Rian Dwi Putra tumbuh menjadi anak yang sangat tampan juga tinggi. Di usianya yang baru dua puluh tahun sudah mau membantu sang kakak mengelola toko roti yang sangat besar milik ayah mereka.
"Ayah, bulan ini Ayah mau apa?" tanyanya kepada sang ayah yang tengah duduk sambil membaca berita online.
"Gak ada yang Ayah inginkan," jawabnya seraya tersenyum.
Wajah Iyan terlihat sendu mendengar jawaban dari ayahnya itu. Rion tersenyum dan mengusap lembut pundak sang putra bungsu.
"Bulan ini adalah bulan kelahiran kamu. Bukannya kamu yang memberi hadiah kepada Ayah, melainkan Ayah yang harus memberi hadiah kepada kamu."
Iyan tersenyum, dia menatap wajah senja sang ayah. Namun, dia tidak pernah mengeluh apapun kepada anak-anaknya. Seakan dia memendamnya sendirian.
"Iyan tidak meminta hadiah apapun, Yah. Iyan hanya minta Ayah sehat selalu dan panjang umur. Temani Iyan hingga Iyan menemukan pendamping hidup."
Rion membelai rambut sang putra. Jika, membahas perihal umur dia akan lebih pesimis. Dia takut, Tuhan memanggilnya sebelum Iyan menemukan pendamping. Namun, dia juga tidak bisa mengubah takdir yang sudah Tuhan tuliskan.
.
"Hai, Mas tampan."
Iyan yang tengah menyiapkan minuman untuk pelanggan hanya tersenyum. Dia tahu suara siapa itu. Iyan masih fokus dengan pesanan para customer. Toko roti itu bekerja sama dengan kafe milik sang kakak ipar. Iyan dipercaya sebagai barista di sana juga manager kafe.
"Dih, masa akunya dianggurin." Wanita yang berponi itu bersungut ria karena sudah setengah jam berlalu dia menunggu Iyan, tetapi yang ditunggu malah sibuk dengan pekerjaannya.
"Kasihan deh yang gak diapelin," ejek Iyan dengan tangan yang cekatan tengah membuat minuman.
Perempuan itu memasang wajah jeleknya dan membuat Iyan tergelak. Ketika sudah selesai, dia menghampiri perempuan itu di meja dapur kafe.
"Kenapa sih?" Iyan mengusap lembut rambut poni itu. Bukannya menjawab, perempuan itu malah bergelayut manja di lengan Iyan. Para pekerja di sana sudah tahu siapa perempuan itu. Perempuan yang sesuka hatinya masuk ke dapur kafe juga bermesraan dengan adik dari pemilik kafe tersebut.
"Mau cokelat panas gak?" tawar Iyan. Perempuan itu menggeleng.
"Aku ingin keluar."
Iyan melihat ke arah jam tangannya. Baru jam delapan malam, tetapi dia tidak bisa meninggalkan kafe begitu saja.
"Jam sebelas baru tutup."
"Iyan!" pekiknya. Iyan selalu mengajak perempuan itu bercanda karena dia tidak akan pernah tega melihat perempuan yang dia sayangi bersedih.
Waktu terus berputar dan perempuan itu dengan setia menunggu Iyan. Bermain ponsel sendirian di meja dapur.
"Ke atas aja, di sini mah bau asap," ujar Iyan.
"Enggak ah!"
Iyan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Jam sebelas malam kafe itu baru tutup. Namun, Iyan baru bisa pulang jam setengah dua belas dan perempuan itu masih setia menunggu Iyan.
"Udah beres semua?" tanya si perempuan.
"Udah." Perempuan itu menggandeng tangan Iyan dan langkah mereka terhenti di motor matic milik Iyan.
"Kebiasaan 'kan gak pake jaket," omel Iyan.
"Dih, pan akunya baru pulang gawe. Berangkat kerja aku gak naik motor," balasnya.
