Terlihat tawa ceria yang selalu menghiasi wajahnya, nampak lesung Pipit di pipi kanannya yang menambah daya tarik saat dia tersenyum.
Dengan badan yang sedikit gembul dia lincah menggerakkan tubuhnya,melompat-lompat seperti tak kenal lelah.
"Mama,come here," teriak Sisi yang sedang bermain di wahana kidscourt, tempat bermain khusus anak-anak.
Permainan trampoline yang banyak di gemari baik orang dewasa maupun anak-anak. Selain menyenangkan juga menyehatkan. Di tempat ini kami sering menghabiskan waktu di akhir pekan.
"No, bersenang-senanglah sayang..." ku lambaikan tangan dari tempat aku duduk, kali ini aku tidak ikut bermain bersama, rasanya mood ku kurang baik, berfikir dan menghitung hari yang semakin dekat.
Senyumku selalu mengembang kala ku lihat tawanya, kebahagiaannya adalah hidup ku, dia yang mampu membuatku bertahan sampai detik ini.
Satu tahun sudah ku mainkan peranku ini, dimana aku harus benar-benar terlihat sempurna bahagia di depan mata anakku. Satu Minggu lagi, hari yang aku tunggu akhirnya akan tiba, aku bingung harus mulai dari mana bercerita, di saat nanti terlihat nyata suatu kebenaran di hadapannya.
Aku hanya berharap tawa dan senyumnya tak kan pernah hilang dari pandangan aku.
Saat sejenak aku bergelut dengan pikiranku.
Deg
Hawa panas menyelimuti tubuhku, dadaku bergemuruh, tanpa sadar tanganku mengepal erat.
"Mas Arsya" ucapku lirih, apa yang mereka lakukan di sini? apa mereka sengaja menguntit ku? beberapa pertanyaan muncul dalam batinku.
Amarahku harus bisa tertahan, belum saatnya Sisi tahu kebenarannya, aku harus segera membawa nya pergi dari tempat ini.
Aku melihat mas Arsya berjalan ke arah tempatku duduk, tangannya menyatu erat dengan seseorang di sebelahnya. Bahkan tanpa segan dia mencium punggung tangan itu, mereka terlihat seperti pasangan serasi lengkap dengan warna baju yang senada.
Dengan gerak cepat aku ambil tas dan air mineral di samping tempat duduk ku, hendak berjalan.
"Sial" ketus ku lirih, terlambat dengan jarak sedikit jauh dia sudah melihatku dan mata kami sudah bertemu pandang.Tidak mungkin lagi aku bisa menghindar, perlahan namun pasti mereka mendekati ku.
"Jesi di mana Sisi?" tanpa basa-basi mas Arsya langsung menanyakan keberadaan anaknya.
"Jesi apa kabar?" sapa Karla canggung seraya mengulurkan tangannya.
"seperti yang kau lihat, aku baik- baik saja, bahkan sangat baik" ku sambut uluran tangannya dan tersenyum kecut.
"Jesika di mana Sisi?" karena aku tak menjawab, mas Arsya bertanya lagi padaku. Dengan menyebut nama panjang ku, itu artinya dia sedang kesal padaku.
"Setelah mendapat seorang putra,sekarang kamu bahkan lupa akan hobi putrimu" bukannya menjawab, aku malah terang-terangan menyindirnya.
"Bukan begitu Jesi, tapi Sisi tidak ada di tempat biasanya bermain, makanya aku bertanya padamu!"
Aku melihat ke arah dimana tempat dia bermain dan benar saja, Sisi tidak ada di sana. pergi kemana anakku? pikirku sedikit panik, tempat yang begitu luas dan suasana yang ramai di akhir pekan membuat aku resah.
"Tenanglah, tidak usah takut kita cari sama-sama, dia pasti tidak jauh dari sini atau mungkin dia ke toilet" ujar Karla, melihat kepanikan di wajahku.
"Aku yang akan mencarinya sendiri"
"Tapi Jesi,aku khawatir biarkan kami ikut mencarinya"
"Sudahlah mas Arsya, aku mohon, belum saatnya Sisi tau tentang kalian sekarang, aku yakin Sisi tidak akan hilang," ucapku agar mereka tidak terlibat dalam pencarian Sisi, karena yang Sisi tahu mas Arsya pergi ke luar kota.
