Ada satu tradisi aneh yang masih di percaya dan sampai saat ini diterapkan turun temurun oleh kerajaan Goegini ketika menentukan putri yang akan mendampingi hidup sang pangeran. Yakni memilik kaki yang indah.
Pemilihan putri itu akan diadakan layaknya saembara untuk mencari sosok yang mereka inginkan. Tidak peduli dari kalangan bawah, menengah, ataupun berada sekalipun. Bagi meereka yang memiliki kaki indah sangat berhak mengikuti dan memiliki peluang untuk menjadi bagian penting dari kerajaan.
Tahun ini, pangeran Grey Yohansen menginjak usia 35 tahun dan raja mendesaknya untuk segera menikah. Grey yang tidak bisa menolak pun akhirnya pasrah karena tidak ingin mempersulit diri sendiri, atau bahkan kemungkinan terburuknya, diusir dari kerajaan.
Undangan juga sudah disebar ke seluruh penjuru Geogini. Seperti yang sudah diberitahukan, siapapun bebas mengikuti sayembara itu. Tidak berpatok pada kasta.
“Ikut saja. Retrina juga ikut.” desak Monic, satu dari dua sahabat yang selama ini tumbuh besar bersama Ivory.
“Aku tidak ingin hidup di kerajaan, Mon. Aku ingin hidup sebagai rakyat biasa.” jawab Ivory ringan tanpa perlu menjelaskan lebih jauh kepada duo sahabat yang kini menatapnya antusias.
“Kabarnya, pangeran Grey itu sangat tampan, Vo. Ayo ikut.” tandas Retrina, meyakinkan Ivory agar bersemangat mengikuti langkah mereka mengikuti ajang pemilihan putri kerajaan yang sangat langkah ini. Tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat, mengingat cicit laki-laki dari sang raja masih berusia tiga tahun.
Dan disinilah ia berakhir. Berkumpul dengan segerombolan gadis-gadis yang berharap besar akan dipinang oleh sang pangeran. Ivory sempat berfikir untuk mengurungkan niatnya karena hampir seluruh gadis yang keluar dari ruangan khusus itu terlihat kecewa, bahkan beberapa dari mereka ada yang tidak sungkan untuk menangis.
“Aku pulang saja ya, Mon.”
Monic malah menahan kuat lengan Ivory agar tidak kabur. Sedangkan Ivory, bahkan tidak percaya diri dengan penampilannya yang terlihat kusam. Pakaian Monic saja terlihat lebih baik dari pakaiannya. Gaun ini adalah gaun terbaik yang ia miliki. Ivory tidak yakin penjaga bertubuh gempal di sana akan membiarkan dirinya masuk.
Ivory kembali menilai penampilannya sendiri, menatap dari bahu hingga ujung kaki, semuanya tidak ada yang menarik. Ia akan sangat bersyukur jika nanti dianggap gembel dan dilarang bertemu pangeran dan raja didalam sana.
Monic terus menarik dirinya maju, karena barisan semakin berkurang didepan. Jantung Ivory berdebar lebih kencang ketika jaraknya dengan ruangan itu semakin terkikis. Ia juga mendadak kehilangan harapan ketika salah satu penjaga menatap aneh kepadanya.
Ivory mengguncang tangan Monic, merengek agar dibiarkan pergi.
“Mon, aku rasa benar-benar harus pergi sekarang. Penjaga itu melihat aneh kepadaku.”
“Jangan dipedulikan. Fokus saja, Vo.”
Hingga datang giliran Ivory yang didorong masuk terlebih dahulu oleh Monic.
Sempat meronta, namun pada akhirnya darah Ivory seolah membeku, tubuhnya beku ditempat ketika menyaksikan raja dan pangeran memusatkan atensi kepadanya. Sekali lagi ia memandangi penampilannya yang lebih mirip seorang tunawisma.
“Baiklah nak. Siapa namamu?” tanya sang Raja memecah keheningan.
Mendengar suara renta sang Raja, Ivory buru-buru membungkuk memberi salam hormat dengan gerakan canggung. Lalu ia dipersilahkan duduk oleh salah satu dayang kerajaan.
“Sa-saya, maksud saya, nama saya Ivory Stagen.”
“Nama yang unik.” celetuk sang raja. “Kamu berbeda dari yang lain. Berapa usiamu?”
“Se-sembilan belas tahun.”