Iyan hanya menggelengkan kepala. Dilihatnya penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah. Helaan napas kasar yang keluar dari mulutnya.
"Itu rok kurang bahan?" sergah Iyan.
"Dih, apaan? Orang ini rok yang biasa aku pakai."
"Ini kalo naik motor, roknya semakin menyingkap ke atas. Paham?" Iyan sedikit menekan ucapannya.
Perempuan itu berdecak kesal dan menatap tajam ke arah Iyan. "Bawel ih!"
Kini, Iyan berbalik menatap tajam perempuan tersebut dengan tangan yang dia lipat di depan dada. "Aku itu ngasih tahu dalam hal kebaikan. Itu aurat, aurat itu gak boleh dipertontonkan."
"Iya, iya." Perempuan itu menjawab dengan nada yang sangat malas. "Udah atuh, kita jalan. Aku lapar."
Helaan napas kasar keluar dari mulut Iyan untuk kesekian kalinya. Iyan menyerahkan jaketnya. Ketika hendak dipakai oleh perempuan itu Iyan melarangnya. Sontak perempuan itu mengernyitkan dahi.
"Itu buat nutupin aurat kamu!" Perempuan itu pun tercengang mendengar ucapan dari Iyan.
Tangan putih bersih memeluk perut Iyan dari belakang. Diapun meletakkan kepalanya di punggung laki-laki yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Walaupun terkadang sangat menyebalkan.
Mereka tiba di angkringan tempat langganan mereka. Iyan memesan apa yang diinginkannya dan juga perempuan yang tengah serius menatap layar ponselnya. Iyan duduk di samping perempuan itu seraya menghela napas kasar.
"Kebiasaan!"
Omelan Iyan membuat perempuan itu menoleh. Tatapan tajam yang dia berikan .
"Kalau ada masalah omongin, bukan malah ngehindar." Begitulah nasihat yang Iyan berikan.
Bukannya menjawab, mata si perempuan itu malah berkaca-kaca. Iyan segera memeluk tubuhnya dengan sangat erat.
"Gak bosen apa nangis mulu," omel Iyan lagi.
Sebuah pilihan, itulah yang tengah dituntut seseorang kepada si perempuan itu. Dia marah, dia kecewa. Kenapa harus memilih? Kenapa tidak bisa menerima keadaannya yang seperti ini?
Makanan mereka telah datang. Iyan mengambil tisu dan menghapus air mata perempuan tersebut. Senyuman manis Iyan mampu membuat hatinya tenang. Iyan mampu membuatnya melupakan apa yang tengah dia hadapi.
Iyan melihat ke arah jam tangan. Sudah jam dua belas lewat. "Pulang, yuk!" Perempuan itu menggeleng. Dia semakin erat memeluk lengan Iyan.
"Papah kamu udah chat aku ini. Gak baik loh anak perempuan pulang kerja bukan langsung pulang ke rumah malah mampir-mampir dulu."
Perempuan itu mendongak menatap wajah Iyan. Anak indigo itu ternyata sudah besar sekarang. Menjelma menjadi pemuda tampan dan juga hangat.
"Kenapa?" tanya Iyan heran.
"Ganteng."
Iyan pun tertawa mendengar jawaban dari perempuan itu. Dia mengusap lembut rambut si perempuan tersebut.
"Pulang, ya." Ucapan lembut Iyan mampu membuat perempuan itu mengangguk pelan
Iyan sudah mengeluarkan dompet, tetapi dicegah oleh si perempuan. "Ini tanggal tua, pasti kamu belum gajian." Iyan tertawa dibuatnya dan perempuan itu mengambil uang di dalam tas untuk membayar semua yang mereka pesan.
"Makasih."
Perempuan itu mengerutkan dahi. Dia tidak mengerti kenapa anak yang menyebalkan ini semakin hari semakin sopan.
"Aku yang ngajak berarti aku yang bayarin."
