NovelToon NovelToon

Ranting Kering Menantikan Hujan

BAB 0: Lelaki tak beridentitas

“Tin-tin-tiiiiin...”

“Awas!” sebuah peringatan dari seorang gadis yang sedang mengendarai mobil dengan panik.

“Ada apa ini mba? Apa yang terjadi?” perawat rumah sakit ikut panik juga, dan mereka langsung kocar-kacir membagi tugas, sebagian berlari terlebih dahulu membukakan pintu, ada yang menyiapkan troli pasien, sebagian lagi membantu seseorang mengeluarkan seseorang yang sedang sekarat dari dalam mobil honda jazz warna merah yang terparkir persis di depan pintu rumah sakit

“Ayahku di mana? Ayahku!” seorang gadis yang panik itu masih saja panik, seseorang yang sekarat sudah di ambil alih oleh perawat rumah sakit sepenuhnya, mereka mendorong meja pasien ke ruang UGD.

“Dokter Didi sedang menangani pasien mba!”

“Tolong panggilkan dia sekarang juga suster!” gadis itu masih panik, mukanya pucat, itu karna dia memang sedang ketakutan.

“Iya mba!” Suster pun langsung melangkah pergi terburu-buru, Gadis itu pun masih harap-harap cemas, lelaki sekarat yang ada di ruang UGD sedang di rawat oleh para perawat yang mengambil alih.

Tak lama kemudian dokter Didi pun datang juga dengan terburu-buru.

“Ada apa ini Rany?”

“Ayah! Tolong yah! Di dalam ada lelaki yang sedang sekarat!”

“Iya tapi siapa dan kenapa?”

“Rany tidak sengaja menabraknya yah! Rany tidak sengaja yah!” Dokter Didi tak lagi fokus pada cerita gadis bernama Rany anaknya, ia lekas masuk ruang UGD, ia melihat keadaan lelaki yang sudah tak berdaya terbaring di dalam UGD, jarum infus sudah menusuk di salah satu tangan si lelaki sekarat.

Sedangkan Rany masih panik di depan ruang UGD, ia masih terus menunggu kabar dari ayahnya yang sedang menangani lelaki yang sudah ia tabrak di jalan raya. Ia masih memegang sebuah tas gendong milik si lelaki yang ia tak tau isi dari tas itu.

Sebuah handpon berdering di tas miliknya yang unik, ia tanpa ragu mengangkat telpon itu.

“Halo!” Rany mengangkat telpon itu dengan panik juga.

“Iya Bu! Maaf saya tidak bisa datang ke lokasi shooting sekarang, saya mengalami kecelakaan bu! sekarang saya sedang di rumah sakit bu!”

“Iya tidak apa-apa bu! Gantikan saja peran saya kalau ibu tidak bisa menunggu saya lagi, ibu bisa mengerti keadaan saya sekarang kan? Iya bu saya tau ini tanggung jawab saya, tapi saya juga harus bertanggung jawab dengan korban yang tertabrak mobil saya.” Rany masih bingung harus berbuat apa, hari ini begitu banyak permasalahan yang sedang ia hadapi.

“Iya terimakasih ya bu! Maaf saya...” “Tut-tut-tut” telpon terputus.

“Duh! Apa yang sedang terjadi ini?” Rany terlihat marah dengan keadaan ini, dia adalah seorang artis yang tak begitu di kenal oleh publik, karna dia hanyalah seorang artis pemeran pembantu.

Handponnya berbunyi lagi, kali ini dari kekasihnya, yang juga hubungannya dengan sang kekasih sedang renggang.

“Halo...” Rany mengangkatnya dengan malas.

“Iya, aku bisa mengerti kok, kalau kamu mau putusin aku ya sudah putus saja...” “tut-tut-tut” wajahnya semakin cemberut, ia masih belum juga mengerti dengan keadaanya saat ini, masalahnya dengan kekasihnya yang sudah ia pertahankan selama lima tahun pun akhirnya berakhir di hari ini.

“Sebenarnya hari apa ini?” Rany ngedumel sendiri, kemudian tertunduk lesu.

Rany masih setia menunggu kabar dari ayahnya sampai beberapa manit, begitu dokter Didi keluar dia langsung menyerang Ayahnya itu dengan pertanyaan.

“Bagaimana yah?”

“Rany dapat lelaki ini dimana?” Dokter terlihat begitu santai. Ia mengajak Rany untuk duduk lagi di kursi tunggu.

“Di jalan raya saat Rany mau berhenti di lampu merah yah! Tiba-tiba dia ada di depan mobil Rany yang sedang Rany setir, maafin Rany yah! Rany sedang terburu-buru.”

“Rany menabraknya?”

“Iya yah! Tapi Rany tidak sengaja yah! Bagaimana keadannya yah?”

“Dia baik-baik saja!”

“Alhamdulillah! Terus itu darah yang keluar dari hidungnya?”

“Itu darah sudah ada sebelum Rany tabrak, dan dia tidak mengalami luka luar segores pun.”

“Lho kok bisa yah? Terus kenapa dia jatuh pingsan dan tak sadarkan diri?”

“Ada masalah lain yang terjadi di kepalanya, Ayah akan memeriksanya, sekarang kamu cari identitas lelaki itu, ayah akan menyiapkan sinar X untuk melihat keadaan kepalanya.”

“Jadi bukan karena Rany yah?”

“Bukan! Tapi Ayah tetap bangga mempunyai anak seperti Rany.” Dokter Didi membelai rambut Rany yang panjang lurus terurai. “Bagaimana syooting Rany?”

“Gagal lagi yah! Seharusnya Rany dapat peran lagi di salah satu PH, tapi Rany dapat kecelakaan ini sebelum Rany dapat peran itu, ya mau bagaimana lagi yah. Kan ayah yang ngajarin, tanggung jawab itu lebih utama dari segalanya, Rany ngga mau lari dari masalah yang Rany hadapi.”

“Terus bagaimana dengan Doni?”

“Putus!”

“Rany yang mutusin?”

“Doni yang mutusin yah.”

“Ya sudah sekarang tugas Rany untuk mencari identitas lelaki itu.” Dokter Didi kemudian pergi menuju ruang kerjanya di rumah sakit ini.

Rany sendiri di depan ruang UGD, ia sedang mencoba mencari identitas si lelaki dengan mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam tas milik si lelaki.

“Masa ngga ada identitasnya sama sekali sih di dalam tas ini?” ia terus mengeluarkan isi tas kucel itu, namun ia tidak juga menemukan identitas si lelaki, KTP, SIM, atau apalah yang ada nama si lelaki itu.

“Ini cowok ngga punya identitas kok bisa hidup di jakarta sih? Apa mungkin dia itu bukan orang Indonesia?” dugaan terus tumbuh di benaknya. Putus asa lah ujungnya, ia meletakkan tas yang sudah tak berisi lagi di sampingnya. “klutak...” sebuah benda terjatuh dari saku tas yang sudah dia obrak-abrik, ia pun penasaran dengan benda itu.

