Seorang gadis, dengan riang gembira berjalan sembari berloncatan di jalan. Dengan seragam tercintanya, sembari menyanyikan lagu lucu milik gadis kecil bernama Inu No Omawari San.
"Maigo no maigo no koneko-chan
Anata no ouchi wa dokodesu ka
Ouchi o kiite mo wakaranai
Namae o kiite mo wakaranai."
Begitu ceria, hingga terhenti karena melihat barisan mobil terparkir di depan rumahnya.
"Waduh, siapa itu? Kok, ada mobil sama Bapak-bapak pake jas item?" tanya Ais, yang berhenti diujung jalan.
"Apa, Mama mau di lamar Bosnya? Atau, itu orang-orang yang nagih utang? Terus, Aku mau di jadiin sebagai tebusan, begitu?" gerutunya.
Ia pun berbelok arah, menyusuri jalanan sempit yang tembus ke daerah belakang rumahnya. Mengendap-endap, lalu duduk di pojokan dapur mendengar percakapan mereka.
"Kalian, utusan Tama?" tanya Mama Linda.
"Ya... Saya rasa, Nyonya sudah tahu apa tujuan kami. Tuan Tama, hanya mau memenuhi janjinya pada kelurga kalian." jawab Pak Wil.
"Anak saya masih sekolah. Masih SMA."
"Kami tahu, bahkan dia nyaris di skors gara-gara kenakalannya. Seupuluh kali keluar masuk sekolah, dan suka berkelahi dengan teman-temannya."
"Sedetail itu, kalian mencari berita? Apalagi?" tanya Bu Linda, menantang info dari mereka.
"Tuan tama sakit. Dalam fikirannya saat ini adalah, memenuhi janjinya pada sang sahabat." jelas Pak Wil.
Dua puluh tujuh tahun yang lalu, Tuan Tama dan sahabatnya pernah berjanji. Mereka akan menikahkan anak-anak mereka jika telah tiba waktunya. Dan kini, Tuan Tama yang takut jika dapat memenuhi janjinya tepat waktu.
Pyarrrrr! Sebuah benda kaca jatuh dan pecah. Terdengar jelas, meski bunyinya dari dapur.
"Ais dibelakang?" panggil Mama Linda.
"Iya, Ma. Maaf, Ais lewat belakang." ucapnya.
Ia pun keluar dengan perlahan, menemui sang Mama yang tengah bersama rombongan berjas hitam.
"Ini Aishwa?" tanya Pak Wil dengan ramah.
"Iya, saya Ais." jawab gadis itu dengan sopan.
Pak Wil tersenyum, gadis kecil itu telah mencuri hatinya. Tapi, membuat Ais takut dan berburuk sangka.
"Apa, Bapak yang mau lamar Ais?" tanya nya.
"Ya, saya datang untuk lamar kamu."
"Mama punya hutang? Kenapa Ais yang harus menikahi Bapak tua ini?" tanya Ais pada sang Mama.
Semua lantas tertawa terbahak-bahak, mendengar celoteh gadis manis yang telah salah faham itu.
"Ais, saya melamar kamu, untuk Tuan saya. Dia, yang nanti akan menikahi kamu."
"Tuan, masih muda? Tapi, Ais masih remaja."
"Semua bisa di atur, asalkan kamu bersedia. Itu, adalah perjanjian Papa mu dan Tuan Tama. Beliau kini sedang terbaring di Rumah Sakit karena serangan jantung." jawab Pak Wil.
Ais hanya bisa menatap Mamanya, tatapan mata itu penuh tanya. Sang Mama hanya bisa diam, entah apa yang ada dalam fikirannya saat ini. Ia ingin memenuhi permintaan sang suami, karena Ia tahu perihal janji tersebut. Di satu sisi, Ia tak tega melihat anaknya menikah di usia belia. Bahkan, belum lulus dari sekolahnya.
"Ais ganti baju dulu, yang rapi. Kita akan jenguk Om Tama. Calon mertuamu." jawab Mama Linda.
Dengan ucapan itu, Ais langsung faham. Jika, Mama nya akan memberikan Ais pada keluarga itu untuk di nikahkan dengan sang Tuan muda.
"Ais tahu, Ais nakal. Ais berandal, Ais merepotkan Mama. Tapi, jangan dengan menikah, Ma. Ais belum siap." rengeknya.
"Ikuti kata Mama, Ais. Gantilah pakaianmu." pinta sang mama, lagi.
Ais sudah mengganti pakaiannya. Begitu juga dengan Mama Linda. Mereja di minta masuk ke dalam mobil mewah yang sedari tadi sudah menunggu di halaman rumah. Beberapa tetangga pun menghampiri untuk menanyakan apa yang terjadi..
