Alvan Lingga ayunkan langkah besarnya melewati semua orang yang lalu lalang seputar rumah sakit ternama di kota. Keangkuhan terpatri di wajah ganteng cool itu. Wajah itu jelas cerminkan orang berkelas tak punya rasa humor. Kaku layak bongkahan es batu.
Di belakang laki tinggi besar itu berjalan cowok lain bertubuh sedikit subur berkaca mata minus. Wajahnya lebih manusiawi. Kontras dengan bosnya yang mirip dewa kematian.
Keduanya beriringan menuju ke salah satu ruang dokter. Langkah cowok dingin itu besar dan panjang sesuai dengan postur tubuhnya yang lumayan tinggi untuk ukuran orang Asia. Mungkin seratus sembilan puluh sentimeter atau kurang. Begitulah kira-kira.
Tiba di depan pintu salah satu ruang laki itu langsung masuk tanpa ketok pintu atau beri salam layak manusia beradab. Laki ini mungkin keturunan manusia primitif tak kenal tata Krama dan sopan santun. Main nyelonong bebas hambatan.
Orang berada dalam ruangan berpakaian putih bersih berkacamata gagang hitam tak sempat keluarkan suara protes tingkah tak sopan laki itu.
Perawat cewek yang sedang membereskan kasur untuk pasien kaget tiba-tiba ada orang masuk tanpa ijin. Setiap pasien yang masuk harus lalui prosedur antri tunggu giliran dipanggil. Ini belum apa-apa sudah masuk perlihatkan sikap angkuh.
Laki itu duduk di depan dokter tanpa bersuara. Dr. Hans menutup mata tak percaya sahabatnya secepat itu muncul di hadapannya. Rasanya baru setengah jam lalu dia kabari Alvan tentang permasalahan laki itu. Kini sudah di depan mata.
"Suster Ira...kau keluar sebentar dulu! Atur pasien yang bakal berobat." Dr. Hans mengusir perawat yang bantu dia secara halus. Tampaknya ada rahasia akan dibicarakan dengan laki sangar itu.
Suster Ira tahu diri mengangguk mundur diri keluar dari ruang pengobatan. Kini tinggal Alvan dan Hans duduk saling berhadapan. Hans mengeluarkan amplop dari laci serahkan pada Alvan. Amplop warna putih itu berada di atas meja menanti Alvan membukanya.
"Maaf Van...hasilnya seperti dugaanku! Bibit spermamu nol. Tak ada bisa buahi sel telur binimu. Artinya kau mandul total."
Wajah Alvan berkerut-kerut tanda kesal. Harga diri sebagai seorang lelaki terkoyak sudah. Pengusaha kaya raya berwajah ganteng tak bisa punya keturunan. Sungguh suatu cerita tragis. Punya gunung
emaspun tak ada guna bila tak ada penerus. Apa artinya segudang emas permata bila tak bisa diberikan pada anak-anak kelak.
"Tapi dulu Karin pernah hamil walau keguguran." ucap Alvan dengan suara empuk digilai para wanita.
"Kuakui itu. Kurasa kasusmu berkaitan dengan kecelakaan yang terjadi empat tahun lalu. Aku ingat tulang ************ mu terluka parah. Kurasa ada syarafmu terjepit halangi bibitmu turun ke *****. Kita harus lakukan scan untuk pastikan hal ini. Kalau memang cuma itu kasus mu masih ada kemungkinan tertolong. Tinggal operasi perbaiki syaraf yang terjepit. Selanjutnya akan ok."
"Operasi? Apa berhasil?"
"Berhasil atau tidak itu tergantung seberapa berat kasus mu. Asal syarafnya tak putus saja."
"Gimana bayi tabung?" tanya Alvan datar.
"Kamu ini lucu Van! Bayi tabung tetap harus ada bibitmu. Bibitmu nol dari mana bisa ada bayi? Bibit aku mau?"
"Sialan kau...diajak serius malah ngejek! Solusi lhu apa?"
"Aku sudah diskusi dengan seorang dokter muda pakar syaraf. Dia lulusan S2 dari China. Bisa teknik akupuntur lagi. Dia bersedia bantu." cerita Hans dengan semangat. Dari ekspresi wajah jelas banget Hans memuja dokter muda yang dimaksud. Tak usah dijabarkan Alvan bisa duga dokter itu seorang cewek.
Tak ada cowok akan berbinar bila cerita sesama cowok. Tak yang bisa dibanggakan dari sesama pemilik burung.
"Lalu?"
"Dia sedang dalam perjalanan ke sini. Mungkin kita bisa undang dia makan siang. Ya sambil diskusi soal penyakitmu."
"Apa itu perlu? Bukankah itu tugasnya sebagai seorang dokter? Membantu orang sakit." cetus Alvan tajam tak tertarik pada dokter yang dimaksud Hans.
"Dia cantik, baik, peramah, putih mulus, pintar, cuma sayang statusnya janda." keluh Hans seakan menyesali dokter itu bercerai dengan suaminya.
Alvan menyeringai jengkel pada sahabat sekaligus dokter rumah sakit miliknya. Orang yang janda kok dia yang susah. Nasib wanita itu yang apes. Masih muda sudah janda. Alvan tak perlu tahu mengapa dokter itu jadi janda. Dia cuma perlu pengobatan untuk punya keturunan.
"Kapan dia datang? Kok lama?"
"Bentar...coba kuteleponi dia! Mungkin sedang ada pasien. Dia pakar orang stroke. Pasiennya berjibun." Hans meraih hp di atas meja lalu geser layar cari nama dokter yang akan bantu Alvan.
Belum sempat Hans klik layar pintu diketok orang dari luar. Wajah Hans kontan cerah. Dokter ini menduga dokter yang ditunggu sudah nongol.
"Masuk!" seru Hans semangat.
Dari balik pintu muncul satu sosok wanita bertubuh mungil berpakaian serba putih. Wajahnya teduh bersih tanpa noda bekas jerawat atau flek hitam. Mata indah bak mata ikan koki siap hipnotis orang yang adu pandang. Bibir tipis dipolesi lipstik warna pink muda. Dokter itu tak ubah anak SMU sedang belajar ilmu pengobatan. Hans beri nilai sembilan untuk orang yang baru datang.
