Di suatu Desa yang terpencil jauh dari keramaian yang bernama Desa Umbul Jaya tinggallah seorang anak yatim piatu yang bernama Zeno. Nama lengkap anak itu adalah Zeno Zaylani tapi karena kesalahan teknis nama anak itu berubah menjadi Zeno Anzaylani semenjak dia lulus sekolah dasar.
Saat ini, Zeno berumur 14 tahun, berparas tampan, berambut lurus hitam, bermata agak sipit dengan kulitnya yang putih. Namun karena tidak terurus dengan baik anak itu kelihatan sangat lusuh, dekil dan kumuh. Zeno sekarang tengah mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah pertama dan merupakan seorang siswa berprestasi.
Zeno tinggal bersama seorang kakek tua renta namun masih terlihat gagah walaupun usianya sudah mencapai 80 tahun. Kakek tersebut adalah ayah dari mendiang Ibu Zeno.
Kakek itu bernama Wiro Sudibyo. Kakek Wiro adalah seorang mantan tentara yang sangat pintar beladiri dan disegani pada masa jayanya. Namun karena kurang diperhatikan oleh Pemerintah kehidupan kakek Wiro dan Zeno pun bisa disebut sangat kurang dari kata kecukupan. Bahkan mereka bisa disebut keluarga yang sangat miskin.
Karena sangat miskin banyak sekali orang-orang yang menghina dan mengejek mereka terutama para orang kaya yang tinggal di desa tersebut. Biasanya yang mengejek adalah anak dari para orang kaya yang berada di desa. Setiap hari mereka selalu mem-bully Zeno yang miskin itu. Kasihan ... sudah miskin dan sengsara dihina pula. Namun tidak sedikit pula yang merasa iba kepada mereka.
Di masa tuanya sambil mengurus cucu satu-satunya, kakek Wiro menjadi seorang petani upahan di Desa tersebut. Hal itu terpaksa dilakukan karena demi mencukupi kebutuhan sehari-hari dia dan cucunya Zeno. Untung saja biaya sekolah Zeno gratis karena Zeno mempunyai prestasi yang bagus di Sekolah.
Di suatu sore di Desa Umbul Jaya.
Suasana sore di desa Umbul Jaya terasa sangat sejuk karena angin sepoi-sepoi yang menerpa. Terlihat hamparan sawah hijau membentang di sepanjang jalanan utama desa. Zeno dan kakek Wiro sedang duduk di depan rumah geribik mereka sambil menikmati teh manis hangat dan singkong rebus yang baru matang. Tiba-tiba Zeno mengatakan sesuatu yang tidak terduga.
"Kek, Zeno ingin pergi melihat kota Jakarta," kata Zeno kepada kakeknya.
"Zeno, kamu boleh kesana kalau kamu sudah dewasa." Kakek Wiro menanggapi perkataan Zeno sambil menyeruput teh manis hangatnya.
"Kenapa gak boleh sekarang sih, Kek? Zeno kan udah 14 tahun," tanya Zeno dengan wajah yang memelas.
"Zeno, kehidupan di Kota itu tidak semudah dan sesederhana kehidupan di Desa seperti ini. Jakarta itu kota yang kejam, Nak, kamu akan paham ketika kamu dewasa nanti, dan juga kamu belum punya cukup bekal yang layak untuk pergi kesana." Kakek Wiro menjelaskan agar Zeno paham.
"Okelah kalo gitu, Kek ... huft," jawab Zeno sedikit kecewa.
Zeno kelihatan kecewa saat kakeknya menjawab seperti itu. Namun apa boleh buat memang harus begitu keadaannya. Entah apa yang dicari Zeno sehingga dia sangat bersikeras untuk berangkat ke Kota Jakarta.
.
.
.
***
Sementara itu di Kota Jakarta yang ingin dituju Zeno. Ada seorang gadis kecil yang cantik yang bernama Jessie. Nama lengkap Gadis itu adalah Jessica Francesca Wijaya. Gadis itu berambut panjang bergelombang berwarna cokelat dengan mata coklat yang bulat. Kulit gadis itu putih bersih bak susu. Usia gadis itu masih 10 tahun.
Gadis itu sangat manja karena dia adalah putri tunggal dari seorang pengusaha kaya di Kota tersebut. Kekayaan keluarga itu pun masuk dalam daftar 10 keluarga kaya di Negara Indonesia. Nama keluarga tersebut adalah keluarga Wijaya. Sedangkan nama kepala keluarga tersebut adalah Frans Wijaya.
Jessie dari semenjak bayi diurus oleh seorang pembantu yang bernama, bibi Juneng. Jessie yang merasa tidak diperhatikan pun sangat cuek dengan kedua orang tuanya dan lebih dekat dengan pembantunya itu. Apapun kemauan Jessie memang selalu dituruti tapi waktu kebersamaan antara anak dan orang tua sangat jarang terjadi.
