NovelToon NovelToon

Noda Perkawinan

Aku Hamil, Mas!

Aku harus menanggung malu dengan kehamilanku. Tidak mungkin aku merebut Mas Reza dari sahabatku sendiri dan meminta pertanggungjawabannya. Tapi, apa kata orang saat tahu aku hamil. Sedangkan aku sudah bercerai dengan suamiku bertahun-tahun lalu.

Alat uji kehamilan yang masih ku pegang di tangan, berkali-kali ku tatap untuk memastikan apa yang telah kulihat. Dua garis merah. Ya! Aku memang hamil anak dari Mas Reza. Dia adalah suami dari sahabatku yang bernama Tanti, tetapi sebenarnya Mas Reza adalah mantan kekasihku ketika aku masih SMA, dan kami masih saling mencintai sampai saat ini.

Setelah mengetahui aku hamil, perasaanku menjadi gusar. Aku keluar dari kamar dan ingin mengatakan kepada orang tuaku yang sedang duduk menikmati segelas teh di ruang tamu.

Tetapi ku urungkan niatku itu. Aku tidak ingin membuat hati mereka terluka lagi. Melihat perkawinanku yang hancur dengan Mas Wisnu saja mereka sudah sangat malu dengan tetangga, apalagi ketika mereka menerima aib baru dariku.

Aku ingin memberitahu Mas Reza dengan segera. Tapi selama ini aku tidak bisa menghubunginya lebih dulu. Karena Mas Reza takut Tanti akan tahu hubungan kami selama ini.

Sampai akhirnya ketika aku sedang merenung sendirian di kamar, ponselku berdering. Aku segera meraih benda itu dan mendapati nama Mas Reza di layar benda pipih yang kini ku pegang.

"Halo, Mas." Aku menyapanya dengan suara yang bergetar menahan tangis.

"Iya, Nur. Maaf, aku baru menghubungimu.

Tanti sedang berbelanja dan aku libur kerja hari ini. Aku merindukanmu, Nur. Besok malam kita bertemu lagi setelah aku pulang kerja, ya!" ajak Mas Reza.

"Aku ingin memberitahu satu hal penting kepadamu, Mas."

"Apa? Apa kau menginginkan sesuatu?"

"Bukan, Mas. Aku tidak menginginkan apa pun selain dirimu."

"Jangan gombal! Biasanya yang gombal adalah laki-laki. Kenapa kau menjadi gombal seperti itu, Nur?"

"Aku hamil, Mas."

"Apa?"

"Aku hamil anakmu, Mas. Aku harus bagaimana?"

"Tidak bisa, Nur. Nanti Tanti akan sakit hati jika mengetahui kamu hamil. Berapa usia kandunganmu sekarang?"

"Aku sudah terlambat datang bulan selama 8 minggu, Mas."

"Gugurkan, Nur! Aku tidak ingin hubungan kita tercium oleh Tanti."

"Tapi, Mas? Bagaimana mungkin kau bisa menyuruhku untuk menggugurkan anak kita? Bukankah kau bilang kau masih mencintaiku? Aku rela bercerai dengan suamiku dan menunggu kau bercerai dengan Tanti. Tapi apa yang kau perintahkan kepadaku sekarang? Kau memintaku untuk menggugurkan anakmu?" Aku tak bisa berteriak karena takut orang tuaku akan mendengar.

"Tapi aku tidak bisa bertanggung jawab atas kehamilan itu, Nur. Aku masih berstatus menjadi suami Tanti."

"Ceraikan dia, Mas! Aku tidak mau menggugurkan anak kita!"

"Tidak bisa, Nur. Kau tidak bisa memerintahkanku untuk bercerai."

"Kenapa? Bahkan kau yang memintaku untuk bercerai dengan suamiku. Tapi kenapa kau tidak mau bercerai dengan istrimu, Mas? Kenapa kau egois seperti ini? Bahkan sekarang kau memintaku untuk menggugurkan bayi yang tidak berdosa ini! Di mana hatimu sekarang, Mas? Apa benar kau masih mencintaiku?"

"Sudahlah, Nur! Yang jelas aku ingin kau gugurkan anak itu."

Aku kesal dengan jawaban Mas Reza. Aku mematikan panggilan telepon itu dan menangis sendirian di dalam kamar. Padahal hari itu masih pagi. Aku belum sempat keluar dari kamar. Orang tuaku pasti akan curiga jika aku terus-terusan mengurung diri.

