NovelToon NovelToon

Kala Bos Menggoda

Bagian 1 • Prahara

Cinta tidak selamanya indah—

***

Sudah tiga hari tidak seperti biasa, Theo selalu pulang malam, bahkan kadang tak jarang pria itu sampai rumah dalam keadaan mabuk. Haura setiap hari harus membersihkan bekas muntahan suaminya yang berceceran di atas lantai parket ruang tamu kediaman mereka.

Wanita yang telah tiga tahun menikah dengan Theo hanya bisa menelan ludah dengan kelu, tatkala setiap hari suami yang sangat dia cintai pulang dalam keadaan luar biasa menyedihkan.

Jika pagi menjelang, dalam keadaan hangover, Haura menanyakan perihal suaminya yang selalu mabuk-mabukan selama beberapa hari ini. Namun, hanya makian yang dia dapat. Suami yang telah menikahinya selama tiga tahun itu kini telah berubah tidak seperti biasanya, lelaki itu selalu mengumpat dengan kata-kata yang tidak bisa dibayangkan oleh Haura sebelumnya. Hinaan bahkan cacian membuat Haura merasa lelah dengan kelakuan suaminya akhir-akhir ini.

Seperti biasa, pagi ini Haura menyiapkan sarapan untuk sang suami sebelum lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu pergi bekerja. Suaminya adalah salah satu Manager di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Tadpole. Tentu pekerjaan yang sangat menjanjikan untuk pria muda seusia Theo.

"Makanan apa ini? Kau berniat meracuniku?!" hardik Theo, membanting garpu ke atas piring.

Haura yang mendengar suaminya berteriak, nampak sedikit terkejut, tapi sedetik kemudian ia malah mengerutkan kening, tidak percaya—bukankah lelaki ini selalu berkata jika spaghetti buatannya adalah makanan terenak sejagad raya? Lalu mengapa tiba-tiba dia berteriak seolah makanan ini adalah sesuatu yang tidak pantas untuk dimasukan ke dalam mulut.

Haura menyambar lap, sembari mengeringkan tangannya yang basah setelah selesai mencuci piring, dia mendekat ke arah suaminya.

"Kenapa? Bukankah spaghetti adalah makan yang paling kau sukai? Terlebih itu buatanku?" tanya Haura, dengan nada menyelidik.

"Itu dulu! Tidak dengan sekarang!" elaknya dengan ketus, kemudian ia memindai tubuh istrinya dari atas hingga ke bawah. "Lihatlah tubuhmu, kumal dan bau dapur! Pergilah mandi!" perintahnya lagi.

Haura yang tidak tahu apa kesalahan yang ia perbuat hanya bisa terdiam, seingatnya dirinya sudah mencoba spaghetti itu, dan tidak ada masalah. Lalu ini apa?

Haura memilih pergi, dan menolak berkomentar, jika dia meladeni Theo. Maka masalahnya akan semakin panjang.

Lelaki itu menyambar kunci mobil, kendaraan berwarna hitam yang ia beli dari hasil penjualan sertifikat tanah milik mendiang ibu Haura, kemudian pergi keluar dengan membanting pintu dengan sangat keras. Di garasi mobil pun Haura dengan mudah mendengar lelaki itu mengomel.

"Lebih baik aku makan di cafe dekat kantorku!" ucapnya sambil berlalu.

Haura yang melihat tingkah suaminya hanya bisa menghela napas panjang, sebenarnya apa yang tengah terjadi dengan Theo hingga dia berubah selama beberapa hari ini, dia lebih mengabaikan Haura.

Tiga tahun yang lalu semua indah, setelah lulus kuliah dan menyelesaikan wisuda mereka, Theo melamar Haura dengan sangat romantis. Keduanya sudah berkencan hampir lima tahun, dan tanpa ada halangan sedikit pun. Bahkan orangtua Theo dan ibu Haura sangat menyetujui jika anak-anak mereka menikah. Hal itu disambut Theo dengan tangan terbuka dan melamar sang pujaan hati di sebuah restoran rooftop mewah di hotel Gloria tempat termahal di Kota Tadpole. Tanpa pikir panjang, Haura menjawab dengan senang hati ketika sang pujaan hati yang selalu membuat dirinya mabuk kepayang itu memintanya menjadi istri.

Tapi tidak dengan akhir-akhir ini, bahkan mertuanya yang sebelumnya tidak pernah mencampuri urusan mereka pun, sejak kematian ibu Haura—mereka selalu bersikap tidak menyenangkan. Sering kali mereka menyalahkan dan berkata jika menantunya itu adalah wanita mandul, dan beberapa pernyataan menyakitkan lainnya, yang melukai hati Haura sebagai seorang wanita.

Haura hanya bisa terdiam dan bisa hanya bisa menerima kenyataan. Toh, Haura juga sudah pernah memeriksakan kandungannya, dan semua wajar dan baik-baik saja. Hanya saja Theo yang tidak pernah mau cek kondisi kesuburannya. Apakah dia bisa dibilang sehat atau tidak. Tapi pria itu menolak dan berkata, hanya wanita yang bisa mandul, bukan laki-laki. Haura tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.

*

Siang itu Haura melihat stok dapur yang sudah menipis, dan dia memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan seorang diri, padahal biasanya Theo-lah yang selalu mengantar Haura ke manapun wanita itu ingin pergi, wanita dua puluh enam tahun itu mengeluarkan mobil yang sudah lama tidak terpakai dari garasi rumahnya. Sedikit memanaskan mesin, dan bersiap untuk keluar—inilah saat-saat paling dinanti, me time seorang diri tanpa siapapun. Haura menjalankan mobilnya memecah jalanan kota Tadpole yang siang itu lumayan padat dengan keadaan musim panas, yang matahari dua kali lebih terik dari biasanya.

Jalanan sungguh sangat crowded dengan mobil yang antre di sebuah traffic light. Suara klakson bahkan saling bersahutan seperti membentuk nada yang tidak beraturan dan sangat mengganggu indera pendengaran. Haura hanya bisa menghela napas panjang, dan melirik ke arah rear-vision mirror atau lebih yang dikenal dengan spion dalam mobil, ia menatap bayang dirinya yang siang itu hanya mengenakan celana jeans, kaos hitam, dan rambut yang diikat seadanya, mungkin Haura berpikir jika dirinya hanya akan pergi berbelanja, sehingga dia tidak perlu berdandan cantik paripurna bak model yang meliuk-liuk di atas cat walk.

*

Akhirnya wanita itu sampai di pelataran parkir di pusat perbelanjaan yang hanya berjarak beberapa kilometer dari rumahnya. Namun, ia harus menghabiskan waktu di jalan selama tiga puluh menit, padahal jika tidak ramai atau akhir pekan, Haura hanya butuh sepuluh menit untuk tiba di pusat perbelanjaan ini. Di sinilah Theo bekerja, dan Haura berharap dia bisa bertemu dengan suami yang sangat ia cintai di dalam nanti.

Wanita itu masuk dengan santai ke dalam, mengambil troli untuk mengisi barang belanjaan sebelum di bayar ke kasir.

Hingga hampir tiga puluh menit, Haura berputar mencari suaminya sembari berbelanja—tapi nihil, Theo tidak ada di dalam, atau mungkin dia ada di dalam kantornya, entahlah. Tapi Haura tidak akan ambil pusing, mungkin suaminya sedang sibuk, hingga dia tidak berkeliling mengecek para karyawannya siang ini, atau mungkin pria itu tengah makan siang, karena setelah Haura melirik ke arah arlojinya, jam menunjukan pukul satu siang.

Setelah selesai berbelanja, dengan membawa tas yang berisi barang-barang kebutuhan rumah tangga, Haura memutuskan untuk baik ke lantai dua, karena supermarket di pusat perbelanjaan itu terletak di lantai satu, semetara lantai dua, tiga, dan empat adalah restoran dan departemen store. Haura berjalan, dan akan mencari restoran untuk makan siang seorang diri.

Saat ia naik menggunakan eskalator, Tiba-tiba seorang wanita cantik menarik dirinya, hingga membuat Haura terhuyung. Gadis cantik dengan heels dan dandanan yang luar biasa sempurna membuat Haura terpana untuk sesaat.

"Nyonya ... kami menawarkan sebuah cushion yang baru lounching beberapa hari ini, apakah Anda berminat, kami sedang mengadakan demo, jika nyonya ingin, kami bisa memberi potongan harga," ucap gadis itu menawarkan kosmetik.

