—0—
—Arc I: Metaplasia of Time—
Obsidian Theater, Desember 1647
Sihir adalah keajaiban yang merusak dunia. Dari rahim keajaiban itu terlahir kehancuran, penderitaan dan ketidaksetaraan yang melukai banyak hati orang. Namun, di dunia yang tak memiliki langit, sihir adalah satu-satunya sumber cahaya pengharapan yang dipegang teguh manusia. Meskipun cahaya itu telah membasahi tempat ku berdiri dengan darah orang tak berdosa.
Kupegang erat pedang di tanganku saat melihat pohon putih tumbuh menjulang menghujam langit malam dengan dahan cahayanya. Akar-akarnya menghisap dengan ganas danau darah di sekitarnya, menruntuhkan satu persatu bangunan dan melahapnya kembali menjadi tanah. Tak ada satu pun yang selamat dari sentuhan pohon itu.
“… Kita bertemu lagi,” gumamku melangkah mendekati pohon cahaya itu dan menebas akar-akar putih yang ingin menghujam tubuhku.
Pohon putih itu adalah Ideal White. Sihir paling sempurna yang lahir oleh peleburan jiwa sang Pahlawan dan Ratu Iblis. Dengan gemilang cahayanya, sihir itu telah mengundang banyak jiwa malang untuk menggapainya. Sebab legenda mengatakan kekuatan Ideal White mampu mengabulkan permintaan apapun seorang Penyhir.
Semua itu hanyalah kebohongan belaka. Sihir hanyalah drama komedi yang dituliskan oleh para dewa-dewi yang menikmati kesengsaraan ciptaan mereka. Dan aku sudah muak dipermainkan mereka.
Pedangku patah oleh luka-luka seribu satu perang yang ia lewati. Akar cahaya pun menghujam seluruh tubuhku dan merantainya ke tanah. Perlahan kurasakan seluruh darahku dihisap oleh Ideal White, demi kehausannya akan kekuatan.
Saat pandangan mataku memudar, ilusi manis pun muncul di benakku.
“Bagaimana dunia ini dapat mengerti cinta bila tak pernah melihat langit biru? Bulan, itulah tujuan mengapa aku menerima takdirku menjadi Sang Pahlawan,“ kata seorang gadis yang memandang gelapnya langit dengan kepal tangannya,
“Dengan tangan ini, aku ingin mencapai langit biru… Dan menciptakan dunia yang dapat menerimamu, Bulan.”
Kubuka mataku dan mematahkan tiap akar yang menghujam tubuhku. Api panas membakar seluruh lukaku saat berlari, melewati reruntuhan kota. Cakar belatiku menghempaskan segala akar putih yang menghadang jalanku hingga akhirnya aku pun melompat dan menikam sang Ideal White dengan tanganku. Dan dari tanganku munculah kegelapan yang menodai gemilang cahaya pohon itu.
“Sakit? Ini tak seberapa dengan penderitaannya,” kataku.
Sinar merah menggores mataku dan mengubah warna gioknya menjadi merah mata iblis. Emas rambutku pun kehilangan warnanya menjadi perak yang kusam. Wujud manusiaku pun perlahan menghilang, menjadi monster dengan senyum mengerikan.
Gempa besar mengguncang tubuhku, bersama dengan ratusan akar yang mencoba menghancurkan tubuhku. Namun betapapun sakit yang kurasakan, semua kutahan. Meskipun kakiku telah tiada, meskipun paru-paruku telah hancur, meskipun jantungku telah berhenti berdetak… aku tidak akan melepaskanmu lagi.
“Berapa kali pun kamu mencegahku, aku takkan berhenti!” teriakku yang mengucurkan seluruh darahku dan menodai Ideal White.
Kekuatan dahsyat pun menghempaskan tubuhku dan mengurainya menjadi debu. Tetapi, gemilang cahaya pohon itu telah sirna. Kegelapan yang kelam pun menggantikannya, dengan bunga-bunga mawar hitam mekar di sekitarnya. Mata merah pun muncul dari mawar hitam itu dan tersenyum menatapku yang jatuh tenggelam dalam lautan darah.
Aku pun tersenyum dan menutup mataku, membiarkan pintu dimensi melahap tubuhku ke dunia baru yang menunggu untuk kuhancurkan.