Raja dan pangeran sempat saling tatap sesaat setelah mendengar usia Ivory.
“Apa kamu mendapatkan izin orang tuamu ketika datang kesini?” kali ini sang pangeran yang bersuara, ia tidak menduga jika seorang gadis belia nekad mengikuti acara penting namun memuakkan ini.
“Saya mendapatkannya.” jawab Ivory tanpa berani menatap kearah sang pangeran.
“Baiklah kita mulai saja.” titah pangeran Grey tak mau membuang waktu lebih lama. Ia yakin gadis itu akan tereleminasi dan menangis saat pulang. Wah lucu sekali bukan melihat gadis kecil itu menangis seperti bayi karena ditolak oleh dirinya.
Dayang yang berpengalaman akan hal ini mulai menaikkan bagian bawah gaun panjang Ivory. Maniknya membola ketika melihat kaki jenjang Ivory dibalik pakaian lusuh yang ia kenakan. Kakinya cantik. Telapaknya tidak lebar, dan jari-jari kakinya meruncing ke puncak. Kulitnya putih bersih, dan betisnya juga tidak ada gundukan sama sekali. Kaki yang sangat cantik dan akan sangat indah jika dipakaikan sepatu.
Dayang itu berdiri dengan senyum lembut kearah Ivory, lalu berbalik dan membungkuk lima belas derajat kepada raja, dan pangeran Grey.
“Sepertinya anda akan benar-benar menikah kali ini, pangeran.”
Butuh beberapa detik untuk pangeran mencerna ucapan sang dayang karena tercengang. Tidak mungkin gadis ini kan?
“Apa?” tanya Grey, memastikan jika ia tidak salah dengar.
Tanpa menjawab, dayang itu mengangkat naik sedikit gaun Ivory dan menunjukkan kaki indah gadis tersebut.
“Dia memilikinya. Semua kriteria yang diinginkan ada pada gadis ini.”
Sontak Ivory juga membolakan mata. Ia terkejut. Bagaimana bisa dia yang terpilih untuk hal ini? Bagaimana nasib kedua sahabatnya yang sedang menunggu diluar? Bagaimana cara ia memberitahu ibunya nanti karena ia tidak memberitahu sang ibu jika mengikuti sayembara ini. Dia datang karena dipaksa dua sahabatnya, dan sekarang —
“Kalau begitu, beritahu kepada seluruh gadis diluar sana jika kita sudah menemukan wanita yang akan menjadi pengantin pangeran. Mintalah maaf juga kepada mereka.” titah raja kepada salah satu penjaga kepercayaan sang raja.
Ivory khawatir. Maniknya berputar menatap seluruh orang yang berada didalam sana dengan tatapan cemas. Apalagi saat ia melihat pangeran Grey yang membuang wajah ketika manik mereka bersinggungan. Ivory bergerak risau diatas tempat duduknya sembari meremat gaun lusuh dengan kesepuluh jarinya yang lentik.
“Sa-saya tidak bisa.” cicitnya. Menarik seluruh perhatian penghuni yang hampir berdiri karena menganggap semuanya sudah selesai.
“Apa?” tanya sang raja dengan raut menelisik. “Apa maksudmu tidak bisa?”
Ivory semakin takut saat melihat pangeran Grey yang menatapnya tajam. Tatapan seperti hunusan pedang itu begitu mengerikan, membuat Ivory seketika berkeringat dingin karena ketakutan.
“Saya tidak bisa menikah sekarang. Saya—”
“Kamu pikir ini hanya sebuah permainan yang bisa kamu anggap remeh?” tanya Grey ketus. Ia tidak suka jika masa depannya dianggap hanya gurauan, apalagi oleh gadis berusia belasan tahun yang tentu saja tidak masuk dalam kriteria wanita idaman yang ia harapkan, seperti putri Dayana?
“Sa-saya sudah berbohong mengenai izin orang tua. Jadi saya harap saya didiskualifikasi dan anda bisa mencari gadis lain yang lebih berhak untuk—”
Menarik. Batin Grey.
“Tidak. semua sudah diputuskan. Dan mengenai kebohonganmu, akan ada sangsi lain dari itu.” terang Grey, bahkan Raja pun tidak mengerti maksud dan tujuan cucunya mengatakan itu. Setau raja, Grey bukanlah sosok yang mudah memaafkan, apalagi mengampuni sebuah kesalahan, terlebih sebuah kebohongan. Grey tidak akan mentolerir apapun bentuk dan tujuan kebohongan itu dibuat.