Aku pergi meninggalkan mereka, namun baru selangkah kakiku melewatinya, tangan hangat dan kekar itu menggenggam tanganku dan berhasil menghentikan langkahku.
"Jesi hati-hati" aku diam mendengar ucapan lembut mas Arsya,aku melepas tanpa menoleh.
Andai saja kamu seperti dulu mas, aku tidak akan melepaskan genggaman tanganmu dan hatiku akan berbunga mendengar tutur lembut mu. Terlintas masa lalu dalam benak ku.
Aku berjalan seraya mengedarkan pandanganku ke segala arah. Aku tersenyum dan mempercepat langkah untuk menghampiri gadis kecilku, yang sedang duduk di cafe yang ada di dalam tempat ini. Merasa lega, lelah dan tenggorokan kering, ku buka botol yang ada di tanganku. Belum sempat aku meminumnya, dari depan seseorang berjalan dengan cepat.
Bruk
Tanpa sengaja tubuh kami beradu dan aku menumpahkan air yang ku bawa ke jas branded nya.
"Maaf Tuan, aku tidak sengaja," gerak cepat membersihkan jas miliknya langsung dengan tanganku.
"Singkirkan tangan kotor mu itu!" ucapnya terdengar dingin dan ketus. Reflek aku melihat kedua telapak tanganku, tidak ada noda apapun yang terlihat.
"Wanita ceroboh," lanjutnya mengumpat ku terang-terangan seraya membuka jasnya. Di lemparkan jas miliknya ke arahku, dan berlalu pergi menuju lift yang hanya ada satu di tempat ini.
"Sombong sekali laki-laki itu, apa maksudnya melemparkan jasnya padaku? membuangnya atau aku di suruh mencucinya. gak jelas banget sih, memang dia terlihat tampan dan kaya tapi tidak seharusnya dia bersikap seperti itu juga" merasa bingung dengan tindakan yang kurang jelas.
kejadian yang tak terduga ini mengalihkan perhatian ku pada Sisi. Aku melihat ke arah di mana tadi Sisi berada, beruntung gadis kecilku masih duduk di sana, sepertinya sedang menunggu pesanan.
"Sisi sayang" aku memegang ke dua bahunya dari belakang, dia terkejut.
"Mama" Sisi menoleh, tersenyum ala iklan Pepsodent, menunjukkan gigi putihnya.
"Kenapa tidak bilang kalau sudah lelah?" tanyaku sembari ku tarik kursi duduk di sampingnya.
"Sorry Ma, aku haus dan pengen jus mangga, aku lihat tadi Mama cuma bawa air putih aja," jelasnya padaku.
"Tapi, harusnya Sisi bilang dulu ke Mama, bukan main ngeluyur sendiri begini, mama khawatir..., takut Sisi hilang atau kenapa-kenapa" naluri seorang Ibu, sedikit omelan pasti akan keluar dari mulut ketika anaknya membuat kesalahan.
"Iya Ma maaf" mengatupkan kedua tangannya, mencoba menghentikan Omelan ku, dengan memasang wajah imutnya.
"Mama itu jas Papa?" menunjuk barang yang ada di tanganku.
"Ini, bukan sayang" jawabku singkat.
"Lalu punya siapa?"
" Teman Mama, tadi nitip katanya, suruh taruh di tempat laundry," aku sengaja berbohong padanya, agar dia tidak terus bertanya.
"Oh..."
Tak lama kami berbincang, pesanan jus mangga datang, aku memesan pada pelayan kafe untuk makanan yang bukan Jung food. Aku memutuskan sekalian makan saja, mengingat Sisi tadi lama bermain pasti akan merasa lapar.
Melihat Sisi makan dengan lahap, aku merasa senang karena dia tidak protes dengan makanan yang aku pesan, itu tandanya dia benar lapar. Sebenarnya aku khawatir bila terlalu lama di sini, aku takut mas Arsya masih membuntuti dan nekat menemui ku.
Setelah semua pesanan habis di makan, aku mengajak sisi untuk pulang.
Sebelum pulang aku menyempatkan untuk naik ke lantai atas dan meninggalkan Sisi sebentar, untuk mencari tahu siapa laki-laki yang aku tabrak tadi. Dan akhirnya aku melihatnya ada di sebuah ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat. Terlihat dia sedang uring-uringan. Merasa frustasi dengan kejadian yang baru terjadi, dia sedang mengumpat ku.