“Meski harus menghancurkan seribu dunia sekalipun, aku… pasti akan menyelamatkanmu, Mentari. ”
—1—
Kota Bebas Pei Jin, 21 Agustus 1647
Denting gelas bir saling beradu dengan seruan riang dan tarian para petualang dari berbagai bangsa. Penuh percaya diri, pengiring musik ikut menendangkan lagu yang membuat jantung berdegup kencang. Para kelinci pelayan dengan gopoh membawakan belasan gelas bir bersama tatakan penuh makanan, berusaha memenuhi teriakan para pelanggan kedai minuman yang terkenal tak sabaran. Dan disana adalah diriku, seorang penyihir sederhana yang begitu terkesima melihat pemandangan yang tidak biasa itu.
"Ramai sekali, apa gerangan yang terjadi sehingga para petualang berkumpul di kedai minumanmu, Master?" tanyaku mengambil duduk di depan Kucing abu-abu yang dengan jemari pendeknya yang imut, memisah-misahkan koin emas dan perak. Kucing gendut itu adalah pemilih kedai minuman ini dan juga ketua Guild petualang, Master Desmond.
"Banyak sih penyebabnye, Ma Dame Clair. Tapi ye, yang paling panas tu... rumornye, sang Daemon Bulan datang ke kota ni. Kesempatan emas s'perti tu tadak kan mereke lewati b'gitu jak,” kata Master memberikan sepuluh koin emas kembali padaku, "Aih, kesepakatan kite 10 keping emas. Tapi kok Ma Dame malah ngasih Master 10 lebih?" lanjutnya.
Aku menggelengkan kepalaku dan mendorong koin itu kembali ke Master, “Hehehe, aku dengar petualang yang kusewa terluka parah karena mencari bahan pesananku,” kataku.
“Haduh, Ma Dame Clair. Harus berape kali gik Desmond ini mengingatkan kau ni. Jadi orang baik di kota Pei Jin ni takkan membawa apapun," tegur Master tetapi tetap mengambil sepuluh keping emas tadi.
Tertawa geli diriku, “Baik darimana? Dari kerja keras mereka, aku bisa menghasilkan sepuluh kali lipat lebih,” kataku yang kemudian mencondongkan badanku dan berbisik ke Desmond,
“Lebih dari itu, mana barang pesananku?"
Dengan hati-hati, kucing gendut itu menaruh sekarung penuh di atas meja. Jemari kecilnya telaten melepas ikatan karung itu, menunjukan lima tulang rusuk raksasa yang telah mengkristal. Dengan hati-hati, Desmond mengambil dari kulkas sihir—20 tabung kimia berwarna merah yang ditutup dengan rapat.
"Araraaa, cantik sekali!" kataku mengambil kristal rusuk naga itu, mengagumi tiap detil kebiruan kristal yang tumbuh mencuat dari fosil batu. Fosil dari seekor Daemon yang lahir tiap sepuluh ribu tahun sekali, Puella Dragonica.
“Ma Dame Clair, tolonglah, jangan pinta hal sesulit ni agik. Tadak pernahke terpikirkan oleh kau betapa sulitnya petualangku nyari tulang belulang ni? Mereke tu musti pergi ke kawah gunung Vilnuz, lewatin magma yang sangat panas t'rus diserang puluhan Anima ganas! Tadak lebih lagi, mereke bilang tu ada Anima naga ngejaga tulang ni," omel Master.
“Anima, monster yang lahir dari doa malang yang tak dijawab.” candaku sambil melihat tabung-tabung kimia itu.
Hrmmm, lumayan. Petualang itu mengikuti instruksiku sampai ke titiknya. Dalam akar kayu yang tenggelam di cairan merah itu, dapat kulihat bintik putih halus tumbuh di sekitarnya. Magebane, jamur yang sudah punah tujuh puluh tahun lalu.
Mata Master menatapku menyelidik, dielusnya kumis panjangnya itu sembari bertanya, "... Sungguh, s'jak awal penasaran aku. 'Tuk apa Ma Dame Clair minta barang selangka ni?"
Setelah mengemas seluruh barang di atas meja, aku pun melepas topi bundarku dan memasukan dua karung besar itu ke dalamnya.
“Seorang wanita boleh dong punya satu atau dua rahasia,” kataku mengedipkan mata dan menggoda kucing itu. Dengan gemas aku mengelus dagunya hingga kucing itu sebal dan menolak jariku.