"Dokter Citra...kenalkan ini pasien kita Pak Alvan!" Hans berdiri perkenalkan Alvan yang duduk belakangi dokter muda itu.
Alvan bangkit memutar berhadapan langsung dengan dokter yang dimaksud Hans. Keduanya sama-sama terpaku sampai tak bisa berkata-kata. Mata dokter muda itu membesar tak percaya orang di hadapannya adalah orang yang paling ingin dia hindari.
"Maaf! Aku ada jadwal operasi." Dokter itu balik badan langsung pergi tanpa menanti jawaban kedua laki dalam ruang praktek dokter Hans. Hans melongo tak yakin yang pergi itu dokter yang dia kagumi.
Alvan terpana tak menyangka akan jumpa dengan wanita dalam kondisi berbeda. Alvan terbengong ikuti Hans yang tak bisa pindah mata dari daun pintu yang sudah tertutup. Wanita itu sudah pergi.
"Siapa dia?" tanya Alvan rata.
"Dokter Citra Ayu. Sudah setengah tahun gabung di rumah sakit ini. Dia lulusan UGM kedokteran. Dapat beasiswa ke Tiongkok ambil S2. Orangnya peramah tapi tertutup masalah pribadi." Hans bercerita dengan mulus.
"Kasih datanya. Sekalian alamat lengkapnya." ujar Alvan tampakkan tertarik pada wanita itu.
"Van...kamu sudah punya bini super cantik. Jangan kau rebut stok untuk aku! Rakus amat!" Hans kontan loyo Alvan tertarik pada dokter pujaannya. Hans mana sanggup lawan pesona orang punya gunung emas tapi bernasib sial. Kaya tapi tak bisa punya anak.
"Cerewet..."
Hans dibuat tak berdaya oleh gaya bos Alvan. Membantah sama saja bunuh diri. Rumah sakit tempat dia bekerja punyaan Alvan. Hans menjabat sebagai direktur atas rekom Alvan.
Hans terpaksa buka komputer perlihatkan semua data dokter Citra. Mata liar Alvan mencatat semua data tentang dokter kebanggaan Hans. Dari nomor ponsel sampai alamat rumah. Alvan menyimpan semua data Citra dalam memo ponselnya. Ntah apa rencana laki sangar itu pada Citra. Semoga bukan rencana yang merugikan Citra.
"Besok aku balik. Katakan pada rekanmu untuk jadi dokter bertanggung jawab. Jangan tinggalkan pasien tanpa sebab!" Alvan bangkit dengan wajah tak sedap di pandang.
Hans berusaha maklumi suasana hati sahabatnya. Divonis mandul dan ditolak secara mentah oleh dokter yang baru dikenal. Di mana harga diri Alvan sebagai orang terpandang.
Alvan keluar dari rumah sakit diikuti pemuda berwajah ramah. Pemuda yang disebut asisten Alvan jauh berbeda dengan bosnya yang sangar.
Untung demikianlah panggilan asisten Alvan. Laki muda ini sudah cukup lama ikut Alvan. Mungkin sudah hampir sepuluh tahun jadi ekor Alvan. Semua sifat Alvan dari yang baik hingga terburuk berada dalam buku Untung.
Dilihat dari tampang Alvan saat ini bukanlah angin baik. Siapa demikian berani usik bos yang berapa waktu ini moodnya sedang berada di tepi jurang. Buruk.
Untung memilih tutup mulut serapat mungkin agar terhindar dari bencana sport jantung. Kalau lagi bad mood setiap kalimat keluar dari bibir sexy Alvan mampu remukkan hati.
Keduanya masuk ke mobil tanpa bersuara. Untung duduk di belakang stiur menanti perintah selanjutnya. Balik kantor atau pulang menemui isteri cantik sang big bos.
"Pulang..." keluar juga perintah big bos. Singkat padat.
"Ya pak.." dengan sigap Untung stater mobil matic produk tahun terbaru berharga em em.
Mobil meluncur mulus tinggalkan rumah sakit menuju ke rumah bos yang tak terbayang mewahnya. Tak ada deru kasar mesin mobil mahal itu. Halus nyaris tak bersuara.
Tak ada musik ringan bergema dalam mobil. Hanya ada desis suara AC mobil menjadi penghibur sepi. Untung pusatkan perhatian ke jalan berharap tak berbuat salah kena imbas wajah rata bos.
Dari balik kaca pion mobil Untung lihat wajah Alvan berkerut seperti memikirkan sesuatu. Untung belum punya nyali untuk ikut campur urusan pribadi bos bila tak ada perintah. Menanti adalah jawaban terbaik.
Mobil berhenti di depan pagar rumah bak istana raja. Seluruh cat rumah didominasi warna gold warna kesayangan isteri tercinta sang big bos. Semua permintaan Karin harus dituruti saking sayangnya Alvan pada bini cantik itu.
Karin seorang selebgram yang followernya mencapai jutaan orang. Kecantikan wanita itu tak bisa dilukis pakai kata. Suami kaya raya makin menunjang penampilan wanita yang sering muncul di layar ponsel. Wajar Alvan sayang pada wanita cantik itu.
Untung bunyikan klakson minta satpam buka pintu gerbang. Pintu gerbang otomatis terbuka undang pemilik rumah masuk. Mobil meluncur masuk parkiran di tempat teduh. Untung segera turun buka pintu mobil untuk bos sekalian bawa tas kerja Alvan. Sikap Untung sopan penuh pengabdian.
"Aku tak balik kantor. Kau ke kantor pakai taksi." titah Alvan tertuju pada Untung.
"Iya pak! Nanti sore saya buat laporan."
"Tidak usah! Besok kau pagi sedikit datang. Kita harus balik rumah sakit."
"Iya pak! Saya permisi." Untung berikan tas kerja Alvan pada satpam yang menanti dengan sabar di pinggir mobil.
