Sore itu sudah jemu sekali rasanya Inas duduk di depan komputer, mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk. Ditambah handphone yang sedari tadi tak ada pesan dari orang yang dinantinya. Untungnya lagu-lagu yang diputar di playlistnya dapat sedikit memfokuskan pikirannya ke tugas kuliahnya daripada memikirkan Nathan, kekasihnya, yang entah mengapa akhir-akhir ini tampak aneh, walaupun masih perhatian seperti biasa, tapi seperti ada yang disembunyikan. Lihat saja hari ini yang sampai sesore senja akan tiba Inas belum juga menerima pesan apapun di handphonenya.
"Hhhh..." Inas menghela nafas sambil menatap nanar ponselnya. Kemudian dia kembali sibuk dengan komputernya, bukan untuk mengerjakan tugas karena saking fokusnya tugasnya pun sudah rampung, melainkan untuk membuka sosial media miliknya. Setelah scroll-scroll naik turun tidak ada yang menarik, tiba-tiba saja dia mulai klik opsi 'search' dan mengetikkan sebuah nama. Setiaji Prakoso. Mata Inas terbelalak ketika melihat hasil pencarian sosial media, menemukan foto seseorang yang dia kenal delapan tahun lalu. Tanpa pikir panjang, Inas mengklik nama dimana foto itu terpampang dan terbukalah full profil tentang sesosok Setiaji Prakoso.
"Kuliah di kota Y ternyata." gumam Inas sambil tetap menscroll mouse komputernya naik turun menemukan informasi terkini tentang Aji. "Add friend ga ya?? Hmmm..." gumam Inas lagi sambil berpikir. Sepintas wajah Nathan mampir di pikirannya. Inas ragu apakah Nathan akan cemburu kalau dia mengundang Aji menjadi teman sosmednya. Tapi kemudian dia berpikir lagi, kenapa cemburu juga, kan cuma mau nyapa mantan kakak kelas aja. Belum tentu juga Aji akan mengkonfirmasi permintaan pertemanannya. Dan begitulah akhirnya Inas mengirim permintaan pertemanan kepada Aji di sosmed.
Bayangan masa remajanya berkelebatan seketika memenuhi isi kepalanya. Membuatnya larut dalam lamunan seketika. Tersadar dari lamunan singkatnya, ia kembali menatap ponselnya yang sedari tadi tak berdering. Kisah cintanya yang sekarang tak begitu banyak masalah. Nathan cowok yang baik dan hangat. Inas begitu nyaman bersamanya selama dua tahun ini. Tak terbesit untuk putus. Dia sudah begitu lelah dengan hubungan pacaran yang putus nyambung tak berkesudahan.
Hal yang membuat Inas bertahan dengan Nathan sampai sejauh ini karena ia teringat kata-kata Nathan di awal merek jadian, "Nathan pengen punya tujuan sama Inas." Dan kata-kata itu berhasil mengunci semua pintu untuk laki-laki yang tidak sedikit datang dan menggoda Inas.
Kembali mendesah panjang, menatap nanar ponselnya. Mematikan komputer yang sudah sangat lelah menemaninya bekerja seharian mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Selelah dirinya. Mandi air hangat sepertinya enak, pikir Inas. Sambil berlalu menyiapkan air hangat.
Secangkir kopi susu hangat sudah menemaninya meregangkan otot-ototnya yang sedari pagi kaku dan beku duduk di depan komputer. Menyeruput perlahan sambil menikmati rintik hujan yang tak biasa di bulan Agustus. Mengambil secarik kertas, ditulisnya sesuatu...
Biarlah aku merindumu sendiri
Kau tak perlu tahu
karena rasanya yang pilu membuatku terduduk sayu
Biarlah aku mencintamu sendiri
Kau tak perlu tahu
karena rasanya yang perih membuatku terduduk merintih
Biarlah aku mengenangmu sendiri
Kau tak perlu tahu
karena rasanya yang syahdu membuatku terduduk mengharu
Sudah lama Inas tak menulis sajak. Entah. Sejak memikirkan sosial media Aji, kata-kata itu mengalir perlahan, rasanya tak sanggup dibendung hanya dalam pikiran.
Semoga di terima. Harap Inas dalam hati.
Mengalah pada keadaan, akhirnya Inas memutuskan untuk mengirim pesan kepada Nathan.
Udah makan?
Lalu ditaruhnya kembali ponselnya di meja kamarnya. Malam sudah merayap dan Nathan seharian tidak mengiriminya pesan. Diliriknya ponselnya. Belum ada balasan.
Nothing to do. Batin Inas sambil melemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Penat sore yang dirasakannya karena setumpuk tugas kuliah perlahan merayap keluar dari tubuhnya. Teringat Inas akan sosok Aji. Kakak kelasnya waktu SMP yang membuat dia pertama kali mengenal yang namanya cinta. Mungkin dulu hanya sebatas cinta monyet anak remaja. Entah. Dia hanya tahu dulu dia sangat menyukai memandang wajahnya meski dari jauh. Sembunyi-sembunyi. Mencuri-curi. Dan sudah menjadi seperti candu baginya setiap hari di sekolah.
Masih teringat jelas ketika Inas pertama kali melihat Aji. Masih dalam balutan seragam putih merah, Inas yang pagi itu berjalan berangkat ke sekolah menangkap pemandangan langka yang tidak pernah dia jumpai sebelumnya. Waktu itu dia berangkat sekolah lebih awal dan ketika dia sampai di gang dekat sekolahnya dia berjumpa dengan Aji, yang ternyata sekolahnya di SMP sebelah SD tempat Inas sekolah.
Aji dengan seragam putih birunya terlihat keren menaiki sepeda sambil bercanda dengan teman-temannya. Inas yang terpesona hanya memperhatikan dari jauh dan perlahan. Memperhatikan tawa dan senyumnya dari jauh yang membuat Aji semakin terlihat keren. Inas kecil yang beranjak remaja belum menyadari perasaannya waktu itu. Entah. Dia hanya sangat menikmati pemandangan indah yang mengiringinya berangkat sekolah waktu itu dan tak pernah terlalu memikirkannya.
Waktu lama berlalu. Inas yang sudah lulus SD memutuskan mendaftar ke SMP yang letaknya di sebelah SDnya, alasannya selain itu merupakan SMP favorit di wilayahnya, SMP itu juga dekat dengan rumah jadi Inas cukup lima menit berjalan dari rumahnya dan sampai ke sekolah. Inas sama sekali tidak ingat kalau Aji bersekolah disana. Dia bahkan sudah lupa karena setelah perjumpaannya yang pertama dengan Aji, Inas tidak pernah berjumpa dengan Aji. Mungkin karena jam berangkat sekolah mereka yang tidak sama jadi mereka tidak berpapasan lagi setelah hari itu.
Inas baru menyadari kalau dia satu sekolah dengan Aji ketika awal tahun pelajaran baru dimulai. Inas yang waktu itu berjalan menuju toilet berpapasan dengan Aji yang ternyata kelasnya tak jauh dari toilet khusus siswa. Inas terkejut. Dia mengingat jelas wajah tampan itu. Wajah yang pernah dia perhatikan diam-diam dari jauh dulu. Karena begitu dekat jarak ketika mereka berpapasan, Inas dapat membaca name tag di seragam Aji. Setiaji Prakoso. Itulah awal mula Inas mengetahui cowok yang pernah mempesonanya suatu pagi dulu.
Drrtt... Getar ponsel Inas membangunkannya dari memori jaman putih birunya. Sebuah pesan dari Nathan.
Udah. Inas udah makan juga? Begitulah Inas dan Nathan. Meski mereka berpacaran, mereka sepakat tidak ada panggilan sayang yang biasanya melekat pada sepasang kekasih.
Udah juga. Balas Inas.
Ya udah. Buruan istirahat. Udah malem. Capek kan abis ngerjain tugas. Nathan sayang Inas.
Iya. Inas sayang Nathan. Met malem.
Mungkin terkesan dingin. Tapi memang begitulah mereka. Inas tidak pernah mau berdebat lewat ponsel dan Nathan entah kenapa seharian tidak mengirim pesan ke Inas. Mungkin memberi Inas waktu untuk fokus mengerjakan tugas kuliahnya yang banyak.
Inas pun perlahan terlelap. Membawa kenangan masa remajanya ke alam mimpi. Berharap akan menjadi penawar raganya yang penat dan hatinya yang gundah.
Nathan terbangun oleh dering ponselnya. Pesan dari Inas. Nathan membuka pesan dari Inas sambil tetap berbaring di tempatnya.
Udah makan?
Nathan tersenyum kecut. Gadis yang tengah dipacarinya ini entah kenapa menurutnya menarik sekaligus menyebalkan. Seharian dia sengaja tidak mengirim pesan dan begitu malam mulai merayap dia hanya mendapati satu pesan singkat dan itupun bukan pesan yang berarti. Dia tahu Inas tidak akan mendebatnya lewat pesan singkat tentang alasan kenapa dia tidak menghubunginya seharian ini. Inas bukan tipe cewek posesif yang curigaan ketika pacarnya sama sekali tidak menghubunginya. Nathan tahu itu. Masih bergeming. Kemudian dia menatap sosok wanita yang tertidur lelap di sampingnya.
Apa yang aku lakukan? Batinnya.
Seharian Nathan menghabiskan waktu bersama Trisna, wanita yang menjadi obsesinya sejak duduk di bangku SMA. Nathan pernah menceritakan tentang Trisna kepada Inas. Tapi dia tidak menceritakan bahwa obsesi untuk memiliki Trisna belum pudar sedikitpun. Nathan selalu berusaha keras mendekati Trisna sejak SMA, namun Trisna tidak memberi celah untuk hubungan yang lebih dari sekedar kakak adik. Dan seharian ini, Nathan berakhir di ranjang Trisna. Melampiaskan obsesinya selama bertahun-tahun yang akhirnya bersambut.
Masih tetap di ranjang, Nathan menatap langit-langit. Dia ingat kemarin dia mengajak Inas pergi kencan menghabiskan hari Minggu yang menjemukan baginya.
Besok ga bisa, Nathan. Inas mau ngerjain tugas translation sama writing. Dikumpul Senin soalnya. Balas Inas via pesan singkat.
*Ya udah ga apa-apa. Besok buruan dikerjain tugasnya biar ga begadang.
Okay*.
Nathan tahu betul tugas-tugas kuliah yang disebutkan benar-benar menguras waktu dan fokus karena Nathan kuliah di kampus dan jurusan yang sama dengan Inas, terlebih dia satu angkatan lebih tua dari Inas. Menghela nafas ketika tahu hari Minggunya akan membosankan, Nathan pun menghubungi Trisna.
*Besok ada acara Tris?
Ga ada kak. Gimana? Mau jalan lagi?
Aku jemput pagi ya. Bosen di rumah.
Siap bos*.
Rasa bersalah menggelayuti Nathan. Sudah dua hari dia menghabiskan waktu bersama Trisna. Bahkan hari Minggu ini lebih parah hingga berakhir di ranjang. Entah kenapa Nathan menyatakan perasaannya ke Trisna hari ini. "Aku sayang kamu, Tris. Dari dulu. Tapi kamu? Kadang aku bingung dengan sikapmu yang suka manja dan tiba-tiba perhatian sama aku." Nathan sudah tak bisa menyimpan rapat. Hari itu dia begitu bingung. Dimana satu sisi hatinya menginginkan Inas tapi di sisi lainnya dia masih mengejar mimpinya tentang Trisna. Trisna tersenyum tipis. "Kan tinggal bilang gt dr dulu. Kamu sayang aku. Aku sayang kamu. Beres. Udah kenapa pusing." Tak pelak jawaban Trisna membuat Nathan terkejut. "Jadi?" Nathan masih tidak yakin. "Iya. Aku juga sayang kamu, kak Nathan sayang." jawab Trisna sambil menggenggam tangan Nathan.