“Tapi,”
“Dayang San, tolong umumkan kepada mereka jika aku sudah menemukan gadis yang akan menjadi pendampingku.” titah Grey, lagi-lagi membuat Ivory panik karena sekarang, Grey sedang berjalan kearahnya. Nafas Ivory tercekat saat aroma yang menguar dari tubuh pangeran menyapa hidungnya. Aroma Pinus dan musk yang berpadu, membuat candu.
“Dan untuk kamu, gadis kecil yang suka berbohong. Aku punya hukuman spesial untukmu, setelah prosesi pernikahan berakhir.” []
Bersambung.
...🍃🍃🍃...
...Cerita ini berlatar kerajaan jaman pertengahan abad yang sudah mulai mengenal ilmu sains, transportasi modern, juga kehidupan dengan peradaban yang mulai berkembang maju. Konfliknya ringan, atau bahkan akan banyak momen yang membuat kalian senyum-senyum sendiri....
...See You,...
...Vi's...
💂👸💂👸💂👸Disclaimer.💂👸💂👸💂👸
-Cerita ini murni imajinasi penulis.
-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidak sengajaan.
-Semua karakter didalam cerita tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata
-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan
-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain.
...—...
...Ivory Stagen, 19 tahun....
“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Ivory, benar-benar tidak tau lagi apa yang harus ia lakukan ketika sampai dirumah nanti.
“Ya sudah. Tunjukkan saja undangannya kepada ayah dan ibumu.” cerocos Monic, ia pikir tidak ada jalan lain selain memberitahu apa yang terjadi. Tidak mungkin juga berbohong karena sang pangeran akan datang kerumah.
Rasanya, Ivory ingin melarikan diri saja dari dunia, oh ralat, dari Geogini.
“Apa kamu lupa siapa ibuku?” tukas Ivory setelah mendengar jawaban Monic, sedangkan Retrina? Gadis itu hanya diam disamping Monic yang juga terlihat putus asa. “ Ibu akan marah besar kepadaku. Dia ingin aku menjadi seorang ahli kesehatan, bukan malah menikah muda begini ”
“Akan berbeda jika calon suamimu itu seorang pangeran.”
Ivory menghela nafas kasar ketika jawaban Monic itu ada benarnya. Ia menyesal sudah mengikuti acara sayembara itu. Sebenarnya, dia hanya ingin mengikuti saran Retrina dan Monic yang mengikuti acara itu hanya untuk sekedar bersenang-senang. Ia juga tidak pernah menduga jika akan terpilih dan berakhir menikah dengan sang pangeran.
Hidup bebasnya akan menghilang tanpa ada harapan meskipun ia memohon sekalipun.
“Pangeran sialan!” gumam Ivory pelan sekali, namun tetap saja masih bisa didengar oleh dua sahabat, dan tentu saja dua prajurit yang mengawal perjalanan mereka menuju rumah. Sadar akan hal itu, ketiga gadis itu menoleh bersamaan ke arah belakang dan mendapati wajah datar dua prajurit itu sedang menatap mereka.
“Dia yang mengatakan itu. Calon putri kerajaan kalian, bukan aku.” sergah Retrina, tidak mau dituduh dan diseret ke penjara kerajaan karena dengan sengaja mengumpati pangeran.
“Nona, dimana rumah anda?” tanya salah seorang prajurit dengan wajah tak mengandung ekspresi, datar sekali.
Ivory buru-buru meneguk salivanya susah payah yang hampir membuatnya tercekat. Lalu ia menunjuk arah kanan ketika sampai dipertigaan jalan yang sepi dan ditumbuhi semak hampir setinggi bahu orang dewasa. Terlihat berbahaya jika malam, namun begitulah adanya. Ivory memang tinggal jauh dari kawasan pusat keramaian. Jika dilihat pada peta lokasi kawasan Geogini, tempat tinggal Ivory berada di sebuah desa bagian paling atas yang letaknya tidak jauh dari lautan.
”Di ujung sana. Masih puluhan meter lagi.”
Mendengar jawaban Ivory, kedua prajurit itu lantas saling bersitatap, kemudian memutar pandangan kearah jalanan yang berkerikil dan sedikit becek.
“Sudah. tinggalkan saja kami disini. Kami bisa pulang sendiri.” pinta Ivory, karena mereka tidak enak kepada dua orang yang rela berjalan jauh hanya untuk menemani dia dan dua temannya pulang.
