Arumi adalah putri tunggal Permana. Selama kurang lebih sepuluh tahun Arumi menjalani hidup tanpa kehadiran sosok seorang ibu. Sejak usia delapan tahun ibunya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dan untuk sampai pada situasi saat ini, bukanlah suatu hal yang mudah bagi Arumi. Selain kesedihan yang mendera, Arumi pun mengalami banyak celaan berkenaan dengan pertumbuhan dan perkembangannya.
Arumi frustasi saat tinggi dan berat tubuhnya menjadi olokan. Yaa..di usianya yang genap delapan belas tahun, Arumi memiliki tinggi tubuh 150 cm dengan berat tubuh hampir menembus angka tujuh puluh kilogram. Belum lagi kacamata yang bertengger menemani hari-harinya.
"Hei semampai..." ucap seorang teman sembari duduk di atas motornya. "Apa tuh semampai...?" timpal seorang lagi. "Semeter tak sampai..." ucap mereka bersamaan dibarengi dengan kekeh yang cukup membuat merah padam wajah si empunya.
KTak...
"Aw..."
Arumi mengaduh saat jari telunjuk Bima mampir di keningnya . Hal tersebut berhasil membuat Arumi mengusap keningnya sambil meringis memperlihatkan gigi putihnya.
"Bul...Bul, Mbok ya kalau disapa itu jawab. Jangan malah ngelamun" ucap Bima lagi sambil berwajah kesal.
"Bulbul...? Siapa? Aku...?" tanya Arumi memasang wajah bingung.
"Ya, siapa lagi. Kan cuma ada kamu, Bul. Emang ada kucing di sini?" ucap Bima.
"Bulbul...? It-itu bukan nama ku..." ucap Arumi sambil memainkan ujung bajunya.
"Bulbul itu panggilan istimewa kami untuk kamu. Sebab Bulbul...sangat cocok dengan mu. Bulbul...gembul" ucap Bima terkekeh diikuti kedua teman lainnya.
Arumi manyun. Kakinya dihentak berulangkali sambil memasang wajah kesal.
"Wow...ada gempa" ucap Bima dan lainnya sambil berjalan terhuyung seakan hilang keseimbangan.
"Kalian...!" teriak Arumi. Kali ini wajahnya terpasang mode marah.
"Dasar cowok ga berahang. Ngomong ga pake saringan. Seenaknya saja mengataiku. Awas ya, nanti akan ku balas. Jika tidak dikehidupan ini, maka dikehidupan lainnya. Aku pastikan itu" batin Arumi.
Arumi hanya bisa menatap kepergian ketiga laki-laki itu dari hadapannya.
Belum tuntas kesalnya, kini Arya kembali menguras emosinya. Arya menarik paksa tas Arumi dan membongkarnya tanpa permisi.
"Apa yang kau lakukan...?!" ucap Arumi sambil berusaha mengambil kembali tas miliknya.
"Sebentar..." cegah Arya dengan sebelah tangannya sambil memutar sedikit tubuhnya.
"Dapat..." ucap Arya dengan wajah sumringah sembari menunjukkan sebuah buku dari dalam tas Arumi.
"Aku pinjam ya, Bul. Kau kan mahasiswi yang rajin mencatat" ucap Arya sambil melempar tas tepat mengenai wajah Arumi. Mengepal tangan Arumi menahan kesalnya.
"Dasar kutu kupret. Apa tidak bisa meminjam secara baik-baik. Bulbul...bulbul. Enak saja memanggilku seperti itu. Ah, sial...." batin Arumi.
Kemudian tangannya meraih beberapa perlengkapan yang berserakan dengan kesal dan memasukkannya kembali dalam tasnya. Begitu fokus, hingga Arumi tidak menyadari jika sejak tadi ada sepasang mata yang mengamatinya.
"Diledekin lagi? Kenapa tidak melawan..." ucap seorang laki-laki. Arumi terdiam. Matanya langsung terkunci pada sosok yang baru saja mengubah tempat duduknya sehingga kini ia berada tak jauh dari Arumi. Mata laki-laki itu sesekali menatap Arumi yang masih tertegun. Sementara sebelah tangannya menjangkau sebuah buku yang masih tergeletak tak jauh dari tempatnya duduk. Laki-laki itu pun menyodorkannya kepada Arumi.
"Te-terima kasih, Pak..."
"Duh...pak Elvano makin hari makin ganteng saja. Andai kan...Stop Arumi, jangan berkhayal macam-macam" batin Arumi sambil melihat Elvano dengan ekor matanya.
"Kamu harus balas sekali-kali Arumi" ucapnya kemudian. "Kalau saya mau, saya akan lakukan..." ucap Arumi datar. Entah darimana ia mendapat keberanian itu. Mungkin karena sikap humble Elvano yang membuat Arumi bak memiliki kekuatan untuk menyatakan pendapat.
"Kalau saya mau, saya akan lakukan. Apa maksud gadis ini..." batin Elvano.
"Lalu kenapa kau tidak mau melakukannya...?" ucap Elvano berharap mendapat jawaban yang akurat. "Karena Arumi tidak berani, Bapak..." ucap Arumi sedikit ketus.
"Astaga..." ucap Elvano sambil menepuk keningnya. Matanya menatap kepergian Arumi yang tergesa. Kepalanya menggeleng penuh heran.
Brukk...
Arumi menabrak tubuh seorang laki-laki yang tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Tubuh Arumi sedikit limbung. Beruntung ia mampu segera menyeimbangkan tubuhnya. "Ma-maaf..." ucap Arumi gagu tanpa melihat sosok yang telah ditabraknya. Arumi lebih asyik merapikan lembar kertas yang terburai dari dekapannya. Sementara si laki-laki hanya berdiri dan menatap sekilas Arumi. Kemudian melangkah beberapa langkah menuju Elvano, sahabat sekaligus asistennya.