Ibu kandung Jessie ibu Nelly Wijaya hanya tau bersenang-senang saja dan menghambur-hamburkan uang milik suaminya. Kerjanya hanya shopping, ke salon, perawatan kecantikan kulit dan macam-macam saja kelakuannya. Walaupun begitu ibu Nelly sangatlah menyayangi anak satu-satunya itu, dia hanya tidak tau bagaimana cara mengurus anak cuma tau buatnya saja. Sedangkan ayahnya, tuan Frans Wijaya jarang sekali berada di rumah karena urusan bisnisnya. Walaupun begitu tuan Frans juga sangat menyayangi putri semata wayangnya itu.
Tadinya tuan Frans ingin memiliki anak lagi tapi hal itu tidak memungkinkan karena istrinya divonis tidak dapat hamil lagi dikarenakan ada masalah pada rahimnya. Hal itu disebabkan karena nyonya Nelly mengidap kanker rahim sehingga rahimnya harus diangkat. Untung saja dia masih sempat melahirkan Jessie sebelum mengidap penyakit itu.
Tuan Frans tidak ingin menikah lagi walaupun dia merupakan orang yang super kaya alias sultan, hal itu dikarenakan dia sangat setia dan sangat mencintai istrinya. Tuan Frans merupakan tipe laki-laki yang tsundere, yaitu tipe laki-laki yang kelihatannya cuek padahal bucin (budak cinta).
Di kediaman Keluarga Wijaya.
"Bi ... Jessie haus!" teriak Jessie sambil membaca sebuah buku komik.
"Mau minum apa, Neng?" tanya Bibi.
"Aku mau hot chocolate, Bi!" jawab Jessie singkat.
"Iya, Non, nanti bibi buatin ya." Bibi mengiyakan permintaan Jessie.
.
.
.
***
Dari luar kamar Jessie terdengar suara ribut-ribut seperti suara orang sedang berdebat. Ternyata itu adalah suara tuan Frans Wijaya dan istrinya nyonya Nelly.
"Jessie butuh bodyguard mulai sekarang!" ucap Tuan Frans tegas.
"Tapi Jessie butuh privasi, Pa! Masa segala sesuatu yang dilakukannya harus diawasi bodyguard!" jawab Nyonya Nelly.
"Keselamatan Jessie lebih penting daripada privasinya! Seharusnya kamu pikirkan itu." Tuan Frans membentak Nyonya Nelly.
Tuan Frans merupakan seorang pengusaha dibidang kontruksi. Tuan Frans bukan hanya seorang pengusaha konstruksi biasa tetapi dia juga merupakan seorang yang menjalankan bisnis dunia bawah sebagai seorang mafia. Maka dari itu, nyawa seluruh keluarganya termasuk Jessie anak semata wayangnya menjadi incaran para pesaing bisnisnya. Sehingga Tuan Frans membutuhkan banyak bodyguard untuk melindunginya dan keluarganya.
.
.
.
***
Sebelas tahun kemudian.
Cerita baru dimulai antara Zeno, Jessie dan dendam Zeno terhadap keluarga Wijaya. Zeno akhirnya sudah cukup dewasa untuk pergi ke Jakarta. Zeno bertekad untuk membalaskan dendamnya yang belum diketahui itu.
Zeno tumbuh menjadi seorang pria yang masih kumuh dan dekil. Bahkan saat dewasa, Zeno menjadi orang norak sejagat kampung. Ya bisa dibilang tidak ada perubahan apa-apa yang terjadi dalam penampilan Zeno, yang berubah hanyalah umurnya yang bertambah. Sedangkan Jessie sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan sudah menjadi seorang mahasiswi kedokteran di salah satu Universitas terkemuka di Indonesia.
***
Next episode >>
Zeno POV.
Aku Zeno, sekarang usiaku 25 tahun. Sebenarnya aku biasa memakai bahasa gaul, tapi kata author lebih baik pake kata-kata yang sopan saat menceritakan tentang diriku. Ya aku nurut saja dari pada author marah dan aku didepak dari cerita ini.
Menurut cerita sebelumnya aku harus dewasa dulu baru bisa pergi ke Kota Jakarta. Yah ... kira-kira sekarang aku sudah cukup dewasa, ya itu sih pasti, karena kalau umur 25 tahun itu sudah cukup mateng buat nikah.
Tujuanku ke Kota Jakarta adalah untuk balas dendam bukan buat nikah. Sebenarnya dendam ini sudah kusimpan sejak lama. Semenjak aku tau sebuah kebenaran yang menurutku cukup menyakitkan, kira-kira waktu umurku 10 tahun.
Selama aku tinggal di Desa, aku sudah menyelesaikan pendidikan sampai bangku SMA, ya maklum di Desa memang tidak ada kampus. Padahal dari saat aku lulus SMA, aku sudah merayu kakek agar boleh ke Jakarta namun kakek tetap saja melarangