Brum
Brum
Brum
Keenam mobil sport berbeda warna melaju dengan kecepatan tinggi, saling mendahului dan saling melesat bagaikan terhempas oleh angin. Tidak ada yang ingin mengalah dan tidak ada yang ingin kalah, mereka bertaruh untuk kemenangan. Membuktikan jika di antara mereka adalah yang tercepat. Hingga ketika akan mencapai garis finish, mobil sport berwarna merah, hitam dan biru saling berjajar, terlihat seimbang karena ketiganya begitu cepat. Ketiga mobil sport lainnya menyusul dengan kecepatan di atas rata-rata, namun sepertinya kecepatan mobil mereka masih sulit menjangkau ketiga mobil yang berada di depan mobil mereka.
"Damn! Kita akan kalah!" Gavin memukul setir kemudinya lantaran tidak mampu menyeimbangi kecepatan mobil bos mereka itu. Telinga masing-masing terpasang earphone agar memudahkan mereka untuk saling berkomunikasi.
"Arrghhh sial! Bos terlalu cepat!" Seperti Gavin, Elden tidak kalah kesal, di sepanjang arena sirkuit, ia mengumpat berulang kali.
"Tidak hanya bos, As dan Dev juga sangat cepat." Sebenarnya Liam juga sama kesalnya seperti kedua sahabatnya itu, tetapi ia menyadari kemampuannya yang tidak sebanding dengan bos Arthur, Austin dan juga Devano.
"Huh, kau benar." Meski mereka kalah, tetapi ia mengakui kecepatan ketiganya.
Tepat di ujung sana, garis finish sudah nampak jelas. Arthur menyunggingkan senyum, menoleh ke arah Austin di balik kaca mobil, Arthur mengetahui jika sang adik pun tengah menatapnya dengan senyum mengejek.
"Awas saja kau, As." Mimik bibir Arthur yang mengumpat begitu kentara, sehingga Austin yang berada di dalam mobilnya dapat melihat dengan jelas.
Melihat sang kakak yang kesal padanya, tawa Austin memecah. Sang kakak memang pria yang jika sudah terprovokasi maka akan menyelesaikan hingga akhir. Dan kemudian Austin menambah kecepatan penuh untuk mengimbangi mobil sang kakak, hingga menyalip pada mobil Devano.
"Wooww....!" Mendadak Devano mengurangi kecepatan mobilnya. Beruntung ia tidak kehilangan keseimbangan ketika mobil Austin menerobos begitu saja. Jika tidak, mungkin mobilnya sudah terguling. Dan Devano hanya menggelengkan kepala menyaksikan kedua mobil di hadapannya. Jika sudah seperti itu maka jalan satu-satunya adalah ia harus mengalah, jika terus di paksakan menyalip di antara mobil keduanya, sudah pasti mobilnya yang akan terpelanting. "Baiklah... baiklah... kalian menang lagi." Tanpa mengurangi kecepatan, Devano terus melaju di belakang mobil sport hitam milik Arthur dan mobil merah milik Austin. Setiap bertarung di arena sirkuit sudah pasti ia serta ketiga teman-temannya yang lain tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk menang melawan kakak beradik itu.
Mobil Arthur lebih dulu melewati garis finish, sudah dipastikan jika kemenangan jatuh di tangan pria berusia 27 tahun itu. Meskipun usianya berbeda empat tahun dengan yang lainnya, tidak ada kecanggungan diantara mereka. Tidak lama setelahnya, mobil Austin menyusul melewati garis finish, disusul Devano, Gavin, Elden dan Liam.
Begitu mobil mereka berhenti sempurna, mereka kompak keluar dari mobil dengan senyum yang mengembang. Tidak nampak kekesalan seperti sebelumnya karena pertandingan tetaplah pertandingan, akan ada yang menang dan kalah, sudah pasti mereka memaklumi hal itu.
"Aku kalah, Kak Ar menang. Puas, hm!" Austin menghampiri kakaknya Arthur dengan wajah yang sedikit masam, ia mendudukkan tubuhnya pada kap mobil depan.
Arthur terkekeh, ia sangat tau jika Austin sangatlah ingin mengalahkan dirinya. "Lain kali kau pasti menang." Lalu menepuk adiknya itu. "Kalian juga pasti menang, hanya saja ada waktunya."
"Iya, itupun menunggu saat Kak Ar menjadi tua," seloroh Devano dan membuat mereka semua tergelak. Memang jika ingin menang dari Arthur, haruslah menunggu pria itu tidak bisa melakukan apapun.