"Astaga..." ucap Elvano lagi saat melihat peristiwa tersebut. Lagi-lagi tangannya menepuk keningnya sambil mengurai senyum.
"Kau jatuh hati...? Sepertinya kau perhatian sekali padanya?" ucap Mirza Adyatma--seorang pengusaha muda sukses nomor satu di Indonesia. Saat ini Mirza tengah menjadi dosen tamu untuk mata kuliah manajemen bisnis di kampus XYZ pada semester kedua ini.
"Jatuh hati...? Padanya?" ucap Elvano yang spontan menatap Mirza.
"Bhuahaha...." tawa Elvano membahana.
"Ah, pura-pura kau El..."
"Tidak. Aku hanya kasian padanya. Mahasiswi yang terbilang pandai, mendapat olokan hanya karena fisik yang tak sempurna..." ucap Elvano. Mirza mengerutkan kedua alisnya. Ia tengah mencerna perkataan Elvano--sahabat sekaligus asisten pribadinya itu.
Pukul sembilan lewat lima belas menit. Lima belas menit lagi, perkuliahan jam kedua akan segera di mulai. Arumi melangkah dengan tergesa. Namun saat melewati kerumunan mahasiswa, Arumi menangkap beberapa pasang mata yang sesekali menatapnya lekat bergantian dengan papan pengumuman. Mereka pun terdengar kasak-kusuk seperti membicarakan sesuatau. Arumi menjadi penasaran. Kemudian Arumi menghampiri kerumunan dan berhasil menembusnya.
"What....!!
Arumi tertegun.
"Ap-apa ini..? ucap Arumi gagu. Matanya menatap kaku pada sebuah sketsa yang tertempel papan pengumuman. Sketsa yang amat ia kenal. Karena seratus persen ia ingat itu adalah hasil goresan tangannya. Sketsa yang menampilkan wajah Mirza Adyatma.
Yang membuat dada Arumi sesak adalah tulisan yang tertera sebagai penghantar sketsa.
"Si semampai alias si gembul sedang jatuh cinta..." baca Arumi. Dadanya bergemuruh hebat dan sepertinya tengah bersiap menjadi badai.
Jelas tulisan itu ditujukan padanya. Karena tiada lain lagi di kampus ini yang dianugerahi gelar se-nyentrik itu, semampai dan gembul selain dirinya. Hampir menitik air mata Arumi berada pada situasi tersebut.
Tak ingin berlama-lama, akhirnya Arumi memilih untuk meraih sketsa tersebut dan merobeknya kasar. Perbuatannya itu dibarengi dengan mahasiswa yang meng-hu serentak.
"Hah...si pungguk merindukan bulan" ucap Shereen di sela kekehnya yang terus mengisi gendang telinga Arumi.
Bhuahaha....
Tawa hampir seluruh mahasiswa yang ada. Mendengar itu, langkah Arumi menjadi panjang meninggalkan area gedung. Kedua matanya sudah menyimpan air mata dan sesaat lagi akan terjun bebas.
Seiring rasa pilu dan malu, langkah Arumi semakin tak terkendali hingga ia tak memperhatikan lajur jalan. Bahkan bayangannya sendiri pun tak ia pedulikan. Saat ini ia hanya ingin menghilang dari tatapan menyudutkan dari setiap pasang mata yang menatapnya.
Ciiiiiit....!
Suara mesin mobil mencicit. Suara cicitnya telah berhasil mencubit sisi jantung Arumi. Arumi menjadi ciut. Wajahnya pasi dengan degup jantung yang berkejaran tak menentu, bak genderang ditabuh bertalu. Bagaimana tidak, saat sebuah mobil berhenti mendadak dan hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari tempatnya berdiri. Arumi terpaku. Seluruh urat syarafnya menegang. Dan kemudian tubuhnya me-lesu, tiada energi lagi.
"Ya, Tuhan... Tolong aku" batin Arumi sambil berusaha mendamaikan degup jantungnya.
"Ini gadis pendek dan gembul sungguh keterlaluan. Seenaknya saja melintas tanpa memperhatikan jalan. Sial...!"
Tak lama pintu mobil terbuka. Seorang laki-laki berwajah tampan, bertubuh tinggi dan tegap keluar dari mobil sport berwarna silver. Sejenak ia melempar tatapan pada sekitar. Lalu melangkah mantap menghampiri Arumi. Mata Arumi terkunci pada sosok tampan itu. Jantung Arumi semakin berdegup hebat dan sepertinya sulit di damaikan jika terus-menerus berdekatan dengan si tampan itu.
"Aah..tampan sekali kau, Pak. Seandainya...Hus! banyak halu kau Arumi. Pikirkan nasib mi sekarang" batin Arumi.
Arumi tertunduk pasrah. Karena ia tahu ialah yang bersalah.
Glek...
Arumi terpaksa menelan saliva lekatnya, walau terasa sulit saat laki-laki tampan yang tak lain tak bukan adalah Mirza berdiri tepat dihadapannya dengan menghadiahi tatapan yang begitu mengintimidasi.
"Eegh...Dasar manusia kulkas. Marah saja tetap tanpa ekspresi-- begitu datar. Begitu dingin. Begitu semakin membuat degup jantung ini berlarian tak karuan" batin Arumi saat tatapan Mirza benar-benar mempengaruhi suasana hatinya.
KTak...
