aku sedang menunggu Ibu pulang," ujar Leon menutup buku dan berdiri. Raina lalu memeluk bahu putranya dan mereka masuk ke dalam rumah.

"Kau sudah makan?" tanya Raina.

"Belum, tidak enak makan sendirian, Bu. Biasanya ada nenek yang menemani makan jika ibu sedang tidak ada namun kini telah berpulang pada Yang Kuasa." Terdengar suara helaan nafas dari Leon. Dia masih sangat terpukul dengan kematian neneknya. Hubungan mereka sangat dekat karena hanya Ibu Raina yang menemani keseharian Leon jika dia sedang pergi bekerja.

Mereka lalu menuju meja makan. Raina sendiri pergi ke kamarnya terlebih dahulu untuk mengganti bajunya.

Beberapa saat kemudian mereka telah berada di meja makan dan sedang menikmati makana. sederhana yang tersaji. Hanya sayur bayam dan telor goreng untuk Leon dan beberapa potong tempe.

"Bagaimana keadaan Bude Ina, Bu?" tanya Leon.

Raina menarik dua sudutnya dengan terpaksa.

"Bude dan Pakde dalam keadaan sehat. Mereka titip salam padamu," ucapnya. Leon tersenyum kecut. Walau masih kecil dia bisa merasakan tatapan tidak suka keluarga ibunya jika sedang berkumpul. Dia pernah bertanya pada Ibunya mengenai hal ini. Namun, Raina hanya menjawab mungkin Bude dan Pakde sedang lelah sehingga bersikap seperti itu.

Leon hanya bisa diam. Suatu hari dia juga pernah mendengar dari Budenya ketika kakek meninggal jika dia biang masalah keluarga ini. Saat itu Leon baru berumur lima tahun tetapi ingatan itu masih terpatri jelas dalam benaknya.

Soal Ayah, Leon tidak mau bertanya lagi karena hanya akan membuat Ibunya menangis di malam hari. Walau dia jadi bahan ejekan kawannya di sekolah yang mengatakan bahwa dia anak haram, dia akan tetap menutup rapat mulutnya. Dia tidak ingin membuat wanita yang telah berjuang untuk hidupnya terlihat bersedih. Dia ingin melihat ibunya tertawa keras tanpa beban seperti ibu yang lain.

Leon masih kecil tetapi dia telah mengalami banyak cobaan hidup hingga membuatnya harus berpikir dewasa sebelum masanya. Masa kecilnya hanya dia isi dengan belajar di rumah. Dia tidak ingin keluar karena hanya akan mendapat cibiran dari tetangga atau mendengar para ibu-ibu menggunjing atau menyindir Ibunya.

"Di makan telornya Leon, ini baik bagi tubuhmu," ucap Raina.

"Aku sudah bosan makan telor dan daging, itu buat Ibu saja," ucap Leon berbohong. Ibu dan neneknya selalu mendahulukan menu makanannya tetapi mereka makan sayur seadanya.

"Kau tahu jika Ibu tidak suka telor. Dari pada nanti Ibu buang alangkah baiknya jika kau makan," bujuk Raina memberikan telor itu ke piring Leon. Leon lalu menuruti perkataan Ibunya walau dia tahu ibunya sedang berbohong mengatakan jika tidak suka telor.

''Bu, apa besok kita jadi cuci darah?" Leon melihat air muka Raina berubah drastis terlihat sedih.

"Jika Ibu tidak ada uang, kita tunda saja, Bu," ucap Leon. Raina ingin menangis mendengar perkataan Leon. Menundanya hanya akan memperburuk penyakit Leon. Dia bisa saja Anfal jika itu mereka lakukan.

"Ibu sudah dapat uangnya dari Bude Ina," kata Raina berbohong. Padahal uang di sakunya hanya tinggal sepuluh ribu. Dari mana dia dapat tambahannya lagi.

Rencana Menyewa Rahim

"Bagaimana Dok? Apakah kita bisa melakukan program hamil lagi?" tanya Adry pada Ryan dokter kandungan Nita.