Dering ponsel menghentikan tawa mereka, Arthur merogoh ponselnya yang berdering di dalam saku celana. Keningnya sedikit membentuk kerutan ketika melihat nama 'Dad' di layar ponselnya.
"Ada apa Dad?" tanyanya begitu menempelkan ponsel pada daun telinga.
"Kalian dimana, boy? Cepatlah pulang, kau tau saat ini wajah Mommy kalian sangatlah menyeramkan." Dari nada bicara Daddy Xavier, sudah pasti sangat mencemaskan nasib kedua putranya yang akan habis terkena ceramah. Selama ini ia selalu membebaskan putra dan putrinya, akan tetapi tetap mengawasi mereka dari jarak aman.
"Oke Dad." Setelah menyahuti perkataan Daddy Xavier, Arthur mengakhiri panggilan telepon.
"Ada apa? Apa Daddy marah?" tanya Austin yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka.
"Seperti biasa, Mom mencari kita." Arthur menyahut dengan turun dari kap mobil miliknya.
"Ck, Daddy akan diam saja melihat kita dimarahi oleh Mom." Austin mendecakan lidah, ia sudah sangat tahu jelas jika Daddy mereka itu tidak ingin terkena imbasnya.
"Kau pikir Daddy berani dengan Mommy?" Arthur mencibir Daddy-nya sendiri yang dibenarkan oleh Austin. Apapun yang berkaitan dengan Mommy mereka, maka Daddy selalu tidak berdaya, mungkin karena terlalu cinta, pikir mereka.
"Oh God. Habislah aku, Mom mencariku." Elden baru saja mengecek ponselnya, wajahnya menjadi pucat lantaran puluhan panggilan tak terjawab tertera di layar ponselnya.
Hal yang sama dilakukan oleh Devano, Gavin dan juga Liam. Mereka menepuk kening mereka masing-masing. "Rasanya tubuhku sudah sakit lebih dulu sebelum di pukuli oleh Mom." Devano bergidik, ia sudah membayangkan Mommy Olivia memukuli punggung dan bahunya.
"Dan aku sudah pasti tidak akan mendapatkan daging panggang kesukaanku." Gavin menatap lesu, daging panggang adalah salah satu makanan favoritnya dan jika Mommy Emely sedang merajuk padanya sudah pasti jatah daging untuknya tidak diberikan padanya.
Liam menghembuskan napasnya kasar. "Selamat tinggal mini girl kesayanganku." Liam menatap potret mini girl miliknya, sebuah boneka kecil yang begitu nampak seksi hanya mengunakan bikini saja. Mommy Ashley sudah sering menyarankan jika ia harus membuang boneka seksi menjijikan itu, akan tetapi ia selalu menyembunyikan di suatu tempat. Dan baru saja ia menerima pesan dari Mommy Ashley, jika wanita yang sangat ia cintai itu menemukan boneka tersebut.
Kemudian mereka segera masuk ke dalam mobil masing-masing dengan wajah yang lesu tidak bersemangat. Menyiapkan telinga dan tubuh kekar mereka jika sewaktu-waktu Mommy mereka gemas ingin menyiksa mereka.
***
Tidak membutuhkan waktu lama, beberapa mobil sport mewah sudah memasuki pelataran Mansion Utama yang sudah beberapa tahun di singgahi oleh Daddy Nico dan Mommy Jennifer bersama dengan Grandpa Jhony dan Granny Marry. Nampak beberapa anak buah menyapa anak-anak dari bos mereka.
Kelima pemuda tampan itu melangkah masuk, di susul Arthur setelahnya. Arthur tidak menemui sang Mommy lebih dulu, akan tetapi menemui Daddy-nya yang berada di ruangan kerja.
"Oh My God, dari mana saja kalian, huh?!" seru Jennifer begitu melihat pemuda-pemuda tampan menjejakkan kaki mereka di halaman belakang.
"Mom..." Elden tidak mampu berkata, hanya menghampiri Mommy Jennifer. Pun dengan yang lainnya, yang sedang berusaha membujuk Mommy Emely, Mommy Ashley. Hanya Mommy Millie yang nampak tersenyum karena kedua putranya berada bersamanya dan tidak mengikuti aksi kebut-kebutan itu.
"As, sudah Mommy katakan untuk tidak balap mobil lagi. Apa kau lupa hm?" Mommy Elleana selalu melarang Austin dan juga Arthur untuk mengurangi aksi kebut-kebutan seperti itu karena tidak ingin salah satu diantara mereka terluka dan itu berlaku untuk semuanya, tidak hanya Arthur dan Austin saja.
