NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Kalisha

1. Aku Kalisha Azkia Putri.

Sebelum lanjut novel ini, mohon dukungannya ya. Like selalu, favoritkan. Beri gift atau vote dan bintang lima juga...

Selamat membaca dan semoga suka.🌷

*/

*/

*/

Hai...Aku adalah Kalisha Azkia Putri dan keluargaku memanggilku dengan sebutan Icha. Aku bungsu dari dua bersaudara. Kakakku bernama Elin. Saat ini Elin sedang kuliah di sebuah universitas negeri sedangkan aku adalah pelajar SMA.

Sebagai pelajar sudah tentu waktuku sehari-hari habis buat menuntut ilmu di sekolah. Selebihnya aku mengisi hari-hariku dengan hobi melukis yang ku miliki sejak masih TK. Oh ya aku juga mengikuti kegiatan ekskul dua kali seminggu. Membosankan bukan? Ya tapi inilah duniaku. Aku tidak seperti teman-temanku yang lain yang selalu berkumpul bercanda bersama. Aku lebih asyik dengan duniaku sendiri dengan penampilanku seperti ini. Aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk berkumpul dengan teman-teman yang lain. Aku tidak punya kelompok atau geng tapi aku mempunyai teman akrab yang bernama Nai. Jika teman-temanku memasang poto, tersenyum dan tawa bahagia di akun media sosial, aku hanya menampilkan gambar-gambar lukisan yang ku buat sendiri di salah satu media sosial. Akun satu-satunya yang kupunya.

Nyaliku tak ada untuk menampilkan foto diriku dengan penampilan yang seperti ini. Wajah pas-pasan tidak putih dan jauh dari kinclong. Model pakaianku out of mode atau ketinggalan jaman. Blus yang kupakai berpotongan sederhana dan rok di bawah dengkul adalah gaya pakaianku. Selalu itu walaupun warna dan coraknya berbeda.

Papa lebih senang anak gadisnya memakai rok, bukan celana panjang. Aku dan Elin menjadi terbiasa mengikuti kemauan papa tetapi karena Elin sudah pintar cari sampingan penghasilan sambil kuliah maka Elin bisa membeli celana jeans sendiri dan itu tidak dilarang papa. Papa hanya mau kami berhemat, menabung untuk keperluan kuliah kami. Papa hanya karyawan biasa, gajinya tidaklah besar tapi bisa untuk menyekolahkanku dan Elin. Mama pernah bercerita bahwa kami mempunyai nenek atau ibunya papa sedangkan kakek sudah meninggal. Tinggalnya tidak satu kota dengan kami.

Ditambah bentuk tubuhku yang rata dari bahu hingga ke pinggul tanpa lekukan seksi karena gemuk, lengkap sudah kekuranganku. Aku juga harus cukup puas dengan kemampuan yang ada. Tidak berani meminta banyak uang kepada papa dan mama karena papa sudah memberikan wejangan bahwa kami-aku dan kakak-harus hidup sederhana dan menabung untuk kuliah.

Rambutku panjang sepinggang dan tidak pernah kugerai karena panjangnya. Ribet sekali ke sekolah dengan rambut tergerai panjang dan berjalan kaki, karena itu rambutku lebih suka ku kepang atau ku ikat satu ke belakang. Ya aku berangkat ke sekolah jalan kaki sebab rumahku dan sekolah cuma berjarak lima ratus meter. Tidak ada motor. Motor dipakai papa dan Elin.

Kata sebagian kecil teman, badanku gendut, tidak berbentuk padahal menurutku sih nggak gemuk sekali. Mereka sering mengejekku. Cewek kuno, manusia langka, buntelan, atau ekor pari karena rambutku berbentuk ulir kepangan. Itulah panggilan mereka untukku. Suka-suka mereka saja dan kalau aku marah mereka semakin senang. Lama kelamaan aku memilih diam. Aku tak mau menggubris ulah mereka. Walaupun aku kesal dengan mereka, aku datang ke sekolah setiap hari. Rasa malas untuk berangkat sekolah selalu muncul tiap pagi tapi sekolahku harus tetap lanjut. Mama bilang jangan dipikirkan apa kata teman atau orang. Sekolah saja. Enak sekali ya mama bilang begitu. Aku yang menghadapi ulah mereka.

Uuuhh mengapa sih mereka senang mengejekku? Memangnya aku badut berpenampilan lucu? Kasihan sekali diriku ini, jelek dan jauh dari sempurna. Setiap hari diledek sama Arin Squad, kelompok cewek yang ngakunya paling keren. Penampilanku tidak sekeren mereka. Aku punya banyak kekurangan dibandingkan teman-temanku. Kekurangan itu jadi bahan ejekan mereka. Menyakitkan dan memojokkanku. Kepercayaan diriku menguap. Tiada yang bisa dibanggakan dari diriku. Aku hanya bahan tertawaan teman-teman saja. Tetapi apakah memang mereka yang paling sempurna ? Ah entahlah. Walaupun begitu aku harus tetap datang ke sekolah. Hakku dan mereka sama, menuntut ilmu di sana. Aku tak mau mengalah dengan mereka. Yang pasti aku harus tetap sekolah.Sekolah ini menjadi pilihanku sejak masih di SMP. Aku tak mau pindah sekolah hanya karena Arin Squad mengejekku. Aku akan tetap datang menuntut ilmu.

Mungkin agak terhibur kalau aku juara bidang studi tapi itu tak pernah terjadi, IQ yang kumiliki biasa saja berada di antara ratusan anak pintar di sekolah. Ya sekolahku adalah sekolah favorit di kota kami. Beruntung sekali bisa masuk di sini dengan tes kemampuan akademik. Bukan populer karena pintar tapi karena penampilanku ketinggalan zaman. Menyedihkan.

Kata kakakku aku adalah anak kolokan dan manja yang tidak bisa apa-apa tetapi tentu saja aku tak setuju pendapatnya. Aku juga punya kelebihan. Namun tak jarang Elin bilang setiap orang punya kelebihan termasuk diriku. Kata Elin coret-coretanku di atas kertas selalu bagus termasuk lukisanku. Itu kelebihanku menurut Elin. Aku memang memiliki bakat melukis sejak Taman Kanak-Kanak. Haha Elin pasti hanya menghiburku.

Guncangan kecil di kedua kaki membuat mimpiku hilang. Perbuatan Elin kakakku setiap hari. Dia paling rajin melakukan itu. Elin membangunkanku setiap pagi Kalau tidak ada Elin mungkin aku sering terlambat ke sekolah. Padahal bangun pagi sudah jadi keharusan kami. Mama selalu mengingatkan jam lima subuh harus bangun, membersihkan dan merapikan tempat tidur, bersiap sekolah dan jangan lupa sarapan tapi aku selalu terlena. Lima belas menit dari bangun aku baru benar-benar mandi.

"Apa sih kak, baru jam berapa ini?"

"Sudah jam setengah enam, kamu tuh belum salat, belum mandi. Hari ini sekolah Icha." Elin menyingkap tirai jendela. Sudah agak terang di luar.

"Iya aku tahu sekolah. Bentar lagi aku bangun." Ke sekolah lagi, jumpa Arin dan kawan-kawan. Arin Squad, Arin sok-sokan. Malas sekali.

"Kamu malah tidur lagi deh.Icha bangun."

"Iya kak, aku bangun. Berisik."

"Bangun cepat. Sudah dimasakin air panas tuh sama mama." Elin masih saja dengan aksinya. Kali ini pundakku yang diguncang. Suara Elin cempreng.

