Kisah cinta yang rumit ini di mulai dari ....
Revan Aldrian
Sosok pria tampan, kaya, berkarisma, memiliki banyak pengagum, disukai sejuta wanita, tapi ia tergolong pria dingin dan arogan.
Suatu ketika, keluarganya memutuskan untuk menjodohkannya dengan seorang wanita dari keturunan keluarga terpandang, anak dari rekan bisnis ayahnya. Gadis itu bernama Priska Ananda Sharta.
Kedua pihak keluarga sepakat untuk menikahkan mereka dalam waktu dekat, dan saat baru satu bulan pernikahan berjalan, kedua pihak keluarga sudah memaksa mereka untuk segera memberi keturunan.
Tapi mereka tidak saling mencintai. Diam-diam, Revan dan Priska bahkan sepakat jika pernikahan mereka ini hanyalah sebuah sandiwara, yang mana mereka sendiri memutuskan akan mengakhirinya setelah satu tahun pernikahan. Tapi tak disangka, pihak keluarga telah mencium aroma rencana perceraian mereka hingga pihak keluarga menekan untuk segera memberi momongan.
Sampai suatu ketika, tanpa sengaja, Priska dikejutkan dengan kehadiran seorang gadis yang tiba-tiba menyambangi kediamannya, sambil berlutut, gadis itu memohon belas kasih dari Priska.
Prilly
Seorang gadis yang hidup serba kekurangan, dan bahkan bisa dikatakan sangat miskin. Hidupnya penuh drama penderitaan. Wajahnya yang cantik sampai tertutup oleh pakaian lusuh yang selalu melekat di tubuh.
Ia tak punya harta, satu-satu keluarga yang tersisa hanyalah ayah yang kini terbaring lemah di tempat tidur karena penyakit stroke.
Suatu ketika, dua orang pria dengan tubuh kekar datang ke kediaman Prilly di kontrakan milik keluarga Sharta. Mereka adalah penagih uang kontrakan, Prilly yang saat itu tak memiliki uang cukup meminta tenggang waktu, tapi sungguh malang, permintaan itu di tolak. Prilly diminta untuk segera mengosongkan rumah kontrakan yang ia tempati selama dua tahun terakhir itu.
Dengan terhuyung, ia mendatangi kediaman keluarga Sharta. Namun, sungguh tak diduga, ia justru bertemu dengan anak perawan dari keluarga Sharta.
Prilly memohon, dengan berlutut di hadapan wanita itu, berharap ia mau memberi tenggang waktu atas pembayaran kontak yang sudah telat selama enam bulan terakhir.
"Kalau aku memberimu waktu lagi, memangnya kamu yakin, bisa membayar semua itu dalam waktu dekat?"
"Sa-saya .. tidak bisa menjanjikan untuk hal itu tapi .. maafkan saya, saya mohon agar Nona mengasihani saya."
"Mengasihanimu? Bukankah aku akan rugi lagi."
"Kalau begitu, saya .. akan melakukan apa saja, agar saya dan ayah saya masih bisa menempati kontrakan itu!"
Sejenak Priska diam mendengar penuturan dari Prilly. Ia menatapnya, lalu meminta Prilly untuk berdiri dan berputar pelan. Prilly menurut saja dengan permintaan aneh dari Priska.
Hmm, gadis ini cukup menarik. Aku bisa manfaatkan dia! Tapi untuk apa?
"Apa pendidikan terakhirmu?"
"Saya .. sebenarnya dulu sempat kuliah, tapi dua tahun terakhir, terpaksa berhenti karena harus mengurus ayah saya yang terkena stroke!"
"Hmm, apa kamu cukup berprestasi di sana?"
"Ya, saya cukup berprestasi!"
"Apa kau bisa menunjukkan buktinya?"
"Ya, bisa, saya masih menyimpan beberapa catatan saya selama kuliah. Di sana ada banyak nilai tinggi yang bisa saya tunjukkan."
"Hmm ...."
