"Mama! Papa! Kalian kapan pulang?" Dewa berucap dengan perasaan kaget bercampur bahagia ketika melihat Kania dan Brian yang sedang duduk di sofa ruang tamu vila mereka. Lelah yang ia bawa dari kantor, sekarang hilang seketika saat melihat kedua orang tua angkat yang sudah lama tidak pulang untuk menemuinya.
"Sayangku .... " Kania berucap sambil bagun dari duduknya. Ia bergegas menghampiri Dewa dan langsung memeluk tubuh tinggi dan tegap tersebut dengan penuh kasih sayang.
"Mama kangen kamu, Nak." Kania berucap sambil memeluk erat tubuh Dewa.
"Aku juga kangen mama. Kenapa gak bilang dulu sih kalo mau pulang? Kan aku bisa jemput mama sama papa di bandara."
"Mama kamu itu yang gak mau ngomong. Dia bilang, mau bikin kejutan buat kamu. Jadi, bukan salah papa ya."
"Ya kalo dikasih tau sama kamu, mana mungkin jadi kejutan lagi."
"Iya-iya. Terima kasih buat kejutannya ya, Ma, Pa. Aku cukup kaget sekaligus sangat bahagia. Oh ya, di mana Yoland? Kok gak kelihatan batang hidungnya itu anak," kata Dewa sambil celingak-celinguk mencari orang yang ia maksud.
"Yola gak ikut. Dia belum bisa pulang sekarang. Nanti, dia akan nyusul." Brian memberikan penjelasan untuk memuaskan rasa penasaran di hati Dewa.
"Oh, aku pikir dia juga ikut pulang dengan mama dan papa. Ternyata tidak."
"Kenapa? Kamu kangen ya sama Yola?" tanya Kania dengan nada menggoda sambil mencolek pinggang Dewa.
"Ya tentu saja aku kangen sama dia, mama. Secara, si bawel itu adik aku. Iya kan? Mana mungkin gak kangen sama dia. Udah sepuluh tahun lho gak ketemu. Cuma bertemu lewat udara saja. Mana enaknya."
"Ya ... walaupun adik angkat," ucap Dewa lagi membenarkan kata-katanya yang telah ia ucapkan barusan.
"Hmm ... iya-iya. Mama tahu kamu pasti kangen sama dia. Tenang aja, dia pasti akan pulang tidak lama lagi."
"Kapan pastinya dia akan pulang, Ma. Biar aku jemput dia di bandara. Oh ya, jangan sampai dia pulang setelah hari ulang tahun ku. Aku pasti tidak akan mengampuni dia karena tidak ikut merayakan ulang tahunku yang ke dua puluh lima tahun ini."
"Tenang saja. Yola pasti akan pulang sebelum hari ulang tahunmu tiba."
"Dewa, sebenarnya, kepulangan mama dan papa kali ini, ingin menyampaikan sesuatu untuk ulang tahun kamu yang ke dua puluh lima tahun ini." Brian berucap dengan wajah serius.
"Mau menyampaikan apa, Pa?" tanya Dewa ikut memasang wajah serius.
"Duduk dulu, Nak," ucap Kania.
Dewa mengikuti apa yang mama angkatnya katakan. Ia pun memilih duduk di samping Kania. "Apa yang ingin papa dan mama sampaikan untuk ulang tahun aku yang ke dua puluh lima ini? Kayaknya, sesuatu yang sangat serius."
Brian langsung membuka koper yang ada di sampingnya. Mengeluarkan map biru dari koper tersebut, lalu menyerahkan map itu pada Dewa.
"Apa ini, Pa?" tanya Dewa dengan perasaan penasaran sambil menerima map tersebut.
"Lihat dan baca saja sendiri apa isinya! Maka kamu akan tahu."
Karena rasa penasaran sudah menguasai hati, Dewa langsung membuka map tersebut. Ia langsung membaca kata demi kata yang tertulis di atas kertas putih itu dengan perasaan campur aduk.
Mata Dewa melotot, dadanya berdebar-debar. Jantung Dewa berdetak tidak karuan saat kata demi kata semakin jauh ia telusuri. Tangannya gemetaran seakan tak sanggup menerima apa yang ada di atas kertas tersebut.