Jari telunjuk Mirza mendarat tepat pada kening Arumi sehingga gadis itu terhenyak dari lamunannya.
"Awa...!"
Tangan Arumi sontak memegang kening yang yang baru saja dihadiahi sentilan oleh Mirza.
"Sedang kebelet ya? Sampai-sampai jalan seperti milik sendiri" ucap Mirza yang terus menatap Arumi tanpa ekspresi berarti.
"Ah, kau tidak tahu jika ini semua bapak lah penyebabnya. Jika saja aku tidak membuat sketsa wajah bapak, jika saja lembaran kertas sketsa wajah bapak tak terjatuh, jika saja...jika saja...jika saja...Tentu hal memalukan ini tak kan pernah aku alami. Duh...aku malu sekali. Jika ada sumur jin sekali pun, aku akan tetap terjun sekedar untuk nersembunyi" batin kembali Arumi.
"Minggir. Aku mau lewat. Aku membutuhkan jalan ini untuk sampai ke kelasku" ucap Mirza. Lagi-lagi tanpa ekspresi bermakna. Arumi sempat bergidik mendapati situasi tersebut.
"Hii...! angkuh sekali. Dasar manusia kulkas..." Arumi membatin. Ada kesal yang menelusup dalam relung hati dan tak dapat terelakkan lagi.
Arumi pun akhirnya menepi. Memberi jalan pada sang dosen kulkas untuk berlalu bersama mobil mewahnya. Mata Arumi menatap gagu laki-laki tampan yang kini sudah kembali duduk di belakang kemudi.
"Fiuh...."
Arumi mendengus lega. Tangannya mengelus dadanya berulangkali. Sekali Arumi menjura saat mobil Mirza melewatinya sebagai permintaan maafnya.
"Haduh, beruntung si manusia kulkas tidak melakukan apa-apa. Tak terbayang jika ia mencak-mencak memarahi ku. Kan semakin malu..." batin Arumi.
Pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Arumi terisak dalam toilet. Ia menumpahkan segala sesal dan goretan luka dalam hatinya.
"Mengapa kau sebodoh ini. Mengapa kau harus membuat sketsa wajahnya. Dasar bodoh...kau Arumi. Kini hendak kau taruh dimana mukamu, jika hampir setiap orang mengetahui bahwa kau menyukai pak Mirza. Haduh, Apa kata pak Mirza. Bodoh kau Arumi..." batin Arumi yang kian tak menentu. Berulangkali tangannya mengusap kasar wajahnya.
Arumi menghempaskan tubuh pada kasur yang sejak tadi serasa memanggilnya. Sejenak Ia benamkan wajah pada kasur nan empuk itu dan menutup kedua telinga dengan bantal saat bermacam kata olokan seakan kembali menyasar dalam kedua telinganya. Terlebih saat insiden sketsa wajah kembali menari dalam ingatannya.
"Arumi..." ucap seorang laki-laki yang tak lain adalah Permana--ayah Arumi. Mendengar derit pintu yang terbuka bergegas Arumi menyusut air mata yang sejak tadi terjun bebas. "Ada apa, Ndok...?" tanya Permana. Tangannya mengusap lembut pucuk kepala Arumi.
"Ayah tahu bagaimana perasaanmu, Ndok. Maafkan ayah begitu terlambat menyadarinya. Maafkan ayah..." batin Permana. Laki-laki paruh baya itu begitu menyesali tindakannya beberapa tahun yang lalu.
"Ayah..." ucap Arumi yang langsung menghambur memeluknya. Tangis Arumi kembali pecah dalam dekapan Permana.
"Ada apa, Ndok...?" tanya Permana lagi. Bukan sekali, bahkan berulangkali. Namun tiada kata yang mampu Arumi ucap sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
Permana menghela nafas dengan berat. "Ndok...manusia tidak ada yang sempurna. Semua pasti mempunyai kekurangan. Dan yakin saja, apa yang sedang kau jalani saat ini adalah bagian hidup untuk cerita indah esok hari. Ayah yakin itu..." ucap Permana akhirnya dengan bijak sambil terus mengusap pucuk kepala Arumi.
"Ayah tidak mengerti bagaimana perasaan ini...?" ucap Arumi di sela tangisnya. Mendengar ucapan putri semata wayangnya itu, Permana tak dapat berkata-kata lagi. Kini ia larut dalam perasaan Arumi. Di dekapnya Arumi dengan erat dan diusapnya punggung gadis bertubuh tambun itu.
"Ndok...yakin saja. Setiap manusia lahir dengan membawa kelebihan seperti yang sudah digariskan Tuhan" ucap Permana sendu mengakhiri diamnya.
"Tapi Arumi tidak tahu apa kelebihan Arumi...?!" ucap Arumi setengah teriak dengan suara parau.
"karena Arumi terlalu sibuk dengan kekurangan Arumi"
Deg.
Arumi terdiam. Kata-kata Permana barusan berhasil menohok hatinya. Sebagian hatinya benar-benar membenarkan setiap ucapan Permana. Dan sebagian lagi bak mencibir karena ia tahu bagaimana rasanya berada pada situasi dimana timbangan berat badan dianggap lebih relevan dibanding timbangan amal kebaikan. Tinggi tubuh lebih utama dibanding harga diri.
Tampak Permana menghela nafas lagi. Kali ini kedua tangannya menegakkan bahu Arumi. Matanya yang basah menatap Arumi lekat jauh kedalam hati.
"Ayah tahu bagaimana perasaanmu, Arumi. Kenapa? Karena aku ayahmu. Dan semua itu terjadi karena ayah. Tapi ayah berjanji akan menebusnya. Ayah akan membuatmu bahagia..." batin Permana.