“Aih, Ma Dame ni. Bukan cuma satu atau dua, tapi bejibun rahasianya. Entah angin mana, kau datang tujuh tahun lalu dan menumbuhkan Pohon Yggdrasil. Berkat pohon besar tu, seluruh kota aman dari jamaan Salju Superadikal. Tak cume itu jak, Aether yang kau jual mendongkrak inovasi, contohnya, bunge ni,” kata Desmond menunjuk sebuah bunga transparan di langit-langit. Bunga itu bersinar terang menyinari kedai petualang itu.
Bunga Lentera, nama yang sama dengan toko bahan kimia-ku.
Tertawa diriku melambai-lambaikan tangan menepis kata Desmond, “Tidak-tidak, aku cuma seorang pedagang biasa yang kebetulan lewat. Haaah… meski begitu, Ma Dame Fan repot-repot mengangkatku menjadi Penyihir Putih, satu dari tujuh penyihir tinggi Pei Jin,” kataku yang kemudian mengangkat pundak heran,
“Padahal, aku nggak jago ilmu sihir,” lanjutku tertawa.
Master Desmond ikut tersenyum geli, “Heh, Ma Dame ni ada-ada aja. Tak bise kubayangkan gimane nasibnye ekor-ekor yang kelak kau pimpin,” katanya.
Kudelikkan mataku mendengar hal merepotkan itu,“U-Ugh, boleh ngga ya aku mundur dari jabatan ini?” gumamku.
Desmond segera melompat dan menepuk dahiku, “Ngawur! Menjadi Penyihir Tinggi tu kehormatan tertinggi di kota Pei Jin. Ma Dame bisa memiliki wilayah di kota ini termasuk orang dan Daemon yang tinggal disana. Segala cita-cita Ma Dame bisa dikabulkan.”
“Araraaa, padahal aku hanya ingin menikmati sisa hidupku dengan bersantai dan minum teh ala Putri-Putri kerajaan,” gumamku.
“Santai? Bukannya yu baru-baru ekspansi usaha ke Siphon Dragonica dan Teokrasi Tuskman?”
“Sssssttttt!”
Master Desmond hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Menggelikan mungkin pikirnya, seorang wanita tua sepertiku bertingkah seperti ABG. Aku tidak memiliki pasangan dan tidak mempunyai anak di usia kepala tiga. Banyak yang iri melikatku memiliki memiliki harta berlimpah dan kekuasaan yang dimimpikan banyak orang. Tapi, untuk apa sebenarnya memiliki semua itu, jika pada akhirnya mereka tak mampu mengisi kekosongan dalam hatiku?
Semua hanyalah kesia-siaan belaka.
Mataku pun melirik pada perkamen yang terpajang di papan Guild petualang. Disana terlukiskan seekor Daemon cantik jelita dengan nama Daemon Bulan. Sama seperti namanya, daemon itu memiliki rambut perak yang panjang melingkupi kulitnya yang putih pucat. Dua batu delima merah yang indah menjadi matanya, kontras warna yang manis dilihat mata.
Tetapi bagiku, kukerutkan alisku bingung. Ini hanya perasaanku atau memang lukisan itu dibuat mirip denganku ya?
Kuputar rambut perakku dengan lembut, “Daemon Bulan. Kalau tidak salah rumornya itu dia adalah seekor vampir yang mampu menumpas segala penyakit dengan harga setetes darah bukan?” kataku yang kemudian berpangku dagu,
“Hmmm, kenapa penyihir sehebat itu datang ke Kota Pei Jin?”
Desmond segera menjawab, “Oh iyeye, Ma Dame sudah enam bulan tak di kota ni, jadi tak tahu. Ini baru rumor sih, katenye ye semenjak enam bulan lalu Ma Dame Fan mengijinkan para pengungsi manusia tinggal kota ni, sebuah wabah aneh muncul.”
Mencium aroma uang, antena rambutku pun segera berdiri, “Wabah aneh?” tanyaku yang mengundang alis mata heran dari kucing itu.
“Ye! Mereke menamakan wabah itu Nyght, nama sang Dewi Kematian. Sebab katenye sekali yu terkena wabah itu, kulit yu akan muncul luka yang terus menerus ngeluarkan darah. Diakhir cerite, dalam dua minggu, tubuh yu akan kejang-kejang lalu tiba-tiba muntah darah dan mati!”
Kubekap mulutku tak percaya, “Arara, ngeri kali. Jadi Sang Daemon Bulan datang ke kota ni untuk menyembuhkan wabah itu?” tanyaku.