"Dewa." Kania langsung memanggil anak angkatnya ketika melihat ekspresi yang tidak wajar itu.
"Tidak, Ma. Ini tidak benar. Bagai ... bagaimana mungkin? Tidak!" Dewa menggelengkan kepalanya sambil menatap Kania.
"Apanya yang tidak mungkin, Dewa? Semua yang tertulis di atas kertas itu murni tulisan tangan papa kandung kamu sebelum ia meninggal, Nak." Kania bicara sambil mengelus punggung Dewa.
"Bagaimana bisa, Ma? Yoland itu adikku. Aku tidak ... tidak mungkin bisa menikah dengannya. Rasa ini tidak akan bisa aku ubah, Ma, Pa."
"Dewa, kami tahu ini berat untukmu. Karena sejak Yola lahir, hingga berusia sepuluh tahun, kamu dan Yola hidup bersama-sama dengan orang tua yang sama. Tapi, Nak. Bukankah sepuluh tahun terakhir, kalian hidup berjauhan?" tanya Kania dengan rasa sedih bercampur kesal.
"Jadi, itu alasan kalian pergi membawa Yolan tinggal keluar negeri? Kalian ingin menjauhkan aku dengan Yolan?"
Brian dan Kania saling pandang. Lalu kemudian, Kania mengangguk pelan.
"Walaupun begitu, walau hidup berjauhan selama sepuluh tahun terakhir, aku tetap menganggap Yolan sebagai adikku, Ma, Pa. Bagaimana bisa .... "
"Dewa. Kami paham apa yang kamu rasakan. Tapi, wasiat ini harus kamu jalani, Nak. Ini bukan keinginan mama dan papa. Tapi, ini semua keinginan almarhum dan almarhumah orang tua kamu. Ini wasiat, permintaan terakhir mereka," ucap Brian tak ingin berdebat lagi.
Dewa terdiam sambil menundukkan kepalanya. Perasaan yang ada dalam hati Dewa saat ini, sedang kacau balau. Bercampur aduk bak semangkok es campur yang di jual kang cilok di pinggir gang depan vila nya.
Ia berusaha menenangkan hatinya. Lalu, mengangkat kepala kembali, namun dengan tatapan lurus ke depan.
"Apa Yolan tahu soal wasiat ini?"
"Ya. Yola sudah tahu." Kania menjawab dengan nada lembut.
"Apa tanggapan Yolan, Ma?" tanya Dewa sambil menoleh ke arah Kania.
"Ia menerima perjodohan ini. Dan sepertinya, Yola sangat senang."
'Yolan senang? Aku? Ya Tuhan ... kenapa bisa begini?' Dewa bicara dalam hati sambil mengusap kasar wajahnya.
"Ma, Pa. Bagaimana kalau .... " Dewa menahan kata-kata yang sebelumnya ingin ia ucapkan.
"Kalau apa?" tanya Kania tak sabar lagi.
'Tidak. Aku tidak bisa katakan pada mama kalau sebenarnya, aku sudah punya seseorang yang sangat aku cintai. Karena, ini semua bukan keinginan mama dan papa. Melainkan, keinginan papa dan mama kandungku sebelum mereka meninggal.' Dewa bicara dalam hatinya.
"Dewa." Kania memanggil anak angkatnya untuk menyadarkan sang anak angkat dari lamunannya.
"Iy--iya, Ma."
"Kok diam. Mau ngomong apa barusan? Kalau apa?" tanya Kania dengan nada tegas.
"Tidak ada, Ma. Aku cuma mau bilang, aku setuju menikah dengan Yolan. Tapi, aku tidak ingin menikah dengan pesta yang terlalu mewah. Resepsinya hanya sekedar saja. Bagaimana?"
Kania tidak langsung menjawab. Ia melihat Brian untuk mendapatkan jawaban atas kata-kata yang Dewa ucapkan.
"Terserah kamu saja. Jika tidak ingin menikah dengan acara yang mewah, maka tidak akan ada pesta pernikahan yang megah," kata Brian menjawab.