"Sering-sering aja ngajaknya biar aku dapat makan gratis terus." Candaan Iyan mampu membuat si perempuan itu tertawa lebar. Nyaman, itulah yang dia rasakan.
Dahi Iyan mengkerut ketika melihat ada mobil yang berada di depan pagar rumah perempuan yang tengah berboncengan dengannya. Ketika motornya berhenti untuk menunggu dibukakan pintu pagar, seseorang yang dia kenal mendekat. Menarik paksa tangan perempuan yang tengah bersamanya.
"Lepas!"
Iyan mematikan mesin motor dan dia segera melerai kedua anak manusia itu.
"Gak usah kasar Bang!" bentak Iyan.
"Jangan ikut campur! Ini urusan gua sama cewek gua!" balasnya.
"Lepas. Fa. Sakit!" Tangan perempuan itu masih dicekal dengan cukup keras membuat Iyan geram dibuatnya. Dia mendorong tubuh laki-laki itu dengan cukup kasar.
"Gak usah kasar sama cewek!" Urat-urat kemarahan sudah muncul di wajahnya.
"Sebenarnya ada hubungan apa lu sama cewek gua?" desak laki-laki itu. Dahi Iyan mengkerut mendengarnya.
"Hubungan? Abang sendiri tau gimana hubungan aku sama Kak Bee. Kenapa harus dipertanyakan lagi?" Iyan benar-benar bingung dibuatnya. Hanya decihan kesal yang keluar dari mulut Raffa, nama laki-laki itu Raffa.
"Bee, sekarang kamu pilih ... aku apa dia?" tekan Raffa seraya menunjuk ke arah Iyan.
...****************...
Test pasar dulu, ya. Kalo suka lanjut gak suka aku out.😁
Jangan lupa tekan ikon ❤️ biar gak ketinggalan update-annya. Jangan lupa komen ya, biar semakin semangat nulisnya.
"Bee, sekarang kamu pilih ... aku apa dia?" tekan Raffa seraya menunjuk ke arah Iyan.
Iyan terperanjat dengan apa yang dikatakan Raffa. Kini, dia menatap ke arah Beeya yang terdiam. Dia tengah menatap Raffa dengan sangat tajam.
Iyan pun tersenyum dan mendekat ke arah Beeya. Dia amat tahu bagaimana isi hati Beeya. "Ini yang menjadi alasan pertengkaran kalian?" Iyan tidak hanya menatap ke arah Beeya. Dia juga menatap Raffa.
"Semenjak kalian pacaran, Bang Raffa tahu hubungan aku dengan kak Bee seperti apa. Kenapa baru sekarang dipermasalahkannya?" Pertanyaan Iyan memang masuk diakal.
"Selama aku mengenal Kak Bee, aku gak pernah melihat kak Bee secinta ini kepada laki-laki. Hanya Abang, yang mampu membuat Kak Bee mencintai laki-laki dengan serius."
Raffa pun terdiam. begitu juga Beeya yang kini menatap Iyan dengan tatapan penuh makna.
"Jika, Abang merasa aku menjadi pengganggu hubungan Abang dengan Kak Bee. Aku yang akan menjauh dari Kak Bee. Abang gak perlu memberikan pilihan yang sulit kepada kak Bee. Aku tidak ingin melihat Kak Bee sedih karena selalu bertengkar dengan Abang. Walaupun, alasannya di luar nalar."
Iyan mengusap lembut kepala Beeya dan tersenyum ke arah perempuan yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri.
"Kak Bee pernah bilang kalau Bang Raffa adalah pria yang Tuhan ciptakan untuk melengkapi hidup Kak Bee. Aku pun ingin semua itu terwujud agar Kak Bee bisa bahagia."
Hati Beeya sangat sakit mendengarnya. Iyan tidak pernah berbicara seserius kepadanya. Namun, senyum ketulusan yang Iyan berikan kepadanya.