“Kayak flasdish?” komentarnya tentang benda yang jatuh itu, ia pun memastikannya dengan terus melihat benda itu.

“Cowok ga punya identitas? Isi tasnya pun cuman buku-buku coretan yang ngga jelas? Dan sekarang Flasdish?” Rany masih bingung dengan apa yang dia temukan di hari ini.

“Jadi penasaran gua sama Flasdish ini, tapi ntar malah isi flasdish ini Virus? Atau cuman film bokep doang? Ih jadi bed filling gini sih gua, jangan su’uzon gini dong Rany!” Rany masih terus memandang flasdish di tangannya, kemudian tanpa ragu dia memasukan semua barang yang sudah ia keluarkan dari tas ke dalam tas kucel itu lagi, ia menggendongnya terus dia melihat lelaki tak beridentitas di dalam ruag UGD dari balik kaca.

“Gua yakin kalau elu bukan orang jahat, dan gua yakin, gua akan menemukan identitasmu dari flasdish ini.” Ia pun bergegas menuju ruang kerja ayahnya.

Dokter Didi masih sibuk dengan pekerjaannya, Rany pun masuk ruangan full AC milik ayahnya dengan mengetuk pintu terlebih dahulu, Dokter Didi yang berbadan tinggi besar rambut sedikit tipis di depan dan sedikit berkumis serta berkaca mata pun mempersilahkan masuk. suasana dalam ruangan ini sudah pasti dingin.

“Yah! Rany sudah boleh pulang kan?”

“Sudah, biar si lelaki itu ayah yang tangani, sudah Rany temukan identitasnya?”

“Belum yah! Tapi Rany menemukan flasdish di dalam tasnya”

“Flasdish?”

“Iya yah Flasdish, Rany langsung pulang saja ya yah!” Rany mencium tangan ayahnya kemudian kedua pipinya dan pergi.

“Hati-hati di jalan ya Rany!”

“Iya ayahku sayang!” dari percakapan kedua ayah dan anak ini bisa di pastikan mereka adalah keluarga yang harmonis.

***

Mobil honda jazz terparkir di halaman rumah yang sederhana, Rany pun turun dari mobilnya setelah mematikan mesin mobilnya, seorang pembantu membukakan pintu rumahnya.

“Lho kok non sudah pulang? Sudah selesai syootingnya non?” pembantu rumahnya menyambut Rany begitu ramah.

“Ngga jadi shooting bi! O iya mama belum pulang bi?”

“Belum non, baru Ibu berangkat tadi waktu non pergi.”

“Ya begitulah, mama memang sangat sibuk dengan Rany care beauty-nya, terus si Adit?”

“Belum balik sekolah non.”

“O begitu, Rany mau istirahat dulu ke kamar ya bi!”

“Non Rany mau di buatkan juss?”

“Ngga usah bi, ntar aja kalau sudah kepengin, sekarang bibi terusin aja pekerjaan bibi!”

“Baik non!” Pembantu itu pun menuruti perintah Rany dengan senang hati, dan Rany menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah sederhana ini.

Sampai di kamar dia pun menjalankan rencananya untuk membuka Flasdish yang ia temukan di tas kucel milik lelaki tanpa identitas.

Ia membuka notebooknya, menghidupkannya kemudian menancapkan flasdish di salah satu lubang USB di notebook, data pun terbaca.

“Apa ini? Kok isinya Microsoft word? Ini dokumen apa?” ia pun mengahiri penasarannya dengan langsung membuka dokumen itu.

“Ini seperti novel?” tanpa ragu ia pun langsung membaca isi dokumen tersebut.

***

Bab: 1 Nama adalah Do’a

Maret 1986

Terik matahari menerangi siang hari ini masih dengan kesempurnaan sang Surya, angin bertiup dengan santai menerpa pepohonan yang masih begitu hijau, alam masih menjadi sahabat manusia, namun tidak semua manusia menjadi sahabat alam, seperti yang sedang di alami oleh Seorang wanita berusia 19 tahun yang bernama Kasmini, dia tampak sangat bersedih, perutnya sudah besar, dia sedang hamil delapan bulan, di pangkuannya seorang bocah perempuan berusia 4 tahun, seorang wanita yang berwajah bulat oval berambut panjang sebahu, dengan rambut di ikat kucir ke belakang itu juga sedang menangis di depan gubug rumah ayahnya, dia duduk di sebuah lincak, tiba-tiba saja...

“Kie Sandanganmu Kas!”  Mad Gasmin, seorang lelaki tua, dia adalah ayah kandung Kasmini “Goleti nganah bojomu! Bojo ora tanggung jawab!”  Dia keluar dari dalam gubug dan membawa segulungan kain yang isinya adalah pakaian Kasmini, anak pertamanya dari empat anaknya, kedua adik Kasmini yang masih berusia 10 tahun Maman dengan penampilan yang sungguh sangat memprihatinkan, tanpa baju, memakai celana pendek merah seragam SD yang kedodoran, yang di kasih oleh tetangga, dan 9 tahun Kamisah yang cuman memakai kaos oblong orang dewasa, mereka berdua hanya diam di depannya. Perlahan Kasmini mulai bergerak dia menghapus air matanya yang sudah membanjiri pipinya, dia menggendong anak pertamanya Mami, bocah perempuan yang sangat masih terlihat manis dan lucu, dia masih saja diam dia tidak tau apa-apa, Kasmini memungut gulungan kain yang berisi pakaiannya, kemudian dengan berat hati mulai melangkah meninggalkan rumah yang beralaskan tanah beratapkan welit dan bertembok dhabag serta bertiang bambu.

Ke dua adiknya yang masih ingusan itu masih terus melihat kepergiannya dengan wajah yang sangat memilukan, mereka tak tau harus berbuat apa, mereka hanya bisa melihat kakaknya pergi di usir oleh ayah mereka hanya karena suaminya yang bekerja di Jakarta selama dua bulan ini belum juga mengirim uang untuk membiayai hidupnya di kampung, memang sungguh tega ayah mereka, padahal Kasmini sedang mengandung anaknya yang ke dua. Kasmini terus melangkahkan kakinya meninggalkan rumah ayahnya, sekilas dia melihat ke dua adiknya perasaan berat untuk meninggalkan mereka pun timbul, dia berhenti sejenak ‘semoga kalian tidak mengalami apa yang Yayumu ini alami dek!’ sebuah do’a terlayang untuk kedua adiknya, kemudian ia pun melangkahkan kakinya lagi, kedua adiknya masih terus melihat kepergiannya dengan raut muka yang sangat keberatan. Kasmini pun tetap melangkah pergi menelusuri sebuah jalan tak beraspal dengan pepohonan kelapa berdiri menjulang tinggi di tepian jalan, alam memang masih sangat sehat, masih banyak makhluk penghasil oksigen, dan belum ada benda-benda yang menghasilkan polusi. Tak ada motor, apatah lagi mobil, kendaraan pun paling mewah sepeda ontel yang biasa di pakai oleh si Umar bakri si guru teladan yang di nyanyikan oleh Iwan fals.

