Musim gugur tahun ini di south Azenville , lebih cepat dari tahun lalu. Kaki ku menyibak dedaunan kering berwarna coklat pucat di sepanjang jalan Beeqo, kaum pedistrian paling suka jalan ini. Trotoar yang cukup luas, di hiasi pohon mahoni yang berjejer rapi.
Opacrapile, istilah penikmat senja akan semakin antusias di kala sore. Beeqo jalan yang ramai, caffe berbaris bertengger ramai di pinggiran garis sepanjang perjalanan.
Sedang aku, ahh... Aku bukan bagian dari pedistrian ataupun opacrapile. Lebih tepatnya, aku seorang yang hanya bisa berjalan kaki untuk menghemat uang-uangku yang sangat berharga. Karna jumlah mereka tak banyak di dalam dompet kulit pemberian Casey sahabatku. Tinggal beberapa puluh buzt saja, buzt nama mata uang Azenville. Kurasa kelak saat melahirkan anak aku akan menamainya buzt, agar anak ku tak kekurangan uang seperti ibunya.
Belakangan ini, keuangan ku sedang berantakan. Kedai ayam goreng Bibi Agatha sedang sepi pembeli, di tambah penyakit Paman Anthony yang tak kunjung sehat. Rasanya setiap detik bagi ku adalah uang, setiap koin berharga.
Jam 8 pagi aku sudah harus berada toko roti milik Uncle Ben. Jam 2 siang sampai dengan jam 7 malam aku menjaga toko sepatu milik Baba Ramzan. Sepulang dari toko sepatu Baba Ramzan aku sudah di tunggu Oma Caitlin untuk menyetrika di usaha Laundry miliknya sampai jam 9, seterusnya sampai jam 11 di Bar milik Casey aku cuma pelayan biasa.
Aku orang yang sibuk ya? Entahlah, sebenarnya di toko sepatu Baba Ramzan aku bisa sedikit tertidur karna toko sepatu Baba Ramzan hanya ramai di hari-hari tertentu saja.
Toko Roti uncle Ben lah yang paling menguras kosentrasi ku. Semua orang membeli sarapan di jam yang sama, roti buatan uncle Ben memang paling terbaik di South Azenville.
Terkadang saat menyetrika baju baju di Laundry milik oma Caitlin tangan ku sudah terlanjur membeku, terlebih sudah memasuki musim gugur udara malam membuat badan kurus ku terasa kaku.
Sangat sulit jika ingin berhenti di toko laundry milik oma Caitlin, dia akan membayar ku semakin mahal setiap aku meminta untuk resign. Aku semakin kesulitan untuk meninggalkan Oma yang masih cantik di usianya kepala 7 itu.
Sedang Bar Casey sahabat ku, entahlah. Bar ini terkenal dengan sajian yang kurang enak. Tempat yang sempit dan Casey adalah perempuan gila yang suka berteriak jika ia merasa terganggu. Sebenarnya aku tidak banyak membantu, lebih tepatnya aku hanya sasarannya untuk membual saja. Casey tak akan kekurangan uang, ayahnya Patrick Bosley pengusaha emas terkenal di Agithum, Daerah impian bagi siapapun. Rumah-rumahnya orang ternama dan orang-orang kaya di South Azenville.
"Emma! Cepat!"
Suara Uncle Ben sudah terdengar dari kejauhan, orang bahkan sudah mengantri panjang di depan tokonya. Ya Tuhan, bahkan ini belum jam 8 tepat harusnya aku masih punya 20 menit lagi untuk mengisi perut.
Ya, apalagi? aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk berlari menyusul ke asal suara itu. Bekerja dengan loyalitas adalah semboyan hidupku.
"Emma edelsteen, dimana rotiku?"
Aku menoleh, itu pasti Gavin. Benar saja, pria berpostur tinggi itu sedang mengamatiku.
"Hey jangan tidak sopan, Paman Ettan sudah antri duluan dan berbarislah di antrian." Teriak ku padanya.
"Aku hanya perlu Baguette 2 potong, ayolah!"
"Paman Ettan juga hanya minta croissant 3 buah, sabarlah dan diam di antrianmu!"
"Sudah-sudah, layani Gavin dulu aku akan mundur kebelakang." Ucap paman Ettan yang seperti biasa selalu mengalah.