"Kak, lima menit lagi kenapa sih? Rusuh amat!" Aku mendelik.

"Lima menit...lima belas menit! Terus nanti kamu nggak sempat sarapan, upacara tahu-tahu pingsan. Weleeh." Nah Elin takkan menyerah sampai aku benar-benar jalan ke keluar kamar dan mandi.

"Kak memangnya nggak kuliah ya? Nih aku bangun nih."

"Kuliah tapi nanti, jam sepuluh."

"Antarkan aku ke sekolah ya kak," pintaku.

"Apa? Sekolahmu dekat situ saja Ica. Kenapa harus diantar? Sudah mandi yang bersih dan wangi sana."

"Oke kakakku sayang. Aku mandi ya.

Sarapanku?"

"Ambil sendiri. Memangnya bayi semua disediakan. Mandi saja pakai air hangat."

"Brrrrr...dingin kakak. Ahahaha."

"Dasar manja!"

Pertama aku menyiram kakiku dengan air. Kuambil sikat gigi beserta odol lalu menyikat gigi. Air hangat ku siramkan ke kaki terlebih dahulu sebelum ke seluruh bagian tubuh. Aku mencuci muka. Hangat. Segar sekali.

Cukup lima menit bersihkan tubuh dengan air, lima menit memakai baju lalu sepuluh menit sarapan pagi. Mudah bukan? Elin seharusnya tidak perlu khawatir aku tidak selesai dengan mengurus tubuhku di waktu pagi. Jelek jelek begini aku selalu bisa menyelesaikan tugas dan kewajibanku.

"Wah ini pasti sarapanku.Waoow sedap sekali. Nasi bakar buatan mama pasti menggugah selera. Harumnya membuat penghuni perutku bernyanyi minta diberi jatah pagi hari."

"Hei...hei Icha...ini punyaku. Itu sarapan mu." Cepat sekali Elin mengambil sepiring nasi yang kupegang.

"Pelit amat sih kak! Kan sama aja isinya," protesku. Mama bikinnya dibedain lagi.

"Ya bedalah. Aku punya pakai daging, kamu punya campur ayam," kata Elin.

"Kok beda sih...? Mama! Nasi kak Elin ada dagingnya dan aku punya pakai ayam. Mama...!"

"Gitu aja mewek, jangan nangis tambah jelek. Jadi di sekolah kamu juga gitu? Diejek lalu mewek." Elin ngomong seperti bebek, nggak mau berhenti.

"Enggak dong, kan aku adikmu yang kuat. Ah udah ah keburu telat nih." Aku tak memperhatikan Elin lagi. Konsentrasi pada sarapan.

"Ya sudah makan sana."

"Ada apa sih ribut-ribut. Kenapa Icha sayang?" Mama datang mendekati kami.

"Ma nasi bakar kak Elin enak, ada dagingnya. Icha punya cuma ayam."

"Sayang...kakakmu meracik sendiri. Dicampur dagingnya dan bakar sendiri. Kak Elin bikin sendiri, makannya juga sendiri."

"Harusnya makan bagi-bagi dong. Uuuhm kenyang. Ma...Icha pergi ya. Dadaaa..." Aku pamit ke sekolah setelah minum susu. Cium tangan mama dan keluar.

"Ya pergilah. Hati-hati ya." Usapan lembut tangan mama mampir di kepalaku.

"Iya mama sayang. Dekat aja kok, anakmu ini nggak bakalan kenapa-kenapa."

"Huuuuss nggak boleh ngomong begitu. Kita tak tahu dimana dan kapan musibah terjadi. Sedang jalan tiba-tiba tersandung dan berdarah, musibah juga kan?"

"Oke..oke mama! Daaa kak!"

"Daadaaa....barengan babang tampan ya Chaa! Hahaa"

"Enggak. Gempar sedunia entar." Aku melenggang keluar meninggalkan mama dan Elin.

"Huaahaahaaa." Tawa Elin.

Si tampan itu namanya Elang . Mana mungkin aku berjalan bersisian dengan Elang. Pastinya aku minder dan Elang belum tentu juga mau pergi sekolah denganku. Aku cuma siswa biasa yang punya kekurangan. Dilirik saja enggak sama Elang. Elang tumpangannya motor tiap ke sekolah walaupun cuma motor lama yang dimodifikasi. Ya buat apa jalan kaki. Bikin cape saja.

Elang itu cowok yang ngekos di depan rumahku tapi tidak persis di depan rumah melainkan agak ke kanan. Elang memang terkenal karena tampan dan pintar di sekolah. Meskipun anak kos tapi nama Elang hampir mengalahkan ketenaran nama Lion yang katanya sudah keren dari lahir.

Biarkanlah Elang dengan ketampanan dan kepintarannya dan biarkan para cewek-cewek cakep di sekolah berlomba-lomba mencari perhatian elang. Aku toh tidak punya kemampuan untuk menarik elang. Sudah nggak cantik, penampilanku tidak menarik dan mungkin status ekonomi keluargaku tidak selevel dengan keluarga Elang. Huuuh kok aku jadi memikirkan Elang. Kejauhan mikir ah. Dia saja nggak mikirin aku. Icha..Icha sekolah yang benar biar jadi sukses seperti keinginan papa.

"Icha...!! Aku duluan ya. Ketemu di kelas."

"Nai...ya!!!"

Nai menyapaku. Dia diantar papanya ke sekolah. Aku baru tiba di simpang depan gerbang sekolah kami. Aku terus berjalan. Satu persatu teman-temanku berdatangan. Ada yang diantar, ada yang naik motor ataupun berjalan kaki seperti diriku. Hari ini kami tidak memakai seragam putih abu-abu melainkan memakai baju batik.

"Nai kamu belum masuk kelas?" Tanyaku.

"Belum Icha. Aku menunggumu. Yuuuk."

"Pagi ekor kuda." Arin menyapa kami.

"Ekor parinya mana?" Tanya Idel teman Arin.

"Kok kalau jalan kayak bebek sih. Kondisikan bokong kamu. Makanya jangan gendut jadi cewek," kata Iyun.

"Bokongku ini kenapa kamu yang repot? Suka-suka rambutku mau kayak apa. Urus saja diri kalian." Aku memandang tajam.

"Heh kalian kalau ketemu bak dikit ya omongannya." Nai bicara.

"Siapa suruh rambutnya seperti ekor kuda. Icha aja nggak sewot kok kamu marah. Lebay."

"Kamu tuh yang lebay. Nama orang bagus-bagus dipanggil ekor kuda. Kamu tahu nggak ngasih namanya aja dikasih orangtuanya pakai selamatan, potong kambing buat undang orang baca doa."

"Nai...sudah ah. Yuk kita masuk."

"Kamu tuh dipanggil begitu nggak mau ngelarang. Panggilan itu seperti candaan tapi ini sudah sering kali dilakukan, hampir setiap ketemu dia memanggil dengan cara seperti itu." Cewek itu adalah Idel, anggota Arin Squad. Geng cewek paling top di sekolah.

"Ngapain diurus, biarkan saja Nay...mulut mereka sendiri."

"Kamu ini masih tenang-tenang saja Cha."

"Memangnya aku harus ngapain Nai sayang? Balas mencak-mencak, omelin dia gitu? Buang-buang waktu aja Nai."

"Gregetan lihat mereka."