Haura tersenyum canggung, sudah lama sekali wajahnya tidak menggunakan riasan, atau apalah itu, karena menurutnya lelaki yang mencintainya akan menerima dia apa adanya seperti halnya Theo yang selalu setia kepadanya.

"Tidak, Nona. Saya kurang suka memakai riasan," elak Haura, dengan tersenyum.

"Tapi produk ini sangat bagus untuk menutupi noda hitam, Nyonya." Sang gadis yang sepertinya seorang sales marketing itu nampak sedikit memaksa.

"Ah... tidak, saya belum berniat untuk membelinya," jawab Haura lagi.

"Tapi, Nyonya—" Saat gadis itu akan memaksa Haura lagi, Tiba-tiba seorang pria tampan melepaskan cengkeraman tangan gadis itu dari lengan Haura.

"Jangan dipaksa jika dia tidak mau!" desis pria dengan nada dingin. Haura yang memindai penampilan rapi dari lelaki yang berdiri disampingnya begitu terdiam tidak mampu berkata apa pun. Pria dengan setelan tiga potong, dengan rambut yang begitu rapi, hidung mancung, dan rahang yang begitu tegas, bahkan kornea mata yang berwarna layaknya pasir membuat Haura terperangah. Siapakah pria ini? Apakah dia seorang aktor dalam drama televisi yang sedang melompat ke dunia nyata?

"Silakan lanjutkan belanja Anda, Nyonya. Maafkan karyawan saya," ucapnya sopan, tapi tetap terselip nada dingin di setiap kalimat yang dia lontarkan.

Haura pun memilih pergi, dengan menahan rasa nyeri bekas cengkeraman gadis muda itu tadi.

Bagian 2 • Mengakhiri Hidup

Hidup terlalu indah, jika harus diakhiri—hanya karena sebuah masalah kecil~

***

Haura berjalan dengan santai, sembari menenteng tas belanjaannya menuju restoran favoritnya. Tempat dia biasa menghabiskan waktu bersama suaminya jika keduanya ingin menghabiskan waktu liburan seharian, atau karena lapar setelah berbelanja. Tapi langkah Haura terhenti ketika dari kejauhan ia melihat suaminya, duduk bersama dengan seorang wanita cantik bak model dalam sebuah majalah fashion ternama, tengah bersenda gurau dan tertawa riang, dan paling anehnya adalah di sana juga ada sangat ibu mertua. Ketiganya tengah makan siang bersama seolah seperti sebuah keluarga kecil yang nampak bahagia.

Apakah ini yang membuat Theo berubah? Apakah ini yang memuat ibu mertuanya selalu menyalahkan dirinya yang tidak bisa memiliki anak? Air mata Haura menguar membasahi kedua pipinya. Ia meremas tas belanjaan yang ia genggam, lalu melangkah kasar menuju meja di mana suaminya duduk bersebelahan dengan perempuan lain.

"Honey...." sapa Haura.

Mereka langsung menatap secara bersamaan ke arah Haura, mata Theo mendadak melotot, seolah tidak percaya jika istrinya tahu, dia tengah makan siang bersama gadis cantik di sebelahnya.

"Si-siapa dia—" tanya Haura terbata, air matanya tak mampu lagi terbendung, dan membanjiri kedua pipinya yang penuh dengan jerawat dan kusam.

Saat Theo ingin menjawab pertanyaan istrinya tiba-tiba sang ibu mertua mengangkat tangan, mencegah anaknya berbicara, kemudian wanita paruh baya itu berdiri dan mendongakkan kepala dengan pongah.

"Dia adalah calon istri anakku."

Jawaban sang ibu mertua, membuat dunia Haura seketika hancur lebur, kakinya bergetar dan napasnya sesak seketika, tas belanja yang tadi ia bawa pun terlepas dari genggamannya dan semua isinya tercerai berai di lantai restoran. Dirinya sungguh tidak percaya jika sang ibu mertua dengan begitu sombong memperkenalkan wanita lain sebagai istri dari suami Haura, padahal Theo dan Haura masih terikat dalam satu perjanjian suci pernikahan.

Mata Haura menatap ke arah suaminya dengan tatapan begitu nanar, mencoba mencari jawaban tentang apa yang dikatakan sang ibu mertua, apakah benar?