Setelah obrolan itu, Dewa pamit ke kamar untuk beristirahat sekaligus menenangkan hatinya yang sedang gundah. Sedangkan Kania dan Brian, pergi ke taman samping vila untuk menikmati udara sore yang sejuk sekaligus menanti kedatangan Johan.
Kurang dari empat puluh menit kemudian, seseorang yang sangat familiar berjalan dengan langkah cepat dan senyum lebar menuju taman samping vila. Dia tak lain adalah Johan. Asisten sekaligus teman baik Brian dan sekarang, dilanjutkan dengan menjadi asisten Dewa.
"Tuan muda! Nona Kania!" Johan memanggil dengan nada penuh semangat dan kebahagiaan yang meluap-luap.
"Jo. Akhirnya, kamu datang juga," ucap Brian yang menyambut Johan dengan rangkulan hangat layaknya seorang sahabat pada umumnya.
"Tuan muda. Akhirnya, kamu pulang juga."
"Aku bukan tuan muda lagi, Johan. Aku sudah punya anak yang sebentar lagi akan menikah. Apa kamu lupa soal itu?" tanya Brian sambil melepas pelukannya.
"Aku tidak lupa kalau kamu sudah ingin menjadi kakek-kakek tuan muda. Hanya saja, sepertinya kamu masih terlihat muda, sama seperti sepuluh tahun yang lalu."
"Sudah. Jangan bercanda lagi. Oh ya, apa kamu datang sendirian saja?"
"Tentu saja aku datang sendirian tuan muda. Setelah mendengar kabar kamu pulang, aku langsung ke sini tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu."
"Hm ... apa kabar anak dan istrimu, Johan?" tanya Kania memotong kehangatan kedua sahabat.
"Mereka baik-baik saja, Nona. Oh ya, di mana nona kecil?"
"Nona kecil? Yola maksud kamu?" tanya Kania.
"Iya. Nona Yolanda. Siapa lagi, nona Kania? Tunggu! Apa jangan-jangan, kalian sekarang sudah punya nona kecil yang lainnya. Kenapa kalian tidak mengabari aku kalau sudah punya nona kecil yang baru, tuan muda."
"Berisik! Siapa bilang aku dan Kania punya anak selain Yola. Yola udah dewasa, mana mungkin aku nambah anak lagi. Malu."
"Lho, malu apanya? Kan .... "
"Eh ... udah-udah. Kalian kok malah jadi berdebat soal yang gak ada manfaatnya sama sekali sih. Johan. Sebaiknya kita duduk. Karena aku dan Brian ingin membahas soal pernikahan Yola dengan .... "
"Nona kecil mau nikah?" tanya Johan memotong perkataan Kania dengan cepat.
"Yola udah dewasa. Gak kecil lagi. Iya, dia mau nikah," ucap Brian menjawab perkataan Johan dengan cepat.
"Mau nikah sama siapa nona Yolanda, tuan muda?"
"Sama Dewa."
"Hah! Dewa? De--Dewa ... mana?" tanya Johan kaget. Sontak, pikirannya langsung teringat anak angkat Kania dan Brian yang bernama Dewa.
"Jangan bilang ... Dewa .... "
"Iya. Dewa anak angkat ku," ucap Kania dengan cepat memotong perkataan Johan.
"Apa! Yang ... yang benar saja nona Kania. Kok ... kok bisa sih?"
"Johan. Apa kamu ingat soal surat wasiat yang ditulis oleh mas Jio?" tanya Kania sambil melihat dengan wajah serius ke arah Johan.
"Iy--iya, nona Kania. Aku ingat. Apa .... "
"Ya. Surat wasiat itu mengatakan, jika Dewa berusia dua puluh lima tahun, kami harus menikahkan Dewa dengan Yola putri kami."
"Ya. Aku ingat soal surat wasiat itu. Sekarang, aku bisa mengingat dengan jelas soal surat wasiat itu. Tapi ... bagaimana dengan nona kecil dan tuan muda Dewa? Apa mereka bisa menerima apa yang tertulis di dalam surat wasiat itu?"