Sampai di sebuah rumah yang sedikit lebih baik dari rumahnya dia berbelok dan memanggil sebuah nama.

“Rah! Paerah!” masih dengan suara yang parau, pintu rumah itu pun terbuka. Seorang gadis membukanya.

 “Kas? Koe nangapa?” Kasmini bukan menjawab tapi dia memeluk gadis yang keluar dari balik pintu rumah itu, seorang gadis yang lebih muda sedikit kurus dan berambut panjang sampai pinggang, namanya Paerah, dia adalah sahabat terbaik yang di miliki oleh Kasmini di kampung bernama Jetis yang berada di salah satu sudut kabupaten Cilacap, sudah pasti bahasanya adalah ngapak banyumasan.

“Rah tolongin aku Rah!”

“Iya tapi koe nangapa?” Paerah masih panik, melihat sahabatnya yang sedang hamil menuntun anak pertamanya dan menggendong pakaiannya.

“Aku di urak nang ramaku Rah!”

“Masya Alloh! Memangnya kesalahanmu apa?”

“Sunar rong wulan urung meseli.” Kasmini masih mencoba untuk tidak menangis tapi dia masih menangis juga.

“Cuman gara-gara itu? Ualah orang tua macam apa dia itu, sekarang kamu masuk dulu aja ya! Duduk dulu istirahat di rumahku aja dulu!”

“Aku arep meng Jakarta Rah!”

“Siki? Memangnya kamu punya uang?” Kasmini diam dan tak lama setelah itu dia bergeleng. “ya sudah kamu sekarang istirahat dulu aja, mengko tek dolna babon, kae aku due babon loro, nah nanti sore kita berangkat ke Jakarta, koe tulih agi meteng Kas! Masa ke Jakarta sendiri?” Paerah memaksa Kasmini masuk ke rumahnya, Kasmini pun mengikuti perintah sahabatnya.

Akhirnya di sore harinya dua sahabat itu pun pergi ke Kroya menuju stasiun kreta api, beserta anak pertama Kasmini dan bayi yang masih di kandungan, sepanjang perjalanan Kasmini masih juga belum bisa menahan kesedihan yang di alaminya, di usir oleh ayahnya sendiri dalam ke adaan sedang hamil tua. Dari desa Jetis mereka naik dokar sampai kroya, sesampainya di stasiun Paerah membeli dua tiket kreta api untuk dia dan Kasmini, anak perempuan Kasmini masih di hitung anak-anak itu artinya gratis. Paerah menuju kursi panjang yang di sediakan untuk menunggu kreta dengan membawa sebotol air mineral berukuran 2liter.

“Rah!”

“Ya!” Kasmini mulai membuka obrolan setelah dia merasa lebih baik dari sebelumnya. Paerah masih sibuk membuka tutup botol air mineral yang ia bawa.

“Melasi benget ya nasib bakal anakku!”

“Bukan cuman calon anakmu saja Kas sing melasi, koe lewih nlangsani Kas! Kalo si jabang bayi yang di perutmu itu belum bisa merasakan apa yang kamu rasakan sekarang.”

“Aku sudah memberi nama calon anakku ini Rah.”

“Eh... aja Kas! Ora ilok! mengko nek anakmu lair bisa klemar-klemer lho!”

“Tidak Rah! Aku yakin anakku ini akan terlahir menjadi seorang yang kuat, pemberani, dan dia akan menjadi orang besar.”

“Amin! Terus arep di jenengi sapa anakmu mengko?”

“Kalau dia perempuan Rani, karena dia akan selalu berani menghadapi segala cobaan yang akan dia hadapi kelak.”

“Nek lanang?”

“Teguh! Karena dia akan tetap teguh walau apa pun yang menerpa jalan yang akan dia tempuh kelak.”

“Bagus namanya, tapi ya mudah-mudahan sih ora klemar-klemer.” Kasmini kembali menangis terisak. “koe sing sabar ya Kas!” Paerah memeluk tubuh Kasmini, Mami anak perempuan Kasmini masih di pangkunya.

Tepat tanggal 21 April tahun ini, yaitu 1986 pukul 7 pagi, Kasmini merasakan akan kelahiran anaknya yang ke dua, suaminya sedang bekerja ikut proyek bangunan, Paerah sudah dapat pekerjaan, salah seorang tetangganya langsung berinisiatif untuk memanggil suaminya pulang, setengah jam kemudian suaminya sampai dengan seorang bidan.

Di dalam rumah petak itu kini sudah ada kasur, sang bidan langsung menangani Kasmini yang sedang merasakan kelahiran anak keduanya.

“Pak Sunar! Bapak tunggu di luar saja dulu ya!”

“Iya bu!” Sunaryo, suami Kasmini yang bertubuh tidak terlalu tinggi itu pun mengikuti perintah dari bidan untuk keluar dari rumah kontrakannya. Dengan gelisah bapak kandung dari Mami ini pun terus mondar-mandir di depan kontrakannya dengan menggendong Mami yang terus diam tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Sampai pukul 12 siang sang jabang bayi belum juga keluar dari rahim Kasmini, hingga beberapa saat kemudian.

“Oe...oeee...oeeeee...” suara pertama si bayi yang masih putih bersih tak ternoda itu pun memecah kekhawatiran Ayah dan ibunya.

“Alhamdulillah...” puji sang Ayah atas kelahiran anak ke duanya. Pak Sunar pun langsung masuk ke dalam kontrakannya, dia tersenyum bercampur tangis bahagia, dia melihat istrinya yang masih terkulai lemah setelah bertaruh nyawa melahirkan si jabang bayi.

“Anak kedua Bapak laki-laki pak!”

“Alhamdulillah...” sang ayah langsung mendekati anaknya, setelah di bersihkan dan tali pusar di potong sang bayi yang sudah di bregod pun di letakkan tepat di sebelah ibunya.

“Allohu akbar-Allohu akbar...” sang ayah langsung mengumandangkan adzan di telinga kanan sang bayi, bayi yang sudah memiliki nama semenjak di dalam kandungan itu pun diam seakan meresapi lantunan suara adzan Ayahnya, takbir dan syahadat adalah yang seharusnya di dengar oleh seorang manusia yang baru memasuki alam dunia ini, supaya dia tetap akan ingat dari mana dia berasal, siapa yang membuat dia ada dan kemana dia akan kembali kelak, kemudian di lanjutkan iqoma di telinga kirinya, supaya si jabang bayi akan terus teringat dengan kewajibannya di dunia ini, selalu teringat dengan perintah Alloh saat rohnya akan di tiupkan pada raga yang tak berdaya ini, yang kan semakin tumbuh semakin tua dan semakin rapuh kemudian akan tiada, seperti sebelumnya dia tiada menjadi ada.