Alvan tinggalkan Untung dan satpam masuk ke dalam rumah. Pintu rumah terbuka lebar seolah sudah tahu Alvan akan pulang.
Di ruang tamu maha luas berisi perabotan luks warna gold. Jelas sekali pemilik rumah adalah orang berselera tinggi. Seluruh rumah dibuat warna emas, warna orang kaya. Warna menyilau mata. Selera orang siapa bisa larang? Mana lagi yang punya rumah mampu membeli semua keinginan hobi.
Di ruang tamu sudah ada beberapa orang yang sangat dikenal Alvan. Kedua orang tua Alvan dan isteri super luks Alvan yakni Karin.
Melihat suaminya datang wajah cantik Karin makin cantik berbunga-bunga. Pancaran aura wanita berkelas langsung terciprat bikin Alvan tak bisa berkutik. Alvan selalu terpesona oleh kecantikan Karin. Dari dulu hingga sekarang.
"Sayangku...pulang kok tak kasih kabar?" Karin menempel manja pada Alvan.
"Dari kantor pingin makan siang di rumah. Ternyata ada papa dan mama. Tumben mampir?" Alvan hampiri sang mama seraya cium pipi mulai keriput itu.
Dewi Lingga sang mama tersenyum kecil dapat kecupan dari anak semata wayang. Alvan selalu jadi pujaan sang mama walau laki itu tingginya melebihi sang mama. Di mata Bu Dewi Alvan selamanya tetap anak kecil yang butuh perhatian.
"Mama dan papa datang temani Karin ke dokter kandungan." jelas Bu Dewi senang.
Jantung Alvan menciut dengar Karin ke dokter kandungan. Mungkin Karin mengira dia yang bermasalah sampai ceking ke dokter. Sebenarnya yang bermasalah itu Alvan sendiri. Bukan salah Karin.
"Lalu?" tanya Alvan lemas.
"Karin hamil dua bulan. Mama lihat jelas bayinya di monitor. Masih segede biji jagung." Bu Dewi berkata full energi. Siapa tak bahagia bakal punya cucu.
Alvan dan Karin menikah hampir tujuh tahun. Di awal pernikahan Karin sempat hamil tapi sayang keguguran. Sejak itu Karin tak pernah hamil lagi sampai hari ini Alvan dapat kabar isterinya hamil.
Seharusnya Alvan gembira bakal jadi bapak. Penantian selama tujuh tahun berbuah hasil. Akhirnya Karin berhasil jadi ibu setelah vakum sekian lama. Tapi Alvan teringat diagnosa Hans tentang kesuburannya. Spermanya kosong. Dari mana Karin bisa hamil bila memang dirinya infertilitas. Hans salah diagnosa atau ada sandiwara tersembunyi.
Alvan membeku tak beri ekspresi dikabari berita bagus ini. Tak ada euforia berkembang dalam dada. Alvan malah sakit hati dapatkan Karin hamil. Anak dalam kandungan wanita yang dicintainya siapa bapaknya? Teganya Karin berkhianat demi anak.
Alvan tak katakan apapun sebelum semuanya jelas. Bagusnya besok dia jumpai Hans cross cek masalah kesuburannya. Siapa yang bermasalah di sini. Dirinya atau Karin yang berselingkuh.
"Sayang...kok diam? Tak senang jadi Daddy?" Karin menggoyang lengan Alvan dengan manja. Alvan yang terlanjur ilfil berusaha meredam emosi agar tak tampak buruk di depan orang tua dan isterinya.
"Maaf! Aku lelah...kita makan dulu! Aku masih ada kerja belum selesai. Setelah makan aku harus balik kantor." Alvan melepaskan tangan Karin menuju ke ruang makan.
Pak Jono dan Bu Dewi saling berpandangan tak ngerti mengapa Alvan tak tampak bahagia dapat kabar isteri hamil. Seisi rumah tahu Alvan sangat mendambakan kehadiran anak di antara mereka. Tapi reaksi Alvan bertolak belakang dengan harapan selama ini.
Apa yang sedang terjadi pada putra semata wayang itu. Dapat tekanan di kantor atau perusahaan sedang bermasalah.
Pak Jono dan Bu Dewi tak bisa berbuat apa-apa selain ikut ke meja makan. Karin tertegun lihat reaksi Alvan jauh dari harapannya. Karin mengira Alvan memberi pelukan mesra berseru girang. Bahkan Karin sudah bayangkan Alvan akan mengangkatnya tinggi-tinggi beri penghargaan atas jasanya beri anak pada laki itu.
Sayang seribu sayang Alvan hanya beri tanggapan dingin. Ada apa dengan suaminya itu? Sudah hilang rasa cinta atau sudah ada wanita lain di hati Alvan. Karin takkan biarkan siapapun menyentuh suaminya. Tambang emasnya.
Acara makan siang berjalan kaku. Tak ada sentuhan sayang dari Alvan sebagaimana biasa. Justru Alvan beri reaksi dingin seperti yang dia berikan pada orang lain. Biasa Alvan selalu hangat pada Karin tanpa batas waktu. Alvan dibutakan cinta pada wanita berkelas itu.
"Sayang...ada apa? Kurang sehat? Atau perlu Karin panggil tukang urut. Kerja boleh tapi jangan dipaksa! Karin sedih lho sayang tak kasih ucapan pada calon anak kita!" Karin pasang wajah sendu. Senjata ampuh luluhkan hati Alvan. Alvan paling tak bisa lihat wajah cantik Karin berlipat penuh garis. Bisa kurangi nilai kecantikan wanita itu.
"Kerjaku banyak. Mungkin malam ini aku lembur. Jaga kesehatan dan makan yang banyak agar bayinya sehat. Oya ma! Kalau perlu mama nginap sini saja kawani Karin. Malam ini aku pulang telat."
"Oh tak perlu merepotkan mama. Kan sudah ada Bik Ani dan Iyem. Terima kasih sayang. Aku akan jaga anak kita dengan baik."