“Tidak. Sesuai perintah raja, kami akan mengantar anda dan teman-teman anda sampai dirumah.” seru prajurit berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap.
“Oh, manis sekali...” cerocos Monic, tak mau lebih lama menyembunyikan rasa kagumnya pada sosok tersebut. “Rasanya seperti diantar calon suami pulang.”
Ivory yang mengerti peringati temannya itu, hanya memutar bola mata jengah, kemudian melayangkan satu pukulan telak ke lengan Monic sebagai peringatan agar tidak dak berbicara aneh-aneh.
“Tuan prajurit. Maafkan ucapan teman saya ini. Dia memang suka aneh dan tak dak bisa mengontrol ucapannya sendiri.”
Ivory dapat melihat prajurit itu sedikit tersipu, namun berusaha ditutup-tutupi dengan sikapnya yang tegas.
Hingga tanpa terasa, mereka sudah mengantar Ivory sampai didepan rumah setelah terlebih dahulu mengantar Monic dan Retrina yang letak rumah mereka lebih dulu dari tempat tinggal Ivory.
“Terima kasih banyak sudah mengantar saya sampai dirumah dengan selamat, tuan prajurit. Mari kita berteman jika nanti saya sudah menjadi tuan putri di istana raja.” celetuk Ivory, mencoba m mbangun keakraban pada dua orang yang sudah berjasa mengantarnya pulang hari ini.
Berbeda dengan Ivory, kedua orang tuanya yang sedang bercocok tanam dihalaman depan rumah, harus berlari tunggang langgang ketika mendapati putri semata wayang mereka sampai dirumah dengan dua orang prajurit kerajaan yang berdiri tidak jauh dari posisi Ivory berdiri.
Ditengah rasa paniknya, sang ibu yang sudah sampai terlebih dahulu, meraih cepat Ivory untuk berada dalam pelukannya. Praduga buruk sudah memenuhi isi kepala Rose saat ini. Takut sekali jika Ivory membuat ulah dan tertangkap basah oleh dua orang prajurit kerajaan ini.
“Ada apa ini?” tanya Rose, ketus dan khawatir secara bersamaan. Ingin sekali tau penyebab mengapa putri semata wayangnya itu pulang harus dengan pengawalan pihak kerajaan.
Belum mendapat jawaban dari Ivory, Rontge—ayah Ivory—juga sampai dan turut mempertanyakan perihal kedatangan putrinya bersama dua orang berseragam prajurit khas Geogini.
“Tidak apa-apa, bu, ayah. Ivo baik-baik saja.” ucapnya antusias karena jarang sekali dipeluk dan dikhawatirkan sang ibu seperti saat ini.
“Lalu, mengapa mereka sampai mengikutimu sampai rumah?”
Perasaan Ivory campur aduk. Disatu sisi ia ingin segera memberitahu sang ibu, disisi lain ia takut sekali ibunya itu akan marah besar dan menghajarnya habis-habisan. Akan tetapi, Ivory lebih dahulu mempersilahkan kedua prajurit itu pergi sebelum ibunya semakin murka.
“Terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah. Sampaikan rasa terima kasihku kepada raja.”
Mendengar itu, sontak ayah dan ibunya menoleh pada Ivory dengan dahi mengerut tak mengerti yang hanya dibalas cengiran khas menggemaskan milik putri mereka.
Seperginya kedua prajurit itu, Ivory kembali membelit pinggang sang ibu dengan pelukan. Namun apa yang terjadi justru berbanding terbalik dengan apa yang baru saja ia terima ketika dua prajurit itu masih disana.
“Dasar gadis nakal. Apa yang sudah kamu lakukan, huh?” tanya sang ibu sambil memberondong Ivory dengan pukulan bak samsak tinju. Sedangkan sang ayah, hanya diam, seolah menyerahkan kepercayaan penuh kepada istrinya untuk menghadapi putri mereka.
Ivory mengaduh dan sesekali menghindar. Namun rasa kesal ibunya itu terlihat semakin memuncak. Tapi bukan pukulan benci, melainkan pukulan khawatir akan sesuatu yang buruk menimpa Ivory.
“Mengapa kamu tidak bisa membuat ibu sebentar saja tenang dan tidak memikirkan tingkahmu.” lanjutnya, masih menjadikan lengan Ivory sebagai samsak kekesalannya.
