Cerita ini hanya sebuah imajinasi saja. Jika ada kesamaan nama, tempat, alur, atau hal lainnya. Itu murni ketidaksengajaan, karena inspirasi bisa datang dari mana saja, baik dari sebuah karya orang lain, atau apalah itu namanya.
Cerita ini juga ada unsur yang tidak patut ditiru, baik dari segi adab, sosial, spysicoligi. Namun, tidak sedikit pula makna hidup yang bisa di ambil.
Setiap karya tulis punya timbal balik dari setiap alur yang di buat. Jadi, sebagai pembaca. Bijaklah dalam memilih sebuah karya. Karena bagi saya, sebuah seni tidak mempunyai batas. Diri kalianlah yang harus membatasi mana yang baik dan tidak untuk kalian baca.
®®®®®®®®®®®®®®®®®®®®®®®®
BAB 1
FLASHBACK
Di kantor urusan agama, seorang wanita terduduk lemas setelah mendapatkan sebuah kabar yang mengoyak hatinya, ia pun langsung memeluk seorang gadis kecil yang duduk di sampingnya dengan linangan air mata. Wajah wanita itu terlihat begitu sangat sedih, sesaat kemudian ia terisak sangat kuat.
"Ibu!" seru gadis kecil itu sedih, akibat melihat air mata wanita tersebut.
"Sabar, Nak. Lebih baik kamu langsung ke rumah sakit aja. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang fatal dengan calon suami kamu," ucap sang penghulu mencoba untuk menghibur.
"Ibu!" seru gadis kecil itu lagi, menggenggam erat ujung gaun pengantin wanita tersebut.
Hari yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan, kini malah menjadi hari kelabu baginya, dan walau perasaannya begitu sedih, wanita itu mencoba tersenyum supaya gadis kecilnya itu berhenti menangis.
"Permisi, Pak!" ucap wanita tersebut.
Dengan langkah panjang, wanita tersebut keluar dari kantor yang seharusnya menjadi tempat pernikahannya itu.
"Ibu! Napa nangis?"
Gadis kecil yang berada di gendongannya bertanya, sambil tangan mengusap air mata yang membasahi pipinya, membuat hati wanita itu semakin pilu.
"A–ayahmu … ayahmu mengalami kecelakaan, Nak!" ujar Wanita tersebut sedikit terbata-bata.
"Ayah," gumam gadis kecil itu. "Bukannya ayah sudah enggak ada!" ucapnya lagi.
Air mata wanita tersebut semakin mengalir deras setelah mendengar perkataan anaknya itu.
FLASHBACK END
….
….
….
….
Matahari pagi bersinar cukup cerah di siang hari, Seorang gadis cantik berlari kecil memasuki sebuah rumah. Gadis itu bernama Mira Ayuna. Umurnya masih 20 tahun, mahasiswi semester pertama fakultas sastra, di sebuah Universitas Swasta.
Mira langsung membuka pintu, dan masuk kedalam rumah. Dengan sembarang ia membuang tasnya, dan langsung menuju dapur untuk melepaskan rasa haus yang menyerangnya dari tadi.
"Paman!" teriak Mira setelah meneguk air mineral yang diambilnya dari dalam kulkas.
Kemudian ia memeriksa meja makan, ternyata di dalam tutup saji tidak ada apa-apa yang bisa untuk dimakan, hal tersebut membuatnya jadi bingung. Biasanya sang Paman sudah menyediakan makan siang, tapi kali ini tidak.
"Apa paman masih tidur? Mentang-mentang ini hari Minggu, dia bangun kesiangan! Dasar duda labil"
Gadis itu pun menuju kamar pamannya. Namun, saat ia sudah berada didepan pintu, telinganya mendengar suara yang begitu aneh, seperti suara seorang wanita dan juga pria yang sedang berbaring mencari kepuasan batin. Ia pun menjadi begitu penasaran. Apa mungkin pamannya itu membawa teman wanita ke rumah?.
Perlahan Mira membuka pintu kamar pamannya yang tidak terkunci, sehingga ia dengan mudah masuk kedalam. Seketika matanya melotot melihat pamannya itu, duduk dengan serius di depan laptop, dimana adegan dewasa sedang berlangsung.
Apa yang dilakukan pamannya itu, bukanlah yang pertama kali dilihatnya. Jadi, Mira tidak lagi heran dan terkejut melihat apa yang dilakukan sang paman.
"Hmm! Dasar duda gersang. Umur udah tua masih aja nonton begituan," batin Mira, dan berjalan mendekati pamannya dengan langkah diam-diam
Ketika sudah berdiri di belakang pamannya, Mira langsung menutup mata dengan kedua tangan, ketika tanpa sengaja melihat milik sang Paman. Ia benar-benar tidak menyangka, kalau pamannya itu sedang melakukan olahraga absurd.
"Astaga! Apa itu?"
Paman Mira, Barno Gorandon Sahuta, berusia 37 tahun, status duda beranak satu selama kurang lebih 18 tahun. Sebagai duda, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menumpahkan hasrat batinnya. Hidup sendiri tanpa pasangan di usia kepala tiga, ada kalanya batinnya bergejolak kuat akibat sel-sel darah putih yang sudah terlalu banyak menumpuk.
Tidak ada pria yang sanggup untuk menahan gejolak itu. Namun, Barno lebih memilih untuk menumpahkannya sendiri, dari pada harus jajan sembarangan, atau mecari pelampiasan dengan wanita lain. Bagaimanapun, ia tidak ingin mencari penyakit, dimana akhirnya nanti akan menyusahkan diri sendiri dan juga orang lain.
Barno tidak menyadari kehadiran Mira, ia terus memuaskan diri, tuntutan batin sudah mencapai ubun-ubunnya. Aksinya tangannya di bawah sana semakin intens. Saraf-sarafnya semakin tegang.
"Aghhhhhhh … aghhhhhhh…. Aghhh!"
Barno kemudian menjerit keras saat kepuasan mencapai puncak, tubuhnya melengkung ke belakang. Beruntung kursi yang ia duduki memiliki sandaran yang elastis, kalau tidak ia pasti akan jatuh. Akan tetapi, saat tubuhnya melengkung dengan kepala mendongak akibat pencapaian puncak yang begitu memuaskan batinnya . Barno sangat terkejut melihat wajah Mira tepat di depannya.
"Aaaaaaaaaagghhhhhhhhh!"
Seketika Barno menjerit kencang karena kaget, begitu juga Mira, ia begitu kaget ketika tembakan cairan putih kental menghantam wajahnya. Shock, bingung, semua menjadi campur
"Aaahhhhhhh…. Apa ini. Ah … Paman ini baunya sangat amis." jerit Mira.
Begitu pun juga dengan Barno, ia sangat terkejut melihat Mira, sampai ia terjatuh dari kursinya.
"A–Apa yang kau lakukan di kamarku," sentak Barno marah.
Mira langsung membersihkan wajahnya dengan tangan. Setelah itu ia menjadi penasaran dengan cairan yang menempel di jarinya.
"Mira apa yang kau lakukan?" bentak Barno, ketika Mira mencium cairan tersebut..
Mira tersadar dan melihat raut wajah Pamannya yang begitu merah penuh amarah.
"Paman! Jangan kayak gitu mukanya. Aku jadi takut," Mira langsung memasang wajah ketakutan, berharap Pamannya tidak marah lagi.
"Apa kau bilang! Aku lebih takut melihatmu tiba-tiba muncul. Jantungku hampir saja copot! Kenapa kau kesini? Bagaimana dengan kuliahmu?" ucap Barno dengan nada suara yang sudah mulai rendah.
"Ini hari Minggu paman!" Mira menjawab cepat dengan asal, dan kembali menciumi aroma cairan yang lengket di tangannya. "Ini sangat lengket." batinnya
"Kenapa kau cium itu lagi!" bentak Barno, merasa malu dengan tingkah Mira tersebut.
Mira melirik Barno sejenak, lalu perhatiannya kembali kepada cairan yang lengket di tangannya, membuatnya begitu sangat penasaran, dan pikirannya pun tergelitik untuk mengetahui, bagaimana rasanya cairan tersebut? Apakah asin, manis, pahit, atau seperti sambal lado? Pahit manis asam asin, pedas rasanya.
Spontan Mira langsung menjilati cairan tersebut tanpa rasa jijik, seperti layaknya anak kecil yang sedang makan es mambo
"Hei, Apa yang kau lakukan. Jangan di jilat." Barno yang sudah duduk di atas kasur, dengan kedua tangan menutupi bagian bawahnya.
"Kenapa kau lakukan itu Paman, cepat pakai celanamu. Aku tunggu di luar. Cepat," bentak Mira, tapi dalam hati ia tersenyum senang melihat wajah pamannya itu yang hampir mati menahan malu. "Sebentar lagi Anggi bakalan pulang. Buruan!" ujar Mira lagi.
Barno memiliki seorang anak gadis bernama Anggi. Sepeti biasa setiap pulang kuliah dia akan mampir ke pasar untuk membeli keperluan dapur jika persediaan sudah habis. Biasanya mereka berdua pergi, tapi kali ini Mira lebih dulu pulang. Karena itulah kenapa Mira bisa menebak, jika Anggi sebentar lagi akan pulang.
Mendengar perkataan Mira barusan, Barno mulai sibuk mencari celananya, ia tidak mau jika nanti anaknya pulang, dan melihat dirinya dalam keadaan seperti itu.
Sedangkan Mira, sibuk membersihkan meja yang terkena cipratan Barno. Ia melap meja tersebut menggunakan celana pamannya itu yang ia pikir adalah kain lap.
"Paman. Umurmu sudah tidak muda lagi, jangan sering-sering itu, tidak baik untuk kesehatanmu," ucap Mira mengingatkan, sambil melangkah keluar kamar.
Barno tiba-tiba panik saat melihat celananya ada ditangan Mira. Ia pun langsung berlari mengejar Mira sambil berteriak, "hei, tunggu! Itu celanaku, kembalikan."
Tangan Barno tanpa sengaja menarik baju yang dikenakan Mira dari belakang, supaya langkah gadis itu terhenti. Namun, yang terjadi malah membuat gaun Mira robek, sehingga melorot sampai pinggang.
Wajah Mira marah padam karena amarah. Bagaimana tidak, dengan kejadian tersebut membuat belahan buntalannya terpampang cukup jelas. Mira pun langsung berbalik badan dan membentak pamannya itu.
"Apa yang paman lakukan, kenapa merobek bajuku!"
Karena Mira berbalik badan, Barno langsung menunduk, sambil berkata, "apa masalahnya. Tinggal kau tutupi saja, gitu aja kok repot," ucap Barno, sesekali matanya tergoda untuk melirik payudara Mira.
"Ngomong sih enak, tapi ini baju favorit aku. Pokoknya aku nggak mau tau. Paman harus menggantinya dengan yang baru. Awas kalau tidak!" ancam Mira dan langsung pergi meninggalkan Barno.
FLASHBACK
Di depan rumah sakit, seorang wanita berpakaian pengantin keluar dari sebuah taxi, ia berlari kecil sambil menggendong seorang gadis kecil memasuki rumah sakit tersebut. Langkah kakinya terdengar begitu nyaring menyusuri koridor menuju ruang operasi.
Seorang pria duduk di bangku tunggu bersama dengan seorang anak kecil. Wajahnya begitu kusut dan sedih, dengan beberapa perban di tubuhnya.
"Bang! Gimana keadaan Toni?" wanita itu langsung bertanya dengan linangan air mata.
"Belum tau. Masih dalam penanganan Dokter karena keadaan sangat kritis!" jawab pria itu lesu.
Mendengar hal tersebut, wanita itu langsung terduduk lesu, jantungnya seakan berhenti berdetak. Hampir saja gadis kecil yang digendongnya jatuh, tapi pria itu dengan sigap mengambil gadis kecil tersebut dan letakkan di pangkuannya.
"Sini, sama paman, ya. Tuh, ada temannya, namanya Anggi!" ucap pria tersebut memperkenalkan anaknya kepada gadis kecil tersebut.
FLASHBACK END
....
....
....
....
Mira duduk di sofa menunggu Barno, walau dia bukan keponakan kandung, tapi ia merasa wajib untuk menasehati pamannya itu, supaya tidak sembrono lagi jika melakukan hal tersebut.
"Paman!" teriak Mira memanggil Barno setelah cukup lama menunggu.
"Apa sih, teriak-teriak!" keluh Barno berteriak dari dalam kamarnya.
Beberapa detik kemudian Barno muncul dan duduk di hadapan Mira dengan wajah lesu dan bercampur malu.
"Paman harus tau! Di rumah ini yang tinggal bukan Paman saja, ada aku dan Anggi. Oke kalau aku yang melihat kelakuan paman tadi. Bisalah ku maklumi, tapi gimana kalau Anggi yang lihat? Apa Paman nggak merasa malu?" cecar Mira.
"Huff!" Kau sudah seperti istriku saja, tiada hari tanpa mengomel dan selalu menasehatiku, padahal kau juga ceroboh. Seenaknya saja masuk ke kamar orang!"
"Paman!" bentak Mira.
"Iya iya!"
Barno menghempaskan punggungnya di sandaran sofa. Bagaimanapun ia tidak bisa marah kepada keponakannya itu, jika ia melakukan hal tersebut, perasaanya akan sedih karena telah mengingkari janjinya kepada adiknya yang telah meninggal.
Walaupun adik laki-lakinya meninggal sebelum sempat menikah dengan ibu Mira. Kasih sayang adik Barno sungguh sangat besar kepada Ibunya Mira, hingga detik-detik ajalnya menjemput, masih sempat memikirkan masa depan mereka, dengan meminta Barno untuk menjaga mereka layaknya keluarga sendiri.
"Aku pulang!"
Seorang gadis muda seumuran Mira masuk. Dia adalah Anggi yang baru saja pulang. Namun, ia sangat heran ketika melihat wajah ayahnya dan juga Mira yang begitu aneh, bukan itu saja, gelagat mereka berdua membuat Anggi mengerutkan kening
"Ada apa dengan kalian berdua? Kok aneh gitu?" tanya Anggi membuat keduanya sedikit gugup.
"Aneh apanya?" tanya Barno.
"Ada apa, Mir? Wajah kau kelihatan sedang kesal? Apa kalian bertengkar lagi? Hmmm…. Kalian kadang seperti anak kecil saja, padahal umur sudah bangkotan," ujar Anggi.
"Siapa yang bangkotan?" tanya Mira dan Barno secara serentak.
Anggi hanya tersenyum kecil menanggapi kekesalan ayahnya dan juga Mira
"Aku tadi mampir ke pasar dan membeli beberapa kerang. Ayah! Masakin ya buat kami. Masakan kerang ayah lebih enak daripada masakanku," ucap Anggi meminta sambil memasukkan belanjaannya ke dalam kulkas.
"Awas kau ya. Kalau kau ngadu, kulobangi ubun-ubunmu," bisik Barno mengancam Mira ketika Anggi sedang sibuk menyimpan belanjaan.
Walau Barno tau betul kalau Mira tidak akan mungkin mengadukannya kepada Anggi. Namun, ia tetap harus memperingati gadis tersebut agar tidak keceplosan, ketika mengobrol dengan Anggi.
Akan tetapi, Mira malah hanya mengejek pamannya itu dengan menjulurkan lidah, ia tidak terlalu menggubris ancaman pamannya tersebut, dan malah melenggang untuk pulang ke rumahnya yang terletak di sebelah rumah Barno. Ya, Mira bertetangga dengan pamannya itu. Ketika ia sudah berada di depan pintu, Mira berhenti dan berbalik.
"Paman!" panggilnya.
Ketika Barno menoleh ke arahnya, ia pun menggoda pria tersebut, dengan menjilati telapak tangannya. Tentu saja hal itu membuat Barno jengkel, karena menurutnya ledekan Mira sudah kelewatan.
"Awas kau nanti ya," ancam Barno. ia benar-benar sangat kesal.
Ancaman hanya sekedar ancaman. Barno tidak pernah sekalipun betul-betul marah kepada Mira.
©©©©©©©©©©©
Selalu dukung ya cerita ini
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!