Aku terus memukul perutku sendiri. Berharap janin itu akan gugur dengan sendirinya. Tetapi di sisi lain aku benar-benar menginginkan Mas Reza bertanggung jawab atas kehamilanku.

"Aku rela menjadi noda di pernikahanmu dengan Tanti! Aku rela menghancurkan rumah tanggaku sendiri demi kamu, Mas! Tapi ini balasan darimu? Aku akan tetap mempertahankan bayi ini. Jika perlu, aku akan merebutmu dengan paksa dari Tanti. Karena sejak awal kau hanyalah milikku, Mas!" Aku terus menggerutu kesal dengan sikap Mas Reza. Pikiranku benar-benar buntu. Bahkan aku tak bisa memikirkan bagaimana perasaan orang tuaku nanti. Ketika semakin hari perutku semakin membesar.

Tok ... tok ... tok ..

"Nur! Bangun, Nak. Sudah siang! Apa kau akan terus tidur sampai siang?"

***

Pov Reza

Aku menghapus semua notifikasi panggilan dari ponselku. Lantas, aku meletakkannya di atas meja seperti biasa. Aku keluar kamar mencoba menenangkan pikiran dari masalah yang baru saja aku buat bersama Nur.

Aku sudah menikah dengan Tanti selama 3 tahun dan belum juga dikaruniai seorang momongan. Dua kali Tanti mengalami keguguran dan sampai hari ini belum ada tanda-tanda jika Tanti sedang hamil lagi.

Aku tak memungkiri jika aku mencintai Nur sejak dulu. Tetapi aku juga mencintai Tanti yang kini menjadi istriku.

Ketika aku sedang mondar-mandir di ruang tamu memikirkan hal itu, tiba-tiba Tanti pulang membawa satu kantong plastik berisi belanjaan.

"Kenapa mondar-mandir begitu, Mas?" tanya Tanti tiba-tiba yang membuatku terkejut. Aku pun menoleh dan membantu istriku membawakan belanjaannya.

"Kenapa kamu lama sekali? Tidak seperti biasanya kamu berbelanja sangat lama, Tanti?"

"Sebenarnya aku tidak hanya ke pasar, Mas."

"Lalu?"

Tanti merogoh saku celananya dan menunjukkan sebuah benda kecil berwarna putih. Lalu ia berikan kepadaku.

"Ini hadiah untukmu, Mas," kata Tanti dengan senyum yang merekah di bibirnya.

Aku menerima benda kecil itu yang ternyata sebuah alat uji kehamilan.

"Apa ini, Tanti?" tanyaku untuk meyakinkan apa yang sedang ku pegang.

"Aku hamil, Mas."

"Apa?" Rasanya aku tidak ingin mendengar kata-kata dari istriku.

Setelah kepalaku pusing dengan kehamilan Nur, kini istriku sendiri hamil.

"Kenapa ekspresimu seperti itu, Mas? Apa kau tak senang aku hamil?"

"Tentu saja aku senang, Tanti. Kita sudah menikah cukup lama dan aku selalu menantikan kehamilanmu."

Entah mengapa aku tidak menginginkan kehamilan pada dua wanita yang aku cintai. Nur, mantan kekasihku, cinta pertamaku sejak aku masih SMA. Lalu Tanti? Wanita baik yang dulu sama sekali tak ku cintai. Namun, akhirnya aku luluh dan bisa mencintainya. Meski awalnya aku menikahi Tanti sebagai pelarian atas rasa sakitku.

Kecewa yang dibuat oleh Nur beberapa tahun lalu yang mempertemukan aku dengan Tanti. Aku kembali dari perantauan untuk menikahi Nur. Tapi, Nur sudah diperistri laki-laki lain.

Aku terus menjalin komunikasi dengan Nur di belakang Tanti dan juga Wisnu, mantan suami Nur saat itu.

Aku yakin aku bisa mendapatkan Nur kembali dengan membujuk Nur agar bercerai dengan Wisnu. Tetapi saat Nur telah bercerai, bunga-bunga cintaku untuk Tanti mulai bermekaran. Aku tidak bisa meninggalkan Tanti begitu saja. Tapi aku juga tak mau kehilangan Nur.

Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang ketika dua wanita itu hamil dalam waktu yang bersamaan?

Bersambung ....

Aku Cemburu

Mendengar suara ibu, aku segera menghapus air mata yang masih membasahi pipi. Aku bercermin dan berusaha menunjukkan kepada ibu bahwa tidak ada masalah yang terjadi.