"Sepertinya, Dewa merasa keberatan. Tapi, mau tidak mau, harus memaksakan diri untuk terima. Karena bagaimanapun, ini adalah surat wasiat yang almarhum papanya tulis." Brian angkat bicara.
"Lalu tuan muda, bagaimana dengan nona kecilku? Apa dia juga keberatan?" tanya Johan dengan perasaan prihatin.
"Yola sepertinya malah bertingkah sebaliknya. Ia terlihat sangat bahagia dan penuh semangat ketika aku mengatakan soal wasiat orang tua Dewa padanya kemarin."
"Benarkah? Syukur kalau begitu. Oh ya, sejak tadi aku menanyakan keberadaan nona kecil, tapi tidak mendapat jawaban. Di mana nona kecilku, tuan muda? Aku ingin bertemu."
"Yola masih belum datang. Aku sengaja menahan dia agar tidak ikut serta pulang bersama kami. Karena aku lihat dia begitu bahagia saat mendengar soal perjodohan ini, aku takut ia akan kecewa ketika tahu bagaimana tanggapan dari kakak angkatnya ketika tahu soal ini."
"Ternyata benar apa yang aku perkirakan sebelumnya. Dewa keberatan. Dan itu pasti akan menyakitkan hati putriku jika ia berada di sini dan melihat penolakan secara langsung oleh kakak angkatnya."
"Lalu, kapan dia pulang ke sini, tuan muda?"
"Besok, kalau tidak ada halangan nya. Karena Dewa juga sudah menyetujui pernikahan ini, maka Yola akan datang satu hari sebelum hari ulang tahun Dewa."
"Oh ya, dua hari lagi adalah hari ulang tahun tuan muda Dewa. Apa ... kita akan mengadakan acara pertunangan di hari yang sama dengan hari ulang tahun tuan muda Dewa, tuan muda?"
"Tidak, Johan. Kita tidak akan mengadakan pertunangan lagi. Tapi melainkan, kita akan langsung melaksanakan pernikahan di hari ulang tahun Dewa yang ke dua puluh lima tahun ini," ucap Kania menjawab pertanyaan Johan dengan cepat.
_______
Johan pulang setelah membicarakan soal pesta ulang tahun sekaligus resepsi pernikahan sederhana yang untuk Yola dan Dewa. Ketika ia sampai depan pintu rumahnya, Saras sudah menanti dengan wajah cemas.
"Pa, kamu dari mana saja sih? Kok baru pulang jam segini?" tanya Saras sambil memasang wajah kesal.
"Aku dari vila camar."
"Ngapain kamu ke sana? Apa tidak cukup bertemu dengan tuan muda Dewa di kantor?"
"Aku ke sana bukan untuk bertemu dengan tuan muda Dewa, Ma. Tapi, aku ke sana untuk bertemu tuan muda Brian dan nona Kania."
"Apa? Tuan muda Brian dan nona Kania? Mereka pulang? Kapan?" tanya Saras antusias.
"Ya, mereka baru sampai tadi siang. Langsung menghubungi aku, meminta aku untuk datang. Ternyata, mereka ingin membahas soal pernikahan nona kecil dengan .... "
"Nona Yolanda mau nikah, Pa?" tanya Hanas yang baru keluar dari kamarnya dengan pakaian suster. Sepertinya, ia ingin bertugas malam ini.
"Iya. Nona kecil ingin menikah dua hari lagi."
"Dengan siapa? Pasti calonnya orang kaya juga, iyakan, Pa?" Hanas tak bisa menutupi rasa penasarannya.
"Tentu saja. Dia akan menikah dengan Dewa, kakak angkatnya."
Saat kata-kata itu selesai Johan ucapkan, wajah kaget dari Hanas terlihat dengan sangat jelas. Sangking kagetnya dia, sampai tas yang ia pegang terlepas dari tangannya.
"A--apa? Dia akan menikah dengan kak Dewa?" tanya Hanas memastikan kata-kata yang baru saja ia dengar.
"Iya. Dia akan menikah dengan Dewa."