“Akhirnya Teguh lahir dengan selamat pak!” Kasmini baru bisa sedikit berbicara itu pun masih dengan suara yang sangat lemah.

“Iya ma! Bapak yakin dia pasti akan menjadi orang besar kelak.” Kedua orang tua Teguh pun sangat berbahagia, Mami sang kakak dari Teguh pun ikut bergembira.

“Adiknya Mami namanya Teguh ya ma?”

“Iya nak, dia pasti akan melindungi Mami kalau sudah besar nanti, ayo dong di sayang dedeknya!” Mami pun mencium pipi adiknya yang baru berumur beberapa menit itu.

Tujuh hari kemudian resmilah nama si jabang bayi bernama “Teguh Mandarito” karena menurut Kasmini dalam perjalanan selama dia mengandung Teguh selalu di landa penderitaan.

***

Bab: 2 Monyet

February 1995

Kasmini sampai kampung di sambut oleh semua keluarga dan para tetangganya, termasuk tetangga yang dulu pernah di hajarnya di depan rumah. Kasmini pulang membawa sebuah TV hitam putih, karena di kampungnya listrik belum masuk, TV itu memerlukan sebuah accu.

“Ndi Kamisah Kas?” itu yang pertama di tanyakan Mad Gasmin ayahnya.

“Bocaeh ora gelem di sengi balik Ma! Dia sudah menikah dengan orang Jambi.”

“Kamu jangan buat alasan Kas! Nyong ngerti, Kamisah wis di dol mbok nang koe nggo balik?”

“Masya Alloh Ramane!” Kasmini Shok begitu mendengar tuduhan dari Ayahnya, “Rika nuduh aku adol adiku dewek?”

“Ulih duit pira koe adol adimu? Kamu sengaja menjualnya kan supaya tanah yang kalian beli di depan itu jadi hak kamu sendiri?”

“Ma!” Kasmini sedikit emosi mendengar ucapan dari Ayah kandungnya sendiri, “Tanah yang aku beli itu memang seratus persen hakku ma! aku memang memakai uang Kamisah untuk melunasi pembayaran tanah itu, tapi Kamisah juga sudah sepakat kalau aku berhutang padanya, dan aku sudah melunasinya di sana.”

“Mana buktinya kalau kamu sudah membayar hutang Kamisah? Nyong ora weruh!” Kasmini jadi serba salah dengan pertanyaan Ayahnya itu. Sedangkan di halaman rumahnya banyak tetangga yang berdatangan untuk melihat TV satu-satunya di kampung itu, sebagian ada yang membawa karung beras untuk alas, sudah seperti sebuah tontonan, ramai sekali. Kasmini dan Teguh sampai di rumah tadi pagi, dan sekarang sudah malam, Teguh di ajak Lilik Maman ke mushola untuk mengaji, besok Teguh harus kembali sekolah, dia akan di daftarkan ke sekolahnya yang dulu, SDN Jetis 04.

Sedangkan di dalam rumah masih terjadi pertengkaran antara Mad Gasmin dan anaknya Kasmini tentang Kamisah yang tidak mau pulang dan memilih tinggal di sana dengan suaminya, Mad Gasmin masih juga belum terima anak bungsunya tidak kembali bersama Kasmini. Pertengkaran ini belum bisa sampai di ujung permasalahan, masalah ini akan selesai bila mana Kamisah kembali ke kampung ini, dan Kasmini sudah berjanji pada ayahnya untuk menjemputnya kelak bila sudah ada rejeki lagi.

Sedangkan Slamet, suami Kasmini sekarang hanya bisa terdiam melihat pertengkaran istrinya dan mertuanya, ke esokan harinya Teguh di hantarkan oleh Maman adik lelaki mamanya ke sekolah, walaupun Teguh bertemu dengan kawan-kawan lamanya tapi dia masih merasa asing di kelas itu.

“Anak-anak, perkenalkan ini adalah Teguh Prayitno, temen kalian dulu yang pergi ke Riau, dan sekarang dia akan kembali belajar dengan kalian di kelas ini.” Ibu guru Sarjumi, guru kelas Teguh yang baru memperkenalkannya pada teman-temannya yang pernah dia kenal. “sekarang silahkan kamu duduk nak Teguh, di sebelahnya Baridin ya!” Baridin adalah anak tetangga Teguh yang ibunya pernah di hajar oleh Kasmini, Baridin pun mempersilahkan Teguh untuk duduk di sampingnya.

Sebulan pun berlalu Teguh sudah mulai mengenal semua anak-anak di kelas, terutama pada seorang anak perempuan bernama Tusmiati, diam-diam Teguh sering memperhatikan anak itu. Pada suatu hari, ketika Teguh sedang asyik memperhatikan tingkah Tusmiati, seorang teman Teguh yang bernama Sage memergokinya.

“Guh! Agi ngapa koe?”

“Hah? Tidak kok, tidak ngapa-ngapain...” Teguh sedikit grogi mengetahui Sage tiba-tiba ada di sampingnya.

“Tusmiati cantik ya Guh?”

“Iya...” Teguh jadi beneran grogi begitu Sage menyebut nama orang yang sedang di perhatikannya, spontan dia pun menjawab pertanyaan Sage, Teguh pun segera menjauhi Sage dan masuk ke dalam kelas, tak lama setelah itu bel berbunyi dan semua anak-anak kelas dua masuk kelas, Tusmiati masuk dengan teman-temannya, Teguh masih memperhatikannya tanpa bosan, di tempat lain Sage juga terus memperhatikan Teguh.

Ke esokannya sebelum anak-anak masuk kelas, Sage berteriak-teriak di depan kelas.

“Pengumuman semuanya, murid baru di kelas ini, yang namanya Teguh telah jatuh cinta pada seorang gadis bernama Tusmiati.”

“Bohong!” Teguh tidak terima dengan kata-kata Sage, “Sage itu tukang bohong, jangan percaya sama dia!”

“Kalo aku bohong kenapa kamu marah?”

“Tek Jotos koe Ge!”

“Wah tuh kan dia marah, berarti apa yang aku bilang bener kan? Teguh pacare Tusmiati, hahaha...” Sage tertawa menang setelah dia berhasil membuat temen barunya emosi dan menahan malu.

“Tek Jotos temenan koe Sage!”

“Arep njotos aku? Ayo nek wani jotos aku!” Sage berlari keluar kelas, Teguh mengejarnya, Sage berlari terus dan Teguh terus mengejar, sampai di pekarangan jauh dari sekolah akhirnya kedua teman baru itu pun berkelahi layaknya dua anak kecil yang sedang berebut mainan, tapi di permasalahan ini bukan mainan yang menyebabkan mereka berantem, tapi karena seorang gadis kecil bernama Tusmiati, dialah cinta monyetnya Teguh Prayitno yang sekarang beru berusia delapan tahun.