"Jaga Kak Bee, jangan pernah sakiti dia. Atau aku yang akan menggantikan posisi Abang di hatinya."
Ucapan Iyan hanya main-main, tetapi mampu membuat Raffa sedikit marah dan Iyan pun tertawa.
"Canda, Bang. Jaga kakak aku yang gak tinggi-tinggi ini," ucapnya lagi serta mengacak-acak rambut Beeya.
.
Seminggu sudah semenjak Iyan memutuskan untuk menjauh dari Beeya, ponselnya terasa sepi. Tidak ada perempuan cerewet yang selalu meminta hal aneh. Rindu, sudah pasti. Namun, dia juga tidak boleh egois. Dia pun ingin melihat Beeya bahagia.
Di Minggu pagi, rumah besar Rion akan terasa ramai karena ada tiga anak remaja yang selalu membuat kegaduhan.
"Kerja aja terus, kaya mah enggak," ejek Aleeya yang tengah menenteng sepatu sekolahnya untuk dicuci.
"Makan aja terus, gendut mah kagak," balas Iyan. Aleeya memukul Iyan dengan sepatu kotor miliknya hingga membuat baju Iyan kotor.
"Kotor, Dek," ujar Iyan.
"Biarin!"
Begitulah jika mereka sudah bertemu. Kini, Iyan duduk di kursi meja makan. Sang ayah menatap putranya yang selalu saja bersemangat walaupun di hari libur.
"Emang masih harus ke kafe?" Iyan mengangguk sambil memakan roti bakar yang kakaknya buatkan.
"Yan, Beeya ke mana?"
Mendengar nama Beeya membuat Iyan mengehentikan kunyahannya. Ayah dan juga kakaknya tengah menatapnya dengan penuh tanya.
"Mereka udah cerai, Bubu." Mulut Aleesalah yang bersuara, Iyan berdecak kesal.
Echa dan Rion hanya tertawa mendengar ucapan dari Aleesa. "Ayah kurang suka sama pacarnya Beeya." Ucapan sang ayah membuat Iyan mengerutkan dahi.
"Mereka gak cocok aja."
Iyan pun tergelak mendengarnya. Ayahnya akan menjadi netizen Maha benar dalam perihal menilai orang.
"Cocok atau gak cocok bukan urusan kita. Mereka yang menjalani," tutur Iyan.
Dia pun beranjak dari meja makan dan menuju ke kafe milik kakak iparnya.
"Abang udah berangkat?" tanya Iyan kepada Echa.
"Udah."
Iyan melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Di tengah perjalanan dia melihat Beeya dan Raffa. Ingin sekali menyapa mereka, tetapi Iyan harus tahu batasan. Dia pun memutuskan untuk tidak berhenti. Dia takut Raffa salah paham lagi.
Hampa, begitulah hati Iyan sekarang. Tidak ada lagi yang manja, tidak ada lagi yang bawel. Tidak ada gelak tawa di antara mereka berdua. Iyan pernah mengirim pesan, sepertinya nomor Iyan diblokir oleh Beeya. Alhasil, Iyan harus menerima kenyataan yang ada.
Satu malam, ketika suasana kafe sedang sangat ramai. Dia melihat Raffa dan Beeya ada di kafe tersebut. Iyan hanya menyunggingkan senyum, tanpa mau menghampiri mereka. Apalagi terlihat jelas wajah Beeya yang sangat tegang.
"Kak, itu kak Beeya 'kan." Salah seorang karyawan bertanya kepada Iyan yang tengah berada di dapur.
"Iya." Iyan masih fokus memasukkan bahan minuman yang akan dia buat.
"Itu pacarnya?" Iyan mengangguk.
Semua orang menatap bingung ke arah Iyan. Mereka kira dua manusia itu berpacaran, ternyata tidak. Beeya malah membawa pria lain ke kafe Iyan.