Master Desmond mengangguk dengan antusias, “Ya ya ya! Katenye ye sebulan yang lalu, seorang dokter dari Kinje membuka klinik di pengungsian manusie tu. Dan seperti Daemon Bulan, dia tak ingin uang atau barang lain sebagai balas jasanya, melainkan sebotol kecil darah,” katanya.
Seorang Dokter dari Kerajaan Kinje? Seingatku kerajaan Kinje sangat mendiskriminasi Daemon. Tidak mungkin seekor Daemon Vampyris dapat bersekolah disana, alih-alih menjadi seorang dokter. Aroma mencurigakan tercium dari rumor ini, tetapi juga tercium kesempatan emas. Kalau aku berhasil memanfaatkan wabah ini, berapa banyak emas yang kuhasilkan?
“Ara, lantas bagaimana cara Daemon Bulan tu menyembuhkan wabah Nyght?” tanyaku penasaran.
“Tentu saja dengan obat seribujuta penyakitnya, Mutterbeweisen!”
Mutterbeweisen? Menarik.
“Ei, ei, senyuman itu, Ma Dame Clair pasti merencanakan sesuatu bukan?” tanya Master Desmond.
“Ssst, pertanyaan itu membuatmu tidak populer di kalangan wanita, Master,” kataku yang berdiri dan mengenakan topi penyihirku.
“Jangan membuat masalah lagi, Ma Dame. ingat yu udah menjadi Sang Penyihir Putih, salah satu pilar kota ini,” canda Master yang membuatku tertawa.
“Masalah sudah menjadi nama tengahku, Master,” kataku sembari berbaur dalam keramaian.
Desir darahku mengalir dengan cepat, cakarku tumbuh dengan cepat. Bila aku tak menutupi wajahku dengan topi penyihir itu, tentu saja semua orang akan ketakutan melihat taring-taringku yang tajam saat tersenyum.
“Araraa, sepertinya aku tidak sendiri di dunia ini,” gumamku.
-- Character Design 01 --
—2—
Pemandangan luar biasa menantikanku di depan rumah. Di depan sebuah toko tingkat dua, ekor-ekor berkumpul dengan penuh harap cemas. Mata mereka memancarkan sinar harapan saat melihat plank toko bertulisan Bunga Lentera, yang kulukis sendiri dengan sentuhan manis bunga pada tepiannya.
Hanya aja, memang sih tokoku sering rame, tapi gak pernah serame ini. Apa yang terjadi ya?
"Itu dia, Ma Dame Clair!" teriak seekor Daemon badak menunjukku. Lantas semua ekor disana pun berdiri telinganya dan langsung mengerumuniku dan memanggilku.
"O-Oh, Ma Dame Clair, kau beneran punya obat seribujuta penyakit bernama Mutterbeweisen? Jualah satu untukku, anakku ni sakit berat!" kata seekor ibu Gajah memintaku dengan berlinang air mata. Tak hanya dirinya, tetapi para daemon lainnya juga meminta pertolongan dariku.
“U-Uh, maaf ya Dame, tapi Bunga Lentera tu toko bahan kimia bukan obat-obatan,” jawabku canggung.
“Loh, tapi kata orang-orang, Dame jualan Mutterbeweisen?”
“H-Ha? Kata siapa?” tanyaku bingung.
Dari kejauhan, seorang perempuan kecil berambut hitam berlari mendekatiku. Deras air matanya mengalir dari mata dan hidungnya, menunjukan wajah cengeng yang sangat familiar bagiku. Perempuan itu adalah Luciel Diamanda, pelayanku yang setia. Tersenyum geli, tak kusangka wajah cengeng itu ternyata ngangenin banget.
Merengek panik Luciel pun menarik gaunku dan berkata, “Ma D-Dame Clair!! K-Kamu sudah kembali!”
Mengelus rambutnya lembut, aku pun menenangkan si cengeng, "Hush, hush, sudah-sudah Luciel. Kamu serindu gitukah denganku, sampai bersedu sedan melihatku setelah enam bulan pergi?" godaku.
Astaga! Luciel menggelengkannya dan mengelap ingusnya di gaunku…
"Siapa yang rindu sama pemilik toko malas seperti Dame? Udah malas, iseng lagi! Karena keisengan Dame menyebar rumor aneh-aneh, toko jadi kewalahan dengan pelanggan membludak kayak gini, huh!" omelnya.