"Tidak. Ini tidak mungkin. Ini benar-benar tidak mungkin," kata Hanas dengan air mata yang jatuh perlahan tapi pasti, melintasi pipinya dengan cepat.
Lalu kemudian, Hanas berlari dengan cepat menuju kamarnya kembali. Niat ingin bertugas, seketika ia batalkan.
Lalu kemudian, Hanas berlari dengan cepat menuju kamarnya kembali. Niat ingin bertugas, seketika ia batalkan.
Melihat anaknya yang sangat terluka saat mendengar kabar itu, Saras dengan cepat mengikuti anaknya. Berjalan cepat menuju kamar sambil terus memanggil nama anaknya.
"Hanas. Hanas tunggu, Nak."
"Hanas!"
Panggilan itu tidak di hiraukan Hanas. Ia langsung menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam agar sang mama tidak bisa masuk.
"Hanas. Buka pintunya, Nas!" Saras berteriak di depan pintu sambil menggedor pintu kamar tersebut.
"Aku ingin sendiri, Mama." Terdengar suara parau dari dalam.
"Baiklah. Mama akan biarkan kamu sendiri. Tapi, tolong jangan bertingkah yang tidak-tidak ya, Nak."
"Apa yang dia katakan?" tanya Johan yang baru saja sampai di depan kamar tersebut.
"Dia ingin sendiri."
"Kalau begitu, biarkan saja dia sendiri." Johan berucap enteng seperti tanpa beban.
Saras menoleh ke arah suaminya yang sedang berdiri tegak di sampingnya saat ini. Dengan tatapan kesal, ia tatap suaminya.
"Kenapa? Ada masalah apa?" tanya Johan tak terima dengan tatapan itu.
"Kenapa kamu tega sekali dengan Hanas, Pa? Bukankah Hanas itu anak kita? Darah daging kamu, Pa." Terdengar nada kesal di setiap kata-kata yang Saras ucapkan.
"Ma, aku tidak tega pada anak kita."
"Kalau kamu tidak tega, lalu barusan itu apa? Kenapa kamu katakan langsung soal pernikahan tuan muda Dewa? Bukankah kamu tahu, Hanas dan tuan muda Dewa itu .... "
"Cukup, Ma! Sudah aku katakan dari kemarin-kemarin. Kalau tuan muda Dewa itu tidak boleh di dekati. Tapi apa, hah? Anak kita yang tidak bisa dibilangin. Dia tetap mendekati tuan muda Dewa. Sekarang, lihat kan apa yang terjadi. Yang sakit hati siapa? Dia juga, kan?"
Johan terlihat sangat kesal. Sedangkan Saras, ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya dengan berat.
"Kamu yang tidak pernah memikirkan perasaan anak kita, Pa. Sejak awal, yang kamu nomor satu itukan cuma nona kecilmu itu. Sementara anak kita, kamu nomor duakan," kata Saras dengan nada pelan.
"Karena itu salah kamu sendiri. Siapa suruh kamu melahirkan anak perempuan. Dan, kamu manjakan lagi. Tidak tahu aturan dan tidak tahu batasan."
Johan beranjak setelah berucap kata-kata itu. Saras menggenggam tangannya dengan erat untuk menyalurkan emosi yang ada dalam hatinya. Ia kesal, marah, dan benci. Namun tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
'Kamu selalu menyalahkan aku tanpa kamu tahu, itu bukan salahnya aku. Aku juga tidak ingin seperti ini,' kata Saras dengan rasa sangat amat kesal dan sedih yang bercampur jadi satu.
Sementara itu, di dalam kamar, Hanas mendengarkan semua yang papa dan mamanya bicarakan dengan sangat baik. Kata-kata yang ia dengar menambah rasa sakit dan rasa benci untuk Yola dalam hatinya.
Ia mengangkat kepalanya untuk melihat pantulan bayangan wajahnya di dalan cermin meja rias. Ia tatap wajah itu dalam-dalam.
"Atas dasar apa kamu bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan, Yolanda?" Hanas berucap sambil mengusap pelan wajahnya.
"Kalau dibandingkan dengan kecantikan, aku jauh lebih cantik dari kamu. Aku punya pangkat sebagai suster di rumah sakit. Sedangkan kamu? Apa pangkat yang kamu punya, hah! Tidak ada, bukan?"
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan lagi kali ini. Sudah cukup aku melihat kamu bahagia sejak kecil dengan mendapatkan apa yang kamu inginkan, bahkan, kasih sayang papaku juga kamu rebut dari aku. Sekarang, aku akan buat kamu merasa, bagaimana rasanya tidak bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan, nona Yolanda Aditama."
Hanas bicara sambil menggertak giginya dengan erat. Rasa kesal, jengkel, dan benci ia salurkan di giginya sekarang.
Ia bagun dari duduknya. Berjalan munda-mandir untuk mencari ide agar bisa menggagalkan rencana pernikahan yang baru saja ia dengar dari sang papa.
Sekuat tenaga ia berusaha berpikir, namun sayangnya, tidak ada satu ide pun yang muncul. Pikirannya mampat bak saluran air yang sedang tersumbat. Tapi tiba-tiba, bunyi ponsel membuat perhatiannya teralihkan seketika.
Dengan perasaan kesal, Hanas merogoh saku baju kerjanya, tempat di mana ponsel itu berada. Ia melihat layar ponsel tersebut dengan perasaan sangat malas dan jengkel. Tapi, nama yang tertera di layar ponsel tersebut seketika mengubah perasaannya.
"Kak Dewa." Hanas berucap dengan nada bahagia. Dengan cepat ia menggeser layar ponsel tersebut untuk menjawab panggilan dari Dewa.
"Halo Hanas." Terdengar suara khas milik Dewa di seberang sana.
"Ka--kak ... kak Dewa." Hanas bicara dengan suara sesenggukan dan sedih yang semakin ia buat-buat.
Mendengar suara parau khas orang yang baru selesai menangis itu, Dewa jadi khawatir. Perasaannya begitu cemas sekarang.
"Ada apa, Hanas? Apa yang sudah terjadi? Kenapa kamu menangis?"
"Kak Dewa tidak perlu cemas, kak. Tidak ada apa-apa? Aku tidak ... hiks-hiks .... "
"Hanas." Dewa semakin dibuat cemas dengan isakan dari Hanas barusan.
"Aku ... aku baik-baik saja kak Dewa. Ya, aku baik-baik saja."
"Di mana kamu sekarang, Hanas? Katakan! Kamu ada di mana? Aku akan datang untuk bicara denganmu."
"Tidak perlu, kak Dewa. Tidak perlu. Sudah seharusnya, aku dan kak Dewa tidak saling bertemu. Karena ... karena kak Dewa sebentar lagi akan menikah."
"Kamu sudah tahu, Hanas?" tanya Dewa melemah. Sejak awal, ia sudah menebak, kalau tangisan Hanas itu menandakan, Hanas sudah mendengar kabar pernikahannya.
"Tentu saja aku sudah tahu, kak Dewa. Aku sudah tahu kalau kamu akan menikah. Dan yang lebih tidak bisa aku pikir dengan akal sehatku adalah, kamu menikah dengan adikmu sendiri. Benar-benar sudah gila."
"Ini bukan keinginan aku, Hanas. Ini semua karena permintaan terakhir orang tuaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima pernikahan ini."
"Permintaan terakhir yang tidak masuk akal kak Dewa. Kamu di minta menikah dengan adik kamu sendiri. Apa itu waras?"
"Yolan bukan adik kandungku, Hanas. Wajar saja kalo kedua orang tuaku ingin aku menikah dengannya."
"Hah? Wajar kak Dewa bilang? Kak Dewa menerima pernikahan ini?" tanya Hanas dengan perasaan sangat kesal.
"Aku tidak punya pilihan lain, Hanas. Mau tidak mau, aku harus terima."
"Kak Dewa jahat! Jahat sekali padaku."
__________________________________________
*Catatan: Untuk karya ini, aku cuma bisa berjalan perlahan. Cuma bisa up satu bab sehari. Harap maklum ya teman-teman. Maaf jika mengecewakan. Terima kasih ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!