"Iya, Bu. Nur kesiangan," jawabku setelah membuka pintu itu.

"Mau sampai kapan kamu nganggur, Nur? Carilah pekerjaan! Apa kamu masih memikirkan Wisnu?"

"Enggak, Bu. Nur sama sekali tidak memikirkan Mas Wisnu. Lagi pula Nur memang sudah mantap untuk menceraikannya."

"Sudah 2 tahun kamu bercerai dari Wisnu, tapi kamu belum memiliki pekerjaan juga. Apa kamu mau menjadi tanggungan bapak terus-terusan? Bapak sudah tua, Nur."

"Iya, Bu. Nur mau bersiap-siap, mau mandi dan Nur mau mencari pekerjaan."

"Kamu ini sudah memiliki keterampilan di dunia bulu mata palsu. Pasti kamu masih bisa diterima di salah satu pabrik di kota ini."

"Iya, Bu. Kebetulan tadi teman Nur mengatakan ada lowongan pekerjaan di bagian knitting di tempatnya bekerja. Nur akan mencoba melamar pekerjaan di sana."

"Ya sudah, sana kamu siap-siap!"

Aku mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamar. Lalu menuju kamar mandi di belakang dan membersihkan diri. Padahal aku sudah berbohong kepada ibu. Tak ada teman yang memberitahuku mengenai lowongan pekerjaan itu. Aku hanya ingin mencari kesempatan untuk menemui Mas Reza dan berkata langsung kepadanya mengenai kehamilanku ini.

Agar ibu tidak curiga, aku sengaja memakai pakaian atasan putih dan rok hitam. Aku juga membawa tas dan beberapa lembar kertas. Lantas aku berpamitan kepada ibu dan pergi menggunakan sepeda motor matic butut. Alat transportasi satu-satunya yang aku miliki sekarang.

Tujuanku adalah menemui Mas Reza di rumahnya. Tidak masalah jika aku bertandang ke rumahnya, karena memang aku dan Tanti bersahabat. Tanti tidak akan curiga jika kedatanganku sebenarnya adalah ingin bertemu suaminya.

Benar saja, saat aku datang rupanya Mas Reza sedang berada di depan rumah bersama istrinya. Hal itu membuat aku cemburu. Meski mereka hanya duduk berdua dan tersenyum. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi kedekatan mereka benar-benar membuatku ingin segera menghancurkan hubungan mereka.

Melihat aku bertandang ke rumahnya, Tanti tersenyum. Wajahnya begitu sumringah. Ia berlari kecil dan memelukku dengan erat.

"Nur, aku senang kamu datang ke mari. Aku ingin memberi tahumu sesuatu yang pasti membuat kamu terkejut," kata Tanti yang segera menarik tanganku masuk ke dalam ruang tamu.

Aku melirik ke arah Mas Reza yang sedang duduk di kursi yang ada di teras rumahnya. Aku memberikan kode kepadanya agar kami bisa bicara berdua. Tetapi Mas Reza hanya memandangku sekilas. Seolah dia sudah membenciku. Apa karena aku mengakui kehamilanku tadi pagi?

"Ada apa, Tanti? Kenapa kau terlihat bahagia sekali?" tanyaku dengan berpura-pura baik di depan Tanti. Ya, Tanti memang sahabatku. Tapi setelah dia menjadi istri laki-laki yang aku cintai, aku menjadi munafik. Berpura-pura baik, padahal hatiku sangat membencinya.

"Nur, aku hamil lagi," kata Tanti yang lagi-lagi memelukku.

Aku tak bisa berkata-kata ketika wanita cantik berambut panjang terurai mengatakan kehamilannya di depanku. Bagaimana mungkin Mas Reza justru membuat istrinya hamil ketika dia juga menghamiliku? Aku masih ingat betul apa kata Mas Reza. Jika dirinya hanya mencintaiku. Tapi buktinya dia sudah membuat istrinya hamil tiga kali, dan aku harap kehamilan ketiga ini akan berakhir sama seperti kehamilan sebelumnya.

"Selamat, ya, Tan! Akhirnya kamu hamil lagi," balas ku kepada Tanti.

"Iya, Nur. Kamu mau ke mana memakai pakaian seperti itu?"

"Sebenarnya aku sudah disuruh Ibu untuk bekerja. Tapi aku bingung. Aku ke sini untuk bertanya-tanya dengan Mas Reza. Mungkin saja di PT nya ada lowongan pekerjaan untuk wanita di bagian produksi."