"Setelah sekian lama aku baru mendapatkan kasih sayang ayah, maka apa pun akan kulakukan demi membuat ayah bahagia. Arumi janji, Yah. Arumi akan menjadi gadis yang kuat..." batin Arumi.
"Arumi percaya pada ayah...?" tanya Permana dengan terus menatap wajah putrinya yang telah basah air mata itu. Arumi mengangguk lemah.
"Itu sudah cukup bagi ayah. Yang pasti ayah yakin, Arumi akan bahagia suatu hari nanti" ucap Permana kemudian sambil mengecup pucuk kepala Arumi dengan lembut.
"Sekarang lihat yang ayah bawa..." ucap Permana sambil mengusap air mata Arumi. Tangannya kemudian menyodorkan sebuah paper bag berwarna biru. Aruni menatap wajah Permana dan isi paper bag bergantian.
"Sahabat ayah akan berkunjung. Anak ayah pakai ini, ya..." ucap Permana sambil mencolek dagu putrinya yang masih terdiam itu.
🌸🌸🌸🌸🌸
Senja sudah menjemput. Langit pun sebagian tertutup lembayung. Warnanya yang kemerahan begitu menenangkan. Arumi tengah bersiap. Ia tengah mematut diri di depan cermin setelah sebelumnya menyelesaikan ibadah sholat maghrib.
Blouse biru dengan motif bunga kecil-kecil di bagian bawahnya ia padu dengan celana berwarna gelap. Sementara rambutnya ia ikat sembarang begitu saja.
Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Sebuah mobil mewah keluaran terbaru terlihat parkir di halaman rumah. "Permana..." ucap laki-laki tersebut sambil menjabat dan memeluk Permana.
"William..." ucap Permana sumringah membalas pelukan laki-laki yang dipanggilnya William itu. Kemudian berlanjut menjabat tangan perempuan di sebelah William. Tampak ketiganyaa begitu akrab.
Berada pada situasi tersebut, Arumi mendadak rikuh. Ia mulai menyimpan tatapannya pada ujung kaki. Sementara tangannya tak henti-henti membetulkan letak kacamatanya.
"Ini anakku, Arumi..." ucap Permana yang berhasil mengalihkan perhatian keduanya kepada Arumi.
"Arumi...ini Om Willian dan Tante Dania" ucap Permana yang semakin membuat Arumi kikuk. Pun demikian, Arumi tetap meraih dan mengecup punggung tangan keduanya dengan takzim sambil menyebut nama.
"Arumi..." begitu ucapnya.
"Wah... sopan ya, Pa?..." puji Dania.
"Ya, sekarang sudah jarang anak muda yang mau mencium tangan seperti ini. Kamu hebat Permana, bisa mendidiknya" ucap William.
"Ah, bisa saja. Jika aku hebat, lalu kalian apa? Super hebat toh..." ucap Permana sambil tertawa. Pun demikian dengan kedua sahabat Permana yang super tajir itu.
Di tengah keramahan itu, sejenak mata Permana seakan tengah mencari sesuatu. Bola matanya melirik kesana-kemari. Sadar dengan tingkah Permana, William menepuk bahu Permana.
"Anak kami ada di mobil. Sebentar lagi juga bergabung bersama kita. Maklum saja. Biar sudah malam pun pekerjaannya tak selesai juga" ucap William tersenyum bangga disusul decak kagum Permana.
"Nah itu dia..." ucap Dania saat seorang laki-laki keluar dari dalam mobil sambil terus melakukan percakapan melalui ponselnya hingga berdiri dekat William. "Ini Mirza, putra semata wayang kami..." ucap Dania sambil mengusap lengan anak laki-laki nya itu.
Arumi yang mendengar sebuah nama disebut, sontak mengangkat wajahnya.
"Pak Mirza..." ucap Arumi. Tak dapat dipungkiri lagi jika Arumi dipenuhi rasa terkejut hingga degup jantungnya tak dapat ia ajak damai.
"Kamu..." ucap Mirza saat sadar namanya disebut dengan nada tak biasa.
"Astaga kenapa manusia kulkas ini yang nongol? Aduh, mau ditaruh dimana muka ini. Semoga saja pak Mirza tidak menyinggung soal insiden mobil saat itu. Terlebih tentang sketsa wajah itu. Em, semoga saja..." batin Arumi.
"Ini gadis gembul ternyata anak sahabat papa dan mama. Astaga...rasanya aku ingin lari saja dari tempat ini. Ah, sial. Mengapa mama dan papa begitu ngotot menjodohkan ku dengan gadis seperti ini. Apa sudah tidak ada stock gadis lagi di dunia ini. Mau ditaruh dimana nieh muka jika para relasi ku melihatnya. Ah, sial..." batin Mirza.
"Mirza, ini om Permana. Sahabat papa dan mama sejak masih di SMA" ucap Dania sambil mengulum senyum.
"Mirza..." ucap William sambil menepuk bahu Mirza. Dan hal tersebut nyaris membuat Mirza tergagap dari lamunannya.
"Ma-malam, Om " ucap Mirza menyambut jabatan tangan Permana.
"Ini Arumi. Anak Om satu-satunya. Sepertinya kalian sudah saling kenal..." ucap Permana sambil mengulum senyum saat bertemu mata dengan William dan Dania.
Deg.
Jantung Arumi berdenyut saat tatapan Mirza beralih padanya.
"I-iya, Om. Kebetulan Arumi salah satu mahasiswa saya di kampus XYZ" ucap Mirza dengan wajah datarnya. Hanya ujung bibirnya saja yang memberi senyum. Mungkin sebagai tanda penghargaan kepada Permana.