"Ini pesanan Kak Bee, toping cokelat dan kejunya melimpah." Dia menyerahkan minuman itu kepada Petra, pelayan di moeda kafe.
"Kenapa gak Kak Iyan aja yang ngasih?" Iyan tersenyum dan mengatakan tidak. Petra pun mengangguk mengerti.
Nampan berisi dua minuman Petra bawa ke meja Beeya. Senyuman hangat Petra berikan.
"Cokelat dan keju berlimpah khusus untuk Kak Bee katanya." Beeya tersenyum perih mendengarnya. Matanya mencari-cari sosok Iyan yang sedari tadi tidak dia lihat.
"Iyan mana?"
"Ehem!" Deheman Raffa membuat bibir Beeya mengatup. Tatapan tajam Raffa berikan kepada Beeya.
Belum juga kering ucapan Beeya, dia melihat pemuda yang dia rindukan melewati dirinya dengan tergesa. Wajahnya pun nampak terlihat panik.
"Iyan," gumamnya dalam hati.
Baru saja Beeya menikmati minuman serta makanan, ponselnya berdering. Dilihatnya nama sang ayah.
"Iya, Pah."
...
"Iya, Bee segera ke rumah sakit sekarang."
Raffa menukikkan kedua alisnya. "Ada apa?"
"Aku mau ke rumah sakit sekarang. Ayah tiba-tiba drop."
"Ayah?" ulang Raffa bingung.
"Ayah itu panggilan aku ke ayahnya Iyan." Rasa cemburu menggelayuti hati Raffa. Kenapa ada saja pengganggu ketika mereka tengah berdua.
"Lalu, apa hubungannya dengan kamu?" tanya Raffa. "Itu ayahnya Iyan 'kan."
Beeya menarik napas panjang terlebih dahulu. Dia menatap lamat-lamat wajah Raffa.
"Kalau kamu ingin lebih dekat dengan aku dan keluarga aku. Ikut aku ke rumah sakit. Di sana kamu akan mengerti seperti apa kedekatan aku juga keluarga Iyan."
Raffa menghela napas kasar dan dia pun tidak ingin kecolongan. Dia mengikuti apa yang dikatakan oleh Beeya.
Tibanya di rumah sakit, semua orang sudah berada di IGD. Terlihat Iyan yang tengah menatap kaca pintu IGD.
"Pah."
Arya dan Beby menoleh, begitu juga dengan Radit juga Echa. "Gimana kondisi Ayah?"
"Masih di dalam."
Beeya hanya bisa memandang punggung Iyan tanpa bisa memberikan pelukan hangat kepada pemuda yang selalu membuatnya nyaman. Echa tersenyum dan dia tahu alasan kenapa Beeya tidak pernah datang ke rumah sekarang. Dua anak manusia itu tengah menjaga jarak demi menjaga hati seseorang yang digadang-gadang akan menjadi calon imam untuk Beeya, yaitu Raffa.
...****************...
Penasaran gak?
Beeya hanya bisa menatap sedih ke arah Iyan yang sedari tadi masih berdiri menghadap kaca pintu IGD. Biasanya, dia yang akan memeluk tubuh Iyan dari belakang. Dia yang akan menghibur Iyan. Namun, kali ini Beeya seperti tengah diawasi oleh pria di sampingnya dan tidak bisa berkutik sama sekali.
"Yan, Ayah pasti baik-baik saja."
Suara Arya membuat Iyan menoleh. Dia menatap ayah dari Beeya, dia juga melihat Beeya sudah ada di sana. Namun, pemuda itu tetap menunjukkan wajah penuh dengan kepedihan.
"Om Yan-yan!"
Anak perempuan berusia tujuh tahun berlari menghampiri Iyan. Dia memeluk perut Iyan. "Jangan sedih, Engkong pasti baik-baik saja."
Ghea adalah pelipur lara untuk Iyan jikalau dia tengah dirundung duka. Iyan mensejajarkan tubuhnya dengan Ghea. Tersenyum manis ke arah Ghea yang sangat cantik.