Perkelahian itu berakhir begitu Ibu guru Sarjumi melerai mereka.

“Opo sih sing nggawe koe podo kerah ngene” Ibu Sarjumi menceramahi dengan bahasanya yang logat kental bahasa jawa kromo, karena Ibu Sarjumi asli orang jawa daerah timur, kedua teman baru itu tidak ada yang menjawab, Sage hanya tersenyum-senyum saja, dan Teguh masih menahan amarahnya. “kalian itu teman, sesama teman jangan saling berantem, kalau sudah saling berantem bigini kan jadinya kalian berdua kena jewer dari Ibu.” Keduanya di jewer oleh Ibu guru Sarjumi

“Iya bu Sage minta maaf, ini salah Sage.” Teguh masih diam saja.

“Kalau begitu sekarang Sage minta maaf sama Teguh!”

“Iya bu Sage mau minta maaf, tapi jangan di jewer lagi dong bu! Kan sakit.” Bu Sarjumi melepas kedua jewerannya.

“Dan kamu Teguh, kalau ada temenmu yang minta maaf, kamu harus memaafkan.”

“Iya bu, Teguh maafkan Sage.” Keduanya berjabat tangan di depan kelas.

“Nah kalo begini kan bagus, sekarang berpelukan!” mereka pun berpelukan. Dan kemudian keduanya kembali ke tempat duduk masing-masing. Taguh sekilas mencuri pandang pada Tusmiati, sedangkan Sage masih juga cengengesan melihat Teguh. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan ucapan Ibu Kasiem, Uwa’ Kasmini tentang sang Pencari sejati? Di usianya yang baru delapan tahun, dia sudah merasakan debaran cinta?

Di lain cerita Kasmini mendapatkan cobaan dalam keluarganya, Kasmini ikut pergi ke rumah keluarga suaminya di Kebumen, Kasmini galau dalam menentukan pilihan, antara suaminya atau anaknya, karena ternyata mertua Kasmini tidak menerima Teguh dalam keluarga Slamet.

“Kamu ini bagaimana Slamet?” Ibu Slamet menasehati anaknya, “Kamu itu jejaka, usiamu baru 19tahun, tapi kenapa kamu menikah dengan seorang janda yang sudah beranak?”

“Tapi Slamet mencintainya Ibu!” diam-diam Kasmini mendengarkan obrolan mereka di balik pintu rumah kamar suaminya.

“Lagi-lagi kamu mengatas namakan cinta pada kesalahanmu, ibu sudah menjodohkan kamu dengan seorang gadis cantik di kampung ini nak!”

“Tapi Slamet tidak mencintainya Ibu.”

“Jadi kamu ngelawan kemauan ibu? Apa kamu lupa Slamet, sorga itu ada di telapak kaki ibu.”

“Ibu! Slamet sayang sama ibu, tapi Slamet mohon bu! Soal cinta, biar kan Slamet yang menentukannya, apapun Kasmini, dan Siapapun dia Slamet sangat mencintainya bu!”

“Huh! Ya sudah kalau itu maumu, sampai kapanpun Ibu tidak akan mengakui Kasmini dan anaknya itu sebagai keluarga Ibu.” Ibu Slamet beranjak dari ranjang anaknya menuju pintu kamar, Kasmini yang ada di balik pintu kamar lekas pergi dari balik pintu. “kalau kamu memilih istrimu, silahkan kamu pergi dari rumah ibu, ibu tidak sudi punya anak pembangkang, dan satu lagi, kamu jangan pernah lagi kembali ke rumah ini, karena begitu kamu kembali ibumu sudah di kubur.”

“Ibu! Jangan begitu! Ibu!” Ibunya pun keluar dengan lemah, sedangkan Slamet masih kebingungan mendengar pernyataan dari ibunya yang sangat dia sayangi.

Begitu Kasmini mengetahui kebenaran ini, dia pun lekas mempersiapkan semuanya, dia akan pergi meninggalkan suaminya, karena dia tidak mau membuat suaminya menjadi seorang anak pembangkang, selain itu dia tidak lah mungkin meninggalkan anak satu-satunya yang sangat dia sayang lebih dari dirinya sendiri. Sakit hati pun di rasakannya, namun dia berusaha untuk tegar karena Kasmini memang perempuan yang tegar, ke susahan sudah biasa dia hadapi dari sejak dia kecil dulu.

Tiga hari kemudian Slamet menyusul ke rumah Kasmini yang super sederhana di desa Jetis, dia berharap untuk bisa meneruskan hubungan mereka.

“Hubungan kita sudah tidak bisa di pertahankan mas! Mas sayang kan sama ibu?” Slamet tidak bisa menjawab, “aku juga memohon pada mas Slamet, tolong jaga ibu! Meski dia tidak akan mengakui aku sebagai menantunya, tapi aku tidak akan pernah membencinya, aku senang bisa mengenalnya.”

“Kas! Aku mencintaimu.”

“Tapi aku tidak akan rela bila karena mas mencintaiku, mas telah membiarkan ibu mas mati, dia sangat menyayangi mas! Dan tidak mungkin aku bisa melebihi rasa sayang Ibu pada mas! Jadilah anak yang berbakti pada orang tua, karena tidak ada orang tua yang ingin anaknya sengsara, aku bukan anak orang berharta mas! Kamu menikah saja lagi dengan pilihan ibumu, aku ikhlas.”

“Tapi Kas!...”

“Inilah keputusanku mas! Kita tidak akan bisa mempertahankan hubungan kita, sekarang aku mohon mas jatuh kan talak untuk aku!”

“Kas!”

“Tidak ada pilihan lain mas!” Kasmini tidak memberi kesempatan pada suaminya untuk berbicara. “Ini demi kebahagian orang yang sudah melahirkan mas Slamet dengan mempertaruhkan nyawa.”

“Baiklah kalau itu yang kamu mau Kas!” Slamet tidak dapat berbuat apa-apa lagi, perlahan matanya mulai memerah dan tak lama kemudian dia pun menangis, itu membuat Kasmini juga ikut menangis, “aku jatuhkan talak satu pada istriku Kasmini dengan kesadaran penuh.”

“Terimakasih mas! Mulai sekarang kita bukan lagi suami istri.”

Kasmini kembali menjadi janda, untuk memenuhi nafkah anak dan ibunya dia pun kembali ikut menjadi seorang biduan, tak lama setelah itu sepucuk surat datang dari Jakarta, dan itu berasal dari mantan suaminya, ayah kandung dari Teguh Prayitno, surat itu berbunyi.

