Perceraian bukanlah akhir dari segalanya … tapi perjuangan yang baru dimulai.
Pertemuan dan perpisahan adalah rahasia Allah, tiada seorang pun yang akan mengetahui takdir yang akan kau jalani. Jangan sia-siakan kehidupan dengan sesuatu yang tak perlu dan jangan takut untuk menjalani kehidupan karena Allah selalu bersamamu!
--------------------------------------------------
Seorang pria dan wanita memasuki rumah kebahagiaan orang tua Emilia, dengan pakaian seragam kejaksaan, "Maaf, ini rumah ibu, Emilia Tantri?" tanda seorang pria.
"Iya, saya sendiri!" balas Emilia.
"Maaf, Bu! Saya hanya ingin menyampaikan surat panggilan dari pengadilan agama, bahwasanya suami Ibu yang bernama Farel Setiawan menggugat cerai Ibu," ujarnya.
"Ya," jawab Emilia kelu. Ia tahu cepat atau lambat hal itu pasti terjadi, waktunya sudah tiba, batin Emilia.
"Apakah perceraian kami, akan segera selesai, Pak! Ibu?" tanya Emilia. Ia seakan sudah berjengit ingin berlari jauh, "Maaf, ini baru sidang pertama," balas si wanita cantik berhijab putih.
"Saya hanya ingin, semua prosesnya cepat!" jawab Emilia tanpa basa-basi lagi. Ia sudah lelah akan 10 tahun hidup bersama Farel Setiawan.
"Tidak bisa seperti itu, paling tidak prosesnya 3 kali persidangan dan Ibu wajib datang," balas si pria.
"Saya hanya ingin, cepat selesai! Saya rasa di antara kami sudah tidak ada lagi kecocokan," balas Emilia.
"Bisa saja, Bu! Ibu tidak perlu menghadiri 3 kali panggilan sidang maka talak akan jatuh dengan sendirinya," balas si pria.
"Baiklah, saya tidak akan menghadirinya!" Emilia menatap keduanya dengan tegas walaupun terkesan angkuh.
"Tapi Ibu akan rugi sendiri, paling tidak, jika dengan kehadiran Ibu. Maka setiap bulan, anak kalian akan mendapatkan uang belanja dari ayahnya," ujar si wanita.
Apa, iya?! Selama 8 tahun terakhir ini pun aku tidak diberi uang belanja, selain segalanya harus bagi dua, batin Emilia, "tidak apa-apa, Bu!" balas Emilia cepat. Ia ingin mengusir keduanya dari rumah namun, demi kesopansantunan ia berusaha untuk tetap tersenyum.
"Baiklah, Bu! Tandatangani saja surat ini!" balasnya, kedua panitera tersebut berusaha untuk membuat Emilia berusaha untuk menjalin kembali pernikahan dengan suaminya Farell. Emilia membaca sekilas dan menandatanganinya.
Ia membaca gugatan yang dilontarkan kepadanya sangat kejam, tertulis di sana : Jika selama 10 tahun ini dia tidak menjadi istri yang baik, jika selama 10 tahun ini ia menjadi istri yang tidak pernah mengurus suami, jika 10 tahun ini mereka tidak memiliki seorang anak pun, jika selama 10 tahun ini tidak memiliki harta apa pun. Menyakitkan!
Jadi, putra kami itu anak siapa? Hantu! Memang aku selingkuh apa? batin Emilia semakin marah dan langsung menandatangani surat tersebut, "terima kasih!" lanjut Emilia.
Setelah keduanya meninggalkan rumahnya, ia menutup pintu dan merosot jatuh di balik pintu, andaikan kau marah padaku, jangan libatkan Keano, batin Emilia bersedih.
Seorang anak lelaki berumur 2,5 tahun berlari menghampirinya, "Mama!" sapa Keano memeluknya dengan tersenyum.
"Mama menangis? Apakah papa jahat sama Mama lagi?" tanya Keano.