"Wah, baguslah jika demikian..." ucap William sambil mengikuti langkah Permana memasuki rumah.
Deg.
Deg.
Deg.
"Ah, sial...Mengapa mataku tak dapat lepas dari nya. Desiran aneh itu pun semakin menjalari seluruh tubuhku. Dan jantung ini pun semakin berdegup tak menentu. Terlebih saat ia menatapku dari ujung kaki hingga kepala" batin Arumi.
Walau sedikit gagu, Arumi berhasil mengumpulkan keberaniannya. Arumi pun kembali mengangkat kepalanya. Arumi tertegun.
"Astaga, tinggi sekali nieh manusia kulkas. Aku saja sampai mendongak untuk menatap wajahnya. Wah..." batin Arumi.
"Sial...berani sekali ia menatapku dengan mata empatnya itu. Jadi ternoda ketampaannku ini. Duh, Andrea sayang. Mengapa kau dibandingkan dengan gadis stock terakhir begini?" batin Mirza.
Perang batin antara Arumi dan Mirza berlangsung hingga di meja makan. Keduanya lebih banyak diam, asyik dengan fikiran masing-masing hingga makan malam berakhir.
Pukul delapan lewat sepuluh menit. Obrolan ketiga sahabat pun terus berlanjut. Membuat Arumi dan Mirza yang sejak tadi berkutat dengan ponselnya mulai merasa jenuh.
"Arumi, ajak Mirza ke taman. Di sana kalian bisa berbincang banyak. Mungkin ada banyak hal yang ingin dibicarakan" ucap Permana sedikit tawa yang langsung diamini Arumi dan Mirza yang nyatanya sudah merasa jenuh berada di tengah obrolan kedua orangtua mereka.
Keduanya pun tampak berjalan beriringan melewati halaman rumah dimana mobil mewah keluarga Williams terparkir. Dan sejenak Mirza menghampiri mobil tersebut. Ia mengambil sesuatu yang akhirnya ia sembunyikan dibalik bajunya.
Tak lama , tampak kembali keduanya tengah mengitari sebuah kolam untuk kemudian duduk pada kursi dengan meja bulat berwarna putih di tengahnya.
"Apa kau dan ayah mu yang merencanakan perjodohan ini?" tanya Mirza datar.
"Perjodohan...?"
"Ya. Per-jo-do-han..."
"Ar-Arumi tidak tahu, Pak. Su-sungguh..." ucap Arumi canggung.
"Aku yakin kau tidak keberatan atas perjodohan ini. Apa kau yang membuat ini?" ucap Mirza sambil menyodorkan lembar kertas yang jelas berisi sketsa wajahnya.
Blush....
Wajah Arumi merah padam bak kepiting direbus.
Deg.
Deg.
Deg.
Arumi terdiam. Sekuat tenaga ia berusaha setenang mungkin di tengah situasi yang Mirza ciptakan. Arumi mendamaikan degup jantungnya yang tengah berloncatan tak menentu.
"Kau yang membuatnya? Dan apa kau juga yang membuat tulisan di belakangnya?" ucap Mirza lagi. Spontan Arumi membalik kertas dan menatapi deretan huruf yang cukup panjang.
Arumi semakin menyimpan wajahnya. Ia menggigit bibirnya menahan desiran aneh yang bergejolak di dadanya. Karena ia tahu betul itu adalah benar tulisan tangannya.
"Aku tidak keberatan dengan ungkapan perasaanmu itu..."
"Egh..."
"Em, maksudku tidak keberatan karena itu adalah hak setiap orang. Aku minta kau tidak salah faham. Aku datang bukan berarti menyetujui perjodohan ini. Aku hanya ingin membuat bahagia mama dan papa" ucap Mirza tanpa ekspresi.
"Oya, tentu saja kau tidak akan menerima perjodohan ini. Karena aku bukan gadis yang kau impikan, bukan. Arumi-Arumi... sadarlah..." batin Arumi.
"Ketahuilah...sesungguhnya aku tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis. Dan aku amat mencintainya. Tapi entah mengapa mama dan papa tidak merestui hubungan kami tersebut"
Deg.
"Ow, ternyata manusia kulkas ini punya pacar juga. Ku kira tak ada gadis yang mau. Atau mungkin gadisnya pun sama seperti nya. Sama-sama manusia kulkas." batin Arumi.
"Kau mengerti maksud ku..." ucap Mirza datar.
Arumi terdiam. Ia tengah memaknai setiap kata yang sudah dilontarkan laki-laki yang masih bertahan duduk di sebelahnya itu. Laki-laki yang jika dilihat dari ekor matanya, tengah asyik menatap pendar cahaya pada air kolam yang tampak berkilauan. Dan Kilauan itu pun sesekali membias pada wajah tampan laki-laki yang diam-diam sudah ia cintai itu.
"Apa kau mengerti maksud ku..?!" ucap Mirza sekali lagi sedikit meninggi.
"Arumi mengerti. Bapak tidak menerima perjodohan ini, karena bapak sudah memiliki cinta untuk gadis lain. Jadi sebuah kemustahilan jika bapak mencintai saya. Itu kan maksud bapak...?" ucap Arumi menjabarkan ulang maksud Mirza berdasar pemahamannya.
"Good..." ucap Mirza sambil berdiri.
"Tapi aku ingin memberi mu kesempatan. Hitung-hitung memberi angin segar pada mama dan papa ku. Kau baca lembar kedua sketsa itu pada bagian belakangnya..." ucap Mirza lagi.
Kesepakatan perjodohan :
Buatlah aku jatuh cinta pada mu
Kesempatan mu enam bulan untuk
mewujudkan point (1)
Tidak boleh melarang jika aku bersama
gadis yang aku cintai
Tidak menuntut lebih atas kompensasi
selama mewujudkan point (1)
Tidak boleh baper
"Apa ini? Semacam perjanjian? Atau apa?Dasar manusia kulkas, kau ingin membuat kegilaan rupanya" batin Arumi.
"Apa maksudnya...?" tanya Arumi sambil melangkah panjang karena Mirza baru saja meninggalkannya.
"Aku menghargai keinginan mama dan papa ku. Dan aku tidak ingin membuat keduanya kecewa. Maka aku memberimu kesempatan seperti yang tertulis itu. Jika kau berhasil maka aku akan jadi budak cinta mu. Tapi jika tidak maka kau harus menyingkir dari jalan cintaku bersama gadis yang aku cintai. Bagaimana?" ucap Mirza sambil berdiri dan menatap Arumi.
Glekk...
Arumi kembali terpaksa menelan saliva kelatnya dengan berat. Arumi gamang. Ia tidak tahu harus berkata apa dalam situasinya saat ini.
"Tidak sanggup menerima tantangan ku? ya, baiklah. Aku akan mengatakan pada kedua orangtua kita, bahwa kau yang menolak perjodohan ini" ucap Mirza sambil berlalu.
Arumi kembali tertegun. Ada kegamangan yang menggelayuti ujung hatinya. Matanya menatap punggung Mirza yang hampir hilang di balik dinding ruangan dimana ketiga sahabat tengah berbincang.
"Jika pak Mirza menyampaikan bahwa aku yang menolak, bagaimana perasaan ayah di depan kedua sahabatnya itu. Hadeeuh...aku harus apa? Aku memang mencintainya tapi tak mungkin rasanya memilikinya mengingat ia sudah mencintai gadis lain..." batin Arumi.
"Mama, papa, dan om...maaf. Setelah berbincang sepertinya Arumi..."
"Tunggu..." ucap Arumi menghentikan kata yang bersiap meluncur dari bibir Mirza.
"Ikut aku...." ucap Arumi sambil menarik lengan Mirza yang manut saja diperlakukan demikian.
Tersenyum ketiga orang yang memang bermaksud menjodohkan Arumi dan Mirza. Ketiganya saling menatap saat melihat acara tarik menarik yang tengah terjadi.
"Ok. Aku setuju... Pena?" ucap Arumi yang langsung menandatangani lembar kertas putih berisi empat point yang sudah ia baca sebelumnya sesaat setelah ia menerima sebuah pena dari Mirza. Dan Mirza pun melakukan hal yang sama, yaitu menandatangi lembar tersebut.
"Maaf Arumi, jelas aku tidak dapat menerimamu. Tapi aku akan membuat situasi kaulah yang mundur teratur atas perjodohan ini, bukan aku. Karena dapat aku pastikan selama enam bulan kau tidak akan mendapat perhatianku sedikit pun, apalagi cinta ku" batin Mirza. Wajahnya menyiratkan sebuah kemenangan.
"Kenapa bos...?" tanya Elvano pada Pradipta--sekretaris Mirza saat melihat Bos kakunya itu masuk ruangan dengan wajah kelabu. Pradipta pun tanpa kata. Ia hanya mengendikkan bahu sesaat sebagai jawaban atas pertanyaan Elvano.
Elvano pun langsung mengekori Mirza yang sudah masuk lebih dahulu dalam ruangannya. Elvano memilih duduk pada sofa sambil memperhatikan polah bos sekaligus sahabatnya itu.
Brukk...!
Mirza melempar berkas dan tas yang dibawa ke atas meja kerjanya. Ia begitu kesal. Saking kesalnya, Mirza melempar sembarang gelas berisi air mineral hingga pecah berantakan. Suasana pun menjadi gaduh sesaat. Mirza benar-benar tengah kalut pagi ini. Amarahnya begitu meluap-luap tak terkendali.
Melihat itu, Elvano diam. Ia hanya menaikkan kedua alisnya. Ia tahu betul jika saat ini Mirza tengah diamuk amarah. Tanpa mengetahui penyebabnya, Elvano enggan berkomentar karen ia tahu bagaimana tabiat laki-laki tampan pemilik MA Group yang disemati pengusaha sukses nomor satu di Indonesia itu.
Mirza mendengus keras. Kemudian matanya menatap Elvano yang sejak tadi menunggu penjelasannya.
"Kau tahu, El..."
"Enggak..."
Mendengar jawaban itu, Elvano dihadiahi lemparan bantal oleh Mirza. Dan tanpa bisa mengelak, Elvano pun pasrah terkena lemparan tersebut.
"Kau dengarkan aku dulu...! Dasar kutu kupret..." ucap Mirza dengan suara meninggi.
"Oke...Oke. Aku kira kau bertanya jadi langsung ku jawab. Karena memang aku tidak tahu" ucap Elvano sambil terkekeh.
"Kau ingat mahasiswi ku, yang bertubuh pendek? Gembul? Yang membuat sketsa wajahku?"
"Ya, aku ingat. Arumi namanya. Kalau tidak salah..."
"Semalam aku ke rumahnya..."
"What...! Dalam rangka apa? Apa sahabatku ini sudah berubah selera? Atau kehabisan stock gadis sehingga Arumi pun di embat..."
"Sialan kau..! Aku masih waras, kutu kupret..."
"Lalu apa urusan mu kesana?"
"Ternyata dia itu anak sahabat mama dan papa sejak SMA.."