Priska menautkan jarinya di sela dagu. Perlahan mengitari gadis yang kini sudah berdiri dengan kepala menunduk, sedang tangannya meremas ujung baju yang ia kenakan.
Dia ini, sepertinya memang cukup pandai. Jika ingin dimanfaatkan, maka haruslah sesuatu yang benar-benar berguna. Tapi apa ....
Ia berhenti tepat di depan wajah Prilly. Masih setia menautkam jemarinya di sana.
Aku tidak sedang butuh apapun, kecuali seorang bayi'. batinnya bergumam.
Namun tiba-tiba saja, mendadak mata Priska berbinar, ia seperti pemburu yang baru menemukan segunung harta buruan.
"Ah, aku tahu!" Ia menjentikkan jemarinya, membuat Prilly terdongak tanpa sengaja, dengan tatapan mata yang juga sama girangnya.
Sepertinya, aku berhasil membujuk Nona muda!' batin Prilly berusaha menduga.
Kalau benar dia seorang gadis yang cukup pintar, kurasa Revan pasti mau jika memiliki keturunan dari gadis ini, hahaha.' Priska tertawa tipis, membuat mata Prilly yang tadi terlihat girang perlahan memudar. Ia sadar, bola mata Priska menunjukkan adanya niat tak mengenakkan.
"Siapa namamu?"
"Nama saya, Prilly!"
"Prilly, kau bilang, untuk tetap tinggal di kontrakkan itu kau rela melakukan apa saja, bukan?"
"Ya, saya bersedia, Nona!"
"Bagaimana jika aku memberikan saja rumah itu untukmu secara gratis?"
"Benarkah?"
"Ya, tapi sebagai imbalannya, aku ingin kau meminjamkan rahimmu untukku!"
"Maksud, Nona?" Wajah Prilly sudah terlihat harap-harap cemas.
"Jadi, kamu belum paham, ya? Biar kuperjelas, aku ingin kamu mengandung bayi untukku! Benih dari suamiku, bagaimana? Kamu setuju?"
"Apa??"
Deg.
"I-i-itu sebenarnya aku be-?"
"Kenapa? Tadi kamu bilang akan melakukan apapun, 'kan?"
"Iya, tapi ...."
"Cepat putuskan sekarang, kamu setuju atau tidak? Kalau kamu mau, aku bahkan bisa memberimu lebih dari sekadar rumah kontrakan sederhana itu. Kamu bisa mendapatkan fasilitas yang menunjang hidupmu jika kamu bersedia."
Prilly masih terdiam mematung. Tangannya semakin kuat meremas ujung baju.
"Aku juga akan memberikan fasilitas pelayanan khusus, seperti Asisten Rumah Tangga jika kamu membutuhkan, bagaimana?"
"I-itu, aku ...."
"Baiklah, aku tau kamu belum bisa memutuskannya sekarang, pikirkanlah baik-baik. Oke! Pulanglah, aku akan mengunjungi kediamanmu, esok!"
Seketika tulang-belulang dalam tubuh Prilly melemas. Berat rasanya saat ia mencoba melangkah pergi dari kediaman keluarga Sharta itu. Sesekali Prilly masih menoleh, menatap bangunan mewah yang bak istana syurga itu, tapi penghuninya tak lebih buruk dari iblis.
Mereka orang kaya, kenapa harus berbuat picik terhadap orang miskin sepertiku?' Ia menggumam sedih. Prilly melangkah pergi, untuk pulang membawa segenggam harapan di masa depan, dengan mengorbankan keperawanannya.
Bersediakah Prilly melakukan permintaan Nona Priska, atau ia justru menolaknya?
Kalian harus memberi keturunan agar kita memiliki calon penerus Perusahaan Arkandi Group.
Kalimat itu masih mengiang dalam bayangan Revan. Ia sampai meremas rambut di kepalanya. Geram, tuntutan itu sudah seperti ancaman atau perintah yang datang dari pintu neraka.