"Tidak, Sayang! Mama baik-baik, saja!" balas Emilia, "Mama hanya lelah," balas Emilia, "bagaimanapun Keano tidak boleh durhaka dan menganggap jelek papanya," batin Emilia.
Emilia memasak setelah ia pulang dari pekerjaannya, ia hanyalah seorang wiraswasta membuka toko baju di kota kelahirannya. Setelah memberi makan dan menidurkan Keano, ia mulai sholat mengadu dan menangis kepada Allah pemilik segalaNya.
Emilia merebahkan diri memeluk putranya, Ya, Allah mampukah aku membesarkan Kiano seorang diri? batinnya perih. Ia mengingat kenangan kata-kata Farel kepadanya, "Jika kau berpisah, denganku! Maka hidupmu tidak seenak sekarang, kau bisa makan dan pergi ke mana pun," ujarnya sambil tertawa.
Emilia mengerutkan kening tidak mengerti, "Bukankah aku pergi ke mana pun memakai duitku sendiri?" tanya Emilia, "apa maksudmu?" tanya Emilia bingung. Ia menjadi istri yang sangat bodoh selama 10 tahun ini, ia tidak pernah memeriksa ponsel dan dompet suaminya. Ia juga tidak peduli jika suaminya tidak memberinya uang, sejak ia memiliki usaha sendiri.
"Kamu pun, jika berpisah denganku tidak semudah mencari uang saat bersamaku. Kakimu jadi kepala dan kepalamu akan menjadi kaki saat kau mengais rezeki!" sumpah Emilia mengutuk suaminya.
Emilia terlalu bodoh, kenangan berputar kala ia merindukan belaian suaminya, "Mas, ini malam jum'at!" rengek Emilia.
"Aku, capek! Kamu nggak mikir apa? Aku itu sudah lelah, kamu harus mengerti dong?" balas Farel membentak dirinya dengan marah. Emilia terdiam dengan rasa sakit dan hasrat yang menggebu, "Salahkah jika aku meminta hakku?" lirih Emilia. Hingga akhirnya segalanya menjadi buram. Ia selalu mendapatkan penolakan, entah apa yang salah dan terlalu banyak pertengkaran. Pernikahan tak seindah masa pacaran.
Emilia meneteskan air matanya, ia tidak menyangka jika suami yang dipujanya selalu bersikap dingin dan mencintainya di dalam keanehan dan dunianya sendiri.
Emilia memeluk Keano mengingat drama rumah tangga yang ia sendiri pun tidak mengerti akan semua yang terjadi, hingga harus berakhir dengan sebuah perpisahan dengan sebuah fitnah jika Emilia dikatakan selingkuh.
Emilia masih memeluk Keano dengan berderai air mata "Maafkan Mama dan papa, Sayang. Maafkan, kami! Aku harap kamu tidak membenci kami suatu saat nanti," lirih Emilia.
Hari-hari yang dilalui Emilia begitu menyedihkan, ia tidak terlalu peduli dengan usaha dan asistennya yang selalu menjaga, ia sibuk mencari hobi baru dengan menanam sayuran. Ia ingin melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya kepada Farell, ia menyesali pernikahan, Mengapa aku dulu mau menikah dengannya? Mengapa aku harus jatuh cinta padanya?"batinnya marah.
Namun, Emilia tidak memiliki jawaban untuk semuanya, ia mulai ke ladang, toko, dan rumah orang tuanya. Ia sibuk menghabiskan waktu dengan semua itu bersama putra tunggalnya Keano, belahan jiwa yang dimilikinya, "Keano!" pekik Emilia terperanjat kala Keano memberinya sekuntum bunga rumput yang indah.
"Untuk, Mama!" balasnya tersenyum.
"Cantik sekali, Sayang," balas Emilia.
***
Di suatu pagi, air mata terus berderai ia masih harus menyelesaikan pekerjaannya menyemprot rumput di ladang keluarga, ia meminta kepada ibunya, "Ma, biar aku saja yang melakukannya," ujar Emilia.