"Oh, begitu. Coba kau tanya langsung saja kepada Mas Reza. Aku buatkan minum dulu, ya, Nur!"

Tanti pergi ke dapur. Aku segera menghampiri Mas Reza yang masih duduk di kursi di teras depan. Melihat kedatanganku, jelas sekali Mas Reza terlihat tidak suka. Tapi aku harus meminta pertanggung jawabannya.

"Apa karena Tanti hamil, jadi kau ingin menggugurkan kandunganku?" tanyaku tanpa basa-basi lagi. Tapi aku berusaha menahan tangisku di depan Mas Reza. Karena aku tidak mau saat aku menangis Tanti keluar dan akan curiga.

"Bukan begitu, Nur. Tapi kita ini belum menikah. Aku tidak menyangka jika kau akan hamil. Aku memang mencintaimu, tidak masalah jika kau hamil ketika kau sudah menjadi istriku, Nur."

"Jika kau ingin aku hamil setelah aku menjadi istrimu, untuk apa kau berkali-kali menyentuhku, Mas? Bahkan di saat aku sudah terlanjur hamil begini, kau malah memintaku untuk menggugurkannya. Apa kau tidak merasa kejam? Kau hanya merugikanku saja, Mas!"

"Jangan berkata seperti itu! Aku sedang memikirkan bagaimana cara untuk bertanggung jawab atas kehamilanmu itu selain menggugurkannya."

"Bagaimana, Mas? Katakan! Semakin hari perut akan akan semakin membesar. Aku tidak ingin lagi membuat malu orang tuaku. Mereka benar-benar sudah malu dengan perceraianku dengan Mas Wisnu, dan sekarang aku hamil di saat aku tidak punya suami."

Perbincangan aku dan Mas Reza belum selesai. Tapi Tanti keluar membawakan tiga cangkir teh hangat.

"Bagaimana, Mas? Apa ada lowongan di tempatmu? Nur ingin bekerja di sana. Kasihan Nur. Sudah 2 tahun menganggur setelah bercerai dengan Mas Wisnu. Tolong bantu masukkan dia ke tempat kerjamu, Mas!" ucap Tanti secara tiba-tiba. Padahal aku belum mengatakan masalah itu kepada Mas Reza. Karena tujuanku datang bukan untuk hal itu.

"I-i-iya. Nur sudah menanyakannya kepadaku. Besok aku akan mencoba mencari tahu mengenai lowongan pekerjaan di pabrik bulu mata di mana aku bekerja. Mudah-mudahan saja ada lowongan untuk Nur." Mas Reza menjawab pertanyaan istrinya dengan sangat gugup.

"Terima kasih, Mas. Aku harap aku bisa bekerja satu perusahaan denganmu," jawabku penuh arti tersirat di dalamnya.

"Aku juga berharap kamu bisa menemukan jodohmu di tempat kerjamu yang baru nanti, Nur. Kamu ini sudah menjanda dua tahun, loh. Apa kau tidak bosan?" tanya Tanti.

"Iya, Tan. Entah mengapa firasatku mengatakan jodohku ada di sana. Itulah sebabnya aku harus satu perusahaan dengan Mas Reza."

Sepertinya Tanti benar-benar tidak mengerti dengan kata-kata yang ku maksudkan. Ia nampak biasa-biasa saja. Bahkan duduk di dekat Mas Reza dan menikmati secangkir teh hangat yang baru saja ia buat.

Hoek ... hoek ....

"Kamu kenapa, Tanti?" Mas Reza sangat panik ketika melihat istrinya mual-mual setelah meneguk teh hangat itu. Benar-benar membuatku semakin cemburu. Aku ingin sekali menyiramkan secangkir teh hangat ini ke wajah Tanti.

"Aku mual, Mas. Sepertinya anak kita tidak suka minum teh," jawab Tanti dengan manja, yang membuatku semakin cemburu dan aku yang menjadi mual mendengar nada bicara Tanti kepada Mas Reza.

Tanti pun beranjak dari duduknya. Sepertinya ia ingin benar-benar muntah. Hal itu membuat aku dan Mas Reza hanya bisa terdiam untuk sekian detik. Sampai akhirnya suara sesuatu yang jatuh terdengar dari dalam dan Tanti berteriak keras.

"Mas!"

Bersambung ....