"Maaf, Dry, Nita belum bisa hamil lagi setelah mengalami keguguran untuk yang ketiga kali. Mungkin menunggu tiga atau setidaknya dua tahun lagi agar kandungannya kuat dan kokoh terlebih dahulu. Jika kita paksakan bisa-bisa kandungan istrimu akan robek karena dindingnya sudah tipis setelah melakukan proses kuret berkali-kali," terang Dokter Ryan.

Adry hanya bisa melihat ke samping dan mengigit bibirnya keras. Nita menengadahkan wajahnya ke atas agar air matanya tidak keluar. Sembari menarik nafas panjang.

"Ku kira kita harus bersabar," kata Adry mengusap punggung Nita.

"Tetapi orang tuamu sudah sangat berharap hadirnya seorang cucu, Dry," kata Nita.

"Lalu kita harus bagaimana. Apakah aku harus memaksamu untuk hamil lagi sedangkan hak itu bisa saja membuatmu kehilangan rahim bahkan nyawa?" Tubuh Nita bergetar hebat.

Sudah sepuluh tahun pernikahan mereka namun mereka belum juga diberi momongan. Mereka sama-sama sehat hanya saja kondisi rahim Nita melemah setelah berkali-kali melakukan kuret.

Adry adalah anak tunggal dari salah satu konglomerat negeri ini. Dia adalah The Chairman Sinar Jaya grup, sebuah perusahaan besar yang masuk ke dalam berbagai sektor usaha. Keluarganya sangat menginginkan hadirnya seorang pewaris keluarga.

"Kita tahu jika Ibu telah memaksamu untuk menikah lagi," ungkap Nita. Adry menarik tubuh Nita agar masuk ke dalam pelukannya.

"Aku tidak akan melakukannya," kata Adry jelas. "Jika aku yang tidak bisa punya anak apakah kau juga akan meninggalkan aku?" Nita menggelengkan kepalanya. "Hal itu juga yang akan kulakukan."

Dokter Ryan menghela nafas panjang melihat drama rumah tangga pasien eksklusifnya.

"Aku punya saran bagi kalian?" kata pria itu tiba-tiba, membuat Nita menghentikan tangisnya. Pasangan itu lalu menatap Dokter mereka dengan seksama.

"Saran apa Dokter?"

"****** milikmu bagus dan indung telur Nita juga kondisinya bagus. Kita bisa melakukan pembuahan. Setelah itu kita taruh dalam rahim yang sehat," jelas Dokter Ryan.

"Tetapi Anda mengatakan jika kondisi rahim Nita tidak baik-baik saja," ungkap Adry.

"Saya mengatakan jika hasil pembuahan itu diletakkan ke dalam rahim yang sehat. Itu artinya kita butuh rahim sehat untuk tempat tumbuh calon anak kalian."

"Saya tidak mengerti," ucap Nita.

"Surrogate Mother, Rahim pengganti. Kita membutuhkan itu," terang Dokter.

"Kita bisa merahasiakan hal ini dari publik. Saran saya kita bisa melakukannya di negara yang mengijinkannya, seperti negara Amerika atau beberapa negara Eropa," saran Dokter Ryan.

"Maksud Dokter?" tanya Adry antusias.

"Yang kita butuhkan adalah wanita yang mau melakukannya dan mau merahasiakan hal ini." Dokter Ryan lalu menatap Nita. "Dan kau tetap berpura-pura sedang hamil agar publik atau orang luar tidak curiga."

"Jadi rencana Anda adalah Nita pura-pura sedang hamil sedangkan wanita lain yang sedang hamil anak kami?" Ryan menganggukkan kepalanya pada Adry.

"Aku tidak setuju, aku ingin anakku hanya lahir dari rahim Nita," debat Adry keberatan.

"Tetapi aku setuju, mungkin ini cara terbaik bagi kita untuk mempunyai anak sendiri."

"Kita akan merahasiakannya. Hanya kita dan Dokter Ryan yang tahu," ujar Nita. "Kita tidak harus berpisah dan aku tidak harus dimadu olehmu," ucap Nita sesak.

"Orang tuamu akan bahagia jika tahu keturunan mereka telah lahir ke dunia ini," imbuh Nita penuh harap.

"Ku mohon... ." Mata Nita menatap memelas pada Adry.

"Terserah kau saja hanya saja sudah kukatakan jika aku tidak setuju," ujar Adry tidak senang.

