NovelToon NovelToon

Pendekar Tongkat Pemukul Anjing

Ep 1 - Bertemu Leluhur

Ada lima benua besar yang terhampar di daratan bumi ini. Benua tengah adalah benua yang paling luas yang di kuasai oleh kekaisaran Qin. Tidak hanya luas wilayahnya saja, namun kekaisaran Qin juga memilikki kekuatan yang paling besar di antara lima benua.

Kekaisaran Britania, menguasai benua barat, Kekaisaran Taijun menguasai benua utara, kekaisaran Dai Nippon menguasai Benua timur, dan Kekaisaran Nusantara yang menguasai Benua selatan.

Kelima Kekaisaran masing-masing mempunyai bahasanya sendiri, namun lima kekaisaran telah bersepakat, bahwa bahasa indonesia menjadi bahasa pemersatu lima benua. Walaupun tidak diketahui dengan pasti siapa yang pertama kali menggunakan bahasa ini.

Jauh di ujung selatan kekaisaran Nusantara, terpisah oleh lautan yang luas, tersebutlah sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Jawa. Tidak banyak yang menghuni pulau tersebut karena selain letaknya yang jauh dari benua Nusantara, juga ukurannya yang jauh lebih kecil dari pulau-pulau lainnya. Pulau itu hanya di huni oleh ratusan ribu orang saja yang terbagi menjadi empat kelompok penduduk, sesuai arah mata angin.

Mahisa Agni, seorang anak-anak berumur 12 tahun yang lahir dari sebuah keluarga berencana di kelompok timur Pulau Jawa. Mempunyai seorang adik perempuan bernama Rara Kencana, ayahnya bernama Mahisa Pukat, dan ibunya bernama Puspandari.

Keluarga Mahisa Agni hanyalah keluarga petani biasa, derajatnya dibawah keluarga praktisi beladiri. Sehingga tak jarang keluarga petani dianggap sebelah mata saja oleh keluarga praktisi. Bahkan sering kali seorang yang berasal dari keluarga petani, menjadi bahan hinaan dari orang-orang keluarga praktisi.

"Hentikan...!!!"

Teriak Mahisa Agni tak mampu lagi menahan amarah saat Dirjo, kawannya sesama anak petani dipermainkan oleh tiga anak-anak sepantaran Agni dari keluarga praktisi.

"Hahaha.... Apa yang kau punya berani mencampuri urusan kami hahh?" Saut Ming Yu sambil mengarahkan satu pukulan ke perut Mahisa Agni.

"Bughh"

Mahisa Agni jatuh terduduk memegangi perutnya yang bagai teraduk.

"Hanya anak petani rendahan berlagak congkak" timpal Ming Tan

"Biar kau rasakan ini" Ming Hautse menambahkan satu tendangan ke muka Mahisa Agni.

"Buaaghh"

Mahisa Agni terlempar mendekati Dirjo yang telah ambruk lebih dulu dengan muka babak belur. Sementara tak ada orang lain ditengah pasar itu yang berani ikut campur mengingat keluarga Ming adalah salah satu keluarga praktisi terpandang dari kelompok timur.

"Marilah kita pergi, hanya semut berani berlagak.. cuih..." Ming Tan meludahi muka Mahisa Agni dan berlalu pergi.

Perlakuan Ming Tan yang meludahi mukanya, membuat Agni melupakan sakit di perutnya, amarahnya benar-benar tersulut hingga membara. Jika perutnya tadi serasa bagai di aduk-aduk, kini tiba-tiba saja ia merasa suatu energi berputar di perutnya dan berpusat di pusar. Tanpa pikir panjang, Agni melompat menerjang Ming Tan yang membelakanginya.

"Hiiiiaaaatttt" teriak Agni keras menggelagar.

"BAAAGGGHHH"

Satu pukulan mendarat di pundak kiri Ming Tan membuatnya tubuhnya melayang berputar-putar dan terlempar belasan langkah.

"Apa...????? Kurang ajar....!!!"

Ming Hautse yang terkejut tak percaya melihat Ming Tan mendapatkan pukulan dari Agni hingga terlempar. Ming Tan menjadi sangat murka, dengan spontan ia segera meloncat dan memberikan tendangannya kepada Agni. Sementara Agni sendiri juga terkejut dengan tindakannya, masih terengah-engah seolah kehabisan tenaga. Tak pelak, kaki Ming Hautse mendarat didadanya dan membuat roboh. Ming Yu pun tak tinggal diam, dihajarnya Agni yang sudah roboh itu.

Selanjutnya, Agni yang telah roboh, mendapat tendangan bertubi-tubi dari Ming Hautse dan Ming Yu, seluruh tubuhnya dihujani tendangan, saat sebuah tendangan mendarat di tengkuknya, Agni pun pingsan tak sadarkan diri.

_____

Perlahan Agni membuka matanya. Masih dalam posisi terbaring, Agni mengedarkan pandangannya. Hanya nampak langit yang biru cerah namun tak menyilaukan. Benar-benar biru tanpa setitikpun awan. Bahkan matahari yang seharusnya menjadi sumber cahaya juga tak terlihat di birunya langit saat itu.

Saat ia menyadari bahwa ia tengah berbaring di atas rumput, Agni merasakan kenyamanan luar biasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rumput yang menjadi alas berbaringnya, terasa begitu lembut hingga membuat Agni tak ingin bangkit dari rebahnya.

Namun setelah beberapa saat menikmati kelembutan rumput itu, Agni menyadari keadaannya dan bangkit terduduk. Sejauh mata memandang, hanya pada rumput tanpa batas hingga membentuk garis cakrawala di ujung penglihatannya.

"Dimanakah aku ini? Tempat ini nyaman sekali, bagaimana aku bisa ada disini"

Agni memejamkan mata dalam buaian angin semilir yang berhembus menerpa tubuhnya. Ingatannya bekerja menelusuri kembali apa yang terjadi sebelum ia berada di tempatnya saat ini.

Ia masih jelas mengingat bahwa ia sedang bertahan dari tendangan-tendangan Ming bersaudara.

Agni kembali membuka matanya, ia menatap sebuah titik sinar kecil yang berada sedikit di atas garis cakrawala. Semakin lama titik sinar itu semakin membesar hingga seukuran matahari. Cukup menyilaukan tapi tak sampai membuat matanya terpejam. Sinar itu semakin membesar bahkan beberapa kali lebih besar dari matahari. Kini sinar itu tampak seperti sebuah lorong cahaya ditengah langit.

Dari dalam lorong cahaya, terlihat sesuatu yang bergerak seolah hendak keluar dari lorong cahaya tersebut. Dan benar saja, seseorang yang belum jelas terlihat wujudnya, melayang keluar dari lorong cahaya kemudian perlahan turun ke bawah mendekat ke arah Agni.

Kini jelas di pandangan Agni, seorang pria tua mengenakan baju hijau putih melayang turun mendekatinya dengan berdiri di atas bunga teratai yang berwarna keemasan. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat berwana hijau tua bermotif bambu dan tangan kirinya bersilang di belakang punggung.

Disetiap ujung kain bajunya, dihiasi garis-garis berwarna keemasan. Seluruh rambutnya telah memutih, begitu pula alis matanya yang menjuntai disamping kedua pipinya. Jenggotnya lebat panjang hingga ke depan dadanya.

"Selamat datang cucuku"

Agni terkejut orang berjubah putih itu memanggilnya cucu, namun kini Agni menyadari bahwa dirinya sedang berada di dunia lain yang berbeda dengan dunia yang ia tempati sebelumnya. Entah berada dimana dia saat ini, di dunia mimpi kah, atau mungkin dia telah mati dan sekarang telah berada di nirwana, mengingat terakhir kali dia sedang menerima tendangan-tendangan Ming bersaudara.

"Cucu memberi hormat Eyang, namun sebelumnya cucu mohon maaf, apakah boleh cucu bertanya?"

"Hmmmm.... Eyang...? Boleh juga"

Kata pria tua berbaju hijau itu sambil mengangguk mengelus jenggotnya sebagai isyarat agar Agni melanjutkan kalimatnya.

"Dimanakah ini Eyang, dan siapakah Eyang ini?" Tanya Agni.

Orang tua itu membusungkan dadanya sambil tetap mengelus jenggotnya kemudian menjawab pertanyaan Agni.

"Hahaha... Engkau sedang tidak berada dimana-mana Cucuku, dan aku adalah leluhurmu generasi pertama, engkau adalah keturunanku yang ke sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan"

Kembali Agni terkejut mendengar penjelasan pria tua berbaju hijau itu. Dia tak menyangka bisa berjumpa dengan leluhurnya. Memang kabar yang ia dengar, bahwa para praktisi beladiri biasa melakukan pengolahan tenaga yang disebut kultivasi, baik itu tenaga luar, tenaga dalam, maupun tenaga mental. Dan seorang kultivator bisa pergi ke alam lain, atau menemui leluhurnya yang telah lama meninggal.

Akan tetapi, Agni sama sekali tak memahami hal tersebut, selama ini dia hidup sebagai anak petani, kisah-kisah dari ayah dan kakeknya mengatakan bahwa leluhur Mahisa Agni memang hidup sebagai petani, tak pernah sekalipun ayah atau kakeknya yang menyebutkan bahwa terdapat praktisi beladiri atau kultivator dalam garis leluhurnya.

Sehingga tak pernah ada cerita bahwa ayah atau kakeknya bisa berjumpa kembali dengan leluhurnya yang telah meninggal. Pikir Agni, kondisi yang paling memungkinkan bagi dirinya untuk bertemu dengan leluhur hanyalah ketika di dalam mimpi atau ketika orang telah mati.

Selain itu, Agni juga keheranan, dia adalah orang jawa dengan ciri fisik bangsa nusantara yang berkulit sawo matang. Namun pria yang mengaku leluhurnya itu, walau hanya terlihat dari muka dan punggung tangan karena ia mengenakan baju berlengan panjang, namun jelas memilikki kulit berwarna putih. Dan pria tua itu juga memilikki mata yang sipit, mirip ciri fisik orang Tiongkok.

"Ampun Eyang leluhur, cucu benar-benar mohon maaf. Apakah ini hanya sebuah mimpi, atau apakah cucu sudah mati hingga dapat bertemu Eyang leluhur?" Tanya Agni pada Eyang Mahisa.

"Ompan ampun moaf maaf, setel kendor saja napa sih Cu.... Apa aku nampak akan memakanmu?"

"Ampun Eyang... Maksud Cucu..."

"Bluugh" belum selesai Agni berbicara, tongkat yang dipegang pria tua itu melayang dan memukul pantat Agni.

"Aadduuuhhh.... Sakit Eyaaaang...." Keluh Agni sambil mengelus-elus pantatnya yang kesakitan.

"Hahaha... Sudah kubilang jangan ompan-ampun mulu" ujar Pria tua itu.

"Iya ..iya Eyang... Tapi Eyang, benarkah engkau leluhurku, sepertinya engkau orang keturunan Tiongkok, sedangkan aku adalah orang jawa" tanya Agni selanjutnya.

"Hahahaha.... Apakah menurutmu itu tidak mungkin?" Pria tua itu bertanya balik.

"Bagaimana kalau kakek buyutnya nya kakek buyutmu mengawini gadis jawa, trus kakeknya kakek buyutmu mengawini gadis jawa, terus ayahnya kakek buyutmu mengawini gadis jawa, trus, trus kakek buyutmu mengawini gadis jawa, terus kakekmu mengawini gadis jawa, trus...."

"Udah udah Eyang, iya aku mengerti, jangan diteruskan" potong Agni yang kemudian kembali berteriak kesakitan dan meloncat memegang pantat karena tongkat pria itu kembali memukul pantatnya.

"Dasar bocah nakal, orang tua sedang bicara main potong-potong saja" kata pria tua itu.

"Aduuuh... Sakit Kek, abisnya panjang banget sih" keluh Agni, kini ia telah memahami bukan tidak mungkin leluhurnya itu adalah orang Tiongkok.

"Kalau begitu Eyang, sebenarnya dimana ini?" Tanya Agni kemudian.

"Hahaha... Engkau sedang berada di alam jiwamu Cu" jawab Pria tua itu.

"Apa Eyang, alam jiwa???" Agni terkejut.

"Iya... Kenapa... Kaget?"

"Bukan begitu Eyang, Aku pikir hanya kultivator yang bisa memasuki alam, lainnya, sedangkan aku hanya seorang anak petani" lanjut Agni.

"Hahaha, mau anak petani, mau anak bangsawan, mau raja dan kaisar sekalipun, semuanya sama saja Cucuku. Mempunyai tubuh yang sama, modal yang sama"

"Benarkah Eyang?"

"Aku tanya kau Cu, apa yang kau makan? Nasi kan? Apa kau pikir mereka makan besi? Hahaha...."

"Tapi bukankah mereka memang bisa makan besi Eyang" tanya Agni.

"Hahaha... Kau benar, tapi setelah menaikkan ilmunya, dan kaupun juga bisa jika kau mau berlatih"

"Berlatih, bisakah Eyang, aku mau Eyang... Aku mau..." Teriak Agni bersemangat.

"Hahaha... Persiapkan dirimu, kau akan menemukan kitab beladiri terkuat dan terbaik sepanjang masa. Hahaha....."

"Kitab beladiri?"

"Hahaha... Sudahlah, aku mau pergi dulu, kau belajarlah dengan tekun dengan kitab yang akan kau temukan itu, aku nanti akan menemanimu. Hahaha..." pungkas pria tua itu sembari terus tertawa dan mulai bergerak melayang di atas bunga teratai emasnya.

"Tunggu Eyang, engkau belum menyebutkan namamu" ujar Agni.

"Namaku, Chua Pek Dong"

"Siapa Eyang, capek dong? Apa mau aku pijat?" Kata Agni sambil menahan tawa yang membuat kedua pipinya mengembung.

Namun hanya sesaat, karena tongkat pria tua yang bernama Chua Pek Dong itu, telah melayang dan memukuli pantat Agni, sementara Chua Pek Dong terus melayang kembali ke lorong Cahaya yang masih berada di langit itu.

Ep 2 - Menemukan Tongkat

Agni dan Dirjo hidup bertetangga, rumah keduanya bersebelahan. Hanya terpisah oleh halaman yang dibatasi dengan pagar bambu setinggi orang dewasa.

"Jangan macam-macam dengan mereka Agni, mereka hanya menganggap kita bagai seekor semut, tidak ada yang akan membelamu jika engkau celaka" kata Mahisa Pukat, ayah Agni, setelah beberapa waktu Agni tersadar dari pingsannya.

Memang anak-anak muda para kultivator itu seringkali menindas anak-anak petani atau orang biasa lainnya. Tak jarang bukan hanya anak sepantaran mereka yang jadi sasaran, bahkan orang-orang yang jauh lebih tua.

Beruntung Agni dan Dirjo tidak dibuat kehilangan nyawa. Tiga anak keluarga Ming itu akhirnya berlenggang meninggalkan keduanya dalam keadaan pingsan dan babak belur.

Keadaan Agni lebih parah dari pada Dirjo. Bahkan memar dan lebam di tubuh Agni, jauh lebih banyak daripada yang diterima Dirjo. Namun anehnya, hanya dalam beberapa hari saja luka-luka ditubuh Agni, sama sekali telah hilang tak berbekas. Sedangkan Dirjo, walaupun sudah bisa beraktivitas seperti biasanya, namun masih nampak bekas luka pukulan atau goresan di kulitnya. Dan kadang-kadang masih terasa sakit ketika melakukan gerakan tertentu.

"Ajaib sekali Agni, lukamu tak berbekas sama sekali" kata Dirjo yang pagi itu sedang bersama Agni duduk di atas batu sebesar gajah di pinggiran sungai. Mereka berencana mengambil wuwu (perangkap ikan) yang telah mereka pasang beberapa hari lalu sebelum di hajar Ming bersaudara.

"Itu karena lukaku aku oles pake mustika ratu Jo. Hehehe..." Jawab Agni asal.

Sebenarnya yang tidak disadari orang-orang, bahkan oleh Agni sendiri. Pukulan dan tendangan Ming bersaudara kepadanya, secara tidak sengaja telah membuka titik-titik meridian yang berada di tubuh Agni. Sehingga terbukanya titik meridian itu, membantu tubuh Agni untuk bisa segera pulih dari luka-lukanya.

Hal tersebut telah lumrah dikalangan kultivator. Bahkan jika seorang kultivator melatih energi Qi nya ke tingkatan yang lebih tinggi, hanya butuh beberapa saat saja untuk kembali menyembuhkan tubuhnya yang terluka. Akan tetapi, bagi orang biasa, hal tersebut sungguh tidak biasa, oleh sebab itu Dirjo merasa heran dengan luka-luka Agni yang telah pulih.

"Mustika ratu apaan, paling salep kulit 88" seru Dirjo kesal, karena tahu, Agni hanya membual saja.

"Hahaha...di bilangin ga percaya"sahut Agni.

"Susah untuk mempercayaimu"

Setelah bicara, Dirjo hendak mengubah posisi duduknya di atas batu besar itu dengan bertumpu kedua tangannya, tapi tiba-tiba saja dia berteriak kesakitan.

"Aduuuh...duh..duh...."

"Brugh"

Dirjo jatuh dari atas batu tempat mereka duduk.

"Kenapa kamu Jo" Agni menyusul turun dan menolong Dirjo.

"Sialan, pergelangan tanganku masih sakit akibat ulah Ming bersaudara itu" rupanya Dirjo jatuh karena saat hendak berpindah posisi dengan bertumpu pada tangannya, ia merasakan sakit di pergelangan tangan sehingga membuatnya kehilangan keseimbangan.

"Andai aku punya kekuatan, ingin kuremukkan tulang-tulang mereka" Dirjo tertunduk dengan urat wajah yang mengeras menahan amarah.

"Tenang saja Jo, aku janji akan menghapus penindasan mereka" tiba-tiba saja Agni berkata demikian sembari mengepalkan tangannya.

Sesungguhnya yang dirasakan Agni, jauh lebih membuat dadanya bergemuruh daripada yang dirasakan Dirjo. Pukulan dan tendangan Ming bersaudara tidak terlalu dipikirkan Agni, tapi mengingat Ming Tan yang meludahi mukanya, sungguh sangat menyakiti hatinya.

"Jangan asal bicara kau Ag, kerasukan iblis mana dirimu?" Sahut Dirjo.

"Eh... Lho... Hahaha...." Agni hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal setelah menyadari apa yang diucapkannya.

"Sudahlah, tunggu disini, aku akan mengambil wuwu itu, sudah beberapa hari wuwu itu bersarang, pasti kita dapat banyak ikan" kata Agni kemudian sembari melangkah menuruni tepian sungai.