"Ada apa, Mama Ais?"
"Ngga papa. Ada seorang kerabat yang sakit, kami harus menjenguknya." jawab Mama Linda dengan ramah.
Seperti pada umumnya, ada yang percaya, dan ada yang menduga-duga dengan segala teori yang mereka buat sendiri.
Perjalanan cukup jauh, dan mereka terus diam. Apalagi dengan Ais, yang memang mabuk ketika naik mobil dengan jarak yang jauh. Ais selalu memejamkan mata, dan menggelendot manja pada sang Mama.
"Katanya jagoan, tapi kok mabok kendaraan." ledek Mamanya, disambut tawa kecil Pak Wil.
"Beda kasus, Mama. Mending berantem daripada pusing." jawab Ais.
Mama Linda hanya mengulur senyum, sembari mengusap rambut sang anak.
Tiba di sebuah Rumah Sakit besar. Rumah Sakit berskala internasional tampaknya. Dengan fasilitas lengkap, dan bangunan yang begitu mewah. Pak Wil mengajak mereka turun, dan berjalan menuju ruangan dimana Tuan Tama menjalani perawatan.
"Wuiih, ruang VVIP." gumam Ais, yang takjub.
Pak Wil tak mengetuk pintu, karena Ia tahu Tuan nya sudah menunggu. Dan benar saja, Tuan Tama langsung bangun ketika mendengar suara pintu ruangannya terbuka.
"Tuan... Mereka sudah disini." ucap Pak Wil, dengan membungkukkan badannya.
Tuan Tama langsung menatap mereka. Matanya nanar penuh haru dan segala rasa rindu yang menggebu.
"Linda....?" panggil nya lirih.
Mama Linda pun menghampiri, sembari menggandeng lengan Ais. Meski ragu, Ais pun mengikutinya.
"Kakak, apa kabar?" tanya Mama Linda.
"Seperti ini, tak baik-baik saja. Maka dari itu, aku selalu memikirkan Udin. Aku rindu dia, Lin." jawab Tuan Tama.
Mama Linda menggenggam tangan lemah itu. Tangan yang dingin, dan terasa tak bertenaga. Mereka tampak saling menguatkan, saling mengenang masa lalu, ketika persahabatan mereka masih begitu hangat.
Tiba-tiba, Tuan Tama menoleh pada Ais yang diam di dekatnya.
"Ini?"
"Ini Aishwa, keponakan mu." jawab Mama Linda.
"Ya Allah, Ais sudah sebesar ini? Dulu, Papi yang suka gantiin popok Ais kalau ngompol. Sekarang, sudah gadis." puji Tuan Tama.
"Papi?" batin Ais, memiringkan matanya.
Aiswa dengan ramah mencium tangan Tuan Tama, sembari memperkenalkan dirinya secara lengkap. Beserta statusnya yang masih sekolah.
"Katanya, kamu mewarisi sifat papamu, benar?" goda Tuan Tama.
Mama Linda pun tertawa. Ia membenarkan semua pertanyaan itu, Karena mereka yang begitu faham dengan Papa Udin yang dulunya mantan preman di kampung mereka.
Canda tawa mengisi, mengganti suasana sepi di ruangan itu. Untung saja ruangan VVIP, mereka bebas karena leluasa tanpa tetangga dikamar itu.
Kreeeekkkk! Pintu ruangan terbuka.
Seorang pemuda dengan postur tinggi, rambut pendek dan mengenakan setelan jas hitam, masuk dengan mata melirik ke benda pipih yang Ia pegang.
"Pi, hari ini katanya boleh pulang." ucapnya, hingga Ia menatap ke depan dan menemukan seorang gadis kecil berdiri tepat di depannya.
"Halim, perkenalkan. Ini Mama Linda." ucap Tuan Tama.
"Oh, ini Tante Linda. Maaf, Halim ngga terlalu ingat wajahnya. Udah lama banget soalnya. Dan ini?" tanya Halim, menunjuk Ais yang menatapnya tanpa berkedip.
"Ini Ais, anak Tante. Kalian ketemu, Ais masih Baby. Jadi. Ngga punya kenangan." ucap Mama Linda.
"Hey, Ais. Saya Halim."
"Hay, Kak Lim. Aku Ais."
Mereka pun berjabat tangan dengan saling mengulur senyum.
"Lim, ini calon istrimu. Ais, Lim calon suami kamu. Sebentar lagi, kalian akan menikah." ucap Tuan Tama
"Apa? Calon Suami/istri?" tanya mereka bersamaan, dengan mata membulat besar.
"Ini, calon Istri Lim? Masih kecil?" tanya Halim.
"Masih SMA, tapi sebentar lagi lulus. Hanya tinggal dua atau tiga bulan lagi." jawab Tuan Tama.