"Tidak bisa paman! tidak untuk hari ini, 5 detik saja, biarkan anak manis ini melayani mu dengan baik, dan kau Gavin kalau kau berulah lagi dan membuat Paman Ettan di omeli Bibi Hilda karna terlambat aku tidak akan melayani mu lagi."
"Baiklah Emma, maafkan aku dan jangan banyak mengomel keriput di wajahmu bertambah lagi."
Rasanya ingin ku masukan Gavin kedalam got pembuangan toko Uncle Ben.
"Ini Croissant mu Paman Ettan, dan kau Gavin maju biarkan aku memasukan keranjang roti ini ke dalam mulut mu."
"Kau selalu cantik walau sambil mengomel nyonya Emma, terimakasih croissantnya."
"Sampaikan salamku pada Bibi Hilda paman!"
Lelaki berumur 60 tahunan itu mengangguk, memunggungiku dan melambaikan tangan. Indahnya saling mencintai sampai tua seperti Paman Ettan dan Bibi Hilda, aku ingin pasangan seperti Paman Ettan yang selalu romantis.
Setelahnya aku menjewer telinga Gavin dan memberi baguette yang bocah tengik itu minta.
"Kau selalu kasar Emma, siapa lelaki yang akan menerima mu apa adanya selain aku?"
"Kau tau Gavin, setelah mendengar rayuan mu tadi aku sudah memutuskan untuk menjadi prawan tua mulai saat ini."
"Kau bukan hanya kasar tapi juga kejam Emma!"
"Biar Uncle Ben yang akan menjelaskan pada mu, bagaimana Uncle?"
Aku menoleh ke Uncle Ben yang sedang menata roti-roti dari oven ke rak rak yang sudah ia siapkan.
"Gavin, bukannya aku tidak mau membela mu kali ini. Tapi kemarin Emma bilang ia tak mau menikahi daun muda. Sekuat apapun kau menunggu umur mu matang, Emma akan selalu 5 tahun di depan mu."
Puasnya aku mendengar ucapan Uncle Ben, rasanya ingin ku borong semua roti Uncle Ben tapi uang ku tidak cukup.
"Kau dengar itu Gavin, menyerahlah itu lebih baik. Sekarang biarkan orang yang mengantri di belakang mu maju kedepan okey?" Ucapku penuh kepuasan.
Gavin memasang mata sinis,
"Aku tak mau membeli roti mu lagi Uncle!" Kalimat legendnya keluar lagi kali ini
"Kau juga mengucapkannya kemarin, mengapa kau datang lagi?" Balas Uncle Ben.
"Baiklah aku kalah hari ini, besok aku pasti membawa Emma edelsteen bersamaku." Ucap bocah tengik itu sambil berlalu.
Gavin 5 tahun lebih muda dariku, tapi perawakannya yang tinggi membuatnya tampak seperti seumuran dengan ku. Wajahnya yang dewasa juga membuatku tertipu di awal, Gavin tampan pastinya. Ramah, usil, dan konyol. Saat toko ramai ia juga tak segan membantu, entah dalam candaannya atau serius saat menggodaku. Aku tetap tidak bisa menyukainya.
Gavin 5 tahun lebih muda dariku, tapi perawakannya yang tinggi membuatnya tampak seperti seumuran dengan ku. Wajahnya yang dewasa juga membuatku tertipu di awal, Gavin tampan pastinya. Ramah, usil, dan konyol. Saat toko ramai ia juga tak segan membantu, entah dalam candaannya atau serius saat menggodaku. Aku tetap tidak bisa menyukainya.
"Mengapa tidak kau coba mengenalnya lebih dekat lagi Emma, separuh umurku menetap di Azenville belum pernah melihat anak muda yang seperti Gavin. Bahkan karna sangat berbakti pada ibunya ia rela membeli roti di toko tua ini dari Toellapark ke Beeqostreet(perjalanan 30 menit) setiap pagi."
"Ayolah Uncle, aku kira kau selalu memihak ku. Aku tak pernah berfikir tentang menjalin hubungan saat ini, lagi pula kalaupun ada hubungan yang ingin ku jalin dengan Gavin pasti hubungan itu seperti antara kakak dan adik."
"Aku kira di jaman yang sudah modern ini, mempermasalahkan umur sudah bukan jamannya."
"Entahlah Uncle, apakah bocah itu hanya bercanda saja? aku tak punya bayangan apapun."