"Itu sangat berat, sekali! Biarlah, Ucok yang akan melakukannya," jawab Asih, ibunda Emilia.
"Tidak masalah," balas Emilia.
Hingga pada akhirnya Sang Ibu mengalah dan Emilia yang melakukan semua pekerjaan itu. Dengan ikhlas dan tulus Ia melakukan semuanya, dengan emosi yang membuncah ia menghabiskan waktu seharian untuk menyemprot ladang. Ia menjadi sosok yang kuat dengan kemarahan yang dimiliki.
Seumur hidupnya ia tidak pernah melakukan hal itu. Namun, kini segala hal yang tidak pernah dilakukannya harus dilakukan. Semua itu hanya untuk menghabiskan waktu, ia tidak ingin menangis dan terus menangis mendengar omongan dan fitnah juga pertanyaan setiap orang, setiap ia melangkah ke luar rumah.
"Aku membencimu, Farell!" ujarnya kala semua orang mulai menudingnya berselingkuh, "jika aku tahu begini aku akan benar-benar berselingkuh dulunya," umpat Emilia menyesali segalanya jika dulu ia terlalu baik dan bodoh juga patuh menjaga rumah tangga mereka.
Air mata terus berderai, kala ia telah tiba di rumah, ponselnya berdering nama mantan suaminya tertera di sana.
~Farel
[Surat cerainya sudah bisa diambil! Ambillah, besok!]
~Emilia
[Terima kasih!]
Tut! Tut! Tut!
Oh, ternyata tangisku adalah aku sudah diceraikan! batin Emilia, ia hanya diam tidak tahu apakah tertawa ataukah terus menangis?
Bersambung ....
-------------------------------------------
Jika suka jangan lupa like, komen, gift, dan vote karena semua itu sangat berpengaruh pada naskahku, terima kasih!🤗😍
Sejak perceraian terjadi tidak sekalipun Farell menemui putra mereka, Emilia tidak peduli, Biarlah, mungkin masih begitu adanya, batin Emilia. Namun, seorang anak tidak pernah mengetahui prahara yang sedang terjadi di kehidupan papa dan mamanya, "Ma, mengapa papa tidak pernah datang? Aku sangat rindu kepadanya?" tanya Keano suatu sore.
"Papa, sedang sibuk bekerja! Nanti juga dia akan kemari menemui Keano," balas Emilia berusaha tersenyum, ia tahu jauh di dalam hatinya ia pun menangis, rasanya ia tak sanggup untuk itu.
"Papa Putri, selalu datang menjemputnya di sekolah. Mengapa Mama tidak menjemputku?" tanya Keano mulai protes, "papa dan Mama selalu saja, sibuk! Aku benci kalian!" Keano berlari ke kamar.
Ya, Allah! Apa yang harus aku lakukan? batin Emilia bingung, ia menyusul Keano ke kamar, "Keano, sayang! Besok Mama janji akan jemput Keano," ujar Emilia membelai lembut rambut putranya berharap putranya tidak lagi marah, ia mulai merasa jika Keano mulai memiliki kebiasaan baru yaitu suka merajuk. Emilia melihat Keano sudah mulai memeluk bantal menangis.
"Janji?!"
"Iya, janji!" balas Emilia tersenyum.
"Keano, sayang sama Mama!" balasnya tersenyum dan langsung memeluk Emilia dan berlari ke luar kembali bermain mobil-mobilan, "Dasar, anak-anak!" batin Emilia.
Ekonomi semakin sulit dan mengerikan, membuat Emilia harus banting tulang memikirkan banyak hal, ia tidak tahu harus bekerja apalagi, Apa yang harus aku lakukan? batin Emilia semakin kacau.
"Emilia! Emilia!" teriak Bu Aida.
"Ada apa, Bu? Kamu mau, ikut kami mengambil sapu lidi? Lumayan, lo!" ucapnya.