"Kau tidak perlu menatap ke arah anakku, kau hanyalah wanita mandul yang tidak bisa memberi dia anak! Maka kau pantas untuk ditinggalkan!" desis ibu Theo dengan mata nyalang menatap menantunya sendiri dengan benci.

"Ibu... tapi kami—" Haura mencoba mengingatkan ibu Theo agar dia menghentikan keinginannya untuk menikahkan sang anak dengan wanita lain.

"Tidak ada tapi-tapi. Lebih baik kau pulang, dan menunggu surat cerai yang akan Theo layangkan untukmu! Dasar wanita tidak berguna!" umpat mertua Haura dengan begitu kejam.

Haura hanya bisa tertunduk, melihat suaminya, dan bahkan wanita yang digadang-gadang akan menjadi penggantinya menatap ke arah Haura dengan sinis dan jijik, membuat hati Haura seperti tersayat-sayat dan perih.

Wanita itu berbalik badan, dan pergi dengan tubuh yang gontai seolah tidak bernyawa, semua mata tertuju pada Haura yang sangat menyedihkan itu. Mungkin saja semua orang berpikir, jika memang pantas Haura ditinggalkan. Karena ia benar-benar tidak pantas berada di samping Theo yang bisa dibilang tampan dan memiliki pekerjaan yang mapan. Tapi bagaimana dengan janji Theo dulu, yang akan menerima dia apa adanya? Mana janji pria yang tiga tahun lalu berkata akan mencintainya hingga akhir hayat? Mengingat hal itu membuat pikiran Haura kacau, bagaimana hidupnya bisa berjalan, jika tidak ada Theo di sampingnya.

Rasa frustasi dan patah hati membuat Haura memacu mobilnya dengan kecepatan luar biasa tinggi, mungkin saja malaikat maut kali ini telah mengincar Haura, ia tidak peduli jika dia mati. Toh, hidupnya sudah hancur lebur sekarang, dan tidak ada lagi yang harus ia pertahankan, dia juga tidak ada lagi tempat berpulang, bahkan ibunya juga baru saja meninggal tiga bulan lalu, dan hanya meninggalkan sedikit warisan dan rumah. Jadi menurut Haura menyusul ibunya—mungkin adalah pemikiran yang tepat.

Haura memacu kendaraannya tak tentu arah, hingga ia sampai di sebuah jembatan Cotton Clay, sebuah jembatan penghubung Kota Todpole dengan kota lain, di bawah jembatan itu adalah aliran deras sungai Clay yang sangat mematikan. Haura meminggirkan mobilnya, dan seketika dia keluar dari sana, berjalan pelan menuju pinggir jembatan. Air matanya terus mengalir seolah tidak akan pernah habis, sementara hatinya hancur, dan pikirannya kacau balau. Ia menatap sekilas aliran sungai yang begitu terlihat jernih, seolah memanggil Haura, agar dia segera melompat. Lagipula tidak ada orang yang peduli pada dirinya saat ini, Haura naik satu persatu besi penyangga jembatan. Haura memejamkan mata dengan menangis tersedu-sedu.

Saat Haura akan melompat, tiba-tiba dia dikejutkan dengan rengkuhan seseorang yang menurunkan tubuhnya yang akan melompat.

"Apakah kau tidak waras!" Suara lelaki dengan aksen berat itu nampak menghardik marah kepada Haura. "Jika kau punya masalah, kau harus menyelesaikannya, bukan malah ingin mengakhiri dengan cara instan! Hidup ini terlalu indah jika kau bunuh diri hanya karena sebuah masalah!"

Haura terkejut, dia tidak percaya jika ada orang yang menyelamatkannya, tapi yang membuat Haura emosi adalah, pria itu seolah mengajarinya tentang hidup.

"Aku tidak butuh nasihat darimu!" teriak Haura lagi, matanya nyalang menatap ke arah lelaki yang tidak ia kenal itu. "Aku juga tidak memintamu untuk menyelamatkan nyawaku!" imbuh Haura dengan mendorong tubuh lelaki itu dengan kuat, tapi hanya membuat pria asing itu bergeser.