"Tapi As baik-baik saja Mom." Austin menampilkan gigi putihnya. Ia selalu bisa menjawab pertanyaan Sang Mommy hingga membuat Mommy Elleana menatap jengah.
"Jadi kau ingin tidak baik-baik saja dan membuat Mommy dan Daddy bersedih, hm?" Selalu saja kalimat andalan yang membuat Austin sulit berkutik.
"Bukan begitu Mom...." Austin menjadi gemas sendiri terhadap Mommy-nya.
"Lalu dimana kakakmu Ar?" Mommy Elleana menyapu pandangannya, mencari sosok putra pertamanya.
Austin mengangkat kedua bahunya. "Mungkin Kak Ar di ruangan kerja Daddy."
"Ck, anak itu selalu saja melarikan diri," cebik Mommy Elleana. Meskipun usia Arthur dan Austin sudah bukan balita seperti dulu lagi, akan tetapi tetap saja bagi para Mommy putra dan putri mereka tetaplah anak kecil.
"Mom, As lapar." Austin merengek manja, lalu menggandeng lengan Mommy Elleana, berharap Mommy-nya itu melupakan kenakalannya.
"Ah iya, baiklah." Mommy Elleana menuntun Austin di meja makan yang berdekatan dengan kolam renang. Disana sudah terdapat Elden, Gavin, Liam dan Devano. Meskipun marah terhadap putra-putra mereka, tentunya sebagai seorang ibu tidak akan tega melihat mereka kelaparan.
"Habiskan makanannya, Mom akan memanggil kakakmu Ar." Mommy Elleana tersenyum begitu selesai meletakkan berbagai macam lauk ke atas piring Austin. Entah kenapa hari ini ia tidak begitu tega memarahi kenakalan putra-putranya seperti sebelum-sebelumnya.
Melihat kepergian Mommy Elleana, Austin menyematkan senyuman. Tangannya mengusap dada, bernapas lega karena hari ini Mommy Elleana begitu jinak, sehingga ia terhindar dari hukuman. Bukan hanya dirinya, tetapi juga yang lainnya, mereka semua terhindar dari hukuman.
Pintu ruangan kerja terbuka sebagian, seorang wanita yang teramat kedua pria itu cintai terlihat menyembul di balik pintu. "Ar, kau belum makan siang. Makanlah lebih dulu, pekerjaan kalian bisa dilanjutkan setelah makan siang." Lalu berjalan menghampiri suaminya.
Arthur tersenyum menanggapi, sepertinya Sang Mommy benar-benar dalam mood yang baik, sehingga tidak memarahi dirinya seperti yang sudah-sudah.
"Apa??!" Mommy Elleana membeliak tajam kepada sang putra yang menatap dirinya dengan begitu aneh.
Arthur menggeleng cepat, pikirannya melesat. Baru saja ia membatin jika Sang Mommy dalam mood yang baik, tetapi Mommy Elleana berkata ketus padanya. "Mommy marah?" Sembari mendelik wajah wanita yang meskipun termakan usia tidak menutupi kecantikannya.
"Membiarkan adik-adikmu balap mobil seperti itu, apa Mommy tidak akan marah, hm?" sahut Mommy Elleana dengan lembut, akan tetapi terselip kekesalan pada nada bicaranya. Dan untuk meredam kekesalan sang istri, Daddy Xavier mengusap lengan Mommy Elleana yang melingkar di lehernya.
"Maaf Mom, Ar hanya membiarkan mereka bersenang-senang sebelum mereka kembali beraktivitas seperti biasanya." Arthur tentu tidak tega melihat wajah mereka yang begitu frustasi selama belajar, karena ia pernah duduk di bangku kuliah hingga menempuh S2. Dan ia tidak munafik jika ia pun membutuhkan hiburan sejenak untuk menumpahkan rasa penat.
"Ck..." Mommy Elleana mendecakan lidahnya, sungguh ia tidak melarang jika mereka ingin bersenang-senang, mengingat mereka masih sangat muda dan membutuhkan sesuatu hiburan. Tetapi ia hanya cemas jika aksi berbahaya itu akan membahayakan salah satunya.
"Sudahlah Sweety, apa kau lupa tujuanmu datang kemari, hm?" Daddy Xavier menyela, bahkan tanpa malu, pria yang sudah memasuki usia 50 tahun lebih itu tetap tampan dengan rambut yang sedikit memutih, mengecup punggung istrinya di depan Arthur yang sudah biasa dengan pemandangan tersebut.