"Melihat usahanya setiap hari menggodamu, membuat jiwa mudaku terbakar lagi. Dulu sewaktu aku muda begitu gigih merayu mendiang Debora ku, rasanya sampai frustasi ingin mendapatkannya. Begitu dia ku miliki, aku merasa memenangkan dunia serta isinya. Debora ku pasti sangat merindukanku disana."
"Bibi Debora pasti ada disini bersama kita Uncle."
"Tentu, Emma."
Pandangan Uncle Ben selalu berbinar-binar saat membahas tentang mendiang istrinya, Bibi Debora. Foto cantiknya terpajang besar di toko roti Uncle Ben. Cinta seperti apa yang mereka miliki dulu, hingga bisa membuat seorang lelaki berusia paruh baya itu tak ingin menikah lagi. Bahkan setiap menyebut nama mendiang istrinya masih terasa jelas betapa cintanya begitu besar. Aku iri pada Bibi Debora.
Siang ini aku belum tau makan apa, yang jelas Uncle Ben selalu membawakan roti sisa jualannya kepadaku. Dia tau jadwal makan ku tak pernah menentu, setidaknya roti dari uncle Ben bisa mengganjal disaat perutku sudah meronta-ronta minta di isi. Mungkin aku tak sempat makan siang lagi, aku akan makan roti pemberian uncle Ben di toko sepatu Baba Ramzan nanti.
"Selamat siang Emma ku sayang."
"Selamat Siang Baba Ramzan."
"Seperti biasa kau selalu terlihat selalu kelelahan."
"Aku baik-baik saja Baba."
"Di meja kasir ada makan siang dari *Karem untuk mu, hari ini dia masak besar. Adik-adiknya akan datang nanti malam."
"Wah, Anne Gulya baik sekali Baba. Ia tau aku belum makan siang, sampaikan terimakasih ku untuk Anne."
"Baiklah Emma sayang, kurasa dia akan bahagia kalau menyaksikan langsung betapa kau sangat senang atas pemberiannya."
"Masakan Anne Gulya adalah masakan paling enak yang pernah ku makan Baba, pasti kau lebih tau mengapa aku sangat senang."
"Sayangnya ia tidak bisa masak seperti ini setiap hari, aku pun sangat senang melihat kau selalu lahap setiap menghabiskan masakan Gulya ku."
"Anne Gulya sangat sibuk Baba, menjadi kepala sekolah pasti sangat menguras waktunya."
"Seandainya ia lebih menurut dan tenang makan dari uang dari hasil penjualan toko ini, pasti perut kita bisa dimanjakan setiap hari Emma." Garis bibir Baba naik ke atas, senyumnya kian mengembang.
"Haha.. Pasti aku tidak akan pernah meninggalkan toko mu walau kau bayar murah Baba."
"Syukurlah kau sudah ku bayar dengan cukup Emma."
Aku dan Baba Ramzan pun tertawa bersama.
Kadang aku berfikir beginilah rasanya jika aku memiliki ayah, saat bergurau dengan Baba Ramzan. Mungkin inilah sosok seorang ayah yang aku impikan.
"Oh ya Emma sayang, jika kau tak keberatan senin depan temanilah Nuray wawancara kerja di Linford."
"Linford?? Nuray?"
"Linford perusahaan besar itu Baba?"
"Iya Emma, temanilah Nuray agar tidak terlalu gugup."
"Nuray sungguh beruntung Baba, ia punya peluang sebesar itu dan tidak boleh melewatkannya."
"Anne nya yang memasukan lamaran, Nuray kau kan tau Emma anak itu walaupun cerdas tidak bisa di prediksi apa maunya. Kemarin ia masih bersitegang tidak mau ikut test wawancara, ia gigih ingin berbisnis dengan caranya sendiri. Tapi tadi berubah pikiran dan bilang kalau kau mau menemaninya kesana maka ia mau mengikuti test itu."
"Ya, baiklah Baba."
Nuray yang ku kenal anak yang tak banyak bicara, kami juga tidak bisa di bilang dekat walau seumuran ataupun Baba dan Anne sangat baik padaku. Nuray anak bungsu Baba Ramzan setelah Aslan dan Deniz. Kedua kakak laki-lakinya sudah menikah dan tinggal di luar negri. Hanya tersisa Nuray yang akan mewarisi toko ini, mungkin.