“Untuk Kasmini,

Apa kabarmu ma? Semoga kabar baik selalu bersamamu, bapak di Jakarta juga dalam keadaan yang sehat wal’afiat, bapak memang bukan lah seorang pujangga yang pandai bermain kata-kata, bapak hanya mau bertanya pada mama, apa benar mama sudah menjadi janda lagi, bapak mendapat kabar dari tetangga mama yang bekerja dekat dengan tempat bapak bekerja, kalau itu benar, boleh kah bapak menjadi suami mama lagi, bapak janji akan berubah, bapak tidak akan egois lagi, dan bapak tidak akan menjadi orang yang sombong seperti yang mama pernah bilang dulu. Bapak akan menjadi suami yang penuh dengan tanggung jawab, kita akan besarkan bersama anak kita Teguh. Terima kasih kalau mama mau menjawab surat ini.

Tertanda Sunaryo”

Rupanya Sunaryo belum pernah mencari pengganti Kasmini selama ini, dia masih berharap bisa kembali pada pelukan Kasmini orang yang sangat dia cintai. Namun apa jawaban Kasmini dari surat Sunaryo itu, ini lah jawaban yang di tulisnya.

“Buat bapaknya Teguh Prayitno di tempat.

Kabar mama Teguh di sini juga sehat, tapi mama Teguh minta maaf bila balasan surat ku ini sangat mengecewakan bapak di sana, bukan aku tidak mau, tapi aku sudah pernah menikah dan bapak belum pernah menikah, kita tidak bisa rujuk pak, karena itu sudah menjadi aturannya, kalau masalah cinta, jujur aku juga masih cinta sama bapak, sampai kapanpun aku tidak akan melupakan kebersamaan kita selama delapan tahun dulu, tapi kita memang tidak bisa untuk bersama lagi. Maafkan aku bapaknya Teguh!” Itulah jawaban Kasmini atas surat dari Sunaryo yang di tujukan padanya. Dan Sunaryo pun mengerti.

Kembali ke inginan Kasimini untuk pergi ke Malaysia datang, seorang agen TKI Malaysia sedang membutuhkan banyak karyawan, namun sebelum itu, dia membeli sebuah rumah dan mendirikanya di tanah yang dulu sudah di belinya, kali ini rumahnya akan menghadap ke utara, membelakangi laut di sebelah selatannya, Teguh akan kembali hidup hanya dengan Kakek dan neneknya, dia juga berjanji pada Ayahnya untuk mebawa kembali adik bungsunya, hingga saat ini Ayah Kasmini masih tidak percaya padanya.

Teguh hidup dengan neneknya saja, sebab, Mad Gasmin kakeknya sudah mulai kumat lagi gilanya, dia lebih sering tinggal di rumah perempuan lain, ya Gambreng itu yang sudah melahirkan anaknya di luar nikah, Byunge nenek dari Teguh adalah orang yang pelit, tapi pelitnya itu beralasan, dia pelit karena ingin menghemat uang yang dia punya supaya esok masih bisa makan.

Hari ini Teguh meminta uang saku pada neneknya seperti hari-hari sebelumnya, tapi kali ini neneknya tidak memberi uang saku padanya, entah apa alasan Byunge.

“Yung! Njaluk duite!”

“Byunge ora due duit Guh!”

“Satus lah Yung!”

“Domong ora due duit koh ya, koe ndableg temen sih ya Guh?”

“Kalau ngga seratus ya lima puluh juga ngga apa-apa Yung!” Teguh mulai merengek tapi byunge masih juga tidak memberi, “ya wis selawe ya kena yung lah!”

“Ngga punya duit Guh, kamu kok jadi ndablek sekali.” Teguh akhirnya pergi ke sekolah dengan keadaan masih menangis karena tidak di kasih uang saku oleh neneknya, dan byunge pergi ke sawah untuk ngasag, mencari padi sisah rontokan di sawah.

Siang harinya Teguh pulang sekolah, makan siang dan kemudian mau tidur, dia masih tidur seranjang dengan neneknya, dengan tak sengaja selembar kertas lima ratus rupiah dengan gambar orang hutan dia temukan di dalam sarung bantal tempat tidur, dia terkejut tapi dia juga gembira dengan penemuannya itu, tanpa ragu dia mengambilnya dan langsung dia gunakan untuk membeli jajan kesukaannya.

Begitu dia berhasil menghabiskan uang lima ratus rupiah itu dia pun kembali ke rumah, di rumah Byunge sedang kebingungan, dia seperti sedang mencari sesuatu di kamar tidurnya itu.

“Yung! Kamu lagi ngapain?”

“Kamu nemu duit lima ratus ngga di sarung bantal Guh?”

“Katanya Byunge ngga punya duit?”

“Itu duit buat beli beras Guh, kamu ya yang ngambil?”

“Aku ngga ngambil duit Byunge, tapi tadi aku nemu duit di dalam sarung bantal itu Yung.”

“Itu duit Byunge, sekarang mana duitnya?”

“Sudah habis Yung, tadi aku buat jajan semua.”

“Ualah Guh! Itu duit buat beli beras, mau makan apa kita besok?” Byunge kini yang merengek dan menyesali apa yang sudah terjadi, sebenarnya ini bukan salah Teguh, dia itu seorang bocah, salahnya Byunge, dia sudah membohonginya dengan cara Byunge bilang ke Teguh kalau dia tidak punya uang, dan itulah yang terjadi, Teguh hanya tau Byunge tidak punya uang, kalau ada uang di dalam sarung bantal, itu artinya uang itu bukan milik Byunge, pelajaran yang sangat berharga buat seorang nenek yang mempunyai cucu jujur dan polos seperti Teguh.

Kepergian Kasmini sudah hampir memasuki dua tahun, kehidupan Teguh pun seperti dahulu, tanpa ke dua orang tuanya yang selalu menemaninya, tapi dia merasa bahagia dengan keadaan ini.