"Baiklah!" tanpa pikir panjang Emilia langsung mengikut saja ke mana ibu-ibu tersebut pergi. Mereka pergi ke perkebunan mengambil sapu lidi dan membawanya pulang. Setelah dari toko setiap pagi, sore hari ia akan pergi ke ladang dan malam hari ia menyisik lidi. Tubuhnya penuh dengan luka dan gatal-gatal akibat miang yang mengerikan.
Emilia mulai menjalani semuanya dengan tekun dan tanpa lelah, sejak berpisah ia tidak memiliki sepeser uang pun, semua tabungannya sudah ludes begitu pun perhiasannya hanya untuk membangun sebuah rumah dan rumah itu menjadi milik mantan suaminya, Harta bisa dicari kebahagiaan yang sulit, batin Emilia.
"Apakah kau menyesal telah berpisah dari Farell?" tanya Bu Aida melihat Emilia begitu mengenaskan.
"Tidak!" balas Emilia.
"Bagaimana bisa kau tidak menyesalinya?" tanya Sekar.
"Aku tidak tahu, tapi aku memang tidak menyesalinya. Mungkin jodohnya telah habis," balas Emilia. Dia sendiri bingung jika ditanya demikian, aku memang tidak menyesalinya, yang aku sesali mengapa aku begitu bodohnya! Saat uangku masih ada dan aku begitu saja menuruti apa katanya, batin Emilia.
Hari-hari berlalu dan waktu tidak bisa memberikan sedetik pun untuk Emilia bernapas, "Keano, temani Mama pergi mengambil lidi!" ajak Emilia ia ingin putranya mengenal kehidupan ini.
"Baik, Mama!" ujarnya riang ia merasa semua itu bagaikan sebuah piknik, Emilia membawa banyak makanan. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di perkebunan lain selain milik orang tuanya, "Bu, boleh aku ambil lidi ini?" tanya Emilia kepada salah seorang wanita yang tidak lain adalah sesama pencari lidi dan suaminya kebetulan pekerja di perkebunan tersebut, "Yang ini, jangan! Ke sana, saja!" usir wanita itu dengan ketus.
Emilia menyingkir, "Jangan, di sini! Pergi! Ke sana saja!" teriak wanita lain, sakit rasa di hati Emilia ia tidak menyangka begitu kejamnya mereka. Namun, Emilia tetap berjalan bermodalkan sebilah parang.
"Keano, duduklah di sepeda motor itu. Jangan ke mana-mana! Mama akan mengumpul pelepah dulu," ujar Emilia.
"Baik, Ma!" balas Keano memakan cemilan dan duduk melihat mamanya yang sedang mengambil helaian lidi. Saat pelepah sawit terkumpul Emilia tidak menyangka sepasukan sapi mendatangi mereka, "Mama!" teriak Keano menangis ia tidak pernah berdekatan dengan seekor sapi.
"Sssttt, Diamlah, Sayang. Mama ada di sini," hibur Emilia memeluk putranya, sementara kawanan lembu langsung memakan dengan lahap semua helaian daun yang berada di pelepah sawit.
"Hush! Hush!" Emilia berusaha untuk mengusirnya.
"Ini, wilayah kami menggembala, Mbak! Jadi maklum saja!" teriak si pengembala tanpa mau tahu dan tidak mengusir semua sapinya.
Emilia hanya mampu menatap apa yang dilakukan semua sapi tersebut, "Mama, sapinya nakal sekali! Padahal, Mama sudah capek-capek menyeretnya dari sana. Aku akan melemparnya," teriak Keano.
"Tidak usah, Sayang! Biarlah, mungkin itu rezekinya," ucap Emilia. Ia tidak ingin hanya karena setumpuk pelepah sawit, ia dan putranya akan menjadi korban kekejaman si pengembala sapi yang tidak ia kenal.
Duar! Duar! Duar!
Petir mulai menyambar mengerikan di angkasa, hujan deras membasahi bumi tanpa adanya aba-aba apa pun. Angin kencang meliuk-liukkan pohon, Emilia hanya mampu memeluk putranya bersembunyi dan bertudungkan secarik kain untuk menggendong putranya kala Keano tertidur.