"Bukankan kata mu kau sarjana ekonomi manajemen, Emma?"
"Iya Baba,"
"Sepertinya perusahaan itu sedang membuka lowongan kerja besar-besaran setelah membangun gedung yang baru di Agithum. Mengapa kau tidak mencobanya Emma?"
"Aku? Entahlah Baba, aku sudah lelah mencari kerja di perusahaan- perusahaan besar. Aku terlalu lelah selalu di tolak, dan sepertinya aku kurang cerdas, sekeras apapun aku mencoba sepertinya dunia kerja perkantoran tidak cocok untuk ku."
"Jangan cepat menyerah mengejar keberuntungan mu Emma, kalau ada kesempatan setidaknya kau harus mencoba dulu. Aku akan bicara pada istri ku, jika mereka masih menyisakan satu saja lowongan yang tepat untuk mu."
"Baba kalaupun aku di terima, lantas Baba akan kehilangan penjaga toko yang manis dan rajin seperti aku." Aku tak bisa menahan diri untuk membanggakan diri di depan Baba Ramzan.
"Baba tidak keberatan jika bakat mu di pakai untuk hal yang lebih besar dan kau layak mendapatkan yang lebih Emma."
"Baba mengapa kau sangat baik? Bahkan ikut memikirkan kehidupan ku."
"Aku tidak baik begitu saja sayang ku... karna aku begitu iri, andai Nurai ku bisa bersinar seperti dirimu."
"Nuray sudah bersinar Baba, mengapa kau berkata begitu?"
"Nuray itu selain keras kepala, ia juga kurang membuka diri. Kau taukan Nuray selalu cemberut dan tidak ramah, jauh sekali di bandingkan dirimu. Aku takut ia tak punya teman, saat hatinya bersedih anak itu tidak punya siapa-siapa untuk berbagi."
"Terkadang aku juga terpikir tentang Nuray, tapi karna aku tau dia punya orang tua seperti dirimu dan Anne Gulya. Aku kira Nuray jauh lebih beruntung dari pada aku Baba."
"Kami juga orang tua mu nak, tetaplah berfikir seperti itu."
Ahh... Dada ku sesak lagi, air mataku hampir jatuh dan cepat-cepat ku tepis dengan memeriksa sepatu-sepatu yang agak berdebu di rak atas.
Aku takut Baba Ramzan melihat mataku yang memerah. Aku sangat mudah tersentuh saat membahas hal yang seperti itu, memang keadaan ku tak seberuntung Nuray yang memiliki seorang Ayah yang hangat. Bahkan satu kota Azenville pun tau aku anak yatim piatu.
Aku takut Baba Ramzan melihat mataku yang memerah. Aku sangat mudah tersentuh saat membahas hal yang seperti itu, memang keadaan ku tak seberuntung Nuray yang memiliki seorang Ayah yang hangat. Bahkan satu kota Azenville pun tau aku anak yatim piatu.
Sedikit kisahku, aku seoarang anak yang di besarkan oleh adik ibuku. Bibi Agatha, aku sangat menghormatinya dan berterimaksih karna tak membiarkan anak korban kecelakaan yang kedua orang tuanya tewas ini masih bisa hidup dengan baik hingga saat ini.
Walau Bibi Agatha bukan terbilang seorang yang hangat seingat ku, tapi Bibi Agatha selalu memastikan aku hidup layak seperti anak lainnya. Aku di asuhnya ketika masih berumur 5 tahun, saat itu aku sudah mulai bisa memahami betapa menderitanya kehilangan orang tua, dan masih mengingat hal-hal yang menyakitkan itu hingga sampai saat ini.
Ingatan saat terjadi kecelakaanpun masih teringat jelas, itu mengapa hingga saat ini aku mengurangi intensitasku naik angkutan umum. Selain menghemat uang tentunya, aku masih tak bisa mengontrol tubuhku sendiri untuk tidak panik saat mobil roda empat jenis apapun sedang berjalan.
Tubuhku akan bergetar dengan sendirinya, saat orang-orang memilih duduk di dekat jendela mobil maka aku akan memilih berdiri sebisaku, mencengkram dengan erat apapun yang bisa mengamankan tubuhku agat tidak terlalu sering terguncang karna rem mendadak atau hal lain.