Kenapa mereka selalu menuntutku untuk memberi keturunan? Bagaimana aku bisa melakukannya dengan Priska. Aku bahkan sama sekali tak menaruh rasa pada gadis manja itu. Agghh.
Praak.
Kesal. Revan sampai membanting botol wine yang masih terisi setengah itu. Membuat mata asistennya yang setia berdiri di samping, sampai terpejam saat pecahan kaca itu memantul sebelum akhirnya kembali berserakan.
Namun tiba-tiba, sebuah ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatian Revan.
"Masuk," serunya.
Krieet.
Dua orang pengawal lebih dulu masuk diikuti oleh seorang wanita yang berjalan dengan sedikit cepat. Ia mengenakan gaun yang cukup ketat hingga membentuk lekukan tubuhnya, juga menggunakan sepatu heels setinggi sepuluh senti.
Apa ini? Apa sekarang Priska berniat menggodaku! Cih.
Revan diam menatap wanita yang dengan santai menghampirinya itu. Berdiri, dengan meja sebagai pemisah jarak antara mereka. Kedua tangannnya langsung menekan ke atas meja.
"Apa yang kamu lakukan di kantorku? Cepat pergi, sebelum aku mengusirmu! Jangan pernah berpikir aku akan benar-benar tidur denganmu!"
"Kau jangan salah menilaiku! Kau pikir aku datang ke sini untuk menyerahkan tubuhku padamu?" Ia tertawa tipis. "Aku datang ke sini membawa solusi untuk masalah kita!"
Revan mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Bukankah keluarga kita menuntut untuk segera memberi momongan pada mereka?"
"CK, hal itu tak perlu kau katakan, aku juga sudah tahu itu!"
Priska tertawa kecil. "Kalau begitu, aku membawakan hadiah untukmu, kamu pasti suka!"
"Hadiah? Aku tak suka menerima hadiah! Terutama darimu, jadi pergilah."
"Jangan terburu-buru mengusirku, bagaimana jika kau melihatnya dulu!" jawabnya. "Hollan, bawakan gadis itu kemari!" Priska memanggil seorang asisten yang menunggunya di luar bersama seorang gadis.
Tanpa menunggu lama, dia langsung menyongsong gadis itu ke ruangan Revan.
Sosok wanita yang kemarin berlutut dan terlihat lusuh dengan wajah sedikit kusam kini berubah cantik layaknya artis ternama. Ia mengenakan gaun putih yang memperlihatkan bagian lengan dan bahunya. Rambutnya terurai sedikit bergelombang. Tapi pancaran matanya terlihat sayu, seakan ada beban hebat yang menekan batinnya.
Revan menatapnya sekilas lalu kembali memandang Priska. "Apa maksudmu dengan membawa gadis ini?"
Priska tersenyum kecil, meletakkan satu jari telunjuk di atas bibirnya. "Psstt! Bicaranya jangan keras-keras!"
"Ck, cepat katakan! Aku tak suka bertele-tele!"
"Baiklah, sepertinya kamu memang pria yang tak sabaran. Hmm, jadi, aku ke sini membawa gadis cantik ini untukmu, apa kau suka?!"
Seketika Revan tertawa. "Kau ini sakit, ya? Aku tak membutuhkan gadis kampungan seperti itu! Aku bahkan bisa mendapatkan seribu gadis yang lebih cantik dari dia! Untuk apa bersusah payah menerima hadiahmu ini," tawanya. "Sudahlah, cepat bawa dia pergi, aku malas meladenimu!" Revan langsung berbalik badan, membelakangi Priska untuk beranjak duduk di kursi pribadinya.
"Tapi, dia bersedia menampung bayimu dalam rahimnya!"
"Apa?" Spontan Revan menoleh. "Kau gila! Kau pikir aku pria murahan yang mau menitipkan benihku pada sembarang wanita? Bahkan untuk wanita yang asal usulnya aku tak tahu!"