Alvan mangut kecil. Tak ada kata lanjutan selain dentingan sendok garpu. Pak Jono merasakan ada keanehan dengan kelakuan Alvan. Tak biasa Alvan bersikap negatif terhadap Karin. Pak Jono bukan terlalu suka pada Karin. Menurut Pak Jono Karin terlalu royal foya-foya uang hasil keringat anaknya. Gaya hidup Karin tak ubah selebritis terkenal. Berpesta sana sini, tour manca negara demi menunjang nama selebgram banyak follower. Tapi karena Alvan nyaman maka Pak Jono tak komentar.
"Aku langsung balik kantor. Untung sudah duluan karena ada tugas penting. Permisi." Alvan pergi tanpa mencium Karin sebagaimana biasa. Karin merasa ada sesuatu yang hilang dari Alvan. Hari ini Alvan berubah drastis. Pas pula di hari Karin umumkan hamil. Apa Alvan sudah tak pingin punya anak?
"Nak Karin tak usah banyak pikir! Alvan mungkin menemukan kendala di lapangan. Yang penting jaga kesehatan. Mama tak sabar ingin lihat cucu segera lahir. Tujuh bulan lagi akan hadir permata hati kita." Bu Dewi menghibur Karin agar tak sedih ditinggal kerja oleh Alvan.
"Sudah biasa ma! Alvan sering tak pulang kalau kantor lagi deadline. Yok kita lanjut makan!"
"Ayok! Nanti mama kawani belanja perlengkapan bayi. Mungkin sudah saatnya sediakan kamar bayi. Warna apa ya?"
Karin tertawa senang lihat antusias mertuanya. Belum apa-apa sudah memikirkan perlengkapan bayi dan kamar. Jenis kelamin belum jelas bagaimana mau persiapkan. Nanti salah kaprah. Bayi cewek perlengkapan cowok. Demikian sebaliknya.
"Kita tunggu dapat hasil USG jenis kelamin dulu ma! Waktu kita masih panjang."
"Oya kau betul...mama yang pikun tak sabaran."
Tak urung kedua wanita itu terbahak-bahak gembira. Dalam keluarga kehadiran seorang anak jadi penerang hati. Semua kegundahan terselesaikan bila melihat mata tanpa dosa dan tubuh mungil minta digendong. Rasa letih seharian kerja terbayar disambut tangan mungil sang buah hati.
Di luar sana Alvan menjalankan mobil tanpa tujuan. Alvan syok hari ini. Pertama dapat kabar dia mandul, lantas jumpa wanita yang pernah jadi isterinya dan terakhir Karin hamil ntah anak siapa. Kalau dirinya mandul dari mana muncul bayi di perut Karin kalau bukan dia selingkuh. Karin belum tahu kalau dia divonis tak bisa punya anak. Lantas anak siapa itu? Alvan tak bisa bayangkan isteri yang dia cintai segenap hati main hati.
Alvan arahkan mobil ke cafe nongkrong temannya yang lain di pinggir kota. Tempat itu nyaman buat tenangkan otak. Suasana asri bernuansa alam. Yang datang ke sana orang-orang yang cari ketenangan sendirian maupun pasangan. Alvan sering ke sana kalau lagi banyak masalah kantor. Hari ini Alvan datang bukan karena kerja tapi pusing dihantam kejadian beruntun.
Satu jam berkendaraan Alvan tiba di cafe yang dimaksud. Tak butuh waktu lama Alvan masuk mencari bos cafe sekaligus teman dekatnya selain Hans. Cafe bernuansa alam itu agak sepi dari pengunjung. Mungkin masih jam kerja. Sorean baru ramai ataupun hari libur.
Alvan melewati sapaan pelayan cafe yang sudah kenal Alvan sebagai kawan bos. Tak ada larangan bagi Alvan langsung masuk ke belakang cafe tempat bos hitung duit.
Daniel sang pemilik cafe berleha di kursi rotan besar beralas busa lembut. Laki itu pasang headset di kuping sambil pejamkan mata menikmati musik yang jadi rahasia anak itu. Alvan menghela nafas iri pada kenyamanan Daniel nikmati hidup. Tak ada keruwetan seperti dirinya. Santuy sampai kiamat.
Tangan besar Alvan bergerak mencolek Daniel. Colekan Alvan cukup keras memaksa Daniel buka mata. Daniel hanya melirik sekilas lalu pejamkan mata lagi. Musiknya terlalu merdu ditinggalin maka tak ada hasrat Daniel ladeni Alvan.
Alvan tak memaksa. Laki ini ikutan rebahan di kursi satu lagi mengharap bisa sesantai Daniel. Belajar legowo seperti Daniel. Itu yang terpikir di benak Alvan.
Lama kedua cowok itu tak tegur sapa. Alvan coba tiduran buang pikiran buruk di kepala. Daniel tak usah ditanya. Tetap Santuy walau ada sirene perang. Hidup harus dimaknai dengan keikhlasan agar tidak tegang kayak kawat listrik. Terlalu tegang sampai nyetrum. Endingnya tewas.
Daniel duluan bangun perhatikan temannya yang tepar di kursi malas. Badai apa tiup laki super sibuk itu datang ke cafe? Tender gagal atau investor kabur. Daniel colek kaki Alvan pakai kaki agar laki itu sadar tidur di cafe orang.
Alvan balas tendang kaki Daniel tak ingin buka mata untuk ingat lagi kejadian hari ini. Alvan ingin melupakan seluruh kisah sedih hari ini. Kisah yang menyayat kalbu. Melukai harga diri sebagai lelaki. Mandul, isteri hamil dengan orang lain, jumpa mantan isteri yang acuh padanya. Ketiga hal menoreh luka mendalam.
"Woi...bangun! Ini bukan hotel buat numpang tidur. Ngak bayar lagi." Daniel dekatkan wajah ke wajah ganteng yang punya dekik di pipi. Dekik itu akan tampak bila Alvan tersenyum cuma sayang laki itu mahal senyum.
"Bisa diam ngak?" bentak Alvan geram tidurnya diusik laki berambut gondrong itu.
"Patah hati ya? Karin kabur dibawa Om Sangklek?"