Sreeett

Nai menarik kursinya dan aku pun melakukan hal yang sama. Lima menit lagi pelajaran dimulai. Sebuah kursi terisi penuh oleh siswa, tidak ada yang sakit hari ini. Semua hadir dan Pak Eduardo guru bahasa Inggris masuk ke kelas kami. Pelajaran dimulai.

"Cha..kuperhatikan pak Eduardo keseringan menatapmu." Nai mendekatkan kepala kepadaku.

"Ah Nai, kamu mengarang cerita."

"Benar Icha, nggak percaya sih Cha." Suara Nai sedikit berbisik.

"Huuu. Wajar saja guru memperhatikan muridnya."

"Ini lain Cha."

"Abaikan saja Nai. Jangan ngawur. Kerjakan tugas."

"Kenyataan loh Cha.. Pak Ardo memandangmu penuh makna...hihihi." Nai berbisik padaku.

Bisa-bisanya Nai berpendapat begitu. Namanya guru, mengawasi setiap muridnya bukanlah hal yang aneh.

"Aku selesai. Aku keluar dulu ya. Daaa..." Nai menatapku melongo. Siswa yang selesai mengerjakan tugas dibolehkan istirahat di luar. Aku meninggalkan Nai.

"Aku tiga soal lagi. Oke... tunggu di luar ya, jangan jauh-jauh," kata Nai.

"Nggak...di bawah pohon aja."

Nai mengerti maksudku. Aku menunggu di bawah pohon depan pintu kelas.

Nai selalu memintaku untuk menunggunya tidak jauh dari kelas supaya aku tidak menjadi sasaran empuk geng Arin Squad. Geng cewek keren yang tidak pernah ramah padaku. Geng yang suka menertawakanku. Tak apa itu hak mereka dan hakku juga dong mendapatkan ilmu di sekolah. Oleh karena itu aku masih tetap datang menuntut ilmu.

Nai saja terlalu perhatian. Ia selalu tak tega melihatku diolok-olok teman-teman. Tidak semua teman tetapi kadang aku merasa tersudutkan juga.

"Sabar ya Cha...jangan dipikirkan kata-kata mereka. Mereka juga punya kekurangan kok. Hanya saja kekurangan mereka tidak nampak," kata Nai suatu waktu.

"Aah Nai...aku tidak apa-apa. Nih lihat aku baik-baik aja kan? Aku tidak ambil pusing ucapan mereka."

Aku bohong. Tiba di rumah, olok-olokan dari teman-teman sering muncul begitu saja di pikiranku. Membuatku termenung dan bertanya kenapa? Dasar kuno, ketinggalan jaman, gendut, bla...bla...blaa.

...🌷Mohon dukungannya. Terima kasih.🌷...

2. Teman-temanku.

Nai datang mengejutkanku. Tepukan tangannya di bahu berhasil menyadarkanku dari lamunan. Tawa renyah Nai berderai melihatku kaget.

"Nai bikin kaget aja. Mau copot jantungku. Kalau aku mati gimana, ada nama lain loh yang menangis."

"Kamunya sih pakai termenung. Heleh, heeleeh... siapa yang nangisi kamu?"Palingan cuma keluargamu. Ada nama lain?"

"Ada. Kamu pasti tangisi aku, Boni akan mencariku dan menangis karena kehilanganku. Nggak ada yang ambilkan dia makan lagi." Boni adalah kucing kesayanganku.

"Aku kira seseorang spesial yang menangisimu. Eh Cha ke kantin yuk, nanti aku traktir."

"Aku malas mau ke kantin. Kamu tahu sendiri kan. Ogah dengar ocehan mereka." Aku jarang ke kantin karena biasanya bertemu dengan Arin Squad di sana dan aku akan menjadi boneka yang sedang mereka mainkan di depan teman-teman. Tidak enak jadi pusat perhatian tapi dari segi kekurangan diri. Arin Squad. Arin Squad. Mereka terlalu sempurna hingga bisa sombong begitu. Aku nggak ada apa-apa dibanding mereka.

"Keseringan bertemu mereka di sana, aku jadi malas jajan di kantin. Kamu kan tahu sendiri Nai."

"Iya...iya tapi kalau ada aku jangan takut. Aku akan membelamu dan mulai sekarang kamu jangan diam saja jika mereka mengejekmu. Kamu balas Icha." Membalas saja tidak akan cukup. Keesokan hari mereka akan melakukan hal yang sama. Percuma bukan?

Meskipun begitu aku menjawab, "Baik ndoro (sebutan untuk majikan). Belikan dulu yang segar-segar. Kamu beli aja deh, bawa ke sini ya."

"Kumat manjanya. Baiklah tuan Puteri, hamba belikan. Tuan Putri berkenan apa?" Nai bersandiwara. Aku terkekeh melihat aksi Nai.

"Hahahaha...Nai, Nai. Aku memerlukan es buah. Aku tunggu di sini Nai. Nai keburu habis ntar. Cepetan."

"Icha sabar. Aku bawakan satu gentong es buah biar kamu puas."

"Ya sudah cepetan."

Nai berjalan menjauh ke depan. Aku duduk di samping dua orang teman.

"Icha kamu bisa jawab semua soal-soal tadi?" Ria bertanya padaku. Teman yang sekarang duduk tepat disebelahku.

"Bisa Ri makanya aku tadi cepat keluar," jawabku.

"Aku kurang menjawab dua soal lagi dan waktunya keburu habis."

Mataku tertuju pada Nai di depan sana sedang berbicara dengan seorang siswa laki-laki. Aku kenal siapa dia. Dia adalah anak kos depan rumah kami. Elang yang suka beli makanan di warung mama tapi walaupun sering beli makanan aku dan Elang jarang bertemu dan bertegur sapa karena aku tidak sering membantu mama. Aku lebih senang mengisi waktu dengan melukis atau membuat sketsa. Kira-kira apa ya yang dibicarakan Nai dengan Elang. Nai mengangguk dan tersenyum kemudian pergi. Nai lanjut ke kantin.

Elang berjalan berlawanan arah dengan Nai. Elang melangkah ke arah kami yang sedang duduk tapi pasti ia tak bermaksud mendekati kami. Mataku tak lepas dari Elang. Tuhan sungguh sempurna makhluk ciptaanmu ini. Masih remaja tapi ganteng habis. Cuek dan istilah kami itu cool sekali. Elang tak merasa risih banyak mata yang mengaguminya. Terus saja melangkah ke arah di mana aku dan temanku duduk. Sesekali senyum Elang merekah membalas sapaan dari teman-teman lain yang berpapasan dengannya. Cakep bener deh kalau dia tersenyum. Tuhan ganteng sekali. Senyum Elang hilang dan kembali terlihat cuek berjalan di antara taman-taman lain yang sedang berdiri. Dia berhenti di depan Mading ( Majalah Dinding ). Memperhatikan dan membaca. Itu adalah salah satu ekskul yang dipimpin Elang.

Ups tiba-tiba Elang berbalik ke arah kami lagi. Melihat lurus ke depan tepat ke arah kami yang sedang duduk memperhatikan dia. Tatapan kami bertemu satu sama lain. Oh aku gugup. Wah aku ketangkap basah memperhatikannya Aku tidak sanggup melihat tatapan Elang lagi. Aku malu. Aku memalingkan wajah. Sebisa mungkin berlaku seolah tak terjadi apa-apa. Seolah aku tak memperhatikan Elang. Duh ini jantung bertalu-talu seperti gendang di dalam dada. Dug, dug, dug. Mengapa bisa begitu? Tenanglah Icha. Baru dapat tatapan semenit sudah gede rasa. Sadar Icha, kamu itu makhluk biasa, nggak ada istimewanya. Ya betul kata hatiku. Jangan GR ( Gede Rasa ). Aku menunduk dan memainkan gawaiku.

Tidak lama Nai datang bawa sebungkus es buah dan diberikan kepadaku.

"Tuan Puteri ini esnya, dihabiskan ya. Lumayan antri." Nai mengelap wajah dengan tisu.

"Ramai ya Nai. Duh kamu pasti berjejalan dengan anak-anak lain. Keringatan gitu."

"Nggak, nggak berjejalan cuma empet-empetan saja. Kan demi kamu, aku bela-belain nyerobot antrian."

"Hore Nai hebat. Makasih ya beb, kamu baik hati." kataku sambil tersenyum.

"Lain kali nih ya , gantian aku mau lihat kamu berjuang beli es buah, bisa nggak." kata Nai. Penjual es buah menyediakan dua orang pelayan untuk melayani siswa-siswa pembeli. Satu orang pelayan tak cukup.

"Bisa dong." Aku mengangkat sebelah tanganku tanda semangat.

"Bagus. Harus bisa."

"Oh ya ngomong apa sih serius amat sama si Elang?" Tanyaku.

"Itu...nggak ada apa-apa sih cuma nanya aja, aku ikut enggak seleksi MSN."

"Oh aku kira kalian janjian apaan gitu. Pacaran mungkin, siapa tahu kan."

"Ketinggian Icha kalau aku pacaran sama Elang. Dia banyak peminatnya termasuk Arin. Aku harus berhadapan sama Arin?"

"Katanya cinta itu tak memandang status Nai, kemungkinan bisa terjadi."

"Tapi tidak seperti itu dan kamu orang pertama yang tahu kalau aku punya pacar nanti. Saat ini nggak sama Elang."

"Oye...juga aku orang pertama yang kalian traktir kan?"

"Itu betul tapi bukan Elang kayaknya, Cha.

"Iya juga nggak apa-apa kok Nai."

"Bukan! Hahaha tidak berani sama anak sengetop itu, paling keren satu sekolah ini. Buat kamu aja deh Cha."

"Iih apalagi aku, nggak mungkin Nai. Dia tidak mungkin mau sama aku. Nggak cocok lagi."

"Cinta itu soal perasaan Icha. Dijalani baru tahu cocok atau nggak. Pe-de-ka-te gitu Cha."

"Ho oh pintar, tapi itu nggak mungkin sama aku. Mimpi kali iya. Mana mungkin aku masuk hitungan si Elang."

"Oh pernah mimpi sama Elang ya? Nah...nah kamu ketahuan." Nai menirukan irama sebuah lagu.

"Nai siapa bilang?! Tak pernah mimpi sama Elang." Padahal aku bohong. Tiga bulan lalu, aku mimpi duduk di ayunan di taman yang bagus dan ada Elang di sebelahku. Seperti cerita Cinderella yang pernah ku tonton, Elang menyukaiku. Sebatas mimpi.

Suara bel berbunyi panjang. Kami saling berpandangan. Bel panjang tanda waktu pelajaran usai. Hari ini bel berbunyi lebih cepat dari biasanya. Kami dipulangkan lebih awal. Mungkin ada suatu hal yang akan dilakukan guru-guru semisal rapat.

"Pulang?!! Hore!!" Gerombolan anak lelaki bersorak serentak. Kesempatan begini jarang ada.

"Pulang Cha. Asyik....habiskan dulu es buahnya," ucap Nai.

"Oke-oke aku minum. Dihabiskan nih es buahnya." Aku menyeruput melalui pipet, " Huuumm segar." Kulihat Nai tertawa senang.

"Icha! Icha!" Panggilan Hesti dari jauh. Dia menghampiri kami. Dia teman satu ekskul seni melukis denganku. Kami berhenti menunggu Hesti.

"Apa Hesti? Jalan saja, lari bisa jatuh loh," aku mengingatkan.

"Makasih Icha. Pak Widodo bilang hari ini ke sekolah, latihan buat persiapan lomba dua Minggu lagi." Hesti bicara sambil mengatur nafas.

"Baiklah Hesti. Perlengkapan melukisku habis, aku harus beli dulu. Oke deh Hesti, terimakasih ya infonya." Ada juga teman yang baik seperti Hesti. Tidak suka mengejek.

"Sama-sama Icha. Jumpa lagi nanti sore ya. Aku jalan dulu ya Cha. Yuuuk Nai."

"Ya Hesti, hati-hati ya."

Lalu aku minta tolong pada Nai, "Kamu mau nggak antar aku ke toko buku. Aku mencari alat lukis."

"Mau Cha. Ngapain juga di rumah pulang secepet ini. Kita minta ijin dulu sama mama."

"Iya Nai."

Mama memberikan izin. Aku dan Nai mengambil tas kami di kelas. Sebagian teman sudah pulang. Tujuh orang bersiap pulang.

Delia pamit pulang, "Icha, Nai, aku pulang ya. Daaaa!"

"Daaaa Delia! Jumpa lagi besok ya."

Delia sudah keluar kelas. Kami pun berjalan keluar kelas. Enak sekali rasanya pulang cepat.

"Kata mama boleh pergi tapi nggak boleh lama. Gimana Nai?"

"Gitu deh orang tua. Ikuti saja."

"Sebentar juga enggak apa-apa kok, cuma cari alat lukis."

"Lama juga nggak apa Icha. Tadinya aku mau ajak kamu main ke rumahku. Di rumah cuma ada bibi tapi nggak apa-apa deh, lain hari saja."

Aku dan Nai tiba di tempat parkir motor. Nai mengeluarkan motor. Nai selalu membawa motor setiap hari. Jarak rumahnya dengan sekolah cuma satu kilometer. Dekat bukan?

"Ada si ganteng. Tuh lihat, ckck tak kuat alisnya Cha." Aku mengikuti pandangan kagum Nai. Elang sedang mengeluarkan motor dari barisan motor.

"Hidungnya." Lanjutku, " Mau disampaikan salamnya?"

"Kamu berani? Coba deh ngomong sama Elang. Aku mau lihat, kamu grogi nggak," kata Nai.

"Hiihiii ampun Nai, jangan suruh itu. Suruh aku yang lain saja ya."

"Lah katanya mau sampaikan salam. Gini..aku kenalin mau ya?"

"Nai, aku dan Elang satu ekskul di Mading. Jadi kami saling kenal." Aku menggeleng.

"Heleh paling asal tahu nama saja kan?"

"Ya, benar sekali." Walaupun satu ekskul aku dan Elang hampir tak pernah bertegur sapa. Dia hanya memberikan arahan tema Mading yang harus kami selesai.

Nai mulai menstarter motor tapi sebuah suara menahan kami. Arin Squad. Arin, Iyun, Idel dan Arni.

"Akh mengapa aku berhenti?" Tanya Nai nggak butuh jawabanku.

"Hei kalian tunggu! Sudah mau pulang aja. Buntelan." Kata terkhir dari mulut Arin tertuju untukku.

"Mana buntelan, mana?" Aku berlagak bego.

"Nggak sadar body mu kayak buntelan?"

"Namaku Kalisha bukan buntelan. Catat. Katakan kenapa kalian menggangguku? Apa salahku?"

"Makanya jangan berpenampilan kuno. Jadi cewek modis dikit dong," kata Arin.

"Suka-suka aku mau pakai apa. Aku tidak menyusahkan kalian."

"Risih aja lihatnya." Iyun menambahkan.

"Dasar kalian reseh. Lihat penampilan orang kok kalian yang ribut. Suka-suka Kalisha mau punya penampilan kayak apa." Nai membela.

"Manusia purba." Idel tak ketinggalan. Mereka jahat ya. Mulut mereka menusuk hati.

"Aku tidak meminta uang kalian atau merepotkan kalian jadi jangan urus semua tentang diriku. Mau pakai apa terserah akunya."

"Ada apa ramai gini? Kalian kelahi ya?"

Si ganteng Elang sudah berdiri di antara kami. Ribut-ribut ini menarik perhatiannya. Segelintir teman yang lewat atau mengambil motor tak ketinggalan menonton kami.

"Bukan apa-apa. Kami mau pulang dan mereka mengejekku." Keadaan membuatku berbicara.

"Kalian ini anak SMA kelakuan anak TK. Masih suka ejek mengejek. Kalian pulang dan bubar atau aku panggil guru BP," ucap Elang tegas.

"Mereka ya bukan bercanda tapi menyakiti hati. Coba kalian diejek terus-terusan, kalian terima? Nggak kan?" Nai bicara lagi.

"Kami nggak mungkin diejek. Kami selalu kekinian."

"Huuuhh kalian tuh ya sebaiknya update sopan santun." Nai lagi.

"Nai kita mau pergi. Ayo." Aku menarik tangan Nai mengajak pergi, "Buang-buang waktu melayani mereka.Huuuuhhh!" Aku menghentakkan kaki di depan mereka. Kesal.

"Berani kalian!" Arin teriak.

"Anak-anak, kalian belum pulang? Ada apa ini, berkumpul di sini? Waktunya pulang, sana pulang semua." Guru BP memberi teguran. Bagi beliau jam sekolah usai anak-anak harus segera pulang ke rumah kecuali masih ada hal untuk kepentingan sekolah seperti latihan. Latihan apa saja, musik, menyanyi, diklat, dan lain-lain.

"Tidak ada apa Bu. Baik Bu." Elang menjawab guru BP.

"Icha sampai ketemu nanti sore ya. Siapkan ide terbaikmu!" Itu suara Hesti lagi. Dia duduk di atas motor Wan.

"Iya Hesti. Jumpa lagi!" Aku melambai padanya.

"Pokoknya kamu datang. Aku bawa jajanan!" Seru Hesti lagi.

"Siiiip!" Aku mengacungkan jempol.

"Wah...wah enak sekali, mau ekskul atau piknik. Bawa-bawa makanan." Nai melajukan motor. Kami berdua sudah berada di jalanan depan sekolah.

"Kedua-duanya sekalian Nai. Asyik kan? Capek mukis ya makan, capek makan ganti melukis," kataku.

"Cha, si Elang di belakang kita tuh. Jangan menoleh, ntar dikira kita rumpiin dia."

"Memang kenyataan ngomongin dia. Aku lambai nih ya. Terus aku bilang Elang dapat salam dari Nai."

"Icha! Ngarang deh. Coba kalau berani, aku turunin kamu di sini." tantang Nai.

Wooo aku berpikir lagi untuk itu. Aku bilang, "Icha sedang berpikir, haha."

"Nggak yakin aku tuh. Lihat Elang aja kamu curi-curi pandang apalagi ngomong, huuu..gagu jadinya. Iya kan Cha."

"Hahaha kok betul sih." Walaupun Nai suka nyeplos bicara, Nai selalu benar maka aku tidak pernah marah sama Nai dan lagi Nai hanya bercanda. Kami biasa bergurau.

"Dia akan melewati kita," kata Nai. Nai melihat dari spion.

"Icha! Nai! Hati-hati!" Teriak Elang ketika lewat di sebelah kami.

"Oke! Kamu juga. Eh dia hafal nama kamu juga Cha." Nai menjawab Elang. Motor Elang melaju lebih kencang.

"Cha, mau kemana dia? Tinggalnya kan di dekat rumah kamu Cha."

"Mana kutahu. Jalan-jalan 'kali atau ketemu pacarnya. Namanya juga anak muda."

Kami belum tiba di toko buku yang ingin datangi. Toko buku paling lengkap. Letaknya agak jauh dari rumah.

"Aku tak yakin dia punya pacar Cha. Segitu cueknya. Cha...apa dia normal ya?"

"Maksudmu Nai? Heeh jangan berprasangka jelek Nai."

"Kamu nggak perhatikan gimana dia melihat cewek? Kayak nggak tertarik gitu kan? Jangan-jangan dia...hiiiiih."

"Apa sih Nai? Nggak baik mengira-ngira keburukan orang."

"Iya tuan Puteri. Kita mau sampai nih."

Kami turun dari motor setelah parkir. Tidak banyak kendaraan parkir di depan toko buku. Kami saling berpandangan saat melihat motor Elang juga berada di parkiran itu.

**Mohon dukungannya readers. Terima kasih.🌷

3. Keluargaku.

Dugaan kami salah, ternyata Elang pergi ke toko buku yang kami tuju. Dia lebih dulu tiba. Wajar saja tadi dia melajukan motornya lebih cepat dari kami. Nggak sangka bakal ketemu si ganteng Elang di sini. Mata Elang itu tajam. Matanya bisa membuat luluh orang yang menatap. Tak berani menatapnya lama-lama. Di tangan Elang ada dua buku yang dipegang.

"Elang pintar tapi nggak jago melukis kayak kamu." Aku meringis mendengar ucapan Nai.

"Aku pandai melukis tapi nggak pintar kayak Elang."

"Cha kita lihat buku-buku dulu yuk. Mau pulang baru cari alat lukis di sini." Ajak Nai.

"Ayolah. Kamu cari buku apa? Buku resep memasak atau menghilangkan rasa penasaran dengan Elang? Haha...."

"Tahu saja. Kita lihat-lihat, mana tahu ada buku bagus."

Kami naik tangga. Koleksi buku-buku berada di lantai dua sedangkan peralatan menulis di lantai satu. Nai mengamati dan membaca buku yang ia pegang. Aku meneliti kumpulan novel-novel dari yang tipis hingga yang tebal.

Akhirnya aku dan Nai berdiri lama di deretan novel-novel dalam rak itu setelah puas mengitari semua deretan buku yang di pajang hingga pada suatu titik aku dan Nai melihat orang sedang bicara berdua. Elang sedang pacaran dengan seseorang cewek. Isi otakku mengatakan demikian. Usia si cewek sama dengan kami.

"Apa ku bilang? Benar kan dia ketemu ceweknya. Cantiknya lumayan tapi kayaknya lebih cantik aku deh wkwk."

"Astaga Icha puji diri sendiri namanya. Biar aja deh ketemu pacarnya tapi masa iya janjian di toko buku. Janjian itu di kafe, di taman atau di mana aja yang tempatnya lebih indah."

"Daripada nggak ada yang puji, puji diri sendiri aja. Namanya Elang si anak pintar ya identik dengan buku. Pegangannya buku," alasanku.

"Tuh ceweknya udah pulang Cha. Kamu nggak kenal dia banget kan? Kenalan dengan dia ya."

Aku mau melanjutkan kata-kata tapi Nai keburu memanggil Elang. Panggilan Nai kuat Mirip suara toa. Aku sering kaget kalau Nai teriak.