"Wow...luar biasa. Kebetulan sekali..."
"Ya, kebetulan sekali. Karena si gembul itu yang...." ucap Mirza terhenti. Ia menatap Elvano. Ia yakin sahabatnya itu pasti akan menertawakannya. Mata Mirza menatap Elvano yang sudah memasang mode wajah menunggu kalimat yang sempat terhenti dari sahabatnya itu.
"Em, mama dan papa sepakat menjodohkan kami.."
"What...! Kau dan Arumi? Bhuahaha...."
Pecah tawa Elvano yang membuat Mirza tak enak perasaan. Wajah Mirza merah padam menahan amuknya.
"Sorry...sorry, Bos. Aku hanya merasa lucu. Beberapa pekan lalu, bos mengatai ku jatuh hati padanya. Tapi nyatanya bos yang justru dijodohkan dengan nya..." ucap Elvano sambil menahan tawa.
"Tapi aku menolaknya secara halus..."
"Maksud bos, gimana?"
"Ini..." ucap Mirza sambil meletakkan selembar kertas semacam perjanjian yang sudah dibubuhi tanda tangan Mirza dan Arumi. Elvano langsung meraih kertas tersebut dan membacanya dengan teliti. Matanya membulat sempurna setiap membaca tiap kata yang tertulis, point demi point.
"Busyeet..... Biadab sekali kau, Bro" ucap Elvano sambil meletakkan kembali kertas tersebut.
"Cuma Andrea yang cintai, El. Cuma dia..."
"Bagaimana jika ia berhasil melewati tantangan dan berhasil membuatmu jatuh cinta kepadanya bahkan sebelum waktu enam bulan?" ucap Elvano sambil menatap lekat sahabatnya itu. Di ujung tatapannya ada tanya yang jawabannya sedang ia cari pada diri laki-laki tampan, pengusaha muda sukses nomor satu di Indonesia itu.
"Andrea sudah cukup bagi ku. Karena cinta ku hanya miliknya. Dan dapat ku pastikan si pendek..em, si gembul atau siapa pun dia itu tak kan pernah berhasil membuatku jatuh cinta kepadanya" ucap Mirza sambil menatapi layar ponselnya yang baru saja berpendar.
"Baiklah jika kau seyakin itu. Em, lalu kenapa kau uring-uringan pagi ini? Seperti anak gadis yang kehilangan pakaian dalamnya saja"
"Sial...emang eyke cowok apaan"
"Bhuahaha....." tawa keduanya pecah mengisi ruangan pagi ini.
"Pagi tadi mama meminta aku berkencan dengan si gembul..."
"Empth... bhuahaha..." lagi-lagi Elvano terbahak hebat. Dan lagi-lagi Mirza menghadiahinya lemparan bantal.
"Tapi aku sudah memiliki solusinya"
"Pasti menghindarinya..."
Mirza tersenyum kaku.
"El, tolong kirim lima puluh juta ke rekening Andrea. Ia sedang berlibur di Jepang. Dan ada barang yang ingin ia beli..."
"What...! baru dua hari lalu dia minta lima puluh juta. Sekarang minta lagi. Emang kau pabrik duit apa"
"Sudahlah...berikan saja. Sebentar lagi juga dia jadi istriku. Jadi wajar jika aku memanjakannya"
"Kau yakin jika..." ucap Elvano terhenti saat Mirza memasang wajah dengan tatapan seakan hendak pergi berperang.
Elvano diam. Dia tahu betul tabiat sahabatnya itu jika sudah mencintai dan merasa memiliki maka semua akan ia berikan. Tapi ini sudah menjadi sebuah kegilaan. "Oke deh. Aku transfer sekarang..." ucap Elvano sambil berlalu.
"Oya, satu lagi..." ucap Mirza yang berhasil menghentikan langkah Elvano dan langsung memutar kembali tubuhnya.
"Tolong kau amati gerak-gerik si pendek, si gembul itu. Kau kirim saja Darius atau Praja" ucap Mirza sambil duduk pada kursi kebesarannya.
"Ok, Bos..."
🌸🌸🌸🌸🌸
Sementara itu di tempat berbeda di waktu yang sama. Arumi tengah berada di meja makan. Dari ekspresi yang tampak, jelas sekali Arumi tengah mengalami sindrome tak nafsu makan. Sebab sedari tadi tangannya hanya mengaduk-aduk menu sarapannya tanpa menyuapkannya dalam mulutnya.
"Kok cuma diaduk-aduk? Kapan makannya...?" tanya mbok Parni yang baru saja menghampirinya.
"Tidak lapar, Mbok..." ucap Arumi sambil mendorong piringnya menjauh.
"Nanti sakit loh, mbak. Ayo dimakan" bujuk mbok Parni yang langsung di jawab gelengan kepala oleh Arumi.
"Tidak, Mbok..."
Arumi sambil berlalu. Ia menyusuri anak tangga yang tampak mengular. Namun bukan pada kamar pribadinya ia akan menenggelamkan segala rasa yang tengah ia rasakan saat ini. Melainkan pada sebuah ruangan berukuran 5x5 m lah kakinya melangkah.
Kreeek...
Derit pintu terdengar ketika daun pintu berukir itu terbuka. Arumi melangkahkan kaki dengan gontai. Wajahnya sedikit mendung. Terlebih sejak kunjungan keluarga William, sahabat ayahnya semalam.
Sejenak matanya mengitari setiap inci ruangan yang dipenuhi lukisan hasil karya ibunya itu. Ia makin terdiam saat tatapannya berpadu pada sebuah lukisan terakhir yang ibunya buat. Sebuah lukisan dengan seorang anak perempuan yang duduk pada ayunan. Di tangannya tergenggam sebuah permen besar rainbow. Melihat itu terbitlah senyum di sudut bibirnya. Hatinya mulai beriak.