Prilly hanya bisa menunduk mendengar perdebatan dua insan di hadapannya itu. Ingin rasanya ia menghujamkan mereka dengan sejuta makian, tapi ia sadar, orang miskin akan selalu kalah jika melawan mereka yang kaya dan memiliki segalanya.
"Dia bukan wanita sembarangan, dia wanita cerdas. Aku sudah mengonfirmasinya. Bahkan aku sendiri yang turun saat melakukan pengecekkan pada data pribadinya!" elak Priska berusaha meyakinkan Revan. Berharap dengan begitu, Revan luluh dan bersedia melakukan apa yang sudah ia rencanakan.
"Aku tak perlu melakukan hal ini, bukan? Kita adopsi saja bayi di luar sana!" Revan membuang jauh pandangannya dari hadapan Priska. Memupuskan harapan wanita itu.
"Revan, kau pikir kenapa aku sampai rela memintamu sejauh ini?" hardiknya. "Ini semua demi kebaikanmu! Bukankah kita sepakat, setelah satu tahun kita akan bercerai. Lalu bagaimana dengan nasib anak yang dianggap cucu oleh keluarga kita. Bahkan menjadi calon penerus keluargamu. Apa kamu mau, darah yang bahkan tidak mengalir dalam keluargamu harus menjadi penerus pemegang saham Arkandi Group, perusahaan yang di pimpin olehmu?"
Revan terdiam sejenak.
"Revan, pikirkanlah. Memang benar ada puluhan wanita di luar sana yang siap menampung bayimu dalam rahimnya, tapi apa kamu sudah memikirkan bagaimana jika kelak wanita itu membongkarnya ke publik, untuk mengambil keuntungan?"
"Lalu bagaimana dengan wanita yang kau bawa? Bukankah dia juga bisa melakukan hal yang sama?"
"Dia tidak sama dengan wanita di luar sana. Aku sudah mengikatnya dengan kontrak! Dia tidak akan berani!"
Revan masih membelakangi Priska yang tak hentinya mengoceh itu.
"Pikirkanlah itu, Revan!" ucapnya.
Kali ini Revan mulai memutar pelan tubuhnya.
"Kenapa tidak kau saja yang hamil? Bukankah begitu lebih mudah, kau punya pacar 'kan? Lakukan saja dengan pacarmu."
"Aku? Tentu saja aku tidak mau. Itu sama saja dengan melemparku ke dalam penjara abadi. Kau pikir mengandung anak sampai melahirkan adalah hal yang mudah? Aku tidak mau menderita, perut buncit akan membuatku lelah. Aku tidak mau!"
"Huft! Terserah kau saja!" Revan menghempas kasar tubuhnya saat duduk di kursi pribadinya, dan langsung menyandarkan punggungnya.
"Jadi .. apa sekarang kau setuju??" tanya Priska yang sudah mulai memancarkan senyum bahagiannya.
Jawaban terserah itu artinya setuju, bukan? Priska mulai menerka dalam hati.
Revan hanya menatapnya sekilas lalu menaikkan seutas bibirnya. "Hmm!"
"Baguslah! Akhirnya kau mengerti juga!" Priska tertawa girang, sambil menepuk tangan di depan Revan.
Cih! Anak manja ini, kenapa orangtuaku sudi menjadikannya menantu? batin Revan berdecih kesal.
"Apa yang sudah kau janjikan untuknya hingga dia merelakan dirinya melakukan hal sebesar ini?"
"Kau tidak usah pikirkan hal itu. Aku sudah mengurusnya!" ucapnya tertawa kecil.
Kembali Revan diam menatapnya. "Huh, terserah kau saja!"
"Jadi, bukankah sekarang kita sepakat?" tanya Priska.
"Hmm," sahut Revan tanpa menatap.
"Bagus, kau sudah mengambil keputusan yang bagus, Revan. Baiklah, kalau begitu, aku pergi dulu! Aku titip gadis ini untukmu, ya! Selamat bersenang-senang."