Sepi yang menemani mereka sedari tadi di rumah Trisna membuat keduanya terbawa suasana haru dan romantis. Nathan dengan perlahan mengecup bibir Trisna yang bersambut dengan hangat. Mereka hanyut dalam perasaan mereka masing-masing. Melupakan sejenak kerumitan kehidupan yang akan terjadi nantinya. Trisna tak pernah tahu Nathan menjalin hubungan kasih dengan Inas. Dia yang dicampakkan cowoknya beberapa hari yang lalu seperti mendapat hujan di tengah kemarau panjang mengetahui perasaan Nathan yang sebenarnya. Semakin larut dalam kemesraan mereka sampai berakhir di ranjang. Baik Trisna maupun Nathan, keduanya hanya meledakkan bom waktu yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
Menatap layar ponselnya, Nathan tersadar dari lamunannya dan membalas pesan Inas.
Udah. Inas udah makan juga?
Udah juga. Balas Inas.
Ya udah. Buruan istirahat. Udah malem. Capek kan abis ngerjain tugas. Nathan sayang Inas.
Iya. Inas sayang Nathan. Met malem.
Nathan sebenarnya tidak berbohong ketika mengatakan dia sayang Inas. Jujur, Inas adalah wanita yang sangat membuatnya nyaman. Dia sama sekali tidak mengekangnya. Bahkan ketika Nathan bertemu dengan mantan pacarnya waktu SMP, Inas sama sekali tidak marah ataupun cemburu. Dia malah asyik ngobrol dengan mantan pacarnya itu. Inas juga tidak pernah menuntut apapun dari Nathan seperti misalnya harus menghabiskan weekend bersama karena jarak rumah mereka yang cukup jauh Inas pun selalu mengatakan tak perlu apel atau sekedar mengantar dia pulang kuliah. Nathan sungguh bebas menceritakan apapun dengan Inas. Inas selalu bisa mengimbangi apa saja yang menjadi topik pembicaraannya. Nathan benar-benar sayang Inas.
Sesal membebani hatinya. Sudah dua tahun dia berpacaran dengan Inas, dia tidak pernah melakukan lebih dari ciuman dan raba-raba ketika bersama Inas. Inas selalu bisa mengendalikan nafsunya. Padahal kalau dibandingkan Trisna, Inas memiliki tubuh yang lebih sexy. Tapi sekarang. Dilihatnya Trisna yang masih terlelap. Nathan berdiri perlahan, memakai bajunya dan menyentuh bahu Trisna perlahan. "Aku pulang dulu." Trisna menggeliat perlahan dan menjawab tanpa membuka mata. "Hmmm..." Nathan yang masih ragu untuk pergi kembali duduk di tepi ranjang. "Bangun dulu. Kunci pintunya. Gak ada orang di rumah kan? Bahaya." Perlahan Trisna membuka mata, kemudian bangun dan memakai bajunya.
"Hati-hati pulangnya ya, sayang." Nathan hanya mengangguk, merasa aneh dipanggil sayang. Inas sama sekali tidak pernah memanggilnya seperti itu. Mereka bahkan sama sekali tidak pernah membuat kesepakatan seperti itu dan itu juga yang membuat Nathan nyaman bersama Inas.
Setibanya di rumah, Nathan langsung merebahkan dirinya di kamar. Tampaknya tubuhnya sudah sangat berat menanggung apa yang dialamainya seharian ini. Dia tak pernah ada niatan selingkuh dari Inas, tapi apa yang dia lakukan hari ini sudah terlalu jauh dan parah. Dia tidak mungkin memutuskan Inas dan juga tidak mungkin meninggalkan Trisna.
Serakah. Pikirnya.
Wajah Inas dan Trisna silih berganti di dalam lamunannya, hingga membawanya terlelap jauh dan dalam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!