"Dasar wanita ceroboh, berani-beraninya dia menyentuhku dan menumpahkan air ke jas ku" umpatnya kesal, wajahnya memerah dengan tangan yang mengepal.
"Aarrgh" mengeluarkan amarahnya
Brak
Meja bergetar karena pukulan yang keras. Seseorang yang ada di depannya tidak gentar, tetap tenang seolah-olah melihat kejadian yang sudah biasa terjadi.
"Maaf Tuan, tadi saya_" ucap pria yang berdiri tegap di depannya terjeda, melihat satu tangan terangkat.
"Ken, siapa wanita itu? apakah dia tidak pernah melihat acara tv sehingga tidak tahu siapa saya" duduk bersandar di kursi kejayaannya seraya berfikir, masih ada orang yang tidak mengenalinya.
"Mungkin wanita itu hanya melihat sinetron, Tuan" jawab Ken yang asal menebak, laki-laki yang tak kalah tampan dan tegas.
"Aku menginginkan jas ku kembali Ken! bagaimanapun caranya, kamu tahu jas itu sangat berharga bagiku" sorot mata tajamnya menampakkan kesedihan yang mendalam, suara yang tegas namun pelan mengisyaratkan isi hatinya.
"Baik, Tuan" Ken menundukkan kepala, lalu pergi meninggalkan sang Tuan sendiri. Laki-laki itu seperti sekertaris yang setia.
Kemudian saat laki-laki yang bernama Ken itu keluar, aku pergi sembunyi di balik dinding pemisah. Lalu aku pun mengikutinya sampai di sebuah ruangan kecil.
Tanpa berfikir panjang Ken tahu kemana tempat yang harus di tuju, sebuah ruangan yang terdapat beberapa monitor untuk melihat situasi tempat ini. Dia mengecek cctv untuk melihat kronologi kejadian sekaligus mencari tahu tentang diriku.
"Sudah tahu jas itu begitu penting, kenapa harus di lemparkan" Ken menggelengkan kepala, sedikit merutuki kebodohan Tuannya. Setelah melihat kejadian lewat cctv.
Tidak sulit bagi seorang Ken untuk menemukan keberadaan ku, apalagi dengan kartu member yang sering ku pakai, di sana menunjukkan nama dan alamat lengkap rumahku.
Setelah aku tahu apa yang di lakukan nya, aku buru-buru pergi agar tidak ketahuan. Aku melewati ruangan Tuan sombong tadi.
Tuan muda yang sempat tersulut api kemarahan karena ulahnya sendiri, kini mulai duduk tenang setelah mendapat semua info tentang diriku. Tangannya bergerak menarik laci meja pada barisan pertama dan mengambil selembar foto yang tersimpan di dalam buku. Wajahnya nampak terlihat sangat sedih sekali.
Astaga, aku sudah seperti penguntit saja.
Aku sadar dengan apa yang ku lakukan, aku pun pergi.
Nathan Darwin Erlangga, penerus sekaligus pemilik dari Cakradana group. Perusahaan terbesar di negara ini, yang bergerak dalam berbagai bidang.
Salah satunya adalah Big Jum Trampoline park, tempat yang sering aku kunjungi setiap akhir pekan.
Tuan Nathan orang sering menyebutnya, wajahnya selalu wara-wiri di stasiun tv, terutama di berita bisnis berkelas.
* * *
Aku dan Sisi telah sampai di halaman rumah, aku melihat mobil mas Arsya sudah terparkir di garasi.
"Tumben jam segini sudah di rumah, biasanya juga belum pulang" aku bergumam dalam hati sembari memarkirkan mobil.
"Mama itu mobil Papa, berarti Papa dah pulang dari luar kota, ye...ye..." Sisi menunjuk mobil mas Arsya, bersorak kegirangan seperti mendapat kejutan yang menyenangkan.
Setiap kali mas Arsya pergi menginap di rumah Karla, aku selalu bilang kalau mas Arsya pergi ke luar kota. Sisi berlari menuju pintu dan langsung mendorongnya.
"Papa, Papa" teriaknya seraya merentangkan tangan melihat mas Arsya mondar-mandir.
"Sayang, anak Papa yang cantik, gimana kabarnya?" Mas Arsya menggendong Sisi dan menciumnya, nampak kekhawatiran di wajahnya.