Saat langkah kaki Agni telah menyentuh air dan hendak mengambil wuwu yang dipasangnya, tiba-tiba saja pijakan kakinya kehilangan keseimbangan karena bertumpu pada sebuah batu yang licin. Tak ayal, Agni jatuh kedalam aliran sungai, dan yang tak terduga disaat itu, aliran air menjadi beberapa kali lipat lebih besar dari biasanya. Agni terseret arus sungai, ia mencoba menggerakan tangan dan kakinya untuk berenang ke tepian, namun sekuat-kuatnya ia mencoba, arus sungai terlalu besar baginya. Sehingga membuatnya berkali-kali masuk kedalam air.

"Agniiii.... Agniii.... Tolooong... Agniii tenggelam... Tolooong" teriak Dirjo yang melihat Agni terseret arus sungai yang tiba-tiba membesar.

Sementara Agni masih berjuang untuk berenang ke tepian, air sungai telah memasuki rongga tenggorokanya hingga membuatnya kesulitan untuk bernafas.

"Toloooong..... Tolooong.... Agniii...." Dirjo masih terus berteriak, beberapa orang yang kebetulan berada didekat tempat itu, mendekat karena mendengar teriakkan Dirjo. Orang-orang itu melihat Agni yang sedang timbul tenggelam di tengah sungai, orang-orang itu hendak menolong Agni, namun melihat arus sungai yang tiba-tiba saja berkali lipat lebih besar dari biasanya, mereka jadi ragu.

Kini Agni tengah berada di dalam air dengan arus sungai yang kian membesar. Ia menahan nafas sekuat-kuatnya, tenaganya telah terkuras habis setelah beberapa waktu mengerahkannya untuk berenang. Nafas terakhir telah ia lepaskan, rongga pernafasannya kini penuh dengan air. Kesadarannya semakin menipis. Namun sesaat sebelum kesadarannya hilang, ia melihat sebuah benda seperti tongkat berwarna kehijauan, muncul dari dasar sungai. Benda itu bergerak ke arahnya, ketika beberapa jengkal saja benda itu telah sampai padanya, Agni telah kehilangan kesadaran.

Hingga beberapa saat lamanya, arus sungai tak kunjung mereda. Sementara Dirjo masih terus berteriak-teriak memanggil nama Agni.

Semakin banyak orang yang berkumpul di tempat tenggelamnya Agni. Namun belum ada satupun yang terjun ke sungai untuk menolong Agni, yang telah beberapa waktu dan belum nampak muncul ke permukaan.

Hingga kurang lebih 15 menit lamanya,

Arus sungai berangsur mereda. Beberapa orang mulai menyelam untuk mencari Agni yang tenggelam. Ketika arus sungai telah mereda sepenuhnya seperti biasa, semakin banyak orang yang terjun untuk mencari keberadaan Agni. Setengah jam sejak Agni tenggelam, pencarian tak kunjung menunjukkan hasil.

Dari kejauhan, kedua orang tua Agni beserta adiknya berlari mendekati sungai.

"Agnii... Tidak... Agniii... Di mana kamu Naaaak.... Agniiii..." Teriak ibu Agni sambil menangis.

"Kakaaaaang..... Kaaaaaaang Agniiiii...." Adiknya ikut pula memanggil-manggil.

Sementara Ayah Agni, begitu sampai di tepian sungai telah langsung terjun dan menyelam untuk ikut mencari keberadaan Agni.

Lebih dari dua jam Ayah Agni dan belasan orang lainnya menyelam, namun Agni tak kunjung ditemukan. Satu persatu para penyelam mulai naik ke tepian sungai. Mereka ragu dapat menemukan keberadaan Agni setelah mencari sekian lamanya.

"Kisanak, tolong anakku kisanak... Tolong cari anakku kisanaaaaakkk...." Pinta Ibu Agni kepada orang-orang yang ada disitu sambil menangis.

"Sabarlah Nyi, semoga Tuhan memberikan bantuanNya" hibur seorang tetangganya.

Hingga beberapa saat lamanya, semua penyelam telah naik ke tepian sungai, lebih dari dua jam mereka berendam dalam air sungai hingga membuat keriput di telapak tangan dan kakinya.

Namun hanya satu orang yang masih bertahan untuk terus mencari, Ayah Agni masih terus menyelam untuk mencari keberadaan putranya itu.

"Sudahlah Ki Pukat, marilah naik dulu, biarlah nanti kita cari anakmu lagi" teriak salah satu tetangganya karena mengkhawatirkan Ki Pukat jika terlalu lama didalam sungai. Namun Ayah Agni seolah tak mendengar teriakan itu.

Akhirnya beberapa orang kembali terjun ke sungai untuk membujuk ayah Agni agar naik ke tepian. Setelah sekian lama menyelam, Ayah Agni pun telah banyak kehabisan tenaga dan tubuhnya kedinginan pula. Akhirnya ia tak kuasa menolak ketika beberapa orang merangkulnya dan membawanya berenang ke tepian.

_____

Sesungguhnya Agni telah jauh meninggalkan sungai tempat ia tenggelam. Tongkat berwana hijau yang dilihatnya sebelum pingsan tadi, hanya membantunya untuk mengambang saja. Bahkan tubuh Agni yang belum tersadarkan itu, telah dua kali menuruni air terjun. Dan setiap kali terjun, tongkat itu kembali menopang tubuh Agni untuk tetap mengambang.

Hingga beberapa jam lamanya, akhirnya tubuh Agni menepi pada sebidang dataran ditepian sungai. Terlihat dadanya masih naik turun walau tidak teratur. Menunjukkan bahwa Agni masih bernafas. Sejenak kemudian, Agni tersadar setelah terbatuk-batuk mengeluarkan sisa air yang masih tertinggal di rongga pernafasannya.

"Dimana aku?"

"Tongkat ini"

Agni telah sadar sepenuhnya, kini ia berada di tengah hutan. Tongkat hijau yang menolongnya mengambang, berada di sebelahnya. Agni masih ingat terakhir kali tongkat itu datang mendekat kepadanya.

Hari telah siang benar, Agni telah sepenuhnya sadar. Ia merasakan beberapa bagian tubuhnya terasa perih. Rupanya memar-memar dan goresan-goresan luka telah menghiasi kulitnya, mungkin ketika ia terhanyut, tubuhnya menabrak batu-batu padas yang agak tajam.

Agni berkisar untuk mencari tempat yang lebih nyaman, tak lupa ia membawa tongkat hijau bermotif bambu yang telah menolongnya. Agni melepas pakaiannya yang basah dan menjemurnya di atas batu padas. Kemudian ia duduk bersila dan merenungi tongkat hijau bermotif bambu yang kini ada di tangannya.