“Rumor? Aku tidak menyebarkan rumor apapun,” bantahku.
Ceklek!
Diam-diam memasang borgol yang menghubungkan tanganku dan miliknya. Luciel pun tersenyum polos menatapku, “Pokoknya Dame harus bertanggung jawab. Hari ini, Dame tak boleh pergi kemana-mana sebelum semua pelanggan ini pulang!”
"T-Tunggu dulu, Luciel. K-K-Kamu tahu kan aku ini introvert tulen yang tidak pandai berurusan dengan orang banyak? ”
“Introvert tulen dengkulmu. Pokoknya Dame harus bekerja hari ini!" paksa Luciel menarikku ke dalam toko.
Ugh, ditinggal enam bulan, rupanya pelayanku ini jadi berani dengan tuannya ya!
— + —
Jarum jam telah menunjuk pukul tiga sore sebelum pelanggan terakhir pulang dengan senyuman puas. Aku pun duduk di dekat mesin kasir yang sudah penuh dan melihat kedua tanganku yang telah muncul garis-garis merah menyala. Enam bulan tak menggunakan sihir, sepertinya sirkuit sihirku yang payah jadi lebih cepat soak.
Tertawa kecil diriku mengagumi toko yang diatur Luciel, “Seolah aku terjebak dalam negeri dongeng,” gumamku.
Aku pun bersandar dan melihat kumpulan bahan-bahan kimia sihir yang tersusun rapi dalam rak-rak toko. Berbagai macam botol kaca dihiasi oleh warna-warni senyawa sihir menjadi manisan mata. Ada senyawa yang berbentuk kristal dengan kemerlap kecil debu di dalamnya, ada pula sebuah rumah siput penuh ornamen yang enak dimakan. Semua dibuat dari berbagai bahan yang kudapatkan dari petualanganku.
Tiba-tiba, Luciel mengetuk kepalaku dengan pegangan pel, “Dame kerjaan belum selesai. Kas hari ini belum ditulis loh,” tegurnya yang pun mulai membersihkan toko.
Tertawa kecil aku, “Iye, iye, galak amat,” balasku yang dengan kilat menghitung keping perak dan perunggu dalam kas.
“Oiya, jadi sebenarnya rumor apa sih yang beredar tentang toko kita?” tanyaku.
Sembari mengelap lantai, Luciel pun menjawab dengan heran, “Dame pura-pura gak tahu ya. Ituloh, rumor tentang Dame sang Daemon Bulan. Gara-gara rumor itu, seminggu ini toko kita rame pelanggan dari mancanegara.”
Iseng, aku pun mendekati Luciel dan memeluknya dari belakang. Dengan taringku, aku pun mengemut lehernya yang terlihat nikmat, “Gawrr, aku sang Daemon Bulan, datang untuk meminum darahmu.”
Luciel menyipitkan matanya, “Dame mau kulaporin ke Polisi Hwarang?”
“Ampun, ampun,” kataku yang kemudian tertawa geli dan melepas gadis itu, “Hmm, tapi untung saja aku memang tahu berbagai macam resep obat. Kalau tidak, hari ini banyak pelanggan akan kecewa,” kataku yang kemudian menyeduh teh.
“Jadi beneran bukan Dame ya yang menyebarkan rumor itu? Lantas siapa?” tanya Luciel berpangku pada pelnya bingung, “Apa mungkin ada saingan yang ingin menjatuhkan usaha kita?”
“Atau mungkin pertanda dari Sang Dewi agar membuka cabang baru yang khusus menjual obat sihir,” candaku yang menikmati harum aroma Chamomile yang merilekskan ototku. Menikmati keheningan saat toko tutup, aku pun memperhatikan Luciel dengan seksama.
Luciel adalah mahakarya yang kuciptakan tujuh tahun lalu. Homunculus paling sempurna yang berhasil diciptakan oleh penyihir tak berbakat sepertiku.
Bertingkah dan berbicara seperti seorang manusia, tak ada seorang pun akan menyangka bahwa Luciel hanyalah sebuah mesin dibalik kulitnya itu. Tubuhnya dingin tanpa nadi sebab jantung di dadanya terbuat dari Magicite—batu energi sihir yang terhubung dengan sistem sihir kompleks bernama Noctis Labyrinthus. Sistem itu kemudian menyimulasikan otak manusia dalam diri Luciel dan memberikannya kemampuan untuk berpikir dan merasakan.