"I'm ok Papa, hari ini sangat seru Papa" jawab Sisi, lalu menceritakan apa saja yang di lakukan nya tadi.
Gadis kecilku memang selalu berceloteh dengan Papanya, apapun tidak dia lewatkan setiap hal yang di lihat dan lakukan, dia akan bercerita dengan semangat.
Sudut bibirku terangkat tersenyum, aku selalu merasa hangat ketika melihat mereka berdua seperti ini, seolah lupa akan status mas Arsya.
Namun sesaat,mataku terbelalak, detak jantungku berpacu dengan cepat, ingin rasanya aku menarik Sisi dari pelukan mas Arsya dan membawanya pergi jauh.
Aku melihat Karla berada dalam rumah sedang tersenyum memandangi kami, ini benar-benar kejutan untukku. Akhirnya yang aku takutkan terjadi, mas Arsya membawa Karla ke rumah tanpa bilang padaku lebih tepatnya tanpa seizin ku.
Aku mencoba menetralkan emosiku, aku tidak mau Sisi melihat perubahan wajah dan sikapku. Ku tarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan.
"Sisi..." sapa nya lembut sembari berjalan menghampiri.
"Tante Karla" Sisi turun dari gendongan lalu memeluk Karla, matanya berbinar menyatakan ada kerinduan di sana.
Mas Arsya tersenyum melihat keakraban mereka berdua, dan aku entahlah sikap apa yang harus ku tunjukkan. Sejak dulu Karla memang sudah menyayangi Sisi seperti anaknya sendiri.
"Tante lama tidak main ke rumah Sisi, Sisi kangen pengen kaya dulu lagi bisa bermain bersama, jalan-jalan bareng Papa, Mama" keluh Sisi.
"Iya Sisi, maaf ya Tante banyak kerjaan, sayang" memberikan alasan yang mudah di terima.
"Sisi sayang, sebentar lagi malam, cepat naiklah bersihkan dirimu dan istirahatlah, Mama akan siapkan makan malam, setelah selesai Mama akan memanggilmu" tutur ku lembut padanya.
"Yah... Mama, aku kan masih kangen sama Tante Karla" menekuk mukanya, merasa kecewa, rupanya dia mulai merajuk.
"Anak cantiknya Papa, Tante masih akan lama di sini, dia akan ikut makan malam bersama kita, jadi kamu masih bisa ngobrol nanti" mas Arsya berjongkok berusaha membujuk Sisi yang sedang merajuk.
"Benarkah Mama?" Sisi melihat ke arahku, supaya aku membenarkan perkataan mas Arsya.
Gubrak
"Apa? ah i_ya sayang" aku menampilkan senyum palsu.
Dasar suami g*la, umpat ku dalam hati.
"Baiklah, Sisi ke atas dulu" ucap Sisi lalu berjalan ke arah tangga, baru naik anak tangga yang pertama Karla memangil Sisi.
Dia ingat punya hadiah yang di beli tadi lalu menyerahkan paper bag ke tangan Sisi. Merasa penasaran Sisi langsung membukanya.
"Wah, boneka Barbie, thank you Tante" ucapnya dengan girang.
"You are welcome" Karla mengusap kepala Sisi dengan sayang.
Anak-anak memang mudah di bujuk rayu saat mereka merajuk, sedikit di beri hadiah atau di sanjung, hatinya akan mudah luluh. Terkadang aku berfikir menjadi anak kecil itu menyenangkan, mudah bagi mereka untuk melupakan kesalahan orang lain. Sekarang berantem eh besoknya sudah baikan kembali.
Aku menuju dapur memasang celemek siap untuk membuat sajian makan malam, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Meskipun ada asisten rumah tangga, dia hanya membantu sekedarnya.
Dengan gaya bak seorang model, Karla mendekatiku mencoba mencari celah dalam diam ku.
"Jesi aku akan membantumu" katanya ramah seraya menyunggingkan senyum manisnya yang telah membuat mas Arsya jatuh cinta.
"Tidak perlu, kau adalah tamuku sebaiknya kau duduk dan temani mas Arsya, lagian tangan halus dan jari lentik mu itu nanti malah terkena pisau tajam ku ini" jawabku sembari ku potong wortel yang akan ku jadikan sup.
"Duduklah dekat mas Arsya, mba Asih akan mengantarkan teh dan kopi untuk kalian" sambung ku.