"Makasih, ya." Ghea mengangguk dan memeluk tubuh Iyan lagi.
"Tumben kamu alim?" sergah Aksa kepada Beeya. Biasanya Beeya yang akan menempel bagai perangko di tubuh Iyan.
Echa menyenggol lengan adiknya dan matanya memberikan kode kepada adik kembarnya itu. Aksa mengangguk mengerti.
Pintu ruang IGD terbuka, Iyan segera menghampiri dokter yang menangani ayahnya itu.
"Kondisi pak Rion sudah sadar. Dia hanya butuh istirahat." Lega sudah hati semua orang yang mendengarnya. Iyan meminta masuk untuk melihat kondisi sang ayah.
Hatinya perih ketika tubuh ayahnya terbaring lemah dengan selang infus di tangan.
"Ayah."
Rion menoleh dan tersenyum ke arah putranya. Iyan mencoba untuk tidak menangis karena ayahnya tidak ingin memiliki anak laki-laki yang lemah. Mencoba untuk tegar, walaupun hatinya menangis kejar.
"Jangan buat Iyan khawatir." Suara Iyan bergetar, tetapi dia mencoba untuk menahan kesedihan yang ada di hatinya. Dia tidak ingin ayahnya sedih karena kondisi hatinya.
"Ayah sudah tua, Yan." Rion tersenyum simpul ke arah putra bungsunya. Namun, kepala Iyan menggeleng, tidak setuju sebagai ucapan ayahnya.
"Ayah masih muda. Ayah gak boleh tua."
Rion dapat menangkap makna dari ucapan Iyan tersebut. Iyan belum siap ditinggalkan olehnya. Iyan masih membutuhkannya. Rion hanya bisa mengusap lembut kepala Iyan.
"Waktu itu tidak bisa diulang. Kematian itu pasti akan datang." Itulah yang Rion katakan.
Air mata Iyan sudah menganak. Dia menggenggam erat tangan Rion. Menatapnya lekat dengan sorot penuh kepiluan.
"Maka dari itu, Iyan ingin lebih punya waktu luang untuk ayah. Iyan ingin mengukir kenangan yang banyak bersama Ayah."
Hati Rion terenyuh mendengarnya. Matanya pun nanar dan wajahnya berubah sendu.
"Maafkan Ayah, jika nanti Ayah tidak bisa mengantar kamu menuju janji suci pernikahan." Iyan menggeleng dengan cepat.
"Ayah harus menemani Iyan. Ayah harus menjadi wali Iyan. Ayah gak boleh pesimis."
Ingin rasanya Iyan menjerit dengan sangat kencang. Hal yang membuat Iyan sedih adalah kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang. Dia takut, jika nantinya dia diperlihatkan akan kematian orang yang dia sayangi.
Tuhan, jika aku boleh menawar. Lebih baik ambil saja nyawaku terlebih dahulu daripada aku harus kehilangan sosok pelindung seperti Ayah.
.
Iyan dengan telaten mengurus ayahnya seorang diri. Dia benar-benar meluangkan waktu untuk menjaga ayah tercintanya. Dua kakak perempuannya pun dilarang untuk meninggalkan kewajiban mereka sebagai istri.
"Kalau semua pekerjaan Kak Ri dan Kak Echa selesai, baru Kakak ke rumah sakit. Iyan gak apa-apa kok sendiri jagain Ayah. Iyan malah senang."
Hati kedua kakak Iyan mencelos mendengarnya. Ucapan yang Iyan berikan terasa sangat memilukan.
"Yan--"
"Gak apa-apa Kak," potong Iyan terhadap ucapan Echa. Dia memandang wajah kakak pertamanya. "Bilang ke Bang Radit, mau gaji Iyan dipotong pun Iyan gak masalah. Iyan ingin menemani Ayah."