Keduanya basah kuyup dan saling berpelukan, Betapa, bodohnya aku! Mengapa aku menyia-nyiakan kehidupanku dan putraku? Aku masih cantik dan aku masih muda, selain itu aku punya keahlian dan aku punya toko, mengapa aku bodoh? Bila hanya sepuluh ribu aku masih bisa dapat tanpa harus terhina dan mengerikan di sini, batin Emilia, menatap sunyinya perkebunan tanpa siapa pun. Semua pengembala sudah berjalan pulang, hanya tinggal Emilia dan putranya,
aku hanya menghukum diriku karena sebuah perceraian? Kesalahan bukan saja terletak kepadaku bukan? batin Emilia mulai marah dan menyesali tindakannya, bukan hanya aku saja yang bercerai di dunia ini! Mengapa aku menjadi, bodoh? Jika semua ini adalah ketentuan Yang Maha Kuasa, mengapa aku harus takut? Allah selalu bersamaku, batin Emilia semakin menggebu.
Jika Farel melintasi perkebunan ini, atau orang melaporkan padanya betapa hancurnya kehidupanku saat berpisah dengannya, betapa dia akan bertepuk tangan bahagia! batin Emilia semakin membara, ia marah akan kebodohannya, aku mengenal watak Farel yang mengerikan. Jika ia sudah membenci seseorang, ia akan menghancurkannya perlahan-lahan, batin Emilia.
Ia sudah tidak mempedulikan petir dan hujan serta angin menghempas tubuh, ia hanya memeluk putra semata wayang miliknya yang menggigil kedinginan di dekapan, dengan kedua belah tangan Emilia berharap ia mampu menyelamatkan putra yang dimiliki titipan Tuhan setelah sekian lama ia dapatkan di dalam penantian dan doa.
"Mama, Keano takut!" lirih Keano.
"Mama juga takut!" jujur Emilia, ia tidak ingin lagi menjanjikan kekosongan kepada putranya, Dunia ini kejam, buat apa berpura-pura selalu baik-baik saja. Jika segalanya tidak pernah baik-baik! batin Emilia, "sebentar lagi, kita pulang! Jika hujannya reda, angin masih terlalu kencang!" ujar Emilia menatap pohon-pohon sawit yang meliuk-liuk bagaikan ular.
"Mengerikan sekali, Ma!" lirih Keano mengintip dari balik dekapan Emilia.
"Iya, apakah Keano masih ingat lagu, 'Tik-tik bunyi hujan'? Mama lupa," Emilia berusaha untuk mengalihkan semua ketakutan mereka.
Keano melantunkan lagu tersebut bersama dengan Emilia, hujan mulai reda, "Ayo, kita pulang!" ajak Emilia.
"Mama, lidinya tidak dibawa?" tanya Keano dengan menggigil.
"Tidak, perlu!" balas Emilia marah, "peluk Mama yang erat, Nak!" ucap Emilia, menembus rembang senja yang mulai datang kesunyian dan kengerian juga jalanan becek. Tuhan masih memberi cobaan lagi pada Emilia, ban sepeda motornya bocor di tengah jalan.
Emilia ingin menjerit, Sudah jatuh, tertimpa tangga, tersiram cat, terinjak paku, dan tercium kotoran ayam. Lengkap sudah! batin Emilia.
Ia harus mendorong sepeda motornya berapa kilo lagi hingga ke pemukiman penduduk dan mencari tambal ban, "Ma, sebaiknya aku turun!" ucap Keano melihat kesusahan mamanya.
"Tidak, perlu! Mama masih kuat jika hanya seperti ini," balas Emilia.
Keduanya melihat lampu di tengah kejauhan dan keduanya bersorak girang, "Akhirnya!" lirih Emilia tersenyum.
Ia membawa sepeda motor ke bengkel dan seorang wanita memberinya minum teh manis hangat, "Alhamdulilah!" ucap Emilia bersyukur masih ada orang-orang baik menolongnya dan putranya.