"Baiklah. Asal Papi bahagia, dan kita segera pulang." ucap Lim, dengan nada datar.
"Hah, apa? Baiklah? Baiklah, bagaimana maksudnya, dia menerima pernikahan ini tanpa protes sama sekali?" racau Ais dalam hati.
Ia begitu heran dengan sikap yang di berikan Lim pada keputusan sang Papi. Tanpa senyum, namun tak sama sekali menyangkal. Ia hanya diam dan meng'iyakan, tanpa tahu isi di dalam hatinya.
Lim dibantu Mama Linda membereskan semua barang. Ais hanya bisa diam, karena masih gamang dengan semua yang Ia temukan hari ini. Mendadak, tanpa pemberitahuan.
Mama Linda dibantu Pak Wil, membawa Tuan Tama dengan kursi rodanya. Sedangkan Lim, membawa beberapa perlengkapan menyusul mereka dibelakang.
"Ais, ayo pulang. Kenapa kamu melamun begitu?" ajak Lim, membuyarkan lamunan Ais.
"Eh, iya.." ucap Ais, lalu berlari menyusul Lim keluar dari ruangan.
"Kak Lim, tunggu."
"Ya, kenapa?" tanya Lim, tanpa menoleh.
"Ais mau ngomong, tunggu dulu." pinta Ais, tergopoh gopoh mengejar langkah kaki Lim yang nyaris Dua kali lipat darinya.
"Tunggu...." akhirnya Ais meraih tangan Lim dan berhenti.
" Ada apa?" tatap Lim dengan tajam pada calon istrinya itu.
"Kenapa Kakak ngga nolak di jodohin sama Ais?"
"Kenapa harus nolak?"
"Emang Kakak ngga punya pacar?" tanya Ais.
"Engga."
"Masa ganteng begini jomblo?" lirih Ais.
"Kenapa, heran? Yang penting saya ngga kelainan." jawab Lim.
"Tapi, emang Kakak ngga punya cewek idaman?"
"Engga..." jawab Lim lagi.
Ais hanya mendengkus kesal. Lim benar-benar dingin dan sulit di ajak bicara. Padahal, Ais ingin mengadakan sebuah rundingan padanya.
Liam kembali melangkah. Ia meninggalkan Ais yang masih diam dibelakang. Wajahnya benar-benar tenang, begitu fokus dengan tatapannya ke depan.
"Lim, mana Ais?" tanya Mama Linda.
"Itu.." tunjuk Lim dengan bibirnya.
Ais tampak berjalan begitu pelan, dengan menggenggam tali tas sandangnya.
"Ais, ayo cepet." panggil sang Mama.
"Mau kemana lagi?" tanya Ais.
"Pulang ke rumah Papi. Nanti, kamu akan tinggal disana setelah menikah dengan Lim." jawab Tuan Tama.
Mama Linda pun hanya mengangguk. Ia pun meminta Ais masuk ke dalam mobil Lim, agar mereka pulang berdua.
"Nanti mabok gimana?"
"Engga... Minta Kak Lim buka atap mobilnya, biar ngga mabuk." bujuk Mama Linda pada sang putri.
Lim membukakan pintu mobilnya ketika Ais datang. Tampak menunjukkan perhatian pada gadis kecilnya, meski yang di tuju belum mengerti arti yang Ia lakukan.
"Ngga usah sok kasih perhatian. Ais tahu, Kakak juga terpaksa mau nikah sama Ais."
"Kenapa harus terpaksa? Saya hanya memenuhi keinginan Papi. Itu saja." jawab Lim.
"Itu namanya terpaksa, Kak." sergah Ais yang mulai kesal.
"Mau terpaksa pun, saya akan tetap menikahi kamu." ucap Lim, dengan menyetir, namun menatap wajah Ais yang cemberut padanya.
Sepanjang jalan, mereka kembali diam. Ais hanya bersedekap sembari mengerucutkan bibirnya. Lim pun diam, karena memang jarang bicara. Berdebat pun, hanya karena Ais yang memancingnya.
***
"Biarkan saja mereka berdua, Lin. Anggap saja, sebagai jalan mereka mengakrabkan diri. Mereka, belum pernah bertemu sama sekali, bukan?"
Ucap Tuan Tama, ketika Mama Ayu beberapa kali menoleh kebelakang.
"Iya, Kak. Mereka, memang butuh pendekatan meski sebentar. Hanya saja, saya ragu jika Lim bisa menerima Ais yang wataknya seperti itu." jawab Mama Linda.
"Satu begitu ceria, dan tak bisa diam. Yang satu, terlalu dingin dan hanya bicara seperlunya. Mereka, akan saling melengkapi, nanti." balasnya, antusias.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!