"Astaga, aku lupa. Baiklah Ar, untuk kali ini Mommy melepaskanmu dan As." Mendengar ucapan Sang Mommy, tentu saja sudut bibir Arthur melengkung tipis. "Sebaiknya kau makan siang lebih dulu, adik-adikmu sudah menunggu," sambungnya kemudian tersenyum manis kepada putranya.
"Baiklah Mom."
Setelah mengangguk mengiyakan, Arthur beranjak dan segera berlalu dari ruangan kerja. Meninggalkan kedua orang tuanya yang entah sedang melakukan apa. Arthur bisa menebak jika orang tuanya sedang bercumbu. Membayangkan hal itu membuat Arthur menggelengkan kepala, orang tuanya benar-benar tidak tahu tempat.
To be continue
Yaappp, hallo... Yoona balik lagi, gimana kabar kalian? Semoga selalu sehat ya. Jangan pernah bosan pokoknya sama karya-karya Yoona 🤗
Bagi pembaca baru Yoona bisa baca novel-novel sebelumnya ya, biar gak bingung 🤗
1. Elleana And The King Of Mafia
2. Tawanan Bos Mafia
3. Bastard Mafia (Falling In Love)
...Like, vote, follow, hadiah dan komentar kalian 💕 terima kasih 🤗...
...Always be happy 🌷...
...Instagram : @rantyyoona...
Setelah menghabiskan waktu berkumpul dengan seluruh keluarga dan menginap di Mansion Utama, pagi ini mereka sudah beraktivitas kembali seperti biasanya. Arthur beserta yang lainnya sudah kembali ke Mansion, setelah sebelumnya berpamitan kepada Granny Marry dan Granpa Jhony dan keluarga yang lainnya.
Kini mereka sudah berada di Mansion dan duduk bersantai di ruangan keluarga. Arthur memutuskan untuk datang ke perusahaan siang nanti. Sudah 6 bulan semenjak lulus S2 di Universitas ternama di Jerman, ia menjabat sebagai Direktur menggantikan Daddy Xavier.
"Kak Ar, siang nanti aku pinjam salah satu mobil koleksimu." Austin membenamkan tubuh di sofa, sejak tadi ia sudah mencari keberadaan kakaknya.
Arthur yang tengah fokus pada ponselnya, mengalihkan sejenak pandangannya dari benda pipih tersebut, lalu menolehkan kepala ke arah Sang Adik. "Untuk apa? Bukankah mobilmu banyak yang tidak kau gunakan?!"
Austin menggaruk tengkuk lehernya. "Bosan..." Jawaban yang sangat klise. Sebenarnya bukan karena itu, ada sesuatu yang ingin ia pastikan. Jika ia menggunakan mobil miliknya yang lain sudah pasti akan menimbulkan kecurigaan.
Tentu Arthur tidak percaya begitu saja, selama ini ia mengenal baik sosok adiknya. Tidak mungkin Austin mudah bosan dengan semua mobil kesayangannya. "Baiklah, gunakan saja mobilku yang kau inginkan." Namun Arthur tidak ingin bertanya lebih, ia selalu memberikan kesempatan Aurelie maupun Austin untuk melakukan apapun selama tidak merugikan dan membahayakan.
"Kau memang yang terbaik kak." Austin memberikan dua ibu jari kepada kakaknya. Ia sudah menduga jika Sang Kakak tidak mungkin menolak jika hanya meminjamkan mobil.
"Tapi ada syaratnya."
Senyum Austin yang mengembang itu perlahan meredup ketika sebuah syarat yang dilayangkan oleh kakaknya. "Baiklah...." Lebih baik menyanggupi, alih-alih Arthur batal meminjamkan mobil padanya.
"Siang nanti datang ke perusahaan bersamaku. Sesekali kau harus mengunjungi perusahaan, agar setelah kau lulus langsung membantuku di perusahaan." Selama dirinya menjabat sebagai Direktur dan alih waris selanjutnya, Austin belum pernah menampakkan batang hidungnya disana. Hanya saat berusia 10 tahun Austin sering mengunjungi perusahaan bersama dengan Mommy Elleana, selama masuk Universitas, Austin selalu beralasan jika Daddy Xavier mengajaknya
Austin menghela napasnya kasar, sudah ia duga jika kakaknya akan mengajukan syarat seperti itu. "Tapi Kak Ar, kau tau aku sangat malas datang ke perusahaan." Alasan Austin malas datang ke perusahaan karena ia terlalu malas menanggapi karyawan-karyawan wanita yang histeris. Ia pernah melihat bagaimana para karyawan-karyawan menatap kakaknya pada saat perkenalan Arthur pertama kali menjabat sebagai Direktur. Austin hanya menunggu di mobil dan tidak ingin seperti Arthur yang digilai wanita-wanita.