"Bu, apa yang harus Arumi lakukan untuk membuat pak Mirza mencintaiku? Arumi memang mencintainya, tapi mampukah Arumi memenuhi tantangannya? Waktunya begitu singkat, Bu. Arumi yakin, itu hanya akal-akalannya saja untuk menggagalkan rencana perjodohan itu. Arumi juga sadar diri tidak mungkin dia mencintai Arumi dengan segala kekurangan Arumi. Arumi harus bagaimana, Bu..." batin Arumi.
Tanpa sadar Arumi terbawa ke dalam alam bawah sadar saat matanya terpejam.
"Siapa itu...?" ucap Arumi saat melihat sosok perempuan yang tengah duduk membelakanginya. Tangannya tengah asyik membuat goresan pada kanvas di hadapannya. Dari bentuk dan ciri tubuhnya, Arumi tahu betul siapa perempuan itu. Ya, dia tak lain adalah sosok ibunya.
"Ibu..." panggil Arumi. Langkahnya menjadi cepat saat perempuan yang ia panggil dengan ibu memutar tubuh sambil mengurai senyum. Terisak Arumi dalam pangkuan perempuan itu. Ia berkeluh kesah atas segala rasa yang sudah begitu menghimpit jiwanya.
"Jadi kuat dan beranilah menerima kenyataan, menerima kekurangan pada diri, juga berani menjalani hidup mu. Jangan takut untuk berubah demi sebuah tujuan..." ucap perempuan itu yang dipanggil Arumi sebagai ibu yang juga sejak tadi selalu mengusap lembut punggung Arumi.
"Apa yang harus Arumi lakukan, Ibu...?" tanya Arumi sambil menatap wajah ibunya yang begitu cantik sempurna.
"Jadi kuat dan beranilah menerima kenyataan, menerima kekurangan pada diri, juga berani menjalani hidup mu. Jangan takut untuk berubah demi sebuah tujuan..." ucap perempuan itu mengulang kalimat sebelumya.
Kemudian perempuan itu mengecup lembut pucuk kepala Arumi sesaat sebelum ia berlalu menuju sebuah cahaya.
"Ibu, jangan pergi ibu. Arumi membutuhkan ibu. Arumi mohon ibu...!" ucap Arumi berurai air mata saat melihat kepergian sosok ibunya itu.
"Mbak Arumi...mbak, bangun. Mbak..." ucap mbok Parni sambil mengguncang tubuh Arumi yang dilihatnya tengah menangis dalam tidurnya.
Mendapat guncangan itu, Arumi pun terkesiap dari tidurnya. Ia mengusap wajahnya berulangkali. Kemudian tanpa memperhatikan kehadiran mbok Parni, Arumi melangkah menuju sebuah kursi kayu. Matanya tak lepas pada kanvas dan cat yang ada di hadapannya kini. Bak tersihir, Arumi memulai goresannya pada kanvas.
Hampir satu jam Arumi berkutat dengan cat dan kanvas hingga menghasilkan sebuah lukisan. Arumi menghela nafas. Matanya menatap sendu lukisan yang baru saja ia buat.
Seorang perempuan yang tengah duduk membelakangi dengan kuas di tangannya. Sebelah tangannya memegangi kanvas yang berwarna putih. Perempuan itu tengah melukis. Persisi seperti yang ada dalam mimpinya. Tak lupa Arumi pun menuliskan kata-kata yang diucapkan perempuan itu. Kata-kata yang hingga kini masih terngiang jelas di telinganya.
"Jadi kuat dan beranilah menerima kenyataan, menerima kekurangan pada diri, juga berani menjalani hidup mu. Jangan takut untuk berubah demi sebuah tujuan..." ucap Arumi mengulangi kata-kata perempuan itu yang dipanggilnya sebagai ibu.
Hatinya mendadak gerimis. Fikirannya menguat mencoba memaknai kata-kata yang kini telah ia tulis pada lukisannya. Lama ia termenung. Bibirnya berulangkali mengulang kata-kata tersebut.
Mendadak terbitlah senyum dari sudut bibirnya. "Arumi mengerti, Bu. Sekarang Arumi tahu apa yang harus Arumi lakukan. Terima kasih..." ucapnya lirih.
"Pertama Arumi harus berani menerima kekurangan Arumi. Tinggi tubuh sudah tidak dapat ditambah karena usia sudah mencapai delapan belas tahun. Ya, Bu...Arumi menerima itu. Kedua Arumi harus kuat menerima kenyataan. Olokan hanya bagian dari ujian hidup sebab semua tiada yang sempurna. Ketiga Arumi harus berani menjalani hidup. Karena hidup milik yang Maha Hidup. Matahari akan selalu terbenam disore hari, tapi yakin saja bahwa esok hari matahari akan kembali terbit. Hari ini hujan, tapi beberapa waktu kemudian hujan akan berlalu. Keempat Arumi jangan takut untuk berubah demi sebuah tujuan. Mengambil keputusan terbaik setelah ditimbang adalah sebuah kebijakan. Tujuan terdekat saat ini adalah membuat pak Mirza jatuh cinta. Maka aku harus fokus pada tujuan ku yang satu ini. Em, kurasa menjadi cantik adalah sebuah pilihan untuk mewujudkan tujuanku. Terima kasih ibu. Arumi akan berjuang untuk mencapai setiap tujuan hidup Arumi. Semangat...!" batin Arumi penuh bara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!