"Elang! Elang kamu di sini juga!" Nai memanggil Elang.

"Eh Nai! Iya nih, cari buku. Kamu sendiri?

"Aku sama sahabatku Icha. Kamu beli buku ya? Icha sini!" Panggil Nai.

Ya iya dong Nai, ini kan toko buku dan alat tulis. Beli buku di sini, bukan beli sayuran.

Mau tak mau aku mendatangi mereka berdua. Lumayan bisa lihat ganteng dari dekat. Beginilah kalau fans. Hanya fans. Mana bisa berharap lebih. Itu tak mungkin. Cukup mengagumi dan itupun dari jauh.

"Ini Icha, kalian sudah saling kenal kan?"

Pertanyaan yang bodoh Nai tapi bisa jadi Elang tak hafal namaku. Aku tak masuk dalam daftar siswa ngetop di sekolah.

"Icha aktif di majalalah dinding juga jadi aku tahu. Hai Icha," sapa Elang padaku. Aku berikan senyum.

Oh ternyata Elang tahu aku eksis di ekskul majalah dinding. Dia memang pemimpin yang baik, ingat sama anak buah.

"Halo Elang," balasku.

"Senang sekali jumpa kalian . Kalian berdua beli apa?"

"Aku beli novel. Icha beli alat lukis," sambung Nai.

"Icha bisa melukis kenapa nggak ikut ekskul seni lukis?" Tanya Elang.

"Icha ikut seni lukis kok Lang. Sebentar lagi ada perlombaan. Mereka siap-siap latihan."

"Oh gitu. Di situ ada Alam juga. Aku suka lukisan si Alam. Dia langganan juara ya. Semoga kalian menang ya.

"Terima kasih Elang."

"Sama-sama."

Elang saja menyukai lukisan si Alam temenku satu ekskul di seni lukis bukan lukisanku. Alam langganan juara. Aku selalu di urutan bawah setelah Alam.

"Aku sudah dapat buku yang kucari. Aku duluan pulang ya karena dari tadi," kata Elang.

"Oiya Elang. Kami masih cari alat tulis. Oke deh Lang sampai jumpa, sampai ketemu lagi. Ngomong-ngomong ehm tadi pacar kamu ya?" Aku menyenggol lengan Nai dengan gaya tubuh dimiringkan sedikit. Apaan sih Nai tanya cewek yang barusan bicara sama Elang. Mulutku terasa berat untuk banyak bicara di depan Elang. Sepertinya terkunci.

"Oh itu bukan. Dia temanku. Sudah ya, aku pulang duluan." Elang pamit.

"Iya Elang. Hati-hati ya." Aku dan Nai serentak.

Aku dan Nai senyum berdua. Kami pun turun ke lantai bawah untuk mencari keperluanku. Setelah ketemu kami membayar di kasir dan pulang ke rumah.

...\=\=\=...

Mama sedang melayani pembeli di warung. Warung makanan ini adalah usaha mama menjual makanan matang. Ukurannya tidak terlalu besar. Hanya ada satu bangku dan meja panjang. Mama menjual makanan dari pagi hingga siang. Langganan mama anak-anak kos sekitar tempat tinggal kami. Ada juga teman-teman sekolah yang kadang mampir sepulang sekolah tapi tidak banyak.

Bruuuuuk.

Aku meletakkan tas sekolah di kursi. Kusandarkan punggung. Mama belum merespon kedatanganku karena pembeli masih ada.

"Kamu sudah pulang nak. Cuci tangan sana dan makanlah." Sekarang mama di sampingku. Sudah tidak meladeni pembeli lagi.

"Iya ma. Mama ambilkan ya mah."

"Loh kok diambilkan sih. Ambil sendiri sayang, sudah SMA masa diambilkan makannya."

"Ya sudah kalau gitu nanti aja ma. Belum lapar juga ma."

"Hmmmm bukannya kamu pulang sekolah jam dua siang Cha?" Tanya mama.

"Icha pamit ke toko buku tadi. Hari ini cepat pulang. Icha dan Nai ke toko buku dulu cari perlengkapan lukis. Icha telepon mama, mama lupa ya."

"Oh iya ya Cha. Mama ini sudah tua Icha, banyak lupa."

"Belum tua ma, belum punya cucu."

Mama dibantu Mbak Min di warung, masak dan mencuci perlengkapan memasak. Mama tidak memaksa aku dan Elin untuk membantu mama. Mama hanya mau aku dan Elin fokus sama sekolah kami.

Warung makan mama menjadi langganan anak-anak yang tinggal di sekitar rumah.Mereka ada yang bekerja dan ada yang masih sekolah kadang-kadang Aku melihat orang yang beli masakan mama. aku hanya melihat mereka yang membeli dari dalam rumah. Pernah kulihat Elang beli makan siang di warung mama

"Eh mbak Icha sudah pulang. Makan mbak Icha." Mbak Min menegur. Membawa makanan matang di tangan.

"Mbak Min... panggil aku Icha, jangan pakai "mbak". Mbak Min lebih tua daripada aku," kataku.

"Hehehe baik Mbak Icha eh Icha."

"Mbak Min kayak tante aku, jadi gimana aku panggilnya tante ya?"

"Nggak usah mbak Icha. Ndak cocok buat mbak Min. Mbak aja panggilnya. Mbak Min datangnya dari daerah terpencil."

"Lah nggak ada hubungannya mbak Min. Mbak itu panggilan sifatnya umum. Mau dari mana asal usulnya boleh dipanggil mbak. Mbak Min sudah makan belum?"

"Iya, iya bu guru. Mbak Icha cocok loh jadi guru."

"Ah nggak mau ya. Cita-citanya bukan itu. Nah panggil aku mbak lagi ya."

"Sudah biasa sih mbak Icha," alasan mbak Min

"Assalamualaikum. IBu... beli!" Ada yang datang membeli makanan.

"Ada yang beli tuh Mbak Min."

"Betul mbak Icha."

Mbak Min melayani pembeli sebab ibu masuk ke rumah. Aku berdiri dan mendekat ke mbak Min.

"Mbak Min, aku ke dalam ya."

Saat itulah aku tahu bahwa yang beli adalah Elang. Elang tersenyum padaku dan aku membalasnya kikuk. Grogi mendadak datang. Tidak menyangka kalau itu adalah Elang si anak ganteng lagi ngetop

Di dalam rumah Elin sedang duduk di sofa. Di tangan Elin memegang sebuah buku. Mulutnya bergerak-gerak tanda sedang menghafal.

"Pulang sekolah ceria ya non bukan cemberut gitu. Enak kan sekolah ketemu temen-temen," sapa Elin.

"Enak kalau kawan-kawannya nggak reseh. Kayak julid," kataku.

"Diejek lagi? Nggak apa toh biar kuat mental."

"Nyakitin hati. Kak ntar sore bangunin ya, aku mau latihan. Do'akan ya aku menang."

"Oh lomba lagi? Kamu kan selalu menang. Aku yakin kamu menang lagi."

"Memang sih tapi bukan juara satu. Do'akan dong biar juara satu. Biar ikut bangga punya adik nggak malu-maluin sekali. Aku mau ke sekolah nih, sore ini mau latihan, bangunin aku ya kak."

"Belajar bangun sendiri ya, dibangunkan terus. Kapan mandirinya?" Elin menolak permintaanku.

"Kak, tolongin aku. Aku takut nanti nggak kebangun. Aku mau tidur nih, ngantuk. Ya kak ya?" Aku pujuk Elin.