***
Sebulan kemudian ….
"Emilia, apakah ini hasil tanamanmu?" tanya Ana.
"Ya begitulah!" jawab Emilia tersenyum.
"Coba, kalau kamu tidak bercerai dengan Farel. Kamu tidak akan melakukan semua ini, kamu begitu bodoh! Kamu malah berselingkuh," hina Ana, "kau lihat, aku! Aku masih bisa bertahan, walaupun suamiku selalu saja berjudi dan memukulku!" ucapnya.
Karena kau, bodoh! Memang kamu sekarung samsak? batin Emilia, namun ia hanya tersenyum.
"Makanya, jadi perempuan harus bisa memuaskan suami. Jangan wajah aja, yang cantik!" umpat Ana.
"Jika kamu mau membeli timun ini, silakan, jika tidak pun tidak masalah," balas Emilia, ia malas ribut ia lelah harus berulang kali menjelaskan banyak hal, semua orang tahunya hanya menyalahkannya tanpa tahu masalah yang sebenarnya. Benar kata pepatah, "Wanita adalah tempatnya salah".
Malangnya, semua orang di Karang Sari tahu, jika Farel adalah orang yang baik, "aku berharap kamu tidak akan menjadi seorang janda sepertiku, syukurilah hidupmu!" ujar Emilia dingin.
"Tentu, saja! Aku bukanlah wanita bodoh, sepertimu Emilia," sungut Ana.
"Jangan dekat-dekat, dengan janda itu! Nanti suamimu diambilnya, bukankah dia selingkuh dari Farel? Kurang apa coba Farel?" ujar Monic menatapnya sinis, sahabat masa kecil yang selalu bersaing dengannya.
"Sayangnya, aku belum pernah menjadi istri simpanan sepertimu!" sindir Emilia telak.
"Emilia, ini musim hujan. Apakah kau tidak kedinginan?" tanya Bastian pria playboy yang kaya raya di Kota Karang Sari.
"Ada, kompor!" balas Emilia.
"Kompor tidak enak, Em! Aku bisa kok menolongmu untuk menghangatkan tubuhmu!" rayu Bastian.
"Aku rasa, terong yang aku tanam lebih besar dan panjang dari milikmu! Jadi, menjauhlah," sarkasme Emilia kesal.
Hinaan dan caci maki juga merendahkan merupakan makanan sehari-hari Emilia, semua itu selalu menerpa hidup Emilia. Namun, ia berusaha untuk tidak mengambil hati, belum lagi nomor-nomor tidak dikenal menghubunginya. Hanya untuk berselingkuh, Dasar, sialan! Memang mereka kira aku wanita apaan? batin Emilia kesal.
***
Di toko pakaian miliknya di suatu pagi ….
"Pilihlah, apa yang ingin kamu beli, Sayang!" ujar sebuah suara yang dikenalnya sangat familiar. Ia melihat jika sang mantan sedang membawa seorang wanita cantik berbelanja di toko pakaian miliknya, Bajingan ini, menuduh aku selingkuh! Baru sebulan bercerai ia sudah menikah, umpat batin Emilia kesal. Namun, harga dirinya menahan untuk mencakar Farel.
"Ada yang bisa saya bantu? Mungkin Mbak memerlukan baju yang seperti apa?" tanya Emilia bersikap manis kepada langganannya.
"Aku rasa, aku mau lihat yang itu!" ujar si wanita cantik tersebut.
"Apakah yang ini?" Emilia memegang sehelai baju yang terpasang di manekin.
"Iya, dan itu! Itu! Dan itu juga!" pintanya menunjuk beberapa potong baju, Emilia memberikan semuanya.
"Silakan dicoba, di sebelah sana ruang gantinya, Mbak!" balas Emilia. Ia tersenyum dan tidak menganggap apa pun lagi pada Farel, rasa cinta yang dulu membumbung tinggi hilang tak tersisa raib entah ke mana. Ia menganggap Farel bagaikan orang asing, Sayangnya, saat pertama kali aku mengenal cinta dan tubuh seorang pria hanyalah dia, sesal batin Emilia.