"Tongkat ini, mirip sekali sekali dengan tongkat Eyang Chua Pek Dong dalam mimpiku" kata Agni.

Setelah tersadar dari pingsannya karena dihajar Ming bersaudara, Agni masih meyakini bahwa pertemuannya dengan Eyang Chua Pek Dong, hanya sebuah mimpi. Sehingga selama beberapa hari, ia tak lagi memikirkan pertemuannya dengan orang yang mengaku sebagai leluhurnya itu.

Namun tongkat yang berada di tangannya saat ini, membuatnya kembali memikirkan tentang Eyang Chua Pek Dong. Agni jadi meragukan pertemuannya dengan orang tua itu, benar-benar didalam alam jiwa atau sedang bermimpi.

Saat Agni sedang merenung, tiba-tiba saja tongkat itu mengeluarkan cahaya kehijauan, namun hanya sekejap sebelum kemudian cahaya itu hilang kembali. Hal itu cukup membuat Agni terkejut dan secara reflek melemparkan tongkat itu.

"Cucu sialan, sudah ditolong bukannya berterima kasih malah main lempar"

Suara yang bersumber dari tongkat hijau itu membuat Agni terkejut, namun Agni merasa pernah mendengar suara itu. Apalagi suara itu menyebut dirinya Cucu.

"Eyang Chua Pek Dong, kau kah itu?" Tanya Agni.

"Siapa lagi bocah edan, sayang aku tak punya cukup kekuatan, kalau tidak, sudah pasti ku gebuk pantatmu itu" kata suara itu lagi.

"Hehe... Maafkan aku Eyang. Baiklah, aku berterima kasih Eyang telah menyelamatkanku, tapi Eyang, berarti mimpiku...eh...saat itu, apakah aku benar-benar di alam jiwa?"

"Saat ini kau bicara denganku, apa kau pikir aku bohong?"

"Hehe...iya...iya... Kalo gitu, mana kitab terkuat yang kau janjikan itu Eyang?"

"Cari...!!! enak saja minta-minta" kata Chua Pek Dong.

"Lho, bukankah kau yang mengatakan aku akan mendapatkan kitab beladiri terkuat itu" tanya Agni.

"Apa aku pernah mengatakan akan memberimu? Aku hanya bicara akan menemanimu"

"Sudahlah, aku mau tidur, tapi sebelumnya aku beri tahu, nama tongkat ini adalah Tongkat Pemukul Anjing, aku...." Chua Pek Dong terhenti karena perkataanya dipotong oleh Agni.

"Tongkat pemukul Anjing? Ga ada nama yang bagusan lagi Eyang?" Tanya Agni sambil menahan tawa.

"Hhhiiihhhhh.... Orang tua bicara kau main potong saja, dasar cucu sialan. Benar-benar ingin ku gebuk pantatmu itu"

"Hehe...maaf Eyang, habisnya nama tongkat itu ....mmhhh"

"Asal kau tahu, dalam dunia persilatan, tongkat ini adalah salah satu pusaka terkuat yang paling dicari, aku telah bersusah payah menggunakan hampir seluruh kekuatanku untuk menutup aura tongkat ini. Dengarkan...!!!" Chua Pek Dong menghentak suaranya agar Agni tak lagi memotong penjelasannya.

"Iya...iya Eyang..."

"Aku rela melepaskan aura tongkat ini demi memukul pantatmu jika engkau memotong perkataanku lagi" ancam Chua Pek Dong.

"Dengarkan...!!! dalam kekuatan penuhnya, tongkat ini bisa meruntuhkan Gunung, membelah bumi dan mengeringkan lautan, itu sebabnya aku menggunakan hampir seluruh kekuatanku untuk menyembunyikan aura tongkat ini. Jika tongkat ini jatuh ke tangan yang salah, pasti akan membawa kekacauan di dunia, kau mengerti"

"Iy...iya Eyang" Agni mengangguk.

"Tongkat ini akan bekerja sesuai tingkatan ilmu pemegangnya. Karenanya kau harus menemukan kitab itu untuk bisa mengendalikan tongkat ini sepenuhnya"

Mendengar penjelasan Chua Pek Dong, Agni bangkit dari duduknya. Dalam keadaanya yang telanjang dan hanya mengenakan ****** *****, Agni berdiri membusungkan dada dengan mengepalkan tangan dan mendongak keatas kemudian berkata penuh semangat.

"Baiklah Eyang, Agni janji... Agni akan menemukan kitab itu dan akan menjadi pembela kebenaran, Agni akan menumpas kejahatan di muka bumi ini seperti kesatria baja hitam"

"Hahahaha.... Lagakmuuu... Dasar cucu edan... Tapi aku suka... Hahahaha..." Walaupun Chua Pek Dong tak berwujud manusia, ia bisa melihat tingkah Agni itu dan membuatnya tertawa.

"Baiklah, aku akan tidur hingga beberapa lama, hanya sekali-sekali saja aku dapat berbicara denganmu. Karena semakin lama aku bicara, kekuatan untuk menyembunyikan aura tongkat ini akan semakin melemah, aku pergi"

"Eh, tunggu, aku lupa memberi tahu. Meridian mu telah terbuka di beberapa titik, seharusnya kau berterima kasih pada anak-anak yang memukulimu itu, justru karena pukulan mereka dantianmu dan beberapa titik meridianmu telah terbuka" terang Chua Pek Dong.

"Benarkah Kek, lalu, bagaimana aku memanfaatkannya"

"Berkonsentrasi lah untuk memusatkan tenagamu pada titik dantianmu di bawah perut. Aliran qi dalam tubuhmu akan menuntunmu menemukan letak titik meridian dalam tubuhmu. Titik yang telah terbuka saat ini, bisa membantumu untuk menyembuhkan luka-lukamu. Sudahlah, sementara ini dulu, aku harus pergi"

Lepas berkata seperti itu, tongkat pemukul anjing kembali berkedip mengeluarkan cahaya kehijauannya.

Agni kemudian meraih tongkat itu dan mamandanginya lebih seksama.

"Apa benar tongkat ini sekuat itu"

Kemudian ia mencoba mengayun-ayunkan tongkat itu. Agni merasakan perih di beberapa sendi-sendinya saat mengayunkan tongkat tersebut. Kemudian Agni pun duduk bersila untuk mencoba melakukan apa yang dikatakan Chua Pek Dong tadi.