“Ibu, sakit. Tolong dengarkan aku dulu.”
Pukulan itu berhenti, berganti dengan tatapan tajam menghujam yang ditujukan tepat kearah pupil mata coklat yang indah milik Snow.
“Baiklah. Katakan sekarang!”
Ivory ragu untuk menyampaikan hal besar ini. Terlebih untuk ambisi ibunya yang ingin dia menjadi seorang ahli kesehatan.
Dengan ragu-ragu, Ivory mengeluarkan sebuah benda yang sengaja ia simpan diantara himpitan stagen yang membelit erat area dada hingga pinggang. Kemudian mengulurkan benda berbentuk tabung berwarna emas dengan lambang kerajaan yang timbul di bagian depan. Tangan sang ibu menerima, lantas membuka penutup tabung itu dan mengeluarkan isinya.
Selembar surat yang ditulis diatas kulit domba yang halus, dan ditulis tangan dengan huruf tegak bersambung yang begitu indah, manik sang ibu masih berharap isinya tidak buruk.
Di bagian paling atas, terdapat lambang kerajaan yang begitu cantik. Maniknya sempat menangkap ada beberapa paragraf yang tertulis di sana. Hingga nama raja tercetak tebal pada kalimat pembuka paragraf pertama. Disana, ucapan syukur dan terima kasih diucapkan oleh sang raja kepada kedua orang yang berjasa dalam membesarkan seorang gadis yang cantik jelita dengan kaki indah.
Paragraf kedua, nama pangeran Grey disebut. Pada baris kalimat ini, sang raja memberi kabar jika pangeran mereka sedang mengadakan sayembara, mencari seorang gadis yang akan dia pinang untuk menjadi putri sebagai pendamping hidup.
Lalu pada paragraf ketiga, kedua bola mata Rose sukses terbelalak dan satu telapak tangan menutup mulut, ketika melihat nama Ivory Stagen disebut disana. Nama putrinya itu ditulis dengan sangat cantik dan bersiaihan dengan nama pangeran Grey.
Tubuh Rose seperti kehilangan tenaga. Ia hampir saja tumbang jika Rontge tidak mendekapnya.
“Kenapa, sayang?” tanya Rontge yang memanglah buta huruf. Rontge tidak bisa membaca sebab ia tidak pernah merasakan bagaimana menjadi seorang murid disekolah.
“Maafkan Ivo bu. Ivo tidak bermaksud mengikuti sayembara itu. Ivo hanya ingin bersenang-senang karena Retrina dan Monic juga ikut.”
Sang ibu masih menatap tak percaya dan membutuhkan penjelasan dari mulut Ivory.
“Apa kamu pikir mereka juga sedang bercanda?” sahut Rose pada akhirnya. Dia tak dak habis pikir dengan apa yang dikatakan Ivory. Bersenang-senang? Itu terlalu mengerikan. “Ivo,”
Ivory kembali mengangkat wajah untuk menatap mata sang ibu yang kini terlihat sayu.
“Kamu pikir, hidup ini hanya untuk sekedar bermain-main?”
“Maaf.” tutur Ivory penuh penyesalan . Sadar betul jika yang ia lakukan hari ini adalah sebuah kesalahan besar.
Ibunya kembali menunduk untuk melanjutkan paragraf ke empat, yang menyebutkan jika pihak kerajaan akan datang bersama pangeran dan rombongan untuk melamar Ivory. Tanpa diminta, airmata Rose jatuh.
“Ibu, maaf.” sekali lagi Ivory memohon ampunan kepada sang ibu karena sudah bertindak ceroboh, dan kini semuanya sudah tidak bisa dihentikan. Sudah sangat terlambat untuk menolak titah dari raja mereka.
“Tidak ada jalan keluar. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu sendiri, Vo.”
“Ibu, aku tidak ingin menikah. Aku tidak ingin tinggal dikerajaan.” rengeknya, yang beberapa detik setelah itu berubah menjadi tangisan penuh harap agar semua ini tidak terjadi.
“Bahkan ayah dan ibu tidak bisa menghentikan ini untukmu, nak.” lanjut sang ibu, meraih Ivory untuk mendapatkan pelukan hangat yang jarang sekali ia berikan. Entah mengapa, kali ini pikiran sang ibu dipenuhi banyak sekali rasa penyesalan tentang perlakuannya kepada Ivory selama ini. Gadis kesayangan dan semata wayangnya itu akan hidup terkurung di kerajaan tanpa dirinya. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya pilu.