Masa lalu yang menyakitkan, tidak akan bisa terhapus dari ingatan. Di usiaku 17 tahun, kami di uji lagi oleh pernyataan dokter yang mengatakan Paman Anthony suami dari Bibi Agatha mengidap cancer pangkreas, walau syukurnya kami cepat tahu cancer itu masih stadium awal. Tetap saja, pengobatan yang menguras uang tidak sedikit membuat toko grosir Paman Anthony berujung tutup, bangkrut.
Bibi Agatha akhirnya menopang ekonomi dengan membuat kedai ayam goreng yang lumayan ramai. Sementara Paman Anthony melakukan perawatan, Bibi bekerja dengan gigih. Ia tetap menyekolahkan ku hingga perguruan tinggi dan tetap berupaya mengobati penyakit suaminya.
Mungkin itulah mengapa walau aku mempunyai ibu sambung, aku tak pernah merasakan hangatnya perhatian. Bibi yang bahkan tak punya waktu untuk membuatkan sarapanku, aku tumbuh dengan mandiri.
Yang membuatku sangat kecewa pada diriku sendiri, di umurku yang sudah menginjak 26 tahun aku bahkan tidak menjadi apa-apa. Aku merasa gagal membalas jasa Bibi Agatha, tapi aku tetap berupaya setidaknya tidak menggantungkan diri lagi pada Bibi Agatha. Setidaknya, mebayar bulanan listrik, air, dan gas ku keluarkan dari kantongku sendiri. Dulu Bibi akan marah karna Bibi tak ingin memberatkan aku, tapi belakangan ini Kedai Bibi sedang sepi.
Biaya perobatan Paman Anthony pun kian mahal, karna cancernya semakin memburuk. Aku tak bisa berbuat banyak hanya pekerjaan-pekerjaan paruh waktu ini lah yang bisa ku lakukan. Setidaknya cukup untuk kebutuhan sendiri dan sisanya bisa membantu kebutuhan rumah.
Ahh syukurlah, Oma Caitlin mengabari kalau hari ini laundry tidak begitu ramai dan aku tidak perlu kesana. Tapi ini masih jam 7 lewat dan aku tak tau harus kemana.
Aku tak mau pulang karna tak ada siapapun dirumah, tidak! Aku juga terlalu lelah untuk mengunjungi Paman Anthony. Pasti Bibi Agatha sudah di sana. Sudah 2 tahun Paman Anthony di rawat di panti rawat khusus penyadang Cancer.
Baiklah, sedikit jalan jalan mungkin akan menyenangkan.
Cuaca semakin dingin, tapi aku tak ingin pulang. Belum ingin bertemu Casey, ingin sesekali melakukan hal yang tidak pernah ku lakukan.
Ku rogoh saku ku yang diisi Baba Ramzan tadi, hari ini toko laku keras. Kulihat Lipatan uang kertasnya agak tebal, nafas ku sedikit lepas mungkin kali cukup untuk menikmati kopi di Caffe paling terkenal di Beeqostreet.
Ayolah Emma, sekali saja tidak apa-apa. Senangkan dan puaskan rasa penasaran mu pada Caffe ini. Ahh aku jadi meracau hanya karna hal begini, hanya karna ingin merasakan seperti apa suasana Caffe yang baru 4 bulan berdiri itu dan selalu ramai pengunjung.
Baiklah ku kita lihat seperti apa Caffe itu.
Tuhan, aku tak pernah melihat interior yang seindah ini. Pantaslah Caffe ini ramai pengunjung, aku duduk di kursi paling pojok menghadap ke mini bar. Seorang waiters datang aku pesan secangkir coffeelatte dan kudapan manis.
Ya benar, sesekali begini. Biarlah dunia mu sangat pahit setidaknya kau harus coba sedikit dessert agar semua jadi seimbang.
"Aku butuh sekretaris pribadi."
"Tapi kau baru memecatnya tadi pagi."
"Ya, makanya aku butuh saat ini. Ada rapat besar yang tak bisa ku tangani besok sendiri."
"Bastian, kau sudah memecat 10 sekretaris mu dalam bulan ini."
"Mereka semua tidak kompeten!"
"Semua gadis itu strata 2, bahkan salah satunya lulusan luar negri. Bukan tidak kompeten, kau yang sangat keterlaluan. Mereka sekretaris bukan barang yang bisa kau atur semaumu."
"Bukankah memang itu fungsi sekretaris?"
"Iya secara profesional kalau mereka salah dalam menuliskan jadwal kegiatan mu atau menghilangkan map penting, kau tidak ingat bagaimana mereka kau maki-maki hanya karna hal sepele."
"Apakah aku begitu Harold? kapan?"
"Sumpah, rasanya aku ingin menendang kakimu."
Aku tak bisa menahan geli, kedua lelaki yang baru saja datang dan duduk di minibar tepat di depanku. Mereka tak jauh beda seperti aku dan Casey. Berdebat tak mau kalah, pasti mereka sahabat dekat. Aku tak berniat menguping tapi suara mereka lumayan keras.
"Semua orang membenci mu Bastian, kalau bukan karna kau terlalu kompeten dan hebat. Pasti semua orang di kantor sudah habis memukuli mu."
"Apakah aku seburuk itu?"
"Kesabaran orang ada batasnya, termasuk kesabaran ku."
"Harold, kau memang selalu yang terbaik."
"Itu karna aku masih butuh uang mu."
"Kau tak akan pernah kehabisan Harold, ambilah semaumu."
"Ingin rasanya ku pataskan lehermu agar kau tau rasanya sedikit merendah Bastian."
Pffffftttt. Aku tak bisa menahan tawa ku lagi, aku kelepasan.
Astaga, kedua lelaki itu kini melirik kebelakang. Sial, mereka memergoki ku menguping.
"Ada yang menguping pembicaraan kita ternyata disini."
Yang bernama Harold itu memiliki mata yang tajam, dan kini sudah membalikan badan kearahku. Tuhan, ia juga berjalan kesini.
"Nyonya sepertinya anda sendirian disini, pasti sangat nyaman untuk menguping pembicaraan orang lain."
"Tidak, saya tidak bermaksud begitu. Hanya saja suara kalian memang agak keras."
Ya, Tuhaan. Ini salahku, mengapa aku mencari gara-gara.
"Apa kau mata-mata?"
"Hah? Apa maksud mu tuan, saya lebih dahulu duduk disini sebelum tuan-tuan ini datang."
"Bisa saja kan kau sudah mengikuti kami?"
"Apa maksud mu Tuan?"
"Sudah Harold, mengapa kau menggoda gadis kecil seperti itu."
"Entahlah Bastian, Grup Leoline belakangan ini sering mencuri informasi tentang rencana kita. Aku takut gadis ini salah satu suruhan yang mengintai kita. Belakangan ini aku selalu seperti di ikuti."
Pria satunya yang tadinya tampak acuh pun ikut berdiri. Sepertinya Pria itu terpancing omongan pria gila ini.
"Tuan, anda berfikir terlalu picik!"
"Picik?"
Kini Pria berpostur tinggi dan berkharisma itu sudah berdiri di hadapan ku.
"Harold adalah rekan sekaligus sahabatku yang paling jujur, dan penuh pertimbangan dalam berfikir."
"Maksud anda membenarkan ucapan rekan anda itu?"
Padahal aku memesan Kopi, tapi rasanya adrenalin ku naik seperti habis menyeruput alkohol.
"Hah!!! Kalian orang kaya mengapa selalu bertindak dan bicara semaunya. Kalau kalian pikir begitu, maka harus begitu? Ternyata uang banyak juga tak menjamin kalian cerdas!"
Kalau setelah ini aku akan mati, maka mati saja. Hidupku sudah berat malah harus di fitnah begini, rasanya ingin ku acak-acak wajah kedua pria gila ini.
"Kau? Apa kata mu?"
"Kalian dua orang bodoh!"
"Apa?"
"Dua orang bodoh yang memfitnah orang sembarang! Aku salah kalau tak sengaja menguping, tapi aku di katai pengintai? Ah maaf pekerjaan ku terlalu banyak untuk mengintai dua pria aneh seperti kalian."
"Aku? Aneh?"
Wajah sombongnya terasa mengelitik di ulu hatiku.
"Lain kali kalau bicara pakai otak dulu!" Bentak ku.
Aku meninggalkan 20 buzt seharga minuman dan desert yang kupesan di atas meja, bahkan aku belum menghabiskan Coffeelatte yang sangat enak itu.
Mood sudah hancur, aku putuskan pulang setelah mengirimi pesan pada Casey tak bisa ke Barnya malam ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!