"Tenang saja, mereka tidak akan ada yang berani menggodamu." Arthur dapat memahami apa yang dipikirkan oleh adiknya. Karena sejujurnya ia risih jika di tatap penuh damba oleh seluruh karyawan disana, biak wanita maupun pria. Akan tetapi lambat laun, ia sudah terbiasa dan tidka terlalu di pusingkan.
"Ck, itu karena Kak Ar selalu dingin dan kejam, karena itu mereka tidak berani kepada Kak Ar." Entah yang diucapkan oleh Austin adalah sebuah pujian atau sindiran, Arthur hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan adiknya.
"Kalian disini? Pantas saja aku cari di kamar tidak menemukan kalian." Keduanya menoleh ketika suara Aurelie mengalihkan perhatian mereka. Aurelie mendudukkan tubuhnya di sofa single.
"Ada apa?" tanya Arthur pada Aurelie.
"Tidak ada, hanya saja beberapa hari ini aku lelah. Aku ingin meminjam nama Kak Ar untuk mengunjungi suatu tempat." Aurelie sedikit memijat pangkal hidungnya. Belakangan ini ia lelah pada pekerjaannya yang seroang model. Karena itu ia meminjam nama Arthur untuk memesan sebuah pulau atau resort untuknya beristirahat.
"Boleh saja, tapi ada syaratnya."
Aurelie memutar bola matanya malas. Selalu saja kakak kembarnya itu mengajukan syarat apapun jika ada yang ia inginkan. "Apa?" Meskipun malas, Aurelie tetap menanyakan akan syarat itu.
"Keluarlah dari agensi kecil itu, kau bisa memulainya di Perusahaan Romanov Ent. Aunty Jenn selalu bilang kau bisa menjadi model disana kapanpun kau inginkan," sahut Arthur menatap sang adik.
"No.... No.... No....!" Aurelie menolak. "Kak Ar tau bukan? Selama ini aku menyembunyikan jati diriku yang sebenarnya. Aku ingin menjadi model dengan usahaku sendiri, bukan mendongkrak nama Daddy atau nama Kak Ar."
"Kau bisa menjadi model di perusahaan Aunty Jenn tanpa harus membuka jari dirimu, Elie." Arthur tetap berharap, adik kembarnya itu menimbang ucapannya.
Aurelie menggeleng tegas. "Tidak. Aku tetap tidak mau. Aku ingin bekerja di bawah naungan agensi lain, kecuali agensi Aunty Jenn." Dan Aurelie tetap bersikukuh menolak. Wanita cantik itu memiliki alasan yang kuat, karena ia hanya ingin mencapai keinginannya dengan usahanya sendiri. Jika ia bekerja di perusahaan Romanov Ent, sudah pasti Aunty Jenn akan membantunya secara diam-diam.
Arthur menghembuskan napasnya pelan, Aurelie seperti cerminan dirinya yang sangat keras kepala dan ia pun tidak berhak mengatur. Sementara sejak tadi Austin tidak berminat bergabung dalam percakapan kedua kakaknya, ia memilih memainkan ponselnya alih-alih ikut campur.
"Baiklah terserah kau saja. Tapi ingat, Kak Ar akan selalu mengawasimu Elie, mengawasi kalian berdua," ujar Arthur penuh dengan penekanan untuk kedua adiknya.
Karena Arthur tidak lagi memaksa, Aurelie mengulas senyum selebar-lebarnya. Arthur memang tidak pernah memaksakan kehendaknya, berbeda dengan Sang Daddy. Meskipun resikonya kakak kembarnya itu selalu mengawasi pergerakan dirinya. Aurelie dan Austin hanya mengangguk sebagai jawaban mereka. Ia paham kenapa Arthur bersikeras mengawasi mereka dari kejauhan demi keselamatan mereka.
Kemudian Arthur melihat jam dinding yang terpampang di dinding. "Sudah waktunya," ucapnya memecah keheningan selama beberapa saat. "As, bersiap-siaplah, 15 menit lagi kita berangkat ke perusahaan.
Austin mendongak, ia tidak berminat lagi pada ponselnya, sehingga ia hempasan ponselnya ke atas sofa. "Sekarang? Bukankah siang nanti?"
"Lebih cepat lebih baik." Arthur beranjak berdiri.
Dan Aurelie hanya menatap heran kepada sang adik begitu Arthur sudah lenyap dari pandangan mereka. Sejak kapan Austin dengan suka rela datang ke perusahaan. Sudah pasti bukan atas keinginan adiknya. Austin yang mengerti akan tatapan kakak perempuannya. "Kak Elie jangan banyak bertanya, Kak Ar menjebakku dengan syarat," keluhnya mendengkus kesal.