Priska melenggang pergi, melambai pada Revan. Menjauh untuk keluar dari ruangan itu, ia sempatkan menepuk pundak Prilly sebelum benar-benar pergi.
"Jangan gugup, ya! Nikmati saja!" ucap Priska tersenyum lebar, seakan memberi semangat pada Prilly. Tapi yang terdengar oleh rongga telinga Prilly hanyalah bunyi hinaan yang teramat menusuk ke dalam hati. Prilly sampai mengepal erat tangannya.
Priska sudah berlalu, tapi ia masih menunduk, mendengarkan suara langkah Priska yang lambat laun semakin mengecil lalu menghilang. Gadis itu masih gugup, berdiri di ujung sana.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Ia mulai gemetar. Menyerahkan diri dengan pria asing untuk menampung benih dalam rahimnya, tak ayalnya seperti menjual diri saja.
"Heh! Kamu!"
"Ahh!" Prilly terkejut mendengar suara Revan yang memanggilnya dengan sedikit menggertak. "Kenapa kamu masih berdiri saja di sana?"
"Ah iya!" Prilly mulai gelabakan. Ia sibuk ke sana kemari kebingungan, ia sampai lupa jika tak ada perintah yang diminta untuk ia lakukan. Lalu mendadak langkahnya terhenti.
Tunggu, kenapa aku berputar-putar begini, bukahkah dia tak memberiku perintah. Ah, membingungkan saja, apa yang harus kelakukan?
"Heh! Apa yang kamu lakukan?" Revan kembali menghardik, setelah melihat Prilly yang sebelumnya berputar-putar tak tentu arah, membuat Prilly terkejut untuk kedua kali.
"Pintar katamu, Priska? Cih, gadis bodoh begini dia bilang pintar!" Ia menggumam kesal. Meraih jas yang tergantung, melemparnya ke arah Prilly, dan berhasil mendarat di antara kepala dan bahu gadis itu. "Gunakan jas itu untuk menutupi tubuhmu!"
"Ah, iya, baik!" Prilly langsung menutupi tubuhnya, tapi masih setia berdiam di sana.
"Heh, kenapa kau masih berdiri di sana? Apa kamu tidak lelah?"
"Tidak, Tuan!" jawabnya spontan. Membuat bola mata Revan sedikit menyipit.
"Kalau begitu, berdirilah terus di sana!"
"Eh, tidak, maksud saya, saya lelah, Tuan!"
"Cih!" Revan berdecih pelan. "Duduklah di sofa itu!" Ia mengarahkan Prilly hanya dengan sekali tunjuk.
"Ah, iya, baik, Tuan!" Prilly langsung beranjak ke sana. Duduk dengan wajah yang setia menunduk.
Sore hari menjelang kedatangan Priska ke kontrakan yang di tempati oleh Prilly dan ayahnya.
Hari sebelum Priska membawa Prilly ke hadapan Tuan Revan.
*****
Sore itu ....
Prilly melepas sendalnya, masuk lalu menggantinya dengan sandal rumah. Ia baru saja pulang, usai bekerja di pasar lokal.
Begitu tiba, ia tak langsung mandi atau sekadar mengganti pakaian. Ia justru menuju dapur, meraih pisau, meracik beberapa batang wortel dan buah kentang yang ia bawa dari pasar, untuk kemudian memasaknya dalam satu panci sedang. Sayur sup menjadi pilihan menu makan malam.
Ia harus segera memasak, membuat menu yang akan menjadi makan malam bersama ayahnya itu.
Ayahnya memang nyaris lumpuh, tapi masih bisa berbicara dengan sangat fasih.
"Prilly, kenapa baru pulang sekarang? Apa kamu tidak tahu betapa laparnya ayah menunggumu pulang, hah?"
Seperti biasa, nada bicara sang ayah selalu terdengar menggertak. Ya, itu karena semasa sehat dulu, ayahnya termasuk pria pemabuk berat, penjudi, juga tukang hutang. Membuat istrinya pergi meninggalkannya beserta putri yang saat itu masih menduduki bangku sekolah dasar. Ya, putri itu tak lain adalah Prilly yang kini menjelma menjadi gadis dewasa.
