Jarum jam dinding di kamar Zulkarnain, telah menunjukkan pukul 8.30 wib. Namun, ia masih terlelap tidur, sehingga seperti biasa—akan terdengar oleh para tetangga teriakan yang memekakkan telinga.
“Sudah jam berapa ini, anak sialan itu belum juga bangun!” gerutu emaknya yang baru selesai mencuci pakaian dari Sungai Napejet.
Tanpa basa-basi emaknya langsung membuka pintu kamar Zul, nama panggilan Zulkarnain. Dia melihat Pemuda yang hampir berkepala tiga itu masih memeluk bantal guling, sembari mengigau memanggil-manggil nama Miko Chan, karakter anime favoritnya—karena ia adalah Wibu elite dari Kampung Tonga.
“Woi! Bangun kau, Zul!” teriak emaknya itu sambil memukulnya dengan gagang sapu.
Zul terkejut dan langsung membelalakkan matanya.
“Woi! Siapa yang berani memukulku, macam-macam kau samaku? Kupecahkan kepalamu itu!” bentak Zul—yang langsung melompat dari tempat tidurnya dan memasang kuda-kuda Pencak Silat, seperti aktor laga Iko Uwais saat berhadapan dengan para musuhnya.
Zul dulu pernah belajar Pencak Silat saat masih duduk di bangku sekolah dan pernah mengikuti lomba tingkat kabupaten—dengan hasil mengecewakan, karena ia menjadi tim pelengkap saja agar jumlah peserta tidak ganjil. Namun, itu sudah membuatnya menjadi kepala Preman kampung.
“Apa kau bilang, hah!” Berkacak pinggang Emak Zul, mengkerut-kerut keningnya—sehingga naiklah darah tingginya. “Kau sudah hebat, ya! Berani melawan orangtuamu!” Matanya melotot menatap Zul—seperti akan menelannya hidup-hidup saja.
Zul tertawa masam. “Tak mungkinlah, Mak—Aku berani macam-macam sama emakku yang tercantik di kampung ini!“ Zul menggoda emaknya untuk meluluhkan hatinya yang kadung emosi tersebut.
“Cantik-cantik matamu!” Emaknya makin marah dan memukul kepala Zul dengan gagang sapu, sehingga ia terpaksa melompat dari jendela untuk menghindari amukan “Bos besar”, julukan yang diberikannya pada emaknya tersebut.
Zul mengelus-elus kepalanya. “Apalah Emak nih, tidak sayang anak. Huh!” gerutunya sembari menghela nafas panjang.
Emaknya mengerutkan keningnya, karena tak menyangka—kelakuan Zul tiap hari makin menjadi-jadi saja.
“Hei, dasar anak durhaka, sialan!” umpat Emaknya sambil melempar sapu yang digenggamnya—tepat mengenai wajah Zul yang langsung meringis kesakitan.
“Emak juga! Pandainya buat anak, tapi tak sanggup mendidiknya!” Zulkarnain menyahut perkataan Emaknya yang kadung emosi itu—dengan senyum mengejek dan berkata, “Kaburrrrr! Mak Lampir nanti marah!”
Dengan amarah yang meledak-ledak, Emaknya berkata, “Tak usah kau pulang lagi! Kau cari sana makanmu sendiri, dasar anak tak tahu diuntung!”
“Hei, hei! Apalah kau ini!” sahut suaminya yang baru pulang ngopi dari kedai Oppung Sirait. “Macam kau saja yang punya kampung ini kurasa,” katanya lagi sambil menggeleng kepala.
“Kau juga! Ngapain kau mengopi jauh-jauh ke kedai Oppung Sirait. Pasti kau melirik-lirik janda di rumah sebelahnya, kan!” Emaknya si Zul memarahi suaminya.
“Apa pula kau ini? kenapa merembes ke sana!” sahut suaminya kebingungan. “Kalau dipikir-pikir si Siti itu cantik juga,” katanya lagi ikutan memprovokasi istrinya dengan tersenyum lebar.
Emak si Zul langsung meledak, ia menghempaskan pintu kamar, Zul. “Anak dan ayah sama saja! Jangan-jangan kalian ini keturunan Begu Ganjang!” katanya sambil menuju dapur, ia sudah muak melihat suaminya itu.
*Begu Ganjang adalah mitos hantu di kalangan suku Batak.
Ayah si Zul langsung menjaga jarak dengan istrinya, karena ia takut tiba-tiba nanti piring melayang dari dapur.
Dia terdiam cukup lama, bahkan hampir lupa untuk bernafas. Setelah suara istrinya tak terdengar lagi, ia kemudian menuju dapur dan membuka tudung nasi. Namun, mengkerut keningnya melihat lauk yang ada di atas meja makan itu.
“Ais, nasib-nasib! Cuma ada rebusan daun ubi dan cabai rawit,” gumamnya dengan ekspresi wajah sedih, karena mereka sudah memakan menu yang sama selama seminggu—padahal uang penjualan getah karet selalu lancar mengalir pada Bos besar.
...***...
Zul mengabaikan kutukan yang dikatakan emaknya, karena itu sudah sarapan utamanya setiap pagi, sehingga ia tidak takut bila kutukan itu akan menjadi kenyataan suatu hari nanti.
Dia kemudian berjalan menuju kedai Oppung Sirait, karena di situlah satu-satunya berkumpulnya para geng pengangguran Kampung Tonga.
“Yo, Urraaaaa!” sapa Zul, mengagetkan para Pemuda yang sedang bermain Sekater, sebuah permainan game online yang sedang booming saat ini.
“Sialan kau Zul! Gara-gara kau tak jadi menang aku!” gerutu Pottas Situmorang—menatap tajam padanya.
Zul mengerutkan keningnya dan berbalik memelototi Pottas Situmorang. “Hah, sudah jago kau rupanya? Apa mau kucongkel matamu itu?” ancam Zul tak terima dengan sikap teman sebayanya itu dan hanya keduanyalah Pemuda lapuk yang paling setia berleha-leha di Kampung Tonga ini.
“Sensitif sekali kau! Aku cuma bercanda!” sahut Pottas Situmorang tak ingin beradu mulut dengannya, karena ia pasti akan kalah. Kalau soal debat, Zul bisalah disandingkan dengan anggota DPR di Senayan sana.
Zul melirik tempat duduk yang kosong dan segera duduk di sana sembari senyum-senyum menatap Oppung Sirait yang berpura-pura tidak melihatnya.
“Oppung! Hutang dulu Rokok kretek dua batang, masukin bon ayahku saja, kayaknya dia akan menjual karet nanti, pasti banyak duitnya itu—kecuali Bos Besar melakukan audit, kalau itu terjadi; maka siap-siaplah mengendap dulu hutangnya ha-ha-ha!” Zul malah tertawa menceritakan aib ayahnya dengan santainya, bahkan menambah hutangnya juga, sehingga Oppung Sirait hanya tersenyum masam dan segera mengambil Rokok kretek yang dimintanya.
“Itu saja atau ada yang lain lagi? nanti kau minta-minta lagi, bikin capek aku bolak-balik!” sahut Oppung Sirait yang sudah maklum dengan kelakuannya.
“Ya, sudah! Buatkan mie rebus satulah, lapar kali kurasa!” katanya lagi sembari memperhatikan teman-temannya yang sedang bermain Sekater.
“Kenapa kau tak makan di rumah saja? Apakah kau tak kasihan sama ayahmu yang harus membayar hutang-hutangmu setiap hari!” Pottas Situmorang menyindir Zul.
“Apa kau lupa hari ini, hari apa?” sahut Zul sembari melirik Pottas Situmorang. “Hari diet nasional! Hanya ada daun ubi saja di sana!”
Pottas Situmorang dan pengunjung kedai Oppung Sirait tersebut langsung tertawa mendengar ucapannya, karena ia seperti anak pungut di dalam sinetron ikan terbang saja. Tak pernah diberikan makan, tetapi bedanya si Zul tetap sehat dan masih bisa membual ke mana-mana.
Tak lama kemudian, Oppung Sirait membawa mie rebus bersama dua rokok ketengan yang di hutangnya tersebut. Zul langsung menaruh rokok kretek itu di atas daun telinganya dan menyantap habis mie rebusnya.
“Ah! sedapppp!” Zul bersedawa. “Terima kasih Oppung, mie rebus buatan Oppung itu selalu numero uno!” Zul bercanda.
“Makan saja, tak usah kau puji-puji aku! Tak akan kuberikan kau tambahan lagi itu!” sahut Oppung Sirait yang membuat seisi kedai menertawai Zulkarnain.
Bukan Zul namanya, kalau tak memiliki urat malu. Dia malah melambaikan tangan pada mereka dan tertawa cengengesan.
Dia kemudian membuka smartphone miliknya, tetapi ia tidak memiliki kuota data lagi, sehingga terpaksa juga Pottas Situmorang harus memberikan hospot berbagi kuota padanya.
Zul senyum-senyum melihat update status terbaru dari rekan-rekan sosial medianya dan tiba-tiba berhenti mobil double cabin di depan Kedai Oppung Sirait.
Sopir mobil itu segera membuka pintu dan Pria gagah dengan kaca mata hitam segera keluar. Dia memiliki sedikit kelebihan lemak di perutnya, sehingga bajunya terasa agak sempit. Namun, jangan salah; dia memiliki istri secantik Lisa blackpink dan itu membuat para lelaki sangat mengutuknya, karena nasibnya terlalu beruntung sekali.
“Tumben sekali Bos Parlin mampir kemari, biasanya ngopi di setarbak sana!” sapa Oppung Sirait dengan senyum lebar, sehingga pengunjung kedainya tertawa terkekeh-kekeh.
Parlin hanya tersenyum mendengar candaan Oppung Sirait dan ia langsung berjalan ke dalam kedai, kemudian berkata, “Bikin dulu kopi hitam segelas. Jangan banyak-banyak kali gulanya, ya ‘Pung!” Dia menaruh IPhone 13 Pro miliknya di meja panjang kedai tersebut, sehingga timbul rasa cemburu dari para pengangguran yang ada di sana dan mereka berandai-andai sekaya Parlin.
“Kau ada kerjaan nggak, Zul?” Tatapan Parlin beralih pada Zulkarnain yang sedang asyik menatap layar smartphone miliknya.
“Tak ada bang Parlin, emangnya ada apa?” Zul langsung menatapnya, dia curiga Parlin menyinggung masalah hutangnya yang belum dibayar. Padahal ia telah memilih diam saja sejak kedatangan Parlin—agar keberadaan tidak diperhatikan Parlin, tetapi mode hening yang dia gunakan tidak berhasil.
“Kayu di gunung sudah menumpuk, aku kekurangan anggota. Kau mau ikut nggak?” Parlin menawarkan pekerjaan mengangkat balok kayu pada Zulkarnain. “Daripada nongkrong tak jelas di sini, malah menumpuk hutang saja kau!” sindirnya, sehingga Zul mengerutkan keningnya.
“Emangnya berapa satu balok?” tanya Zul tertarik dengan tawarannya, lagi pula ia tidak memiliki uang sama sekali.
“25.000 satu balok, kalau kau angkat dua lumayanlah itu dapat 50.000,” sahut Parlin sembari menyeduh Kopinya yang masih panas.
“Jauh tidak, ke atas sana?” Zul merasa upahnya terlalu rendah.
“Berangkat sekarang, Sore sudah sampai lagi ke lereng gunung!” sahut Parlin. “Bagaimana? Jalannya bagus, kok. Kalau kau setuju kita akan berangkat sekarang!”
Zul merasa lumayan juga dapat 50.000 nanti, walaupun sebenarnya ia tidak pernah kerja berat seperti ini sebelumnya. Namun, emaknya tidak mau lagi memberikan uang jajan padanya, sehingga ia tak bisa lagi mengisi kuota data Smartphone-nya dan selalu berhutang atas nama ayahnya di Kedai ini.
“Kau tak ikut, Pottas?” Zul bertanya pada sahabatnya itu, tetapi Pottas menggelengkan kepala. Dia sudah kapok ikut mengangkat balok kayu dari gunung—karena pernah ditangkap patroli Polisi, untung saja dibebaskan oleh Parlin dengan uang tebusan.
Bisnis kayu Parlin tersebut sebenarnya adalah ilegal logging. Namun, dia sangat lihai membangun relasi dengan pihak keamanan dan beberapa pejabat berwenang—sehingga bisnisnya tetap eksis hingga sekarang, walaupun terkadang ada kendala. Namun, masih bisa ia atasi dan tidak merusak bisnisnya.
Parlin segera menghabiskan kopinya dan segera pergi bersama Zul ke gunung yang berjarak beberapa kilometer dari Kampung Tonga.
Di lereng gunung, telah berkumpul beberapa pekerja yang akan naik gunung untuk mengangkut balok kayu milik Parlin tersebut.
“Kau ikut mereka, nanti minta mereka mengajarimu bagaimana cara mengangkut kayu yang mudah—agar kau tidak ketinggalan di belakang. Takutnya sore nanti hujan dan jalan setapak yang kalian lalui menjadi licin!” seru Parlin saat mereka turun dari mobilnya di gudang kayu miliknya yang berada persis di kaki gunung—yang akan di daki oleh Zul dan pekerja lainnya.
Zul menganggukkan kepala dan mengambil tali tambang di kabin mobil Parlin, dia kemudian mengikuti para pekerja yang segera mendaki gunung. Perasaannya menjadi gugup, karena tidak yakin apakah sanggup memikul balok kayu nanti.
...A Few Moments Later...
“Ikutan mikul balok kayu, dek?” sapa Pria paruh baya pada Zul yang sedang ngos-ngosan mendaki gunung, padahal mereka baru setengah perjalanan menuju tempat balok kayu yang akan mereka angkut.
“Hah? Dah jelas saya bawa tali tambang, mau ngapain lagi?” Zul sangat kesal mendengar pertanyaannya.
Pria paruh baya itu terkejut mendengar jawaban Zul dan berkata, “Aku sangka kau itu mandor ha-ha-ha!“ Dia tertawa masam. “Kalau lelah istirahat saja, nanti kami tunggu di atas!” katanya lagi.
Zul hanya mengerutkan keningnya, bagaimana mungkin dia istirahat sendirian di sini—yang ada ia akan dibawa oleh hantu-hantu hutan belantara. Memikirkannya saja, dia langsung merinding dan mempercepat langkahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!