Echa berhambur memeluk tubuh adiknya. Mereka bertiga tengah berada di depan ruang perawatan Rion dengan pintu yang tertutup.
"Pasti kamu takut 'kan?"
Iyan pun mengangguk pelan dan terdengar isakan lirih. Echa semakin mengeratkan pelukannya. Begitu juga dengan Riana yang kini memeluk tubuh dua saudaranya.
"Bukan hanya kamu yang takut, Yan. Kami juga takut." Riana mengusap punggung adiknya.
"Iyan takut, jika waktu Iyan bersama Ayah hanya sebentar. Iyan ingin lebih lama bersama Ayah. Ingin membuat Ayah bangga juga ingin lihat Ayah bahagia seperti melihat Kak Ri dan kak Echa."
Anak yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu kini semakin dewasa. Menjelma menjadi pemuda yang tampan dan juga baik hati. Dia menjadi kesayangan kedua kakak perempuannya. Akan menjadi pelindung untuk para keponakannya.
"Ayah pasti akan panjang umur, Yan. Kita sebagai anak harus terus mendoakan kesehatan Ayah dan terus berusaha memberikan yang terbaik untuk Ayah. Kita harus bisa buat ayah bahagia."
Tidak ada anak yang ingin ditinggalkan oleh orang tuanya. Namun, mati itu sudah pasti. Hanya waktunya yang masih menjadi misteri.
"Kamu jangan nangis." Echa menghapus jejak air mata di wajah tampan Iyan. "Kamu adalah pelindung Kakak dan Kak Ri setelah Ayah." Echa menangkup wajah adiknya.
Riana mengusap lembut pipi Iyan dengan mata yang berkaca-kaca. "Maafkan Kak Ri yang jarang punya waktu untuk kamu."
Iyan segera memeluk kakak satu ibu dengannya. Kepalanya menggeleng pelan. "Terus temani Iyan, dan jangan pernah tinggalin Iyan." Riana mengangguk cepat. "Pasti, Yan. Pasti."
.
Sudah tiga hari ini perasaan Beeya tak karuhan. Ingin rasanya dia menemani Iyan di rumah sakit. Menghibur Iyan yang pastinya tengah sedih karena kondisi ayahnya.
Ponselnya berdering, dan sang ayah menghubunginya.
"Iya, Pah."
"Pulang kerja mau ikut Papah dan Mamah jenguk Ayah gak?" Arya bertanya di balik sambungan telepon.
"Ikut, Pah."
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Pepatah itulah yang menggambarkan perasaan Beeya sekarang. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan sang pemuda tampan.
Namun, tak Beeya sangka. Raffa malah menjemputnya. Akhirnya, dia ke rumah sakit bersama Raffa dan kedua orang tuanya lebih dulu menuju tempat Rion dirawat.
Gelak tawa tercipta dari empat manusia yang ada di sana. Keadaan mendadak hening ketika Beeya datang bersama Raffa.
"Malam, Ayah. Gimana kondisinya?" Beeya merasa canggung, apalagi Iyan yang seolah menghindarinya. Iyan sangat tahu diri karena tatapan Raffa sudah sangat berbeda.
"Ayah mah gak pernah sakit. Mereka aja yang lebai." Semua orang pun tertawa, begitu juga Iyan yang hanya menyunggingkan senyum.
"Kenalin nih, calon pendamping anak gua." Arya menepuk bahu Raffa yang disambut senyuman hangat laki-laki yang menjadi pacar Beeya.
"Gua udah tahu." Rion berbicara dengan sangat ketus. Seolah dia tidak merestui hubungan Beeya dengan Raffa.
Iyan yang tengah duduk di samping ayahnya pun beranjak. "Mau ke mana?" Mulut Beeya seakan tidak tahu rem. Padahal, di belakangnya sudah ada hansip bermata elang.
...****************...
Komen ya, biar ceritanya lanjut lagi
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!