"Dengarkan aku wanita! Aku tidak berniat menyelamatkan dirimu. Tapi lihatlah mobil yang kau parkir secara sembarangan, itu sangat menghalangi jalan!" hardiknya, menunjuk ke arah mobil Haura yang memang terparkir secara asal-asalan.

Haura hanya bisa terdiam, dan mengusap air matanya, berjalan kasar ke arah mobilnya kemudian pergi dari jembatan Cotton Clay, mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.

Bagian 3 • Bertemu Kembali

Bagian 3 • Bertemu Kembali

berdiri, dan hadapi masalahmu dengan gagah berani!

***

Hingga malam menjelang Theo tidak juga pulang ke rumah, yang Haura inginkan saat ini adalah sebuah penjelasan perihal hubungan mereka, dan apa benar wanita itu telah menggantikan tahta Haura di hati Theo.

Wanita itu juga sudah menyiapkan makan malam romantis untuk suaminya, tapi hingga tengah malam, Theo tidak menampakkan batang hidungnya. Perih dan sakit ia rasakan, hingga air matanya pun telah habis seolah sudah terkuras, hal itu jugalah yang membuat wanita itu tertidur pulas di sofa ruang tamu rumahnya.

Hingga pagi menjelang, Theo tak juga kembali, hal itu benar-benar membuat Haura benar-benar sangat frustasi.

Suara gedoran pintu dengan kasar, diikuti suara teriakan wanita paruh baya yang tidak asing baginya, membuat Haura terjingkat kaget.

"Haura... wanita mandul! Keluar kau!"

Haura langsung berlari ke arah pintu, dan membukanya, wajahnya yang sembab karena menangis semalaman membuat si tamu mencibir. Dia adalah Delarosa ibu mertuanya yang memang sejak awal berpura-pura merestui pernikahan anaknya dan Haura, karena tiga tahun lalu ketika Theo memutuskan melamar Haura, jika Delarosa tidak merestuinya. Theo akan bunuh diri, hal itulah yang membuatnya mau tidak mau mengiyakan pernikahan bodoh itu.

"Lihatlah wajahmu! Kumal, jelek, dan sangat menyedihkan! Aku bersyukur Theo mau lepas dari dirimu!" ledek Delarosa kepada sang menantu. Kemudian ia menyodorkan secarik kertas kepada Haura. "Ini surat perceraian kalian berdua, aku harap kau segera menandatanganinya, agar anakku bisa terlepas dari perempuan sial seperti dirimu!" umpatnya lagi.

Lagi-lagi Haura harus dipaksa menerima keadaan, diceraikan dengan cara seperti ini, dan begitu menyakitkan. Lidah Haura kelu, bahkan tidak bisa menjawab ucapan mertuanya itu.

"Ini! Kau bisa lihat, kan?! Cepat tandatangani!"

Delarosa kembali memakai kacamata hitamnya, lalu pergi dari kediaman Haura dan Theo, meninggalkan menantu yang hatinya tengah remuk redam.

Haura terduduk di lantai, saat membaca surat cerai itu, ia hanya bisa terdiam dan menangis sejadi-jadinya. Kisahnya dengan Theo benar-benar telah usai, lelaki yang dulu mencintainya kini benar-benar pergi meninggalkan dirinya tanpa uang tunjangan apa pun.

**

Tiga bulan berlalu setelah perceraiannya dengan Theo, membuat Haura tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dirinya juga sudah mendapat kabar—sang mantan suami sudah mengakhiri masa dudanya dan menikah dengan Alila wanita yang pernah dia lihat bersama Theo di restoran kala itu.

Haura mengambil pisau lipat di nakas tempat tidurnya, hendak menyayat urat nadinya sendiri—tapi sekelebat suara muncul di ingatannya—suara pria asing yang pernah menyelamatkannya berkata.

Jika kau punya masalah, kau harus menyelesaikannya, bukan malah ingin mengakhiri dengan cara instan! Hidup ini terlalu indah jika kau bunuh diri hanya karena sebuah masalah!

Haura tersentak, dan seperti mendapat pecutan energi semangat, hidup harus tetap berjalan, walau dunia Haura tidak sedang baik-baik saja. Jika dia terpuruk, maka Theo dan istri barunya akan bertepuk tangan, Haura harus mengubah takdirnya, dan menuntut balas pada Theo, lelaki durjana yang telah meninggalkan dirinya begitu saja.