Ucapan panjang ku yang menohok, membuat Karla tidak berani mengeluarkan suara lagi dan akhirnya dia menuruti perkataan ku untuk duduk dekat mas Arsya.
Aku lirik mereka sekilas, benar-benar tidak tahu malu senyam-senyum bercanda tawa seperti tak punya rasa bersalah. Mereka lupa akan permintaanku untuk tidak berkunjung ke rumah, sebelum aku bisa menjelaskan semua pada Sisi.
Ish...miris sekali nasibku sudah yatim piatu, di khianati pula oleh suami dan sahabatku. Tanganku bergerak lincah begitu juga dengan pikiran ku sudah berlarian kemana-mana.
Tak butuh waktu lama makanan telah tertata rapi di atas meja, mas Arsya dan Karla juga sudah duduk di sana. Mas Arsya duduk di ujung meja, aku dan Karla duduk di samping, kami saling berhadapan.
"Mba Asih, tolong panggilkan sisi" pintaku pada asisten rumah tangga.
"Baik Bu" jawab mba Asih, wanita paruh baya yang sudah bekerja denganku sejak aku mulai mengandung.
Tak berselang lama sisi turun bersama mba Asih, dia duduk manis dekat denganku. Sebelum mengambilkan Sisi biasanya aku melayani mas Arsya terlebih dahulu.
"Mas Arsya, kau mau yang mana?" tanyaku dan Karla bersamaan, memberikan pilihan ayam goreng atau ikan, setelah sebelumnya ku taruh nasi di piringnya.
Mas Arsya hanya tersenyum melihat kami, seperti raja di layani para istrinya yang setia, pikirnya mungkin begitu.
"Mama, Tante, kenapa kalian bisa kompak begitu? tidak adakah yang bisa memberiku duluan?" ucapan Sisi membuat aku dan Karla saling pandang, terdiam sesaat.
"Baiklah Sisi, karena Tante sudah lama tak memanjakan mu, Tante akan melayani tuan putri" ucap Karla sembari mengambilkan nasi, sayur dan ayam goreng ke dalam piring Sisi.
"Terimakasih tante"
Bukan cuma suara sendok dan piring yang beradu, tapi juga celotehan Sisi meramaikan suasana, mas Arsya dan Karla yang selalu sahut menyahut dengan Sisi. Aku hanya menjadi penonton dan pendengar setia, tak lupa senyum ku tampilkan agar benar terlihat seperti keluarga bahagia.
Huh sudah malas dengan keadaan ini, keluhku dalam hati.
Ting tong, Ting tong
Suara bel rumah terdengar, dengan sigap mba Asih melangkah untuk membuka pintu namun aku cegah, bukan maksudku untuk tidak ingin menerima tamu, tapi ini kesempatanku untuk beranjak dari lingkaran luas namun terasa sesak.
"Ibu" sapa ku, terperangah karena melihatnya menggendong seorang bayi, hingga aku lupa untuk mencium punggung tangannya.
"Jesi, tolonglah bawa ini, dia sedang tidur dan sedikit berat" ibu menyerahkan tas yang ukurannya sedikit besar, pasti isinya perlengkapan si bayi.
"Eh_ iya Bu, mari silahkan masuk" aku mengajaknya masuk dan mempersilahkan untuk duduk.
Aku meletakkan tas yang ku bawa di atas sofa, saat aku hendak memanggil mas Arsya dan Karla ternyata mereka sudah berjalan ke arah ruang tamu. Sepertinya mereka sudah tahu kalau ibu akan datang ke sini.
Bagaimana ini? apa yang akan di tanyakan Sisi nanti? haruskah Sisi tahu tentang mereka Sekarang? Rentetan pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Membuat aku pusing tapi aku harus tegar. Mungkin apa yang harus di tahan memang sudah tidak bisa di pertahankan.
"Nenek..." panggil sisi seraya berlari dari arah ruang makan hendak memeluknya, tapi tertahan karena dia melihat neneknya menggendong bayi.
Dia mengerutkan dahi, heran, siapa yang sedang dalam pelukan neneknya itu, tak mau di buat lama penasaran, langsung saja dia bertanya.
"Bayi siapa ini Nek?" Sisi mendekat seraya memegang kepala si bayi.
"Sisi sayang, ini_"
"Ibu!" dengan nada menekan aku memotong ucapan ibu yang akan menjelaskan bayi itu sebenarnya. Ku lihat ibu merasa kesal padaku.
"Ini anak Tante Karla, Sisi" ucap Karla lalu mengambil bayinya dari tangan ibu.
"Benarkah? kapan Tante menikah? kenapa tidak mengundangku dan mama juga Papa?" rentetan pertanyaan lolos tanpa jeda dari mulut Sisi.
"Lalu di mana papanya? kenapa tidak ikut?" lanjutnya to the poin.
Suasana menjadi sunyi, kami terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing, pertanyaannya sesuai dengan dugaan ku. Rasa penasaran akan memenuhi pikirannya.
"Sayang ini kan sudah malam, waktunya untuk tidur kembalilah ke kamarmu, tidak baik jika tidur larut malam" ujar ku agar Sisi cepat pergi meninggalkan kami, para orang dewasa dengan permasalahannya.
"Tapi Ma, Nenek kan baru datang" memberi alasan untuk tetap di tengah kami dan aku tahu Sisi menunggu jawaban dari banyak pertanyaannya.
"Benar Sisi, nenek masih kangen baru juga datang, masak mau di tinggal tidur, sini duduk dekat Nenek" ucapan Ibu Widya, mertuaku. Berhasil membuat Sisi bertahan, duduk dengan tenang dekat neneknya.
Aku melihat ke arah mas Arsya, supaya dia bisa membujuk Sisi dan ibunya, tapi dia hanya cuek seraya mengangkat bahunya.
"Sisi lihatlah anak Tante begitu gemuk, lucu dan menggemaskan. Apakah Sisi suka?" Karla mendekat memperlihatkan bayi imut itu.
Aku pikir Karla akan membantuku dengan kata-kata manisnya, tapi malah membuatku semakin gelisah.
"Tentu saja Tante" jawab Sisi sumringah
"Apakah Sisi senang kalau punya adik seperti Deri? anak Tante Karla" timpal Bu Widya, Sisi tampak berfikir.
"Apa mama hamil Nek?" bukanya menjawab malah memberikan pertanyaan yang membuat mas Arsya memandangiku dengan tajam. Entah apa yang dia pikirkan.
"Sisi andaikan adik Deri ini adalah_"
"Ibu, aku mohon hentikan!" suaraku meninggi, karena emosiku mulai terpancing
"Jesika, kamu berani membentak Ibu mertuamu, lancang sekali kamu" hardik ibu Widya yang terlihat begitu marah.
"Bukan maksudku begitu,Ibu" ucapku pelan, agar Ibu tenang kembali.
"Jesi, sudah saatnya Sisi tahu, dia sudah besar pasti bisa mengerti, mau sampai kapan kamu bungkam? kasihan Karla, kasihan suamimu yang harus terus berbohong. Jangan kau tutupi lagi kebenaran yang seharusnya dari dulu terungkap" ucap Bu Widya panjang lebar, dan membuatku terpojok.
"Benar Jesi, aku sudah lelah dengan kebohongan ini, mengertilah jangan kau terus egois" keluh mas Arsya, mengungkapkan apa yang di rasa selama ini.
Hah, seharusnya aku yang lelah bukan dengan situasi ini, aku yang sudah tersakiti di sini dan aku yang harus pura-pura bahagia demi anak kita agar tetap bahagia, agar hati dan pikirannya tidak terguncang, kenapa aku yang jadi seperti bersalah karena ulah kalian.
Aku hanya diam, menatap manik mata mas Arsya dengan nanar, namun pikiranku telah bermonolog tanpa ku perintah.
Sisi yang melihat, mendengar, dan menyimak perdebatan kami terlihat syok. Baru kali ini dia melihat secara live drama pertengkaran rumah tangga. Selama ini kami selalu terlihat harmonis di matanya.
"Aku ingin Sisi tahu dan menerima Deri sebagai_"
"Stop mas, biarkan aku yang menjelaskan semua pada sisi, aku tidak mau pikiran polosnya terganggu karena banyaknya cerita dari kita semua. Lihatlah dia sudah tegang dengan situasi ini" ujar ku melihat Sisi yang hanya diam dan tak menggerakkan tubuhnya, sorot matanya sudah jauh menerawang entah kemana. Pada akhirnya semua mata tertuju pada Sisi yang hanya mematung dengan tatapan kosong.
Suasana hening tercipta, hingga terdengar suara langkah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!