Aurelie tergelak geli. Ia paham dengan keadaan Austin, sudah pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh Austin sehingga Arthur memberikan syarat seperti itu.
"Berisik!" Austin melempar bantal sofa dan tepat mengenai bahu Aurelie. Sebelum kemudian berlalu dari sana, meninggalkan kakak perempuan yang belum puas mentertawakan dirinya.
Dengan menyeret langkahnya, Austin pergi ke kamarnya menyusul Austin. Kedua pria tampan beda usia itu tengah bersiap-siap di kamar masing-masing, Arthur memilih setelan jas berwarna maroon, sedangkan Austin setelan jas berwarna putih. Setelah keduanya sudah tampil gagah dan bertambah tampan, baik Arthur dan Austin bergegas menuruni tangga, mereka menghampiri kedua orang tuanya yang ternyata bernama di halaman belakang.
"Astaga As..." Mommy Elleana menutup mulutnya tidak percaya melihat penampilan putra bungsunya yang ketampanannya bertambah karena berpakaian rapih. Jika melihat Arthur, Mommy Elleana sudah terbiasa dan Arthur selalu saja tampan mengenakan pakaian apapun. "Kau ingin pergi kemana As? Kenapa putra Mommy tampan sekali."
"Ke perusahaan Mom, Ar ingin mengenalkan tentang perusahaan mulai hari ini." Bukan Austin yang menjawab, melainkan Arthur.
Penuturan Arthur membuat Daddy Xavier dan Mommy Elleana terperangah selama beberapa saat. Dan kemudian Mommy Elleana hendak melangkah mendekat untuk mencium putranya.
Melihat gelagat Sang Mommy yang seperti ingin mencium dirinya, Austin spontan melangkah mundur. "Stop Mom! Berhenti disana!"
Bibir Mommy Elleana mencebik, ia kecewa karena Austin menolak dicium olehnya. "Kau ini... Mommy hanya ingin memelukmu saja." Dengan kecewa, Mommy Elleana kembali pada tempatnya. Daddy Xavier dengan sigap merangkul kedua pinggul sang istri. Sudut bibirnya mengulum senyum. Yang bisa membuat Austin datang ke perusahaan walaupun terpaksa, sudah pasti putra pertamanya.
"Baiklah Mom, Ar dan As berangkat." Arthur berpamitan kepada kedua orang tuanya, diikuti Austin setelahnya.
"As, semangat...." Langkah As terhenti di ambang pintu ketika mendengar suara Aurelie. Ia hanya menoleh kilas dengan wajah yang masam. Membuat Aurelie bahkan Mommy Elleana terkekeh.
...Jangan lupa untuk like, vote, follow, hadiah dan komentar kalian 💕 terima kasih 🤗...
...Always be happy 🌷...
...Instagram : @rantyyoona...
Jika terdapat pria yang sempurna, sudah pasti tertuju kepada dua pria pewaris Keluarga Romanov. Selain berasal dari Keluarga Billionare, kedua pria berbeda itu memiliki paras yang tampan dengan tubuh kekar atletis. Tidak sulit mencari pendamping, hanya perlu menunjuk wanita yang dengan suka rela melemparkan diri. Akan tetapi baik Arthur maupun Austin, begitu sulit menerima kehadiran seorang wanita selain teman-teman wanita terdekat.
Langkah tegas tanpa senyum yang terukir mengundang decak kagum para wanita-wanita yang menatap mereka tanpa berkedip. Arthur dan Austin melangkah beriringan menyusuri lobby perusahaan, sudah hal yang biasa bagi Arthur mendapatkan tatapan memuja dari para karyawannya, berbeda dengan Austin yang nampak risih namun tetap memasang wajah datar.
"Tampan sekali. Apa pria muda yang bersama Tuan Arthur adalah Tuan Muda Austin?" Salah satu karyawan wanita bertanya kepada teman yang lain.
"Sepertinya benar. Wajah mereka sangat mirip dan Tuan Muda Austin juga tidak kalah tampan," sahut seorang wanita dengan rambut curly bergelombang.
"Tidak bisa mendapatkan Tuan Arthur, mendapatkan Tuan Muda Austin, aku tidak masalah."
"Ssshhtt, jangan bicara sembarangan." Kepala staff divisi pemasaran menegur bawahannya. "Baik Tuan Arthur maupun Tuan Muda Austin tidak akan mau dengan kalian."