Aku Ingin Menjadi Tanti

Mas Reza bergegas masuk ke dalam rumah ketika mendengar teriakan Tanti. Aku pun menyusulnya, karena aku juga penasaran apa yang terjadi dengan Tanti sampai dia berteriak begitu kencangnya.

"Ya ampun, Tanti! Kenapa kamu sampai jatuh seperti itu?" tanya Mas Reza panik. Lantas ia segera membopong istrinya yang masih jatuh terduduk di depan kamar mandi.

Apa yang telah diperbuat Mas Reza kepada Tanti membuat aku semakin cemburu. Dengan mesranya dia menggendong Tanti di hadapanku. Padahal beberapa malam lalu hal yang sama telah diperbuat Mas Reza kepadaku. Mas Reza menggendong tubuhku, meletakannya dengan lembut di atas kasur hotel yang empuk. Sampai kami beradu di atas ranjang tanpa memikirkan Tanti.

Tapi kini Mas Reza seolah-olah tidak menganggap aku ada di rumahnya. Dia terlihat jelas begitu mengkhawatirkan Tanti. Padahal aku yakin, Tanti pasti hanya jatuh biasa. Jika pun tidak, aku berharap dengan jatuhnya Tanti akan membuat kandungannya bermasalah. Jika perlu keguguran sekalian. Agar Mas Reza tidak perlu lagi memikirkan kehamilan Tanti dan hanya memikirkan aku serta calon anaknya.

"Nur, kenapa kamu berdiri saja?" tanya Tanti pelan ketika melihat aku mematung memandangnya dengan tatapan nanar.

"Oh, iya, Tan. Aku panik dan bingung harus melakukan apa. Bagaimana kamu bisa terjatuh?" Aku segera menghampiri Tanti dan mengusap air mata yang menetes di pipi sahabat yang ku benci itu.

"Aku tidak tahu, Nur. Tiba-tiba saja aku terpeleset."

Mas Reza masih terlihat begitu panik. Meski pun tidak terjadi hal yang serius dengan istrinya. Dia terus-menerus mengelus perut Tanti di hadapanku. Entah disengaja atau tidak. Hal itu membuat aku segera ingin beranjak pergi dari kediaman mereka berdua.

"Tanti, sebaiknya kamu istirahat saja, ya! Aku akan pulang. Kabari aku segera jika suamimu ada informasi mengenai pekerjaan di perusahaannya." Aku yang sudah tidak tahan akhirnya memutuskan untuk pulang. Jika terus begini, aku bisa menjadi stres dan bisa berpengaruh dengan kandunganku. Aku harus menjaga janin yang sudah ditanam oleh Mas Reza di rahimku. Aku harus bisa merebutnya kembali, karena Mas Reza-lah cinta pertamaku dan aku tidak ingin laki-laki itu bahagia bersama wanita lain.

"Iya, Nur," jawab Tanti lemas.

Aku melirik ke wajah Mas Reza, namun sedikit pun Mas Reza tidak memandangku. Dia masih khawatir dengan jatuhnya Tanti tadi. Aku berharap Mas Reza melarangku pergi. Entah itu dengan alasan apa pun, tapi sepertinya memang dia menginginkan aku segera pergi dari rumahnya.

Aku baru melengkahkan kakiku keluar melewati pintu utama rumah Mas Reza dan Tanti. Tiba-tiba aku mendengar Tanti berteriak histeris dan menangis.

"Tanti, kamu pendarahan," kata Mas Reza dengan begitu keras. Hal itu membuat aku menghentikan langkahku dan sedikit tersenyum bahagia. Lantas aku berbalik untuk melihat keadaan yang sebenarnya.

Rupanya saat Tanti berdiri, bercak merah yang cukup banyak sudah membasahi rok yang dikenakannya. Hatiku sangat gembira. Bahkan ingin rasanya aku bertepuk tangan dan tertawa bahagia di depan Tanti.

"Ya ampun, Tanti! Kenapa kamu bisa seperti itu?" Aku berlari mendekati Tanti, berpura-pura iba terhadapnya.

"Sepertinya karena jatuh tadi, Nur. Bagaimana ini? Bagaimana jika kehamilanku yang ketiga juga berakhir seperti kehamilanku yang sebelumnya. Aku sudah menginginkan anak, Nur," kata Tanti seraya menangis.

Aku sama sekali tidak menjawabnya, namun dalam hatiku aku terus berdoa jika yang dikatakan Tanti akan terjadi. Yaitu kehamilannya akan kembali gugur seperti dua kehamilan sebelumnya.