"Sebentar lagi aku mau pergi Icha, pesan sama mama aja biar mama bangunkan."

"Ya udah, ya udah." Aku pergi dari situ. Elin menolak kerjasama.

Mataku berat badanku lemas. Kantuk berat menyerang. Aku menghempaskan tubuh di atas tempat tidur.

Rasanya belum lama aku tidur namun namaku serasa dipanggil. Ku buka mata dan mama sudah berdiri di depanku.

"Mama berisik iiih."

"Katanya mau ke sekolah Icha. Ini sudah jam empat." Ucapan mama bikin kaget

"Apa mah? Jam empat? Walaaan terlambat nih." Aku melompat dan mengambil pakaianku di gantungan.

"Mama sudah bangunin kamu jam setengah empat, dan kamu tidur lagi. Molor lagi. Gitu kan kebiasaanmu?"

"Iya Mama Icha ngantuk. Icha pergi ya ma." Pergi setelah menyisir dan mengikat rambut jadi satu.

"Iya hati-hati," kata mama.

Teman-temanku sudah ada di ruangan kelas mengikuti latihan melukis dari Pak Widodo. Aku masuk memberikan salam hormat pada Pak Widodo.

"Sore Pak. Maaf Pak saya terlambat." Kataku tak enak hati.

"Ya sudah lanjutkan.Pilih salah satu tema dan kreasikan ide kamu, "suruh Pak Widodo.

"Baik Pak." Terucap syukur dalam hati, tak diomeli pak Widodo.

Pak Widodo jalan berkeliling memberikan pengarahan kepada satu persatu teman-teman. Bagian mana yang perlu ditambahkan dan apa yang tidak perlu dituangkan ke atas kanvas.

Sampai di sampingku pak Widodo bertanya, "Kamu pilih tema apa Icha?"

Aku jawab, "Saya pilih tema manusia dan lingkungan Pak."

Pak Widodo lanjut bicara, "Anak-anak ini kisi-kisi yang saya dapat. Pada hari H nanti kalian bisa memilih salah satu tema yang ditawarkan. Nah jika ada yang sama dengan tema yang saya berikan ini kalian tinggal mengerjakan dengan lebih baik lagi."

Berpacu dengan waktu. Tugas itu harus selesai hari itu juga. Semuanya mengerjakan dengan serius termasuk aku. Di ujung latihan kami semua duduk santai sambil berbincang. Hesti yang berjanji bawa makanan benar-benar menepati janji. Dia membawa sempol ayam.

"Wah enak ini Hesti. Kamu beli atau bikin?" Tanyaku. Mengambil satu Sempol ayam.

"Beli Icha, aku tak pandai bikin."

"Teman-teman kemari semua. Makan sempol. Silahkan ambil ya." Hesti menawarkan ke teman-teman. Mereka datang mencicipi Sempol yang Hesti bawa.

"Enak nggak Cha?"

"Enak Hesti. Enak sekali, aku lagi ya."

"Ambil Icha."

Aku mengambil satu lagi Sempol. Kata Hesti, "Makan aja Icha, jangan sampai sisa. Harus habis dan aku tak mau bawa pulang lagi." Senang sekali dengar kata-kata Hesti.

"Mantap sempolnya Hes. Gemuk-gemuk lagi."

Alam yang melihatku, menyela, "Kamu jangan kebanyakan makan ini Cha."

"Kenapa Lam? Biar kamu aja yang makan kan, ya kan Lam?"

"Hehehe kamu nggak usah makan sempol lagi Icha, badanmu sudah kayak Sempol."

"Diiiih Alam. Gemuk ya gemuk, Sempol ya Sempol. Makan tetap jalan. Memangnya orang gemuk nggak boleh makan sempol?"

"Hahahah nggak boleh ntar habis. Bercanda Cha bercanda." Alam menyebalkan.

"Jangan takut aku masih ingat kalian. Nah makan nih sempolnya." Aku pura-pura marah. Alam cengar-cengir.

"Siapa yang cepat dia dapat. Malu-malu lapar sendiri. Siapa pun yang makan, aku seneng aja yang penting jajanan yang kubawa habis."

"Tenang aja Hesti ini, semua pasti habis sama kami," tambah Alam.

"Bagus...bagus. Gitu dong. Jadi semangat bawa lagi." Hesti memang baik. Nggak kayak Arin.

"Lain kali bawa lagi ya hes tuh Alam ketagihan."

"Untuk kalian apa sih yang nggak, hahaa."

"Aku atau kamu?" Tanya Alam.

Kami tergelak bersamaan. Kami membereskan perlengkapan saat jam menunjukkan pukul tujuh belas. Waktunya pulang ke rumah

Lalalala lililiii.

Aku bersenandung kecil memasuki halaman rumah. Tidak seperti tadi siang banyak orang membeli di warung mama, sore ini sudah kelihatan sudah sepi sama sekali. Warung sudah ditutup. Aku masuk rumah lewat pintu belakang.

Mama lagi apa? Aku menyapa mama di dapur. Lampu dapur sudah menyala karena hari sudah menjelang magrib.

"Sudah pulang Icha? Mama menyiapkan untuk besok." Tangan mama bergerak melakukan sesuatu. Potongan sayur dalam wadah diletakkan di kulkas.

"Mama nggak capek ya setiap hari masak, berjualan, setiap hari kerja cari uang?" Kerupuk yang digoreng mama kuambil sedikit. Nongkrong sebentar sebelum mandi.

"Mama malah senang seperti ini. Mama sudah biasa. Pergi mandi Cha, sudah malam loh."

"Tuh kamar mandinya dipakai. Siapa yang mandi ma?"

"Papa sudah mandi dari tadi. Itu kakakmu."

"Kak Elin cepatan mandinya. Aku mau mandi nih," seruku.

"Icha suaranya...," tegur mama

Terdengar suara bergumam dari dalam kamar mandi. Cuma ada satu kamar mandi dipakai bersama di rumahku. Rumah kami hanya tipe sederhana. Tidak semua kamar memiliki kamar mandi masing-masing. Aku pernah mendengar dari kak Elin kalau. Papa sebenarnya mempunyai hak istimewa dalam keluarga tetapi papa tidak memanfaatkan hal itu. Sesuatu hal telah terjadi sehingga papa memilih untuk bekerja sendiri. Memiliki ru mah hasil jerih payahnya sendiri tanpa bantuan orang tua papa.

Aku mendengar cerita Elin saat masih duduk di kelas satu SMA dan Elin kuliah tingkat tiga. Malam itu Elin bercerita, kata Mama nenek adalah wanita yang baik hati, sangat baik hati tapi tidak sama dengan kakek. Seperti kami, Papa adalah dua bersaudara adik beradik. Papa mempunyai kakak yang tidak tinggal satu kota dengan kami. Saudara paling dekat dengan kami adalah sepupu papa yang tinggal di kota ini. Orang tua dan kakak dari papa berada di luar kota ini. Dari Elin juga aku dengar keluarga papa bukan keluarga biasa. Belum banyak pertanyaan yang kutanyakan pada Elin karena aku tak terlalu memikirkan cerita Elin malam itu.

Papa belum mau mengajak kami untuk bertemu kakek dan nenek. Kami pernah diajak ke rumah kakek dan nenek ketika masih SD. Kadang-kadang Aku ingin mengetahui wajah kakek dan nenek dan liburan di rumah mereka tapi rasa itu harus kutahan. Aku tidak berani meminta kepada papa. Ketika aku mengucapkan kata kakek saja wajah papa langsung berubah. Mama pernah bilang suatu waktu aku dan Elin akan sampai di tempat nenek tapi mama belum bisa mengajak kami ke sana sekarang.