Nita tersenyum kecut lalu melihat ke arah Dokter Ryan.

"Kami setuju untuk melakukannya. Namun, mencari wanita yang mau melakukannya dan bisa dipercaya itu sangat sulit," ungkap Nita.

"Bisakah Anda, membantu kami untuk menemukannya. Kami bersedia membayar berapapun jika wanita itu bersedia melakukannya."

"Baiklah, saya akan membantu kalian untuk mencarinya, Nyonya Nita. Untuk itu kami butuh waktu lebih," kata Dokter Ryan.

"Waktu kami akan memberikannya." Nita terlihat sangat antusias dengan solusi masalah ini yang telah Ryan sampaikan.

"Wanita itu harus sehat tidak mempunyai penyakit bawaan karena dia itu akan mengandung anakku," tegas Adry.

"Kalian bisa mengeceknya langsung dan melihat hasil medisnya."

"Satu lagi dia bukan wanita murahan!" Ucapan Adry penuh dengan penekanan.

Ryan menarik nafas. "Percayalah pada kami."

"Apakah Anda pernah melakukan ini?" tanya Adry khawatir.

"Tidak di negara ini tetapi aku pernah melakukannya sewaktu masih di Amerika serikat," ungkap Dokter Ryan.

"Ya, di sana memang dilegalkan."

Dokter Ryan menganggukkan kepalanya.

"Jadi kita sepakat untuk melakukannya?" tanya Ryan untuk menegaskan hal ini.

"Ya," ucap Nita penuh keyakinan seraya menatap mata suaminya.

"Baiklah, aku setuju," kata Adry masih dengan hati mengganjal.

Mereka lalu keluar dari ruangan itu, melewati lorong rumah sakit.

Tiba-tiba handphone Nita berbunyi. Orang tuanya menelfon. Dia meminta waktu pada Adry untuk menjawab telephon itu.

Adry lalu berjalan ke arah halaman belakang rumah sakit. Dia berdiri di depan pintu menatap jauh keluar. Tiba-tiba dia ditabrak oleh seseorang dari arah depan. Anak itu terhuyung ke belakang.

"Maaf," kata seorang anak itu melihat ke arah Adry.

Manik mata mereka saling bertemu. Adry terkejut melihat warna bola mata mereka sama, hijau terang.

"Maaf," kata anak itu lagi ingin agar lengannya dilepaskan oleh Adry.

"Oh, iya. Om yang minta maaf karena berdiri di pintu." Melepaskan lengan anak itu. Entah mengapa tatapannya tidak bisa lepas dari wajah anak itu.

"Permisi saya harus masuk ke dalam karena Ibu sudah menunggu," ujarnya meninggalkan Adry sendirian.

Sesuatu terasa hilang ketika Adry menatap kepergian anak lelaki itu. Dia berpikir mungkin jika dia punya anak lelaki akan mirip dengan anak itu karena warna mata mereka sama dan rambut mereka juga sama-sama lurus berwarna hitam kecoklatan.

"Kau melamun?" tanya Nita mengagetkan Adry.

"Tidak aku hanya melihat anak yang memiliki warna mata mirip denganku dan berpikir jika kita punya anak apakah warna matanya sama sepertiku," ucap Adry.

"Semoga saja, jalan kita yang diambil kali ini mungkin jalan yang dipilihkan Tuhan agar kita bisa tetap bersama dan memiliki anak."

"Kau benar, Nita."

"Orang tuamu menelfon untuk apa?" tanya Adry.

"Mereka ingin bertemu karena kita sudah lama tidak menemui mereka," ujar Nita.

"Kau atur saja pertemuan itu. Mungkin makan malam," ujar Adry.

"Baiklah, aku akan mengaturnya." Mereka lalu berjalan menuju pintu keluar. Dari jauh Adry melihat anak yang tadi ditabraknya sedang masuk ke sebuah ruangan hemodialisa bersama seorang wanita. Sebelum anak itu masuk wanita itu terlihat memeluk dan mengusap punggungnya.

Hati Adry yang melihatnya ikut sakit. Apakah anak itu akan menjalani proses cuci darah? Sayang sekali padahal umurnya masih terlalu kecil untuk mengalami hal ini. Tanya Adry dalam hatinya.