"Sembarangan...emang Karin wanita apa?"
"Emang wanita apa? Ayo tebak?" balas Daniel cuek tak peduli Alvan sakit hati isterinya tak dihargai.
"Kau tahu sesuatu?" Alvan kontan buka mata menyadari nada Daniel agak berubah menyebut nama Karin.
Daniel mengedik bahu sok bersih tak ngerti arah omongan Alvan.
"Tak tahu apa-apa. Ngapain nongol jam gini? Emang kantormu sedang pose boleh libur?" Daniel berjalan ke arah kulkas mengeluarkan dua kaleng minuman bersoda. Laki itu serahkan satu kaleng buat Alvan.
Alvan menerima tanpa gairah. Semangat juang yang biasa berkobar seolah padam kena angin ****** beliung. Redam tak menyala.
"Aku jumpa Citra."
"Citra si mungil jelita? Masih mungil atau sudah tambah gede? Aku kangen pada masakannya. Di mana dia?" Daniel teringat isteri pertama Alvan yang dicerai pakai mulut. Secara hukum wanita itu masih isteri Alvan tapi dalam agama mereka bukan suami isteri lagi karena terucap talak dari mulut Alvan.
Alvan memainkan kaleng di tangan tanpa niat mereguk minuman tersebut.
"Dia bukan Citra dulu! Dia sudah jadi dokter."
"Wah...cocok itu! Kusarankan urus proses hukum biar kamu bisa nikahi Karin secara hukum. Bukan bini siri. Kasihan Karin digantung sebagai bini tidak sah."
"Maksudmu cocok apa?"
"Ya cocok saja! Gue pingin jumpa cewek mungil yang kulitnya selembut bayi itu. Citra imut banget."
"Waras ngak sih lhu? Sudah sembilan tahun kami pisah. Banyak kejadian di belakang kita. Mungkin dia sudah punya suami. Sembilan tahun bukan waktu singkat."
"Singkat panjang ngak masalah. Gue cuma mau pastiin Citra sudah punya keluarga belum. Kalau belum berarti jalan ke Roma dipersingkat."
"Lhu suka Citra?"
"Suka banget! Citra cantiknya beda dengan Karin. Citra itu cantik alami sedang Karin cantik karena bedak. Karin dewasa sedang Citraku selamanya anak kecil bagiku." Daniel mengangankan satu sosok mungil kayak anak SD. Selamanya takkan tumbuh dewasa.
"Dia telah dewasa. Tak usah angankan mimpi kosong. Secara hukum dia masih isteriku. Kami belum resmi bercerai. Kalaupun dia menikah pasti di bawah tangan. Tidak sah."
"Siapa peduli. Kasih tahu di mana dia buka praktek? Besok
kusamperin." Daniel yakin bisa jumpa Citra yang dia kagumi sejak dulu. Cuma sayang Citra bini Alvan.
Berulang kisah sembilan tahun lalu.
Pak Wira kakek kandung Alvan pulang ke rumah membawa seorang gadis yang menurut Alvan dan keluarga hanya anak kecil. Gadis kecil itu bernama Citra Ayu anak Suroso supir Pak Wira yang berkorban menolong Pak Wira tak terjebak dalam mobil terbakar di jalan tol.
Suroso berhasil mengeluarkan Pak Wira dari mobil namun dia sendiri terpanggang karena mobil keburu meledak begitu Pak Wira berhasil didorong oleh Suroso. Suroso meninggal di tempat terpanggang hangus.
Suroso meninggalkan seorang anak perempuan di rumah kontrakan. Isteri Suroso meninggal bertahun-tahun lalu maka anaknya otomatis jadi anak yatim piatu. Demi membalas budi Suroso yang tak dapat dinilai dengan uang Pak Wira memaksa cucunya menikahi anak Suroso yang waktu sedang kuliah di UGM jurusan kedokteran.
Alvan yang waktu itu berumur dua puluh tujuh tahun keberatan nikahi anak kecil yang tak dia kenal sama sekali. Kakek Alvan gunakan semua ancaman akhirnya Alvan bersedia menikah dengan Citra tanpa cinta. Waktu Alvan sudah pacaran dengan Karin teman kuliahnya.
Menikahi Citra tak membuat Alvan dan Karin putus. Mereka terang-terangan berselingkuh di depan hidung Citra. Apa lagi Pak Wira sengaja kasih tugas pada Alvan urus perusahaan di Jogja agar bisa jaga Citra yang sedang kuliah di sana.
Alvan malah senang bisa bebas dengan Karin di Jogja tanpa takut ketahuan Pak Wira. Karin ikut tinggal bersama Citra dan Alvan di Jogja. Di sana Citra diperlakukan sebagai pembantu oleh Karin. Tidak sekalipun Citra mengadu maupun mengeluh kelakuan Alvan dan Karin. Gadis mungil itu tabah ikuti permainan Alvan.
Malam itu Alvan datang bersama laki berambut gondrong berwajah lucu. Tampang penuh persahabatan menghargai Citra walau Alvan sudah cerita kalau Citra hanya anak supir. Di mata Alvan posisi supir hanya pekerjaan orang kecil. Laki itu tak sadar kalau supir juga punya nilai sendiri terbukti seorang supir berhasil selamatkan nyawa bos. Terbukti Suroso korban jiwa demi lindungi majikan.
Citra hidangkan masakan khas kampung untuk jamu Daniel sebagai tamu Alvan. Waktu itu Karin tidak di rumah karena sibuk berpesta dengan teman-teman lain. Wanita itu tak peduli Alvan punya isteri sah soalnya Karin tahu Citra bukan selera Alvan. Citra terlalu kampungan untuk laki berkelas macam Alvan.
Tak ada sedikitpun keraguan Alvan akan berpaling darinya untuk Citra. Karin pede saja biarkan Alvan berada di rumah bersama Citra. Dari pertama nikah sampai detik ini Alvan tak menyentuh Citra. Jangan menyentuh, lirik saja Alvan berat mata.