Aku melihat Mas Reza panik. Mondar-mandir entah apa yang akan dia lakukan. Lantas aku pun melihat Mas Reza keluar dan memarkirkan mobilnya tepat di depan teras.

"Nur! Ayo bantu papah Tanti ke dalam mobil. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit," kata Mas Reza yang lagi-lagi tidak memandangku.

"Aku juga hamil, Mas! Kenapa hanya Tanti yang kau pedulikan?" batinku.

Setelah Tanti masuk ke dalam mobil, Mas Reza segera mengunci pintu rumah. Dia mengajakku ke rumah sakit untuk memeriksakan Tanti. Aku pun mengikuti kemauan Mas Reza, karena aku penasaran apa yang terjadi dengan kandungan Tanti.

Sesampainya di rumah sakit, Tanti langsung ditangani beberapa dokter dan perawat di IGD. Rupanya Tuhan mengabulkan doaku. Tanti benar-benar mengalami keguguran.

Aku tak bisa menahan tawaku lagi ketika dokter kandungan mengatakan jika Tanti harus menjalani kuretase.

Tanti menangis, sementara mas Reza terlihat begitu lesu dan loyo setelah mendengar vonis dari dokter. Aku tidak mungkin tertawa bahagia di depan mereka berdua. Selayaknya aktris profesional, aku pun menangis di depan Tanti dan berpura-pura ikut merasakan kesedihan yang sedang Tanti rasakan.

Hari itu juga Tanti harus menjalani kuretase. Sedangkan aku tidak mungkin pulang sendiri karena sepeda motorku berada di rumah Mas Reza. Tapi Mas Reza juga tidak mau meninggalkan Tanti sendirian di rumah sakit.

"Tanti sedang istirahat di kamar, Mas. Bukankah kuret itu akan dilakukan malam nanti? Kau bisa saja berpamitan kepada istrimu. Lagi pula kau belum membawa sehelai pakaian untuk Tanti kan? Katakanlah kau akan pulang untuk mengambil pakaian ganti dan antar aku pulang, Mas! Aku tidak boleh terlalu lelah, jika tidak aku bisa bernasib sama seperti Tanti."

Aku berusaha membujuk Mas Reza. Akhirnya pria yang sudah ku cintai sejak SMA itu menyetujui keinginanku.

Mas Reza berpamitan kepada Tanti. Tanpa curiga Tanti pun mengizinkan Mas Reza untuk mengantarkanku pulang.

Aku duduk disebelah Mas Reza. Tempat yang seharusnya menjadi posisi Tanti, kali ini aku tempati. Suatu saat nanti aku lah yang harus tidur di sisi Mas Reza setiap hari, bukan Tanti.

Dalam perjalanan aku sengaja diam, karena Mas Reza pun sepertinya tidak ingin bicara terlalu banyak denganku. Aku tahu pikirannya sedang kemana-mana. Apa lagi istrinya yang sedang merasakan sedih yang luar biasa.

Sesampainya di kediaman Mas Reza, dia segera turun dan masuk ke dalam rumahnya. Aku tidak langsung pulang, tetapi aku mengikuti langkah Mas Reza.

Sepertinya Mas Reza segera memasuki kamar untuk mengambil barang-barang milik istrinya. Aku menutup pintu utama rumah berlantai dua itu. Menguncinya dan berharap tidak ada siapa pun yang menggangguku bersama Mas Reza di rumah ini.

"Izinkan aku untuk menjadi Tanti sehari saja, Mas," gumamku lirih. Lantas aku menyusul Mas Reza menuju lantai dua.

Pintu sebuah kamar terbuka. Aku melihat Mas Reza sedang mengambil beberapa baju di almari. Aku masuk ke kamar itu, mendekati Mas Reza dan memeluknya dari belakang.

"Apa ini kamarmu, Mas?" tanyaku yang masih memeluk Mas Reza dengan erat. Membuat Mas Reza menghentikan aktivitasnya dan berbalik kembali memelukku.

"Iya, Nur. Ini kamarku dengan Tanti. Maafkan aku tidak bisa terus bersamamu. Kau lihat sendiri kondisi Tanti 'kan?"

Aku melepas pelukannya perlahan, kemudian membelai pipi Mas Reza dan mengecup bibirnya dengan lembut.

"Ayo bercinta lagi, Mas! Aku ingin menjadi Tanti hari ini."

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!