Ep 3 - Benarkah Kitab Ini...???

Ada ratusan titik meridian dalam tubuh manusia. Sejak dilahirkan, semua titik meridian terbuka sempurna, sehingga aliran qi yang beredar bisa berjalan dengan lancar. Untuk menjaga agar titik meridian tetap terbuka sempurna, seseorang harus melakukan latihan-latihan tertentu dengan berbagai metode, baik itu latihan fisik maupun mental.

Namun hampir tidak mungkin seorang manusia bisa menjaga titik meridiannya agar tetap terbuka sempurna. Seorang bayi yang baru dilahirkan, belum bisa mengendalikan fisik dan mentalnya hingga beberapa tahun ke depan, akibatnya, sebagian besar titik meridian menjadi tidak lancar bahkan hingga benar-benar tersumbat.

Tanpa disengaja, titik dantian dan beberapa titik meridian yang ada dalam tubuh Agni, terbuka karena pukulan-pukulan Ming bersaudara. Dantian dan titik meridian yang terbuka itu telah membantu Agni mempercepat masa penyembuhan luka di tubuhnya. Agni merasakan sesuatu yang berbeda ketika ia melakukan meditasi seperti yang dikatakan Chua Pek Dong.

"Benar yang dikatakan Eyang Chua Pek Dong, aku merasakan suatu energi mengalir di bawah pusarku"

Ia terus melakukan meditasinya di balik sebuah batu hitam besar tempat pakaiannya dijemur. Semakin lama, Agni semakin bisa merasakan aliran energi di bawah pusarnya itu. Agni mencoba untuk mengalirkan energi itu dengan memusatkan pikiran.

Karena masih asing dengan sensasi energi itu, Agni masih belum bisa mengalirkannya, bahkan Agni masih kesulitan untuk sekedar menggerakannya saja. Aliran energi itu hanya berputar-putar di bagian bawah pusarnya.

Agni tak menyerah, ia semakin memusatkan pikiran. Usahanya tak sia-sia, perlahan-lahan putaran energi itu semakin membesar ke bagian lain dalam organ tubuhnya. Agni mulai merasakan ratusan jalur yang bercabang-cabang sebagai jalan aliran energi itu.

Dengan sepenuh konsentrasi, Agni mencoba mengalirkan energi itu ke jalur-jalur yang bisa ia jangkau. Agni bisa merasakan beberapa aliran energi mengalir dari bawah pusarnya ke bagian atas tubuhnya hingga ke bagian kepala. Kemudian energi itu terus melaju dan turun melewati bagian belakang tubuhnya, hingga kembali ke satu titik di bawah pusar bagian belakang tubuhnya.

Begitu juga dengan aliran yang menuju bagian bawah, dari bawah pusar, mengalir ke telapak kaki, dan kembali ke titik bagian belakang tubuhnya.

Dari ratusan cabang jalur yang ada, Agni hanya bisa mengalirkan energinya ke sebagian kecil saja. Sebagiannya sedikit tersumbat dan sebagian besar lainnya berhenti di tengah jalan. Meskipun begitu, bagi Agni yang hanya seorang anak petani, hal tersebut sungguh sangat berarti baginya.

Setelah bersemedi beberapa lama, Agni merasa tak mampu lagi untuk membuka jalur-jalur yang lainnya. Ia pun menyudahi meditasinya. Saat Agni membuka mata, rupanya hari telah menjelang sore. Tanpa ia sadari, tubuhnya telah basah oleh keringat. Luka-luka ditubuhnya hanya meninggalkan bekasnya saja, rasa sakit yang tadi ia rasakan hampir hilang sama sekali.

"Luar biasa, apakah benar ini efek energi qi ku?" Tanya Agni dalam hatinya.

Agni segera meraih pakaiannya dan mengenakannya. Saat Agni memakai alas kakinya, ada sesuatu yang tersangkut di tali pengikatnya.

"Apa ini, aneh sekali bentuknya"

Benda yang ditemukan Agni tersangkut di tali alas kakinya itu berwujud seperti rumput laut, namun memiliki warna biru tua berkilauan seolah-olah seperti sebuah batu giok, namun bertekstur kenyal. Untung saja Agni membawa sebuah kantong yang selalu berada di ikat pinggangnya.

"Biarlah aku simpan dulu, siapa tahu ini berguna"

"Sudah sore, aku harus segera keluar dari hutan ini"

Sebagai anak petani yang baru berusia 12 tahun, Agni terbilang cukup cerdas dan pemberani. Walau hanya seorang petani, namun Ayah Agni juga seorang pemburu. Telah cukup sering Agni mengikuti ayahnya untuk berburu ditengah hutan, oleh sebab itu Agni tak merasa takut dengan keadaannya saat ini. Namun akan cukup mengkhawatirkan jika hari sudah gelap dan ia masih berada di tengah hutan.

Agni segera melangkahkan kakinya menyusuri hutan itu dengan membawa tongkatmya. Ayahnya telah mengajarkan tanda-tanda tempat yang mungkin dihuni atau menjadi area berburu binatang buas. Sebenarnya tempat ia meditasi di tepian sungai tadi, termasuk lokasi area berburu para binatang buas, namun saat itu Agni tak terpikirkan sama sekali. Beruntung tak ada macan atau harimau yang mendatanginya.

Ditengah perjalanan, ia mengambil beberapa buah-buahan yang tumbuh liar untuk mengisi perutnya. Agni sempat bertemu rusa, kancil dan beberapa ekor kelinci, namun Agni tidak berusaha memburu mereka, karena saat itu Agni tidak membawa senjata berburunya

Setelah berjalan hampir satu jam lamanya, ia telah berada di tepian hutan.Rupanya hutan itu bukanlah hutan yang terlalu dalam, pantas saja Agni tak menemui hewan buas. Kini Agni telah berjalan di atas padang rumput yang cukup luas. Selama berjalan, ia terus merenungi apa yang dialaminya beberapa hari ini, juga tentang dantian, titik meridian dan energi qi nya.

Saat matahari telah berwarna kemerahan, Agni telah sampai di sebuah bulak sawah, pertanda bahwa ia telah semakin dekat dengan satu pemukiman.

Dari kejauhan, ia melihat sebuah gubug yang bertiang agak tinggi di tengah sawah. Gubug yang biasa dipakai para petani untuk sekedar beristirahat disiang hari sambil menghalau burung yang akan mematuk biji padi mereka.

"Sebaiknya aku bermalam di gubuk itu, dari pada aku menemui masalah jika masuk desa malam hari"

Agni memperlambat langkahnya untuk menunggu matahari semakin rendah, sembari memastikan para petani yang mungkin masih ada di sawah itu telah kembali ke rumahnya. Saat matahari tinggal sepucuk saja dibalik gunung, Agni mengarahkan langkahnya menuju gubuk ditengah sawah.

Sejenak kemudian ia telah menaikki tangga gubuk itu bertepatan dengan tenggelamnya matahari.

"Malam akan panjang, tak ada yang bisa aku lakukan, sebaiknya aku kembali melatih aliran energi itu"

Agni duduk bersila didalam gubug kemudian mulai memusatkan pikiran untuk merasakan kembali sebuah energi yang berada di bawah pusarnya.

Pada umumnya, teknik berkultivasi cukup sulit dan hanya di ajarkan dalam sekte atau perguruan-perguruan beladiri. Namun tidak sembarang orang bisa menjadi murid dalam sekte tersebut. Biasanya, murid-murid dalam suatu sekte masih ada hubungan kekeluargaan, atau orang luar yang mendapat rekomendasi dari praktisi ahli yang telah dikenal. Oleh sebab itu tidak mudah bagi orang biasa seperti Agni atau para petani lainnya, untuk menjadi murid pada satu sekte. Namun kadangkala suatu sekte juga membuka pendaftaran murid baru dengan seleksi yang sangat ketat.

Tingkat kesulitan kultivasi bergantung pada basis kultivasi dan bakat alami serta bawaan fisik seseorang. Semakin buruk bakat dan bawaan fisik seseorang, maka semakin sulit baginya untuk berkultivasi.

Tanpa disadari oleh Agni, sebenarnya Agni mempunya basis kultivasi yang tinggi serta bakat alami dan bawaan fisik yang sangat baik. Sedikit arahan dari Chua Pek Dong kemudian ditambah pengalaman ia berburu, dimana harus mengatur nafas untuk menyembunyikan diri dari binatang buas, telah membantunya untuk menyadari titik dantian di bawah pusarnya.

Meditasi yang Agni lakukan tadi siang, adalah tahap pemurnian qi, atau biasa juga disebut qi. Energi Qi yang mengalir dari dantian depan menuju dantian belakang pada tubuh Agni, telah membantunya memulihkan stamina, menyembuhkan lukanya, serta meningkatkan kekuatan jiwa dan mentalnya.Namun Agni tidak menyadari semua itu.

Setelah hampir tiga jam meditasi, Agni kembali membuka matanya. Tubuhnya telah bercucur keringat, bukan keringat biasa, bahkan Agni merasa bau keringatnya lebih menyengat dari biasanya. Namun dari raut muka Agni, terpancar jelas rasa puas setelah melakukan meditasi.

"Luar biasa, kekuatan apakah ini" kata Agni yang merasakan peningkatan kekuatan pada tubuhnya.

Agni beristirahat sejenak kemudian memakan sisa buah yang ia petik di hutan tadi sambil terus merenungkan tentang meditasinya. Setelah selesai dengan makannya, Agni kembali bermeditasi hingga tengah malam. Ketika usai dari meditasinya, keringat yang bercucuran ditubuh Agni, berbeda dengan sebelumnya. Keringatnya kini lebih kental dan berwana agak kehitaman. Agni juga merasakan bau yang sangat tidak sedap dari tubuhnya. Namun karena malam telah semakin dalam, dan pagi hanya tinggal beberapa jam lagi. Agni mengacuhkan bau tubuhnya dan merebahkan diri untuk beristirahat.

Ketika semburat merah telah menghias langit, dan samar-samar terdengar kokok ayam, Agni terjaga dari tidurnya. Dipagi yang masih buta itu, Agni turun dari gubug dan mencari sungai untuk membersihkan tubuhnya. Dengan mengikuti aliran air yang mengairi persawahan itu, tak sulit bagi Agni untuk menemukan sebuah sungai.

"Sepertinya sungai ini terusan dari sungai didalam hutan itu" kata Agni.

Setelah mendapatkan tempat yang dirasa cukup aman, Agni membersihkan dirinya dengan mandi disungai tersebut.

"Air sungai ini tak terlalu dingin seperti biasanya, apa mungkin karena energi itu?" Pikir Agni.

Sebenarnya tanpa disadari oleh Agni, ia telah memasuki dunia kultivasi, dan saat ini ia telah memasuki tahap awal kultivasi, sehingga kekuatan dan daya tahan tubuhnya, beberapa kali lebih kuat dari pada sebelumnya,serta daya tahan Agni terhadap rasa dingin juga telah meningkat.

Agni telah selesai mandi saat langit terang. Namun karena pakaiannya juga berbau tak sedap karena keringat semalam, ia pun mencuci bajunya pula. Butuh waktu yang agak lama untuk pakaiannya kering, maka Agni kembali bermeditasi hingga matahari telah naik lebih dari sepenggalah.

Saat membuka mata selesai bermeditasi, lagi-lagi Agni merasa terpukau dengan hasil meditasinya. Energi yang terkumpul di bawah pusarnya, terasa semakin membesar. Di meditasinya yang terakhir kali tadi, Agni memfokuskan untuk memperlancar jalur-jalur Qi nya yang agak tersumbat. Dan lagi-lagi tubuhnya bercucur keringat kental kehitaman yang berbau semakin tak sedap. Kemudian Agni mengulangi kembali mandinya di pagi itu.

Dengan pakaiannya yang belum terlalu kering, Agni meninggalkan sungai itu, ia kembali menyusuri bulak sawah sebelumnya. Terlihat beberapa petani telah bekerja di sawah-sawah mereka.

"Tidak jauh lagi pasti ada desa"

Agni kemudian bertanya pada salah satu petani yang dijumpainya di bulak sawah.

"Permisi Paman, namaku Agni, mohon izin untuk bertanya, bolehkah?" Tanya Agni pada seorang petani paruh baya.

Petani itu agak terheran melihat Agni, karena ia merasa belum pernah Agni sebelumnya.

"Iya Ngger, silahkan, tapi sebelumnya apa kau buka anak desa ini, sepertinya aku belum pernah melihatmu" kata orang itu.

"Benar paman, aku berasal dari desa lowok kota Ngalam, Ayahku juga seorang petani didesaku, sejujurnya aku telah tersesat dan tidak mengetahui dimanakah aku saat ini"

Petani itu cukup terkejut mendengar penjelasan Agni, karena kota yang Agni sebutkan itu, cukup jauh dari desanya. Petani itu berpikir, bagaimana bisa anak sekecil Agni bisa tersesat sebegini jauhnya.

"Kau berada di desa Nenjap Ngger. Bagaimana bisa engkau tersesat? Kau tahu, dengan berjalan kaki, perjalan dari desamu ke tempat ini memakan waktu beberapa hari Ngger" kata orang itu.

"Aku sendiri juga tidak tahu Paman, sebenarnya sejak kemarin aku telah tersesat di desa ini, dan semalam aku tidur di gubug itu" kata Agni sambil menunjuk gubug tempatnya bermalam.

"Walahdalah Nggerrr... Ya sudah, pergilah ke desa di ujung bulak itu, tanyalah pada orang-orang disana dimana letak banjar desa, bilang saja kau kemenakan Ki Jarpa, tunggulah aku di banjar itu, aku akan menyelesaikan kerjaku dulu, oya, apakah kau membawa uang?" Kata petani yang bernama ki Jarpa itu.

"Maaf paman, aku tak mempunyai uang sama sekali" jawab Agni sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"untung saja aku membawa uang, ini ada beberapa keping perunggu, belilah makanan untuk mengisi perutmu, dan ingat, tunggulah aku di banjar desa" kata ki Jarpa yang merasa iba melihat Agni.

"Ba...baik paman... Terima kasih banyak atas bantuan paman" jawab Agni.

Beruntung Agni bertemu dengan seorang petani yang baik hati.

Agni berjanji untuk membalas kebaikkan petani itu suatu hari nanti.

Setelah beberapa pesan dari ki Jarpa, Agni menuju ke gerbang desa. Karena bantuan ki Jarpa, Agni tak menemukan kesulitan ketika memasuki desa Nenjap itu. Perjalanan Agni menuju banjar desa, melewati sebuah pasar, saat melintas di pasar itu, seorang pedagang membuatnya tertarik.

Pedagang itu orang keturunan Tiongkok, ia berteriak-teriak sambil memukul semacam gong kecil bersuara cempreng, untuk mengundang calon pembelinya. Sebagian besar calon pembelinya adalah anak-anak, karena pedagang itu menjual manisan buah, permen beraneka bentuk, dan berbagai macam senjata mainan.

"Marilah-marilah... Pedang kebenaran, tombak keadilan, busur kebajikan ada juga permen dan manisaaaaaannnn.... murah...muraaah..." Teriak orang itu.

Agni mendekati pedagang yang sudah dikerumuni anak-anak kecil itu. Di meja pedagang itu ada berbagai macam senjata mainan, juga beberapa kitab-kita beladiri, yang tentunya juga hanya karangan pedagang itu saja. Sementara di bagian meja, sebuah rak berisi permen dan manisan.

Melihat Agni yang mendekatinya membawa sebuah tongkat bambu, pedagang itu merasa mendapat kesempatan.

"Wahai anak muda, paman punya sesuatu yang cocok untuk tongkatmu itu. Lihat ini..." Kata pedagang itu menunjukkan kitab-kitab beladiri yang di atas meja, juga mengambil sebagian yang lain dari bawa meja.

"Kitab seribu tongkat, kitab tongkat naga, tongkat pembunuh iblis, silahkan anak Muda, seperunggu saja kau bisa memilikki kitab jurus tanpa tanding ini" celoteh pedagang itu membesarkan kitab dagangannya.

Agni ingat kata-kata Chua Pek Dong tentang kitab tanpa tanding yang harus dicarinya.

"Tidak mungkin kitab itu ada pada pedagang ini" kata Agni dalam hati.

Bagaimanapun, Agni masih anak-anak, sehingga ia tertarik untuk melihat berbagai macam senjata mainan yang dijual orang itu, tapi bukan untuk membelinya. Apalagi Agni tidak mempunyai uang, uang yang dipegangnya saat ini, adalah pemberian ki Jarpa untuk membeli makanan, bukan untuk membeli mainan.

Selain itu, Agni juga telah mengetahui bahwa yang dijual pedagang itu hanya kitab palsu akal-akalan si pedagang, karena pedagang mainan seperti yang ia temui saat ini, juga ada di desanya.

"Maaf paman, aku hanya ingin melihat-lihat" jawab Agni sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Oh, atau yang ini saja, tongkat dewa

Erlang, atau ini tongkat surgawi, atau yang ini saja..." Pedagang itu belum menyerah. Ia mengambil dan menunjukkan satu demi satu kitabnya untuk membujuk Agni.

Tepat saat pedagang itu memegang satu kitab yang berpenampilan paling lusuh diantara kitab yang lainnya. Tiba-tiba saja tongkat Agni bergetar. Agni terkejut dengan getaran itu, segera ia berusaha bersikap wajar agar getaran tongkatnya tak di ketahui orang lain.

"Kitab tongkat pemukul anjing, hanya dengan dua perunggu kau akan mendapatkan kitab ini dan setusuk manisan, bagaimana?

Agni kembali dibuat terkejut mendengar nama kitab yang di tawarkan pedagang itu, sama dengan nama tongkatnya. Apalagi tongkatnya yang dipegangnya itu tiba-tiba saja bergetar, seolah-olah sedang beresonansi dengan kitab tersebut.

"Sepertinya aku harus membelinya, apalagi harga manisan itu memang dua perunggu" kata Agni dalam hati. Di desanya pun manisan itu memang seharga dua perunggu.

"Benarkah paman? Baiklah aku mau membelinya" kata Agni dengan ekspresi senang yang dibuat-buat.

Sedangkan pedagang itu juga merasa senang, setidaknya manisannya laku terjual, kitab tongkat pemukul anjing itu telah sangat lama berada di tasnya karena tak laku terjual. Ia juga lupa darimana mendapatkan kitab itu, karena kitab itu bukan buatannya.

Keduanya segera bertransaksi, saat kitab itu sudah berada di tangan Agni, beberapa saat kemudian tongkat itu telah berhenti bergetar. Agni pun melanjutkan perjalanannya menuju banjar desa sambil menikmati manisan yang ia beli itu. Sepanjang jalan pikirannya jadi di penuhi tentang kitab yang baru saja dibelinya.

"Benarkah kitab ini...???"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!