Dalam diri Citra tak ada yang pantas dilirik. Tubuh kurus kering tinggal tulang. Penampilan buruk tak pandai urus wajah. Bibir pucat tak mengundang selera orang untuk mengecup bibir mungil itu. Pendek kata tak ada nilai jual Citra yang masih muda itu.
Selesai hidangkan makanan di meja Citra mengundurkan diri ke belakang tahu diri tak pantas ikut makan di meja. Alvan bersyukur Citra tahu diri tak rewel cari perhatian.
Daniel menggeleng iba pada Citra. Laki ini tahu Citra juga tak bahagia menjadi isteri Alvan. Wajah cantik alami itu sendu menanggung beban batin. Ingin rasanya Daniel bantu Citra keluar dari pernikahan semu ini. Tapi Alvan terikat janji dengan sang kakek harus rawat Citra sampai tua.
"Van...Citra itu juga korban! Berbaik hati dikit napa? Dia juga manusia pura perasaan. Kau dan Karin sudah berbuat maksiat di depan bini sah jadi keluarkan rasa empati lhu!"
"Salah sendiri mengapa hadir di antara kami. Kau kan tahu aku dan Karin pacaran sudah berapa tahun. Kalau tak ada Citra kami sudah menikah." ujar Alvan cuek menyendok nasi ke piring. Masakan Citra memang enak walau tidak semewah masakan restoran. Masakan kampung yang sehat tanpa banyak lemak jahat.
"Iya gue ngerti! Citra masih muda. Dia juga butuh teman bicara. Apa kau tak lihat betapa kusam wajahnya? Atau gini saja! Aku yang akan urus dia! Serahkan dia padaku!"
"Kau mau apa? Dia masih kecil untuk kau bawa jadi nakal. Umurnya ntah tujuh belas atau delapan belas. Kau tega perkosa anak kecil?"
"Sialan lhu Van! Lhu pikir otak gue habis di makan virus? Gue tahu situasi. Gue cuma mau jadi temannya. Ajak main dan ngobrol. Ngasih perhatian biar ada semangat belajar."
"Ok tapi tak boleh kau ajak keluar rumah. Dia itu kesayangan kakek."
Daniel angguk beri jaminan akan perlakukan Citra sebagai adik. Tidak lebih dari itu. Daniel hanya iba pada nasib sial Citra ketemu Alvan. Laki tak punya hati nurani.
"Gue jamin takkan macam. Lihat tampang imutnya hati gue meleleh. Kalau lhu lepasin dia kelak gue siap tampung. Gue akan tunggu jandanya."
"Tunggu saja sampai kiamat. Dia tetap jadi bini gue dalam hukum, tapi Karin bini gue dalam hati." ujar Alvan santai tak jaga perasaan Citra.
Andai Citra dengar kata-kata Alvan bagaimanakah reaksinya? Apa anak itu masih sanggup bertahan di rumah penuh kepedihan ini. Daniel memuji mental Citra berlapis baja sanggup hadapi sikap buruk Alvan dan Karin.
Di mata Daniel perlakuan Alvan pada Citra tak lebih antara majikan dan pembantu. Citra melakukan semua pekerjaan rumah tangga termasuk melayani keperluan Karin yang layak nyonya besar.
"Van...jangan kebangetan! Jelek-jelek Citra itu jauh lebih dari Karin. Cuma dia tak pandai bergaul. Suatu saat anak itu akan tumbuh besar menjadi orang. Kau akan menyesal atas sikapmu ini." sinis Daniel kurang suka Alvan hina Citra.
"Amin saja. Habis ini lhu pulang saja. Bikin otakku mumet asyik bahas anak pembantu itu."
"Gue pulang sekarang. Mulai besok gue akan datang sini temani Citra. Kau jangan ngelarang ya!" Daniel bangkit dari meja makan walau nasinya belum habis. Daniel tidak suka Alvan asyik hina Citra sebagai anak tak berguna.
Bagi Daniel Citra jauh lebih berharga dari Karin si ratu dugem. Apa yang dilihat Alvan dari Karin. Dari kecantikan atau sikap murahan Karin menjerat Alvan. Namun Daniel tak berhak memaksa Alvan alihkan perhatian dari Karin ke Citra. Itu wilayah Alvan.
"Hei Dan..kok kabur? Katanya mau tunggu Karin pulang." Alvan panik sobat kentalnya tiba-tiba minta pamit padahal tadi dia cuma asal omong.
"Tadi ngusir. Tunggu saja sendiri. Bangga toh punya calon bini ratu jalanan! Karin si ratu dugem yang kaya raya. Tiap malam traktir teman-teman minum sampai teler. Kau kan suka wanita model bar-bar. Lebih hot di ranjang kan? Permisi." Daniel pergi tinggalkan Alvan dongkol hati. Dibilang dikit langsung ngambek kayak anak cewek.
Selera makan Alvan ikut hilang bersama perginya Daniel. Alvan heran mengapa Daniel bisa suka pada ikan teri macam Citra. Di mana kelebihan Citra sampai seniman itu membela Citra mati-matian.
Alvan meletakkan sendok nasi dengan kasar. Gara Daniel sialan dia tak bisa nikmati tumis kangkung terasi dengan baik. Padahal itu masakan favorit Alvan. Makan selagi hangat bersama nasi panas merupakan nikmat mulut luar biasa. Alvan akui masakan Citra cocok dengan selera mulutnya. Pas memanjakan pulau tengah tubuhnya alias perut.
"Citra..." teriak Alvan tak ada lembutnya.
Sekian detik Citra sudah muncul menundukkan wajah tak mau menatap Alvan. Ntah takut atau benci tatap wajah bengis itu.
"Ya pak?"
"Bereskan meja makan! Antar teh ke ruang kerjaku!"
"Iya pak!" Citra meringsut ke sudut meja ambil bekas makan Daniel duluan. Alvan masih duduk di meja maka Citra memilih mulai dari jauh. Tak ada sedikitpun niat Citra ingin dekati laki yang jadi suaminya secara hukum dan agama. Citra malah jijik lihat laki itu tak ubah seperti lihat limbah sampah. Bau busuk undang lalat jorok. Alvan itu limbah dan Karin itu lalat. Pasangan serasi.