"Hana, apakah itu cukup?" tanya Farel dengan manisnya.
"Sayang, aku rasa aku tidak menyukai semua pakaian di toko ini. Semua modenya sudah ketinggalan zaman," rengek manja wanita bernama Hana.
"Maaf, kami tidak jadi berbelanja di sini!" ucap Farel memandang sinis kepada Emilia, sekalipun ia tidak bertanya mengenai Keano.
"Tidak, masalah!" jawab Emilia tersenyum. Ia mulai melipat kembali semua pakaian tersebut dibantu Mira.
"Papa!" teriak Keano langsung berlari ke arah Farrel.
Emilia merasa jiwanya sedikit merapuh, "Eh, maaf Keano! Papa lagi sibuk," ucap Farel untuk menepis Keano.
Bruk!
Sebagian jiwa Emilia runtuh berderai, ia tidak menyangka jika mantan suaminya benar-benar sudah tidak menganggap Keano adalah putranya.
"Papa!" air mata mulai turun, "Kiano, mari Nak! Papa lagi sibuk," bujuk Emilia ingin rasanya ia meninju Farel. Namun, ia tidak ingin menjadi bahan hinaan lain lagi. Farel terlalu pintar memutar balik fakta.
"Nih," ucap Farel memberi selembar uang seratus ribu.
"Hore!" teriak Keano tersenyum bahagia.
Dasar, anak-anak! Baru selembar saja sudah senang. Padahal sudah 3 bulan hanya selembar itulah yang bisa diberikannya, malang sekali! batin Emilia. Namun, ia tidak peduli, itu kewajiban seorang ayah bukan?batin Emilia.
"Ayo, Sayang! Kita pergi dari sini," ajak Hana menggamit lengan Farel, meninggalkan toko milik Emilia.
"Dasar, bajunya aja nggak matching! Bisa bilangin baju di toko kita ketinggalan zaman. Padahal, semua ini mode terbaru. Dasar nggak pernah lihat TV, dan Medsos, kali!" umpat Mira.
"Hush! Nggak baik gibahin orang, kenapa nggak langsung saja kamu ngomong tadi, di depan orangnya! Hehehe," goda Emilia.
"Apa Mbak nggak lihat, kalau istrinya mengerikan begitu? Seram gitu, juga. Nggak ah, takut!" balas Mira mengedikkan bahunya. Mira hanya tersenyum, "kamu ini," balas Emilia.
"Mbak, nggak merasa cemburu begitu?" tanya Mira mulai kepo.
"Cemburu sama siapa?" tanya Emilia masih terus melipat pakaian.
"Sama mas Farel!"
"Ya, ampun! Ya, nggaklah. Kami 'kan sudah berpisah, lagian masing-masing sudah memiliki kehidupan. Aku malah senang jika ia menikah, biar ada yang urus, secara keluarganya juga jauh semua." Emilia tersenyum menatap Mira.
"Mama!" teriak Keano berhamburan ke pangkuannya.
"Ada apa, Sayang?" sejak berpisah dengan Farel Emilia berusaha untuk menjadi yang terbaik, sebagai ayah, ibu, dan teman untuk Keano.
"Mengapa papa bersama tante itu?" tanya Keano tidak mengerti.
"Iya, sekarang Kiano memanggil tante tadi ibu, begitu! Jadi, papa Keano sudah punya teman baru. Keano nggak boleh nakal sama papa dan tante Hana tadi," ucap Emilia berusaha untuk membuat Keano mengerti jika kini dirinya sudah memiliki ibu sambung.
"Apakah itu namanya ibu tiri?" tanya Keano seakan ngeri mengucapkan kata Ibu tiri.
"Iya, ibu tiri, atau ibu sambung," balas Emilia berusaha membantu Mira melipat pakaian.
"Apakah tante Hana akan merebus diriku menjadi kaldu?" tanya Keano.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!