“Ibu...”
“Jangan khawatir, nak. Mungkin memang begini jalan hidupmu.” suara parau sang ibu mencoba memberi ketenangan, meskipun hati Ivory sulit untuk menerima. “Ibu yakin kamu bisa hidup disana, karena kamu adalah putri ibu. Putri yang kuat dan cantik. Kamu akan mendapatkan banyak teman selain Monic dan Retrina, disana. Hidupmu akan lebih baik dari pada bersama ibu dan ayah yang tidak pernah bisa memberi dirimu sebuah kebahagiaan.”
Mendengar hal itu, air mata dan tangis Ivory semakin menjadi.
“Menikahlah, ibu rela. Dan ibu janji, akan mengunjungimu nanti.”
“Ibu, Ivo tidak ingin pergi dari sini.”
“Kamu sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi. Jadi belajarlah menjadi sosok yang berwibawa disana. Ibu yakin kamu pasti akan menjadi wanita baik, cantik, dan bijaksana kepada rakyatmu.”
Ivory kembali memeluk ibunya.
“Ibu menyayangimu.” []
...🍃🍃🍃...
...Jangan lupa Follow, Like, dan juga komentar kalian ya......
...Terima kasih sudah membaca....
...Vi's...
...Grey Yohansen Geogini, 35 tahun....
Konyol.
Satu kata yang terus saja berputar-putar di dalam kepalanya yang berisik. Ia akan menikahi gadis berusia sembilan belas tahun, dan ini tidak wajar, pikirnya.
Menurut kabar yang dibawa dua pengawal sekaligus prajurit kerajaan yang diutus untuk mengantar Ivory beserta teman-temannya tadi, Grey mendapatkan beberapa informasi. Diantaranya letak desa tempat tinggal gadis itu, bagaimana lingkungan sekitarnya, bagaimana wajah kedua orang tua, serta pekerjaan mereka yang disinyalir sebagai sepasang petani sayur yang memasok sayur mayur mereka ke pasar yang berada tidak jauh dari lokasi kerajaan Geogini berada.
Namun lebih dari pada itu, pangeran Grey sebenarnya ingin lebih tau tentang kehidupan gadis itu. Apa dia seanggun putri Dayana? Gadis yang selama ini dicintai dan didamba oleh pangeran Grey, meskipun raja tidak pernah menyetujui hubungan mereka, sebab masih terikat hubungan sebagai kerabat. Di Geogini, selain tradisi aneh tentang kaki yang indah, juga terkenal tidak diizinkan menikahi wanita yang masih terikat hubungan darah, seperti pangeran Grey dan putri Dayana.
Grey ingat sekali bagaimana wajah, bentuk tubuh, bahkan kaki indah yang ia lihat hanya sekilas itu. Jika tumbuh sedikit lebih dewasa lagi, gadis itu akan manjadi gadis sempurna yang akan diincar banyak laki-laki. Gadis bernama Ivory itu sangat cantik, kulitnya putih bersih, bibirnya sewarna Cherry, jari jemarinya lentik, dan jangan lupakan bentuk tubuh dalam kungkungan stagen yang membuat liuk pinggangnya begitu sempurna dan sangat indah dipandang mata. Grey saja sampai tidak berkedip ketika melihat itu, walaupun kelemahan gadis itu terletak pada ukuran dada. Ya, hanya ukuran dada yang lebih kecil dan tidak begitu menggoda dimata Grey yang notabenenya pecinta dada berisi.
Tidak bisa dipungkiri, laki-laki dewasa seperti dirinya menyukai dada yang besar dan berisi. Tapi, sepertinya akan menjadi pengecualian untuk Ivory. Karena gadis itu cantik rupawan.
Saat pikirannya bergelut liar tentang ukuran dada, pintu kamarnya diketuk. Grey mengalihkan pandangan dari bentangan alam luas dibalik bingkai jendela, menuju pusat suara yang menampakkan sosok yang sangat ia damba, Dayana.
“Apa aku mengganggumu, pangeran?”
Grey tersenyum lembut, lalu mengarahkan dua lengan yang tadinya saling menaut dibalik punggung untuk tergantung bebas disisi tubuh. Berjalan mendekati gadis yang sudah menutup dan mengunci pintu kamar Grey.