Prilly diam tak menjawab pertanyaan ayahnya itu. Ia memilih menyibukkan diri dengan memotong-motong sayuran di atas meja dapur di samping tempat memasak. Gadis itu memang cukup sabar menghadapi sikap kasar ayahnya.
"Heh, Anak Haram!" hardik ayahnya kesal karena Prilly tak kunjung menghiraukannya. Bukannya Prilly ingin bertingkah durhaka dengan mengabaikan ayahnya, ia hanya lelah jika harus berdebat setelah seharian bekerja mencari nafkah. Namun, panggilan dengan sebutan 'Anak Haram' itu berhasil mengacak-acak kesabarannya. Prilly menoleh pelan, dengan sorot lesu.
"Ayah, aku lelah, bisakah ayah membiarkanku memasak tanpa harus memakiku?"
"Kenapa? Kau tidak terima? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, ibumu itu seorang pelac*r, makanya dia pergi meninggalkanmu untukku. Aku bahkan tak tahu, pria mana yang sudah menidurinya hingga melahirkanmu."
Praak.
Prilly membanting baki yang berisi sayuran sop itu. Membuat potongan sayur itu berhamburan ke lantai.
"Cukup, Ayah! Berhenti menjelekkan ibu, itu tidak benar, ibu tidak seperti itu." Prilly tak kuasa menahan diri mendengar hinaan yang bahkan keluar dari mulut ayahnya sendiri.
Seketika ia beranjak pergi, berlari kecil keluar rumah untuk menenangkan diri dari rasa sakit yang mencabik-cabiknya hatinya itu.
Kucuran air mata langsung membanjiri wajah kusut gadis itu. Isakan tangis bahkan tak bisa ia redam. Namun, baru saja langkahnya berhasil berpijak di luar rumah, mendadak ia dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita yang tidak asing, wanita itu dikawal oleh dua bodyguard di belakangnya.
Ia tak lain adalah Priska. Gadis yang datang itu langsung disambut oleh penampilan lusuh dan bau tak sedap dari tubuh Prilly yang memang baru saja usai bekerja di pasar ikan. Aroma keringat yang bercampur dengan bau amis nyaris membuat Priska merasa mual. Gadis itu sampai menutup hidungnya dengan satu tangan. Sedang sebelahnya lagi tampak mengibas-ngibas, berusaha mengusir aroma tak sedap itu.
"Hei, apa yang baru kamu kerjakan? Aroma tubuhmu membuatku mual, tahu!" Ia mendelik jijik. Sapaan yang seperti penghinaan itu manjadi awal percakapan mereka.
"Maaf, aku baru saja selesai bekerja di pasar ikan, dan belum sempat mengganti pakaian."
"Ougghh, huee!" Priska merasa mual hingga hampir muntah di hadapan Prilly.
"Prilly!" Teriakan yang berasal dari dalam. "Apa yang kamu lakukan? Cepat buatkan aku masakan, sekarang! Apa kau tidak tahu, aku sudah sangat lapar."
Seketika Prilly dan Priska terdiam mendengar suara hardikan yang datang dari dalam rumah itu.
"Prilly, jangan coba-coba kabur dari ayah. Kau jangan lupa, siapa yang sudah bersusah payah membesarkanmu!" Lagi, Prilly diam tak menyahut.
"Dia, ayahmu?" tanya Priska pelan. "Jadi .. ayahmu bertempramen kasar, ya?" Priska mencoba menebak kepribadian ayah Prilly dari caranya memperlakukan anaknya itu. Prilly mengangguk pelan.
"Kau bilang, ayahmu terkena stroke? Kau berbohong, ya?"
"Tidak, dia memang stroke, tapi masih bisa berbicara fasih."