Alvan pindah dari meja makan karena tak ingin ganggu Citra bekerja sebagai kacung dia dan Karin. Siapa suruh Citra bodoh mau masuk dalam hidup Alvan. Coba dari awal dia tolak ide Pak Wira menjadi isteri Alvan. Hidupnya pasti tak sengsara. Ini cari penyakit sendiri namanya. Sudah tahu Alvan bukan levelnya masih saja ingin masuk dalam hidup laki itu. Terima saja nasib.
Citra tak katakan apapun walau Alvan bersikap buruk. Citra hanya cepat selesaikan kuliah dan pergi jauh dari laki yang tak punya hati itu. Masa bodoh dengan Karin dan Alvan. Yang penting Citra masih bisa lanjutkan kuliah. Mengejar cita-cita mulia jadi dokter mengabdi pada masyarakat.
Besoknya Daniel datang sesuai janji. Pagi-pagi seniman itu sudah nongkrong di depan rumah Alvan menanti Citra. Tujuan Daniel bukan jumpa Alvan maupun Karin. Tapi mencari gadis kecil bermata indah itu. Daniel yakin Citra akan berangkat kuliah pagi hari seperti biasa.
Daniel nangkring di atas motor antik hasil modifikasi tangan kreatif. Sekilas mirip motor mahal Harley-Davidson cuma kw ntah berapa. Untuk bergaya laki type Daniel sangat cocok. Aura seniman antik mencuat ke permukaan.
Benar dugaan Daniel. Sekitar pukul delapan Citra keluar rumah dengan pakaian ala remaja. Rambut diikat ekor kuda dan berpakaian sopan kemeja berlengan panjang warna kuning muda dan celana kulot warna coklat muda. Sejuk di mata.
"Pak Daniel...mau jumpa Pak Alvan?" mata Citra berbinar lihat Daniel di depan rumah duduk santai jemuran matahari pagi.
"Sebelum kita ngobrol aku mau ralat sedikit. Pertama aku keberatan dipanggil bapak. Kedua aku datang bukan untuk Alvan tapi untuk kamu."
Citra tidak besar kepala dihargai Daniel. Citra sudah lelah berhadapan dengan orang kaya yang sok elite. Manusia dari kalangan bawah tak ubah semut di mata mereka. Bisa diinjak kapan saja.
"Terima kasih sudah datang. Sayang aku harus buru waktu. Nanti terlambat." Citra mengunci pintu lalu berjalan lewati Daniel.
"Ini ojek sudah siap antar tuan Puteri ke kampus. Hari ini gratis! Test keterampilan ojek baru." Daniel menahan Citra pakai rentang tangan.
"Ke kampus naik motor gini?" Citra terbelalak melihat kondisi motor tak layak untuk dibawa ke kampus. Apa kata orang Citra yang terkenal alim naik motor koboi.
"Kenapa motorku? Ini hasil karyaku. Hargai dong jerih payah aku!" Daniel merengut Citra tak melihat betapa antiknya motor yang dipermaknya. Kocek Daniel hampir jebol dikuras modifikasi motor itu.
"Bapak...maaf ya! Aku belum mau dianggap anak bengal. Terima kasih niatmu antar aku. Permisi..."
"Stop...protes! Jangan panggil bapak! Uban di kepalaku berlomba nongol unjuk gigi! Panggil Kak Daniel! Boleh ditambah Kak Daniel yang ganteng. Aura gantengku pasti muncul." gurau Daniel menghibur gadis muda yang tentu tiap hari berduka itu.
Citra terpancing keluarkan tawa kecil yang merdu di kuping Daniel. Citra makin manis bisa buat orang lihat kena diabetes akut. Daniel terhibur saksikan guratan senyum tergaris di bibir tipis Citra. Anak gadis seharusnya memang begitu. Ceria nikmati masa remaja.
"Ya sudah kak. Aku pergi kuliah dulu. Ada angkot siap antar aku ke kampus. Doain lancar ya!"
"Amin..." Daniel tak memaksa Citra harus ikut dengannya ke kampus. Gadis manis dan alim macam Citra mana mau cari sensasi ikut motor ukuran anak motor. Bukan gaya Citra bikin heboh.
Sosok mungil dengan tinggi badan tak sampai semester enam puluh itu perlahan bergerak meninggalkan rumah Alvan. Mata Daniel ikuti gerak tubuh Citra sampai hilang di mata.
Daniel stater motor tinggalkan rumah Alvan berjanji akan balik bawa motor pantas bonceng bidadari di mata Daniel itu. Tak pungkiri Daniel suka gadis imut yang rasanya tak tumbuh dewasa. Selamanya tujuh belas tahun.
Di dalam rumah Karin belum bangun karena telat pulang. Wanita itu pulang jelang pagi. Alvan tak kuasa memarahi wanita cantik itu. Dimarahin Karin pasti ngambek minta pulang ke Jakarta. Alvan belum siap hidup berpisah dengan Karin. Seluruh hidup Alvan berserah pada Karin.
Alvan menghela nafas perhatikan wanita yang tertidur berantakan. Tidak ganti baju tidur dan seluruh tubuh berbau alkohol. Berapa banyak Karin minum sampai tak tahu arah pulang. Karin diantar temannya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat. Sampai kapan Karin akan hidup begini.
"Karin...bangun! Aku mau ke kantor!" Alvan mengguncang tubuh Karin. Wanita itu mengintip Alvan lewat kedipan mata.
"Aduh sayang! Aku masih ngantuk. Pergi saja! Kan ada anak sialan itu urus aku."
"Dia sudah berangkat kuliah. Sampai kapan kau mau gini? Tiap malam mabukan. Apa tak malu dilihat Citra?"
"Malu? Anak setan itu sudah hancurkan mimpi kita. Aku akan berhenti kalau kau ceraikan dia dan usir dia dari hidup kita. Dia pangkal kesedihanku!"
"Dia tak ganggu kita. Malah kau beruntung dilayani dia dengan baik. Anggap dia kacungmu!" ujar Alvan tanpa rasa iba.