Mendengar ucapan atasan mereka, ketiga karyawan wanita itupun berdecak kecewa, namun tidak mengalihkan perhatiannya dari kedua pria pewaris Keluarga Romanov.
"Dan lihatlah, pria tampan lainnya datang. Jika mereka berjalan bersama-sama seperti itu, aku sulit memilih." Kedua karyawan sependapat dengan temannya yang berambut curly tersebut, mereka masih terpesona akan keindahan yang luar biasa di cuaca cerah seperti ini.
Ya, yang baru saja datang menyambut adalah Darren, asisten pribadi dari Arthur yang juga memiliki paras yang tampan dengan tubuh yang kekar dan tinggi. Bahkan lebih tinggi beberapa senti dari Arthur dan Austin juga memiliki tubuh yang lebih tinggi dari Arthur.
Melihat kelakuan ketiga bawahannya, kepala divisi pemasaran tersebut menggelengkan kepala, sebelum kemudian berlalu dari sana untuk melanjutkan pekerjaan.
***
Arthur mendudukkan tubuhnya di kursi kebesarannya, sementara Austin menjatuhkan tubuhnya di sofa, punggungnya sontak bersandar pada sandaran sofa. Darren yang berdiri di hadapan Arthur dengan meja persegi yang membatasi mereka, memberikan satu dokumen untuk segera di tanda tangani. Lantas Arthur segera menandatangani dokumen penting tersebut lalu memberikan kembali kepada Darren.
"Apa jadwalku hari ini?" tanya Arthur mendongak menatap Darren.
"Tidak ada agenda yang penting siang ini. Hanya mengecek beberapa laporan keuangan bulan ini." Arthur mengangguk akan penjelasan Darren mengenai agendanya hari ini.
"Kalau begitu baguslah, kau bisa menemani As berkeliling perusahaan. Mengenalkan As pada beberapa pekerjaan."
Mata Austin membulat sempurna begitu mendengar penuturan Arthur jika ia harus berkeliling perusahaan. "Kak Ar pasti bercanda," ujarnya. Berharap Arthur tidak benar-benar mengenalkan segala pekerjaan yang menjadi job desk masing-masing divisi.
"Apa aku terlihat sedang bercanda As?" Wajah datar Arthur ingin sekali Austin melemparkan benda apapun pada wajah kakaknya itu.
"Huuhh...." Tidak mungkin dapat menolak, akhirnya Austin menghela napas kasar. Ia akan ditemani oleh Darren yang kaku dan tanpa ekspresi itu.
Diam-diam Darren mengulum senyum, wajah terpaksa dan tidak berdaya Austin begitu lucu di matanya.
"Baiklah Tuan Muda As, aku akan menemani Tuan Muda berkeliling ke setiap ruangan," ujar Darren dengan bahasa yang begitu formal. Sosok Darren memang seperti itu jika sedang berada di perusahaan, bahkan bisa di katakan jauh berbeda dengan Daddy Jack yang bisa lebih santai.
"Hei, tidak perlu memanggilku Tuan Muda!" protesnya. "Kau cukup memanggilku seperti biasanya saat di Mansion." Sungguh, Austin tidak suka jika Darren terlalu formal padanya.
"Tidak bisa, karena saat ini kita sedang berada di perusahaan." Dan Darren menolak dengan tegas. Jika sedang berada di lingkup perusahaan, ia selalu bersikap profesional.
Aku benar-benar akan menjadi gila, jika berada di antara Kak Ar dan Darren.
Austin tidak menyahut, melainkan membatin sembari melihat kedua kakaknya secara bergantian.
"Kalau begitu, kita bisa berkeliling sekarang juga, Tuan Muda." Darren sudah berdiri di ambang pintu.
Lagi-lagi ia harus mendengar kata Tuan muda yang tersemat untuknya. "Ck, terserah kau saja." Dengan kesal, Austin beranjak berlalu berjalan mendahului Darren yang menatapnya heran, lalu segera menyusul langkah Austin.
Selepas kepergian Austin serta Darren, Arthur meraih salah satu dokumen yang harus ia periksa saat ini juga. Matanya bergulir melihat yang tertera di kertas putih itu, memberikan jeda kedua matanya untuk memastikan nominal pengeluaran perusahaan. Namun keningnya berkerut dalam karena merasa janggal dengan nominal yang tertera. Kemudian Arthur membandingkan laporan keuangan bulan lalu, selisih ratusan juta dengan bulan yang lalu.
Arthur berusaha memanggil Darren, tetapi sayangnya ia hanya seorang diri di ruangan. "Tidak bisa dibiarkan. Rupanya ada tikus kecil yang berkeliaran di perusahaan." Nampak seringai senyum di sudut bibir Arthur, ia sudah membayangkan hukuman apa yang akan diberikan untuk tikus tersebut.