“Tidak. Aku hanya sedang menikmati pemandangan hutan yang membuatku ingin berburu.”
Dayana terkekeh lirih, menampakkan lesung pipinya di kedua pipi.
“Kamu akan menikah. Jangan membahayakan dirimu sendiri.”
Ngomong-ngomong soal usia, putri Dayana berbeda tujuh tahun dari Grey.
Aroma lembut dari campuran daun mawar dan Pinus menyapa hidung Grey. Dayana selalu harum selembut ini dan ia suka. Harum Dayana adalah candu baginya.
“Yana, aku tidak akan terluka hanya karena memanah seekor kijang atau rusa.”
“Ya, kalau yang muncul dua spesies itu. Kalau yang tiba-tiba muncul seekor harimau atau singa, bagaimana? Pasti calon istrimu akan sedih.”
Grey kembali tersenyum, dia meraih pundak Dayana dan sedikit membungkuk untuk menengok manik abu-abu terang milik wanita itu. Kemudian ibu jarinya mengusap satu sisi wajah Dayana yang sangat halus dan cantik dengan polesan make-up tipis.
“Kau mengkhawatirkan aku? Terima kasih.” bisik Grey seduktif, menarik minat Dayana untuk kembali merasakan bibir manis Grey yang pernah menyapa miliknya.
Dayana tersenyum, kemudian mengecup singkat bibir penuh milik Grey. Dan tanpa membuang waktu, Grey membalas ciuman itu lebih beritme, hingga decakan bibir basah mereka terdengar memenuhi ruangan.
Setelah puas bertukar saliva, Grey menjauhkan wajah, memeta ekspresi Dayana yang begitu ia sukai setelah berciuman, sayu dan begitu menggoda untuk di ajak naik keatas ranjang. Namun Grey masih waras, dan dia tidak ingin menghancurkan reputasinya sendiri hanya karena meniduri kerabat jauhnya.
“Setelah ini, kita tidak akan bisa bertemu seperti ini.” bisik Dayana, mencoba memancing jawaban dari Grey untuk hubungan mereka.
“Mengapa? Kita bisa bertemu kapan saja yang kamu inginkan. Cukup kirim orang untuk menemuiku dan membawa pesan dimana lokasimu berada. Aku akan datang padamu, tanpa diketahui siapapun.”
Dayana tersenyum menang. Ia kembali meraup bibir Grey yang sudah sedikit membengkak karena keganasannya beberapa menit yang lalu.
“Aku sering berharap jika kita bukan kerabat.”
Grey mengangguk sependapat. Ia juga sering merenung dan berfikir sama seperti Dayana.
“Aku juga sering membayangkan hidup bersama dan tidur diranjang yang sama denganmu, pangeran.”
Grey membungkuk, lagi-lagi memberikan kecupan singkat dibibir Dayana.
“Sama. Aku juga demikian.”
Dayana mengusap rahang Grey yang mulai ditumbuhi bulu-bulu bakal cambang yang akan membuat Grey semakin tampan.
“Mengapa kamu menyetujui ide sayembara yang diadakan raja?”
Grey diam, menunggu kalimat selanjutnya yang mungkin ingin dikatakan Dayana sebelum ia memberikan jawaban.
“Aku tidak bisa tenang memikirkan bagaimana kamu bersanding dengan orang lain.”
Grey masih diam, akan tetapi membawa Dayana kedalam pelukan. Mencoba memberi kenyamanan pada wanita kesayangannya itu.
“Padahal, jika mau, kita bisa sama-sama menua tanpa menikah. Bertemu diam-diam dan melakukan sesuatu yang lebih jauh dari pada hanya sekedar berciuman.”
Telapak tangan Grey mengusap punggung Dayana dan mengecup puncak kepala gadis cantik tersebut.
“Maaf. Aku hanya tidak ingin raja mengusirmu dari sini.”
Ya, Dayana tinggal di istana ini sejak bayi. Sejak ayahnya gugur dimedan perang, dan ibunya wafat ketika melahirkan dirinya. Dayana yatim piatu dan dibesarkan oleh raja karena iba, juga sudah menjadi kewajiban sebab dirinya merupakan seorang kerabat dan pemimpin.
Dayana membenamkan wajah semakin manja. Ia sangat menyukai kebersamaannya bersama Grey seperti ini.
“Aku akan tetap seperti ini. Sampai kau sendiri yang memintaku untuk berhenti.” []
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!