"Kau yang bilang lho! Kau lihat akan kubuat hidupnya berada di neraka." Karin menyeringai puas dapat ijin siksa Citra.
"Kamu jangan kelewatan! Kalau terjadi sesuatu padanya kakek takkan maafkan aku! Kita bisa jadi gembel."
"Ngak asyik...maunya ke siram air keras ke wajahnya biar tak bisa jumpa orang lagi." omel Karin geram pada Citra yang dapat kasih sayang dari Pak Wira.
"Kuingatkan jangan lukai dia! Dia juga menderita bahkan lebih dari kita. Kau cuma tak punya status. Kau miliki segalanya jadi Kuingatkan jangan lewat batas!"
"Terserah! Pokoknya aku benci pada anak setan itu."
Alvan tak mau berdebat lagi. Jam kantor sudah tiba. Makin lama berdiri di kamar makin macet jalan. Alvan tak punya banyak waktu dengar ocehan Karin. Banyak pekerjaan di kantor menanti Alvan. Alvan tak mungkin abaikan pekerjaan hanya dengar omelan Karin.
Alvan bergegas keluar cari sarapan. Citra selalu sediakan makan pagi sebelum berangkat kuliah. Kerja Citra beres tak ada yang perlu dicela. Tepat waktu serta disiplin. Itu harus Alvan akui keunggulan Citra. Masih muda tapi akal dewasa.
Alvan mendapat mie goreng telor. Dari tataan saja sudah terbayang betapa lezat mie goreng dengan telor orak arik. Bau sambal bawang makin mengundang selera Alvan. Tidak rugi Alvan piara Citra selama ini. Hampir setahun tinggal bersama membuat Alvan makin akrab dengan masakan Citra. Alvan tak bisa bayangkan kalau suatu saat mereka berpisah.
Alvan pasti rindu pada masakan gadis ini. Alvan tidak munafik soal keahlian Citra godok makanan. Gadis itu terlalu pintar meracik selera Alvan.
Alvan bergegas pergi setelah sarapan. Tinggal Karin bergulung dalam selimut melanjutkan mimpinya.
Kring...ponsel Karin berbunyi. Ponsel keluarkan baru jaman itu berdering tak henti minta di angkat. Karin menutup kuping tak mau dengar. Rasa ngantuk masih menggila.
"Halo...berisik!" seru Karin tak sopan.
"Baby...belum bangun?"
"Ngapain telepon pagi banget?"
"Gue masih kangen! Acara kita belum selesai. Gue masih pingin."
"Jangan gila kau! Ketahuan Alvan bisa tamat kita. Kita jumpa besok saja."
"Tapi gue masih pingin. Ada stok buat gue?"
"Stok? Cari sendiri! Emang aku germo."
"Duh yang cemburu! Gara semalam kelewat banyak minum obat kuat. Efeknya sampai sekarang. Maunya gitu terusan."
"Sinting...malam ini gue ngak berani keluar! Alvan mulai marah gue dugem terusan. Eh..di rumah gue ada perawan tingting! Tertarik?"
"Mau dong asal gratis!"
"Ok...lhu cari obat perangsang! Selanjutnya serahkan pada gue! Kalau sudah bereaksi lhu datang habisin pengacau di rumah gue ini. Hitung-hitung gue beramal umpan anak perawan buat lhu!"
"Yakin lhu? Gue sih mau aja! Belum pernah rasakan perawan sih! Semua rem bolong."
"Sialan lhu! Ejek gue ya!"
"Mana berani? Lhu tunggu gue! Satu jam gue datang. Lhu tunggu gue di depan rumah! Gue ngak berani masuk rumah lhu! Takut dihajar Alvan."
"Sip."
Sebelum satu jam orang yang janjian dengan Karin muncul pakai motor. Laki itu pakai helm sembunyikan wajah takut ketahuan sama tetangga atau yang punya rumah. Karin menerima pesanan langsung masuk untuk hindari kecurigaan tetangga.
Karin susun rencana jebak Citra dalam masalah. Kalau tidak selamanya Citra takkan enyah dari hidup Alvan. Tunggu kakek meninggal baru bisa bersatu. Tunggu sampai kapan. Gimana kalau kakek Alvan berumur panjang capai ratusan. Waktu itu Karin mungkin sudah keriput.
Karin tak bisa menunggu lebih lama untuk menjadi bini utama Alvan. Harus ada trik jitu usir Citra. Untunglah laki misterius simpanan Karin kasih jalan untuk lancarkan misi Karin.
Karin campur obat perangsang ke gelas teh Citra. Karin hafal Citra suka minum teh dingin simpan di kulkas. Setiap pulang kampus gadis itu minum teh tersebut. Ini mudahkan Karin memuluskan rencana jebak Citra buruk di depan Alvan.
Karin akan foto Citra sedang main dengan laki simpanannya. Alvan pasti berang dan mengusir gadis itu. Rencana jahat yang di otak kotor Karin.
Setelah membereskan tahap pertama Karin keluar rumah agar tak tampak itu rencana jahatnya. Karin harus punya alibi bersama kawan lain agar tidak dituduh jadi dalang perzinahan Citra.
Manusia berencana Tuhan yang menentukan. Tuhan berpihak pada orang baik mungkin itu kunci berbuat baik. Sebelum jam dua belas Alvan pulang karena kurang sehat. Ditambah masih teringat Karin belum sadar betul dari mabukan. Alvan ingin Karin tinggalkan kebiasaan minum minuman beralkohol. Itu akan merusak kesehatan. Maka itu Alvan pulang cepat.
Suasana rumah yang sepi. Karin tak ada sedang Citra belum pulang kuliah. Mungkin ada mata pelajaran tambahan mengingat gadis itu ambil jurusan cukup peras otak. Alvan sendiri tak yakin bisa kuliah di fakultas kedokteran.
Gadis sederhana macam Citra justru maju mengambil jurusan rumit itu. Di sini Alvan memuji tekad Citra. Orangnya sederhana tapi semangat patut dapat acung jempol..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!