Selama dua jam lebih, Arthur menyelesaikan pekerjaannya. Bertepatan dengan Austin dan Darren yang memasuki ruangan.
"Jangan bertanya apapun Kak. Biarkan aku beristirahat." Austin mengangkat tangannya ke udara sebagai tanda menginterupsi ketika Arthur hendak melayangkan pertanyaan. Arthur sadar jika adiknya itu belum memiliki minat kepada perusahaan.
Arthur tersenyum tipis, setidaknya Austin sudah berusaha, meskipun merasa terpaksa. "Ya, baiklah. Kau bisa beristirahat terlebih dulu," sahutnya.
"He'em...." Mata Austin terpejam karena rasa kantuk dan penat yang menyerang secara tiba-tiba, padahal ia hanya dua jam berkeliling, akan tetapi mampu menguras tenaganya.
"Sepertinya As kelelahan Der. Biarkan dia tidur sebentar saja," ujarnya melirik ke arah Austin yang terlihat sudah terlelap dengan posisi berbaring di atas sofa. Darren hanya mengangguk. "Dan apa kau sudah memeriksa laporan keuangan bulan ini?" tanyanya kemudian.
Darren diam berpikir namun sesaat kemudian mengangguk. Ia juga menemukan kejanggalan dengan pengeluaran beberapa bulan terakhir dalam jumlah yang besar.
"Kau sudah tau apa yang harus kau lakukan Der. Aku ingin dalam waktu satu hari kau sudah menemukan tikus seperti apa yang sudah berani bermain-main denganku." Nampaknya seseorang telah membangunkan macan yang sedang tertidur di dalam tubuh Arthur.
"Tidak perlu khawatir, beberapa hari yang lalu aku sudah menyelidikinya dan mengantongi beberapa nama yang terlibat." Dan kemudian Darren memberikan satu map yang ia bawa dari ruangannya.
Sudut bibir Arthur membentuk lengkungan, Darren adalah asistennya yang selalu cekatan dan bisa di andalkan. Dengan begitu tidak sabar membuka map biru tersebut, hingga seperkian detik rahangnya mengeras.
"Keparat! Rupanya tidak hanya ada satu tikus, tapi tiga tikus yang berkeliaran di perusahaan." Nampak geram penuh emosi, ingin sekali Arthur menendang wajah mereka satu persatu.
"Benar, sudah 5 bulan lebih mereka bertiga bertingkah dan begitu berani menggelapkan uang perusahaan," sahut Darren menjelaskan.
Samar-samar Austin mendengarkan percakapan Arthur dengan Darren. Ia membuka kelopak matanya lebar. Sebenarnya ia tidak benar-benar tertidur, hanya memejamkan mata saja. Ingatannya membawa dirinya ketika tadi ia berpapasan dengan salah satu manager yang terlihat begitu panik.
"Manager keuangan perlu dicurigai kak." Austin membuka suara begitu beranjak duduk. "Aku tidak sengaja menabraknya dan dia menjatuhkan dua laporan yang berbeda," lanjutnya.
Arthur mengangguk. Yang dikatakan oleh Austin memang benar. Salah satu nama yang sudah mereka kantongi adalah Manager Keuangan.
"Kak Ar, kalau tidak ada lagi yang harus kulakukan di perusahaan, sebaiknya aku pergi saja." Austin mengibaskan jas yang membalut tubuhnya yang sedikit berantakan.
"Ya baiklah. Kau boleh pergi. Pakai saja mobilku, karena aku akan pulang bersama dengan Darren," kata Arthur kemudian.
"Baiklah Kak Ar, aku pergi dulu." Wajah Austin nampak lebih senang, tidak seperti sebelumnya yang memasang wajah masam.
"Hem...." Arthur berdehem menanggapi dan memperhatikan punggung Sang Adik yang sudah lenyap di balik pintu ruangan kerjanya.
"Der, bawa ketiga tikus-tikus itu ke hadapanku sekarang juga!" perintahnya kemudian. Dari nada bicaranya terdapat amarah yang tertahan.
"Baik..." Dengan tergesa-gesa Darren keluar dari ruangan. Jika atasan sekaligus temannya dalam mood seperti ini, sudah pasti akan ada sesuatu yang terjadi.
Ck, malang sekali nasib mereka.
...Jangan lupa untuk like, vote, follow, fav, hadiah dan komentar kalian 💕 terima kasih 🤗...
...Always be happy 🌷...
...Instagram : @rantyyoona...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!