Mey 1997

Kelas 4SD, Teguh masih polos, walau begitu dia masih tetap bahagia, karena kakek neneknya sayang padanya, walaupun juga dia hidup apa adanya, ala kadarnya, bahkan rumahnya pun masih beralaskan tanah belum ada teras, masih belum ada tembok yang menutup dinding rumahnya, sumur pun masih sekedar lubang berair, bila pernah melihat sumur di tengah sawah, ya seperti itu lah keadaan sumur di belakang rumahnya, di kelas inilah kemudian Teguh kembali merasakan getaran hati pada seorang gadis cantik nama aslinya adalah Tri Nur Hayati, Nampangnya Kuwat. Jauh memang dengan nama aslinya. Ya sudah tidak perlu ngebahas soal nama, dia anak yang termasuk pintar di kelas Teguh, rangking pertama masih dia pegang semenjak mereka masih duduk di bangku kelas 2, kepintarannya itulah yang membuat dia banyak di sukai oleh kaum Adam, termasuk Teguh, soal Tusmiati dia tinggal kelas waktu kenaikan kelas dari kelas tiga ke kelas empat, mungkin karena tidak pernah sekelas lagi lah yang membuat Teguh tidak lagi memperhatikan Tusmiati, semua terjadi begitu saja, awalnya sih Teguh sekedar suka saja, tidak ada perasaan apa-apa, dan biasanya hal seperti itulah yang selalu membuat seorang lelaki jatuh cinta, Teguh memang tidak akrab sama dia karena rumah mereka berjauhan, jadi tidak ada acara pulang sekolah bareng, mereka bertemu hanya bila mereka masuk kelas saja, jadi kalau hari libur atau hari minggu mereka tidak ketemu. Waktu terus berlalu, entah kenapa di hatinya ngerasa gimana gitu kalau dekat dengan dia, dan Teguh baru menyadari ini ketika dia berusaha membedakan bila dia dekat dengan Kuwat dan bila dia dekat dengan cewek lain, rasanya beda banget, kalau dekat dengan Kuwat dia tidak bisa berbuat apa-apa, dan dia seperti berusaha untuk merebut simpatinya, tapi Kuwat cuek aja, dia cuek pasti karena dia tak tau perasaan Teguh padanya, suatu hari di kelas Kuwat nangis, gara-garanya ada temen kelas yang terus ngatain dia, kata temen kelas ‘ih cewek kok kumisan, kayak cowok aja.’ Dan memang rada aneh kan, masa’ cewek ada kumisnya? pertama Teguh juga tidak percaya, Teguh saja belum punya kumis, dan entah kenapa Teguh melihat dia nangis Teguh juga ikut sedih, tapi Teguh tidak ikut nangis. Teguh berkeingian untuk ngedeketin dia, dan ingin membela dia, tapi itu hanyalah ke inginannya saja, Teguh tidak bisa ngedeketin dia, bukannya tidak bisa, tapi dia tidak berani, dia coba bersabar, Teguh pun yakin suatu saat nanti pasti dia bakal berani, entah kapan itu Teguh sendiri juga tidak tau.

Waktu masih terus berjalan, Teguh masih seperti ini, hanya memiliki ke inginan untuk bisa mendekatinya, tapi dia masih belum bisa berani, ya masih seperti ini, bila Kuwat lewat di depannya, dia hanya bisa diam, tidak tau harus berbuat apa, seperti Kuwat tu selalu menghipnotisnya, dia masih bersabar, kenapa Teguh terus bersabar? Karena dia masih belum berani. Terus mau sampai kapan keadaan akan seperti ini? Ya sampai kapan si Teguh bakal berani, ya sekedar berani untuk mendekatinya saja lah, bila dia emang tak bisa berani tuk mengungkap isi hatinya ini. Dan kalau itu dia juga tidak bisa, bermakna keadaan ini akan terus seperti ini hingga akhirnya Teguh bisa ngelupain dia. Dan sekarang cewek itu, cewek yang sedang Teguh taksir, cewek yang Teguh sedang pedekate kepadanya ada di depannya, Kuwat sedang berkumpul dengan teman-temannya bercanda, tertawa, senyumnya terus menghibur hatinya yang sedang lara karena terus berfikir tentang dia, dan ngga ada lelah di hatinya untuk terus menyebut namanya Tri Nur Hayati, itulah nama satu-satunya yang kini ada di hati Teguh.

“Hari ini aku dapat nilai sembilan nih Tun, kamu dapat nilai berapa?” suaranya yang manja menggetarkan jiwa milik Teguh, walaupun dia sedang berbicara dengan Atun, cewek yang lebih tinggi dari dirinya, tapi Teguh ngerasa Kuwat seperti lagi ngobrol dengannya.

“Kalau aku hari ini dapat nilai enam Wat.” Dah tentu Kuwat ngga ngedengar suaranya, sebab Teguh hanya berbicara dalam hati saja. Mana mungkin sih Teguh berani ngomong sama dia, baru deket sama dia aja Teguh sudah kayak anak kucing yang kehilangan induknya, kok jadi bawa-bawa anak kucing sih? Untungnya Sage teman Teguh yang dulu pernah berantem dengannya gara-gara Tusmiati juga tinggal kelas di kelas 2. Tusmiati dan Sage sekarang duduk di kelas tiga, jadi perhatian Teguh pada Kuwat tidak akan terganggu.

Sampai sekarang ini pun Teguh tetep tak bisa ngungkapin perasaannya itu ke Kuwat, dia hanya bisa meluapkan perasaannya itu pada seorang sahabatnya, namanya Iwan Dahlan, dialah yang akhirnya menjadi teman curhat Teguh, semua yang ada di dadanya dia curahkan pada Iwan, tanpa terkecuali, emang Iwan baik banget orangnya. Begitu Iwan mendengar semua cerita darinya, dia hanya bisa membantu Teguh lewat moril saja, tapi tetep saja Teguh ngga bisa ngungkapin perasaannya itu pada Kuwat.

“Ah kamu mah!...” begitu kalimat pertama yang di ucapkannya bila saran-sarannya tak bisa Teguh jalankan, banyak banget, saran dari Iwan tapi satu pun tidak ada yang Teguh bisa lakukan, akhirnya ya…

“Kalau kamu tidak berani ya selamanya kamu tidak bakal berani Guh! sudah ah aku tak mau lagi kasih saran buat kamu.” Itu bukan kalimat pertama yang Teguh dengar dari Iwan, selalu dia kasih saran lagi, dan Teguh tidak bisa lagi, kalimat yang sama pun dia ucapkan lagi, emang Teguh tu orangnya ndhableg banget.

Hari kenaikan kelas pun tiba, kenaikan kelas dari kelas 4 naik ke kelas 5, dan saat itulah penyesalan Teguh yang terbesar terjadi, sungguh sangat memalukan, tau apa yang terjadi? Teguh tidak naik kelas! Alias tinggal kelas, Teguh jadi malas sekolah lagi, bayangin aja, saat itu Teguh lagi pedekate sama cewek, dan cewek itu sekarang sudah ninggalin dia di kelas 4, sedih banget, rasanya Teguh pengen pergi aja dari lingkungan tempat tinggalnya, tapi apa sih yang bisa di lakukan oleh seorang Teguh Prayitno bocah? Hanya bisa bersedih aja, rasanya dia tu tidak percaya kalau dia sampai tidak naik kelas, temennya yang lebih bodoh pun naik, masa’ dia tidak? ada untungnya juga sih, Teguh akhirnya bisa sekelas lagi dengan Tusmiati, tapi ya sudah tentu perasaan yang dulu pernah ada untuk Tusmiati sudah sirna dan sudah berpindah pada Tri Nur Hayati. Namun apa sih yang menyebab kan dia tidak naik kelas, Teguh pun masih terus bertanya-tanya, Ya akhirnya pak guru Saliman, guru kelasnya memanggilnya, katanya ingin ngomong empat mata sama Teguh.

“Kamu tau alasan Bapak memutuskan kamu ngga naik kelas?” dia tidak menjawab, karena Teguh masih emosi, dia cuman menggelengkan kepala, sebenarnya dia sudah ingin menjawab pertanyaan itu, dia ingin menjawab alasan gurunya tidak menaikkan dirinya karena dia itu bodoh, idiot dan berfisik lemah, namun dia mengurungkan niatnya, “Kamu tau berapa kali kamu ngga masuk kelas dalam satu bulan selama kamu di kelas 4 kemaren?” ‘hah? Apa maksud pak guru?’ Pikirnya sambil tercengak tak mengerti, dia memang belum paham tapi begitu dia ingat, dia langsung menjawab.