"Hmm?" kuperhatikan Luciel tiba-tiba berhenti mengepel lantai. Matanya melihat ke luar jendela, bersinar-sinar melihat kumpulan anak-anak yang sedang bermain tapuk pipit diluar.
"Kalau kamu mau main dengan anak-anak itu, boleh loh," kataku yang berdiri dan mulai menyeduh teh herbalku.
"E-eh?! T-Tidak, kok Dame. A-Aku hanya-“
"Kamu seumuran dengan mereka bukan? Misalpun tubuhmu takkan tumbuh lagi, tapi beda ceritanya dengan psikismu," kataku yang menaruh sebuah daun pohon Yggdrassil di tengahnya, paduan sempurna untuk meredakan panas sirkuit sihirku.
"Luciel, anak-anak tugasnya itu cukup bangun, makan, main, merepotkan orang tuanya lalu tidur. Urusan tanggung jawab dan tugas itu, nanti kalau udah dewasa yah," lanjutku setengah bercanda.
“Kata seorang tuan yang meninggalkan homunculusnya selama enam bulan," cibir Luciel.
Aku pun membalas, “Enak aja ninggalin. Kan tiap hari kamu kuhubungi via telepati. Kalau pun kenapa-kenapa, Homunculus sekuatmu bisa membereskannya sendiri kan.”
Tertawa geli, Luciel berlari mendekatiku dan memberikan ember beserta kain pel itu. Tersenyum meringis anak itu menatapku, lalu dengan manisnya berkata, “Kalau Dame sendiri yang menawarkan, Luciel akan menerimanya dengan senang hati!” sebelum pergi dan bergabung dengan teman-temannya diluar.
"O-Oh, ya. Hati-hati," kataku yang langsung tersadar, astaga Homunculus itu baru saja menyuruhku mebereskan toko? Dasar tengil kurang ajar, hihihi.
KRING! KRING!
Terdengar bel yang selalu berbunyi ketika pelanggan melewati pintu toko. Eh, masih ada pelanggan jam segini, ini kan udah hampir jam empat sore? Astaga, sungguh hari yang panjang sekali. Masih sibuk mengepel lantai, aku menoleh sembari berkata,
"Mohon maaf tuan pelanggan, kami sudah tutup.“
Tidak ada jawaban, aku pun segera mendongak dan terkejut.
Tidak ada seorang pun di depan pintu. Suara tapak kaki yang berlari membuatku berpikir, uh, pasti satu dari para pengagum rahasia Luciel. Memang sih aku mendesain Luciel sebagai gadis lima belas tahun yang manis dan menggemaskan, tapi dibalik sosoknya itu dia jauh lebih kuat dari seorang ksatria pun. Sudah kuramalkan kelak laki-laki yang meminang Luciel akan langsung ikut dalam klub suami-suami takut istri.
“Ara, sepertinya laki-laki tiu meninggalkan sapu tangan. Romantis sekali,” gumamku yang mengambil barang itu dari lantai.
Dalam sapu tangan elegan itu kutemukan sebuah nama yang dibordir dengan benang emas.
A.A.N
Hrmm, sebuah inisial? Ada beberapa pedagang kota Pei Jin yang memiliki nama itu. Tapi, motif swastika di ujung kanan sapu tangan ini kok mirip dengan sapu tangan yang diberikan oleh seorang wanita pada prajurit yang pergi berperang? Itu kan budaya yang ada di negeri manusia, Kinje?
Kenapa ada manusia di kota para Daemon ini?
Ah, astaga, aku udah pikun ya? Master Desmond kan sudah bilang enam bulan yang lalu, Ma Dame Fan membolehkan para pengungsi manusia tinggal di perifer kota ini. Heh, nenek tua itu memang suka sekali merepotkan dirinya.
“Tapi kenapa manusia itu lari saat melihatku? Jangan bilang… dia mengenaliku?” gumamku bingung.
Kucium aroma sapu tangan itu, meresapi aromanya yang khas. Kulacak aroma tubuhnya melewati jalan bebatuan, mengikuti angin yang menembus keringat anak-anak yang riang bermain dan pada akhirnya… kutemukan laki-laki itu melompat dari satu atap rumah ke lainnya, seperti seorang pencuri.
Kubuka mataku menunjukan iris ular yang menakutkan, “Ketemu kau,” kataku meringis seru.
-- Character design 02 --
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!