Dua Pilihan Sulit

Raina menunggu proses cuci darah dari luar ruangan. Sesekali dia mengintip jendela ke dalam ruangan itu. Leon terlihat memejamkan matanya seperti menahan sakit. Ingin rasanya Raina menggantikan posisi putranya namun semuanya tidak bisa dia lakukan.

Tadi pagi sekali dia datang ke tempat pegadaian untuk menggadaikan sebuah cincin berlian miliknya. Cincin berlian itu telah ada di jari manisnya ketika dia terbangun dari tempat tidur. Sedangkan kotak wadah cincin itu ada di atas nakas dekat dengan lampu duduk lengkap dengan surat pembelian.

Dia tidak menyangka jika harga jual cincin itu sangat tinggi senilai tujuh puluh juta. Namun, itu belum bisa untuk mendapatkan donor ginjal untuk anaknya. Dia memerlukan banyak uang untuk mendapatkannya. Mungkin sekitar lima ratus jutaan lebih

Hanya itu peninggalan dari pria itu yang masih dia simpan. Raina bahkan tidak ingat wajahnya, hanya manik bola matanya yang dia ingat serta bentuk tatto di bawah ketiak pria itu hingga ke bagian bawah pinggang.

Apakah Raina menyesal telah melakukan perbuatan gila dengan pria itu? Jawabannya adalah tidak. Bukan karena dia membenarkan perbuatannya tetapi mendapatkan anak seperti Leon adalah sebuah anugerah. Dia mempunyai semangat hidup untuk bisa memenuhi kebutuhan anak itu sekaligus bisa membahagiakannya.

Bahunya tiba-tiba dipegang oleh seseorang. Raina yang sedang melamun tersentak.

"Hai, Ryan," sapa Raina tersenyum.

"Sedang menunggu anakmu?" tanya Rayn.

"Seperti yang kau lihat," jawab Raina menatap pintu ruangan di depannya. Dia lalu menghela nafas dan menghembuskan nafas keras.

"Andai saja darah kami sama dan ginjal kami cocok maka akan kuserahkan satu ginjalku untuknya." Mata Raina mulai berair.

"Tuhan mungkin punya cara lain agar kau bisa mendapatkan pendonor bagi Leon."

"Hanya saja kita bertarung dengan waktu. Jika seperti ini terus Leon tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi," Raina mengusap air mata dengan sapu tangan yang dia genggam dari tadi.

Dokter Ryan adalah Kakak dari Dokter Ella yang menangani Leon. Dokter Ella sendiri adalah teman karib Raina yang tahu kejadian apa saja yang menimpa wanita itu. Ryan sangat mengagumi perjuangan Raina dalam membesarkan Leon walau statusnya hanya sebagai single parent.

Pernah suatu hari dia ingin membantu biaya pengobatan Leon sewaktu anak itu masuk ke dalam rumah sakit. Dengan tegas Raina menolaknya. Dia juga pernah melamar Raina namun wanita itu tidak bersedia menerimanya karena alasan ingin fokus mengurus Leon. Ryan mengatakan jika mereka menikah maka dia akan membantu biaya Leon hal itu malah membuat Raina terluka. Jika Ryan menikahinya hanya karena kasihan melihat keadaannya dan Leon lebih baik Ryan menjauh saja dari hidupnya. Setelah itu, Ryan tidak berani lagi mendekati Raina. Mereka hanya akan saling bertukar sapa saja.

"Raina aku punya sebuah tawaran untukmu," kata Ryan. Raina melihat ke arah Ryan.

"Tawaran apa? Pekerjaan? Dengan senang hati aku akan menerimanya," jawab Raina jujur karena saat ini dia butuh pekerjaan. Pikirnya dia bisa meminta seseorang untuk menjaga Leon selagi dia bekerja.

"Pekerjaan yang sangat sulit hanya saja kau akan dapat banyak imbalan," ujar Raka. "Kau bisa meminta bayaran berapapun?"

"Pekerjaan apa itu? Menjual diri pun tidak akan mendapatkan uang semudah itu."

Ryan lalu melihat ke sekeliling.

"Kita bicara di ruanganku saja yang lebih aman."