“Empat hari pak!”

“Itu bulan kemaren, dan itu yang paling sedikit.” Baru Teguh menyadarinya, memang Teguh mengakuinya, bahwa dia sering tidak masuk sekolah, tapi dia tidak masuk sekolah bukan tanpa alasan, tapi walau apapun alasannya bila tidak masuk kelas dan tidak izin pada sekolah itu sama saja mbolos! Ya kesalahan Teguh sendiri, jadi dia tidak berhak untuk marah sama gurunya, tapi kemudian dia pengen membuktikan pada semua bahwa dia tidak naik bukan karena dia goblok, jadi ya Teguh semakin rajin belajar, tahun berikutnya dia naik kelas, dengan bertambahnya usia karakter dirinya pun mulai terbentuk, sedikit demi sedikit fisiknya pun mulai kuat seperti layaknya anak-anak seusianya, tapi dia tidak bisa sekelas lagi sama Kuwat, dan memang tidak mungkin bisa, Teguh jadi tidak berani sama sekali tuk mendekati si Kuwat, tapi dia tetep curhat sama Iwan, tantang perasaannya pada Kuwat, dan Iwan tetep kasih saran ke Teguh, dan Teguh? ya masih begitu, masih tetap tidak berani.

“Ah kamu mah…” kalimat itu lagi yang keluar dari mulut Iwan, itu tanda bahwa dia emang kecewa sama Teguh.

Mendengar Teguh tidak naik kelas, Kasmini kecewa, dia pun langsung pulang ke kampung, dan memutuskan untuk tetap tinggal di kampung, dia berencana membangun rumahnya seperti rumah orang-orang, di tembok dengan batu bata dan mempunyai alas yang terbuat dari semen, sesuai janjinya dulu, Kasmini pun memaksa Kamisah untuk kembali ke kampung, dia biayai semua transportasi untuk Kamisah suaminya juga anaknya yang baru berusia tiga tahun, anak Kamisah dan Wagiyo perempuan bernama Puji Dayanti.

Tanggung jawab Kasmini untuk mengembalikan Kamisah pada ayahnya sudah selesai.

“Ini Ma anak bungsumu! Aku tidak pernah menjual anak kesayanganmu ini, sekarang Ramane sudah percayakan sama aku?”

“Ramane njaluk ngapura wis nuduh koe adhol adimu ya Kas, iya Ramane wis percaya maning maring koe Kas!” Mad Gasmin di kumpulkan dengan Kamisah oleh Kasmini anak pertamanya dengan Lasinah.

“Dan ini,” Kasmini mengeluarkan uang sebanyak 300ribu rupiah, “aku kembalikan utang yang dulu pernah aku pinjam ke Kamisah, karena dulu perjanjiannya aku meminjam uang sama Kamisah untuk melunasi pembayaran tanah ini bukan membeli tanah bersama, jadi mulai sekarang tanah ini adalah murni milik aku, untuk sementara kalian semua tinggal lah di rumah dan tanah ini.” Permasalahan utang piutang antara Kasmini dan Kamisah pun selesai sampai disini, rumah Kasmini yang sekarang akan di pindah ke belakang menghadap ke barat, dan di tempat rumah sekarang akan di pondasi dan di buat tembok, Kasmini sangat bersyukur dengan rizki yang Alloh berikan padanya, menurut kisah, Lasinah dulunya adalah seorang anak yang berpunya, anak orang besar di desa Jetis ini, karena dia menikah dengan Mad Gasmin lah kemudian kedua orang tua Lasinah tidak mengakui Lasinah, harta yang di wariskan pada Lasinah pun habis untuk berbagai keperluan hidup selama dia mempunyai suami Mad Gasmin, karena menurut kisah juga dulu Mad Gasmin adalah pria yang gemar berjudi, sebagian besar harta Lasinah habis hanya untuk berjudi oleh suaminya, itu juga yang menyebabkan Lasinah minggat ke lampung dan meninggalkan ke tiga anaknya dengan suaminya.

Dan kini Kasmini sudah merasa berhasil karena sudah bisa kembali memiliki tanah dan rumah sendiri, ketekunannya mengumpulkan sedikit demi sedikit rizki yang di berikan Alloh padanya, juga ketabahannya menghadapi cobaan dari Alloh membuat dia semakin menjadi orang yang berguna untuk orang-orang yang di cintainya.

Dalam waktu kurang lebih satu bulan rumah itu pun berdiri kokoh di atas tanah milik Kasmini, Kasmini merasakan ke jenuan di rumah, dia pun kemudian pergi lagi ke Malaysia, Kamisah juga kemudian pergi ke Singapore, Puji di titipkan pada Kakek dan nenek, Wagiyo pun ikut pergi merantau ke Malaysia, kembali di rumah hanya ada Teguh dan kedua orang tua Kasmini dan Kamisah, namun kini bertambah Puji yang masih berusia tiga tahun bersama mereka.

Tanpa sepengetahuan dari semua orang yang di kenal Maman, ternyata Maman mengalami musibah dalam bahtera rumah tangganya, secara sepihak istri Maman Karni menggugat cerai Maman, begitu dia datang ke rumah Karni, di rumah itu sudah ada seorang lelaki yang di jodohkan oleh orang tua Karni, sedangkan Maman sudah mempunyai seorang anak dari Karni, seorang lelaki bernama Shaleh, sungguh Maman adalah seorang yang sangat penyabar, begitu dia kembali ke Jetis, di jetis juga dia mendapat berita duka, guru ngajinya meninggal dunia, dia menjadi bingung harus berbuat apa, mau atau tidak dia memerlukan hiburan, dan teman lah yang bisa menghiburnya. Dalam waktu singkat dia sudah tidak berbeda dengan teman-temannya, pemabuk dan urakan bukan lagi seorang Maman yang selalu mengaji dan selalu wirid di tengah malam.

Tidak sampai setahun Kasmini kembali dari Malaysia dan membawa seorang lelaki asal Jawa Timur, namanya Agus Makin, kemudian dalam waktu sebulan dia pun di nikahi oleh si lelaki, inilah pernikahan ke tiga Kasmini dalam hidupnya, kali ini Kasmini akan menetap di kampung dia pun membuat sebuah warung makanan di depan rumahnya, mie rebus dan berbagai makanan lain.

Kembali pada Teguh, setelah dia menerima keputusan Pak Saliman untuk tidak naik kelas, dia menemukan sahabat baru, di antaranya Sugianto, Lasino, Dwi Septiani, dan Sri Paryani, mereka lah yang mengerti akan perasaan Teguh saat ini.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!