"Hmm, jadi begitu. Oke, aku langsung ke intinya saja, ya. Kedatanganku ke sini untuk mengecek kebenaran dari data yang kamu sampaikan tadi pagi. Apa kamu sudah menyiapkan data yang kuminta?"
"Hmm, aku sudah menyiapkannya. Aku akan mengambilnya ke dalam. Apa Nona tidak ingin menunggu di dalam?"
"Tidak, di sini saja!"
"Umm!" Prilly mengangguk, lalu masuk ke dalam menuju kamarnya. Melewati kamar ayahnya yang sentiasa terbuka itu.
"Heh, Prilly, cepat selesaikan masakanmu!" Kembali ayahnya memerintah saat melihat anak gadisnya yang kembali masuk dan melintas di depan kamarnya.
"Maaf, ayah. Aku tidak bisa melanjutkan untuk memasak sekarang. Aku akan membelikan makanan siap saji saja nanti!"
"Hei, Prilly, apa maksudmu? Jika ingin membeli, harusnya sekarang! Jangan nanti, cepat bawakan makanan dan suapi aku."
Prilly hanya lewat menuju kamarnya, selang beberapa saat ia keluar dan membawa seberkas catatan nilai-nilai semasa kuliah dulu. Tak ia hiraukan ayahnya yang terus saja memanggil itu. Ia memilih mendatangi Priska saja di luar sana.
Masih terlihat Priska yang berdiri di teras rumah menghadap jalanan.
"Nona!" panggil Prilly padanya, membuat gadis itu menoleh. Ia mendekat dan langsung menyerahkan berkas saat sudah berdiri dengan jarak yang hanya setengah meter dengan Priska. "Ini berkas semasa kuliah saya dulu yang Nona minta," ucapnya menyerahkan lembaran kertas nilai kuliah itu pada Priska.
"Oke." Priska langsung menyerahkan berkas itu pada dua pengawal di belakangnya, untuk mengecek kebenarannya. Tanpa menunggu lagi, mereka segera mengeceknya.
"Ya, Nona, berkas ini nilainya bagus semua!" ucap mereka menerangkan. Priska melirik sekilas, kemudian mengangguk pelan.
"Oke, aku pengawalku sudah melihat berkasmu, jadi .. bisakah kita membuat kontraknya, sekarang?"
"Kontrak, secepat ini?"
"Ya, aku butuh cepat, aku tidak memberimu kesempatan kedua, tanda tangani kontrak kerjasamanya sekarang atau tidak sama sekali, tapi kamu dan ayahmu bisa angkat kaki dari rumah ini!"
Prilly terdiam sesaat. "Tapi, aku tidak harus ikut denganmu sekarang, 'kan?"
"Harus ikut, sekarang!"
"Lalu, jika aku ikut, bagaimana dengan ayahku?"
"Aku yang akan mengurusnya, akan kukirim beberapa asisten untuk merawat ayahmu. Atau jika kamu mau, aku juga bisa memberi fasilitas pengobatan agar ayahmu bisa kembali pulih!"
"Benarkah?"
"Ya, jadi, bagaimana? Kau bersedia tanda tangan sekarang dan ikut denganku?"
"Apa aku akan tinggal denganmu juga?"
"Ya, mungkin untuk beberapa waktu kau tidak perlu pulang dulu, tapi kau juga tidak akan tinggal denganku!"
"Maksud, Nona?"
"Kau akan tinggal dengan suamiku, sampai kau benar-benar mengandung anak dari benihnya!"
Deg.
Mengandung anak, kalimat itu sudah seperti petir di siang hari. Jantung Prilly seakan berhenti memompa. Ya, bagaimana tidak, gadis yang bahkan belum pernah melakukan hubungan badan itu harus merelakan rahimnya menjadi alas penyambung hidup dia dan ayahnya.
Semoga Tuhan mengampuni dosaku. Ia kini hanya bisa berdoa dalam hati.
Jangan lupa untuk menekan tombol favorit juga ya, biar gak ketinggalan upadetan terbarunya. 🤗🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!