Raina lalu berjalan mengikuti Ryan menuju ke ruangan pria itu. Beberapa saat kemudian mereka duduk saling berhadapan di sebuah sofa panjang dalam ruangan itu.

"Begini Raina. Aku mohon kau jangan tersinggung mendengar penawaranku," kata Ryan mengawali pembicaraan.

"Okey aku akan mendengarkannya lalu memutuskan apa yang akan kulakukan." Raina terlihat yakin akan mendengar pernyataan dari Ryan.

"Kau butuh uang banyak untuk menyelamatkan putramu bukan?"

"Yah," jawab Raina mengangguk ragu.

"Dan pasienku butuh seseorang yang mau menyediakan tempat bagi calon anak mereka berkembang," lanjut Ryan.

"Maksudmu?"

"Pasienku tidak bisa hamil anaknya, untuk itu dia butuh rahim seorang wanita sehat untuk perkembangan calon anaknya ke depan." Raina mengerutkan dahinya tidak mengerti.

"Kau hanya perlu hamil anak pasangan kaya itu," imbuh Ryan. Ryan menunggu reaksi Raina melihat wanita itu tidak marah dia mulai meneruskan kata-katanya.

"Setelah itu mereka akan membayar berapapun yang kau inginkan. Kau bisa gunakan uang itu untuk membeli ginjal baru bagi anakmu dan melakukan operasi terbaik di luar negeri. Lakukan ini demi Leon," bujuk Ryan.

"Kau menyuruhku hamil seorang anak dan memberikannya pada orang asing setelah anak itu dilahirkan? Breng ... sek kau! Kau pikir aku tidak punya hati terhadap anak yang telah berada dalam diriku selama sembilan bulan itu? Bahkan dia menyerap darahku untuk tumbuh!"

"Kau benar. Tapi jika kau tidak melakukannya mungkin nyawa Leon bisa tidak tertolong," ujar Ryan sedikit menakuti Raina. Hal itu berhasil karena wajah wanita itu pias seketika.

"Jangan pakai hatimu ketika kau hamil. Atau anggap saja anak itu mati," imbuh Ryan.

"Tidak akan semudah itu," kata Raina kekeh.

"Demi Leon apakah kau tidak mau berkorban?" pojok Ryan membuat Raina kembali terdiam.

"Tidakkah kau ingin melihatnya hidup normal layaknya anak yang lain? Apakah kau tega melihatnya kesakitan setiap hari? Atau bahkan menahan nyeri di sekujur tubuh setelah melakukan cuci darah?" Ryan menghela nafasnya dalam memegang kedua tangan Raina.

"Ini hanya kesempatan satu kali saja dalam hidupmu jangan sampai kau menyesalinya."

"Aku tunggu jawabanmu tiga hari lagi," ucap Ryan. Raina menatap matanya.

"Kalau begitu aku akan kembali melihat keadaan Leon," ucap wanita itu bergetar. Dia menahan air matanya agar jangan menetes hingga keluar ruangan. Setelah itu titik bening mulai berjatuhan. Raina berjalan cepat ke arah toilet rumah sakit untuk menumpahkan semua kesedihan itu.

Biasanya dia punya ibu yang bisa dia ajak berbicara mengenai masalah Leon dan mencari solusi yang tepat. Namun, sepeninggal ibunya dia seperti kehilangan arah tidak tahu harus berbuat apa. Dia kehilangan pegangan hidup.

Raina membasuh wajahnya dengan air yang keluar dari keras wastafel. Lalu melihat ke arah cermin.

"Raina kau pasti bisa melakukannya!" ucap wanita itu pada bayangan dirinya di cermin.

"Namun bagaimana ke depannya jika aku harus hamil lagi tanpa adanya pernikahan, apa yang akan Leon dan orang katakan. Tetangga pasti akan menghujatku lebih kejam. Aku bisa menahannya tetapi Leon, dia tidak bisa menahannya. Hal itu malah akan bisa membuat psikisnya makin terpuruk."

"Ya Tuhan, kau memberikan aku dua pilihan yang sulit untuk kulakukan," kata Raina.

Lama wanita itu berdiri di depan cermin memikirkan langkah apa yang akan dia tempuh, hingga akhirnya dia keluar setelah tahu apa yang akan dia lakukan ke depannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!