Aku masih asyik berdua mama di dapur. Papa datang lalu bertanya pada mama,"Ma kopi Papa mana?"

"Oh ada Pa. Itu di atas meja. Icha bisa berikan kopi pada papa nak?" Mama menyuruhku.

"Bisa sekali ma. Ini Pa, kopinya letak di mana?"

"Bawa ke depan Icha." Aku mengikuti papa ke depan membawa kopi Papa ke ruang keluarga.

"Ini pa, cemilannya belum ada. Sebentar Icha ambilkan ya."

"Ya bagus Icha. Anak Papa gimana sekolahmu? Ada masalah?"

"Nggak ada masalah Pa. Lancar aja kok," jawabku. Aku tidak perlu menceritakan keadaanku di sekolah. Bagaimana sikap teman-teman padaku cukup kusimpan sendiri.

"Ya harus begitu. Tahun depan kamu kelas tiga. Siap-siap ya, jangan kendor belajarnya." Nasehat papa.

"Oke pa Ica siap."

"Kamu belum mandi kan. Sudah, mandi sana. Pantas bau."

"Aaah papa. Icha mau ke belakang. Mandi."

"Mandi yang bersih."

"Heehehe siap Pak bos," kataku sambil melenggang ke dapur.

"Mandi Icha, kamar mandi sudah kosong."

Mama menyuruh lagi. Semua orang perhatian sekali padaku ya sampai penampilanku yang jelek juga jadi perhatian. Itu di sekolah sih. Hiihiii.

"Sana mandi Icha. Kamu selalu terakhir. Kapan nomor satunya?" Elin lagi.

"Pasti aku terakhir , kan aku baru datang kak. jangan remehkan adikmu ini." Aku menepuk dada.

"Buktikan dong." Elin usil.

"Apa yang harus kubuktikan? Kalau nomor satu di akademik nggak mugkinlah kak. Palingan aku nomor lima," ucapku. Aku tidak sepintar Elin.

"Naikkan jadi juara satu. Bonus Papa menunggu loh," tambah Elin.

"Ciiieee yang suka dapat bonus dari papa. Mama, Icha minta bonus mama aja. Papa gitu kan ma. Nggak adil ya, Kak Elin dikasih bonus aku nggak." Aku pasang wajah cemberut.

"Mama nggak percaya papa nggak pernah kasih bonus karena prestasi kalian. Coba ingat apa yang sudah papa berikan padamu. Jam tangan itu hadiah juga, papa itu adil kok sayang."

"Jadikan juara satu. Lihat saja nanti. Buktikan, buktikan..oh oh buktikan," Elin nyanyi, belum puas mengganggu.

"Ma kak Elin tuh."

"Elin jangan ganggu adikmu terus."

"Hiiiii dingin. Pakai baju ah." Elin ngacir ke dalam kamar. Aku masuk ke kamar mandi sesudah mengambil handuk. Menyiram air di seluruh tubuh. Kepala terasa dingin. Gerah sudah hilang dan tubuh rasa segar.

"Cepat Icha, sebentar lagi beduk loh ya," mama mengingatkan.

"Uuuh segar." Aku keluar. Mandiku selesai.

Meja makan seperti biasa menjadi tempat kami berkumpul di kala malam. Mama menyiapkan makan malam dibantu Mbak Min. Papa sudah siap sedia di sana. Aaww wajah papa tetap ganteng meskipun anaknya sudah besar-besar. Pasti papa mudanya lebih tampan.

"Icha...apa yang ada dipikiranmu?" Papa mengamati mukaku. Aku tersentak.

"Aaaa nggak pa...cuma lihat papa aja."

"Eehmm papa curiga kamu memikirkan pacar kamu."

"Apa?? Bukan itu Papa. Papa salah besar. Bisanya menyangka begitu." Aku cemberut. Papa tergelak.

"Papa salah ya. Ma'afkan papa."

"Icha belum punya pacar pa." Elin ikut bicara.

"Papa kira sudah ada. Kok kalah sama mama. Mama seusiamu sudah punya pacar loh tapi yah...gitu."

"Papa...buka rahasia ya." Mama menggeleng-gelengkan kepala ditambah senyum.

"Icha bukan mama, Pa. Icha jelek, Icha gendut. Muka Icha bulat. Nggak ada cowok yang naksir Icha."

"Tetap menarik kok." Hibur Papa.

"Itu kata papa!"

"Semua perempuan punya daya tarik sendiri, Icha. Papa percaya suatu hari kamu mendapatkan pacar setia dan lebih segalanya dari Papa. Jadi belum punya pacar nih?"

"Belum. Itu kak Elin, Pa!" Seruku.

"Eheemm...kapan makannya kalau ngomong terus?" Mama mulai mengambil piring papa.

"Yap sekarang Ma. Papa sudah lapar kok," kata papa.

"Sekolah kalian baik-baik saja?"

"Iya Pa," jawabku dan Elin serentak.

"Tahun depan Icha naik kelas tiga. Nggak sangka," kataku.

"Lalu Icha mau kuliah di mana nanti? Apa pilihanmu?" Papa memang lebih banyak tanya padaku daripada Elin karena aku anak bungsunya masih remaja. Tak sama dengan Elin yang tahun depan selesai pendidikan tingginya.

"Icha pengen jadi desainer aja deh. Boleh kan Pa?"

"Itu juga bagus. Papa setuju saja dan lagi Icha memang suka coret-coret di kertas dari kecil ya kan Ma?" Mama membalas ucapan papa dengan anggukan.

"Lanjutkan usaha kalian. Semoga cita-cita kalian tercapai semuanya. Sebenarnya papa ingin kalian bisa sekolah lebih dari papa tapi...ma'afkan papa kalau sebatas ini."

"Aamiin. Terima kasih Pa sudah bikin kami semangat. Papa jangan ngomong gitu dong...." Elin menanggapi papa.

"Pa tambah lauknya ya." Mama menyendokkan lauk buat papa.

"Mama, Icha belum makan guramenya. Mama...." Aku senewen.

"Kak Elin habis satu, papa hampir dua dan Icha belum rasa."

"Kamu mau juga? Mama sangka kamu nggak mau sayang, biasanya kamu menolak. Masih ada kok di lemari makan." Mama mengambilkanku ikan gurame goreng yummy. Bagiku saat ini mama adalah malaikat.

"Kenapa mesti diambilkan mama, biar aja diambil sendiri," Elin nyeletuk.

"Kakak bilang aja iri heehh!" Aku melotot.

"Aku nggak iri. Aku kan sudah dapat. Nih sudah mau habis. Nah kamu makan sendiri ya, yang lain udah bubar."

"Kak Elin!! Maaaa...."

"Hiihiiihiii anak SMA kok merengek sih." Elin iseng terus menggangguku. Dikiranya aku adiknya kemarin sore. Lihatlah tubuhku saja sudah lebih besar dari dia.

"Elin, papa mau bicara terkait skripsi. Di depan televisi ya."

Aku bersorak dalam hati. Akhirnya terlepas dari keisengan Elin menggodaku. Pembicaraan akan lebih berat jika dibawa ke ruang televisi. Papa lebih senang mengobrol hal serius di sana dengan volume televisi yang kecil.

...**Mohon dukungannya readers. Terima kasih.🌷...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!