Haura berpikir dia harus bangkit dan mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya sendiri. Wanita itu memutuskan mencari pekerjaan di internet, berbekal ijazah strata satu yang ia miliki.

Butuh waktu tiga hari hingga akhirnya secara ajaib dan tidak diduga-duga Haura mendapat E-mail panggilan kerja. Ia benar-benar tidak menyangka jika dirinya akan mendapat sebuah pekerjaan di salah satu perusahaan kosmetik nomor satu di negara ini. Membayangkannya saja itu tidak mungkin, tapi kenyataannya mungkin dari riburan calon pekerja, dia salah satu orang yang akan beruntung.

**

Keesokan paginya Haura pergi ke perusahaan itu dengan mobil yang ia punya, kendaraan yang terbilang keluaran lawas itu—tidak jarang mogok tanpa aba-aba. Tapi cuma ini yang dia punya, bahkan uang warisan dari penjualan rumah ibunya sudah dibelikan mobil sport mewah atas nama Theo, itulah salah satu kebodohan Haura.

Wanita yang sudah menjanda itu, masuk ke basemen untuk memarkirkan mobilnya. Sejenak ia terdiam di dalam mobil, napasnya naik turun tak karuan, jantungnya benar-benar berdebar, dan tidak bisa ia kendalikan.

Ada apa ini?

Batin Haura berkecamuk, seolah akan ada kejadian besar yang akan dia hadapi hari ini.

Tidak lama ia keluar dari mobil, dan berjalan masuk menuju lift untuk naik ke lobby kantor tersebut.

Setelah mendapat informasi dari resepsionis, jika Haura telah ditunggu oleh CEO membuat jantung Haura hendak melompat karena saking terkejut. Sejak kapan wawancara seorang Marketing dilakukan oleh CEO dari perusahaan itu sendiri. Hal itu baru Haura temui hanya di perusahaan ini.

Haura di arahkan menuju ke lantai paling atas di mana kantor CEO itu berada, dengan perasaan tidak karuan, Haura menatap bayang dirinya di kaca lift yang sedang membawa dirinya menuju ke ruangan CEO itu. Hari ini karena tidak memiliki baju formal, Haura hanya memakai celana jeans hitam dipadu dengan blezer senada dan sepatu dengan tinggi tiga centimeter dengan warna hitam juga. Haura benar-benar mengutuk dirinya sendiri, jika ia tahu bahwa yang akan mewawancarainya adalah seorang CEO pastilah dia akan berdandan rapi dan membeli baju terlebih dahulu. Tapi lihatlah dirinya sekarang. Jerawat memenuhi mukanya karena mungkin akhir-akhir ini dia begitu banyak pikiran.

"Haura... kau memang benar-benar wanita bodoh!" umpat Haura pada dirinya sendiri, suara Haura membuat seorang security yang menjaga lift memperhatikan tingkah konyol Haura, dan menahan tawa.

Lift berhenti, dan pintunya terbuka. Si security tadi mempersilakan Haura keluar, dengan langkah ragu Haura berjalan, menengok ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh seorang wanita cantik yang menyapa dirinya.

"Nona Haura Oxley?" tanya wanita itu sangat ramah.

"Ya," jawab Haura spontan menengok ke arah sumber suara.

"Silakan Nona, Tuan Alden Walsh telah menunggu Anda di ruangannya." Wanita itu mempersilakan Haura masuk ke sebuah ruangan dengan pintu luar biasa besar dan megah.

Haura seperti berpikir dua kali, Alden Walsh nama yang begitu tidak asing untuk dirinya, tapi entah dia pernah mendengar nama itu di mana.

Haura masuk ke dalam ruangan dengan nuansa industrial yang tidak menggambarkan kantor Bos kosmetik yang di dalam benak Haura memiliki interior shabby chic, dan di dalam otak Haura juga—seharusnya CEO perusahaan ini adalah seorang wanita cantik bak aktris dalam drama televisi, tapi pada kenyataannya, di depan mata Haura berdiri seorang pria tinggi dan tampan yang nampak tidak asing untuk dirinya.

"Apakah kau lupa, siapa aku?" tanya pria itu dengan ekspresi dingin.

Theo Fernands

Untuk Visual lainnya, di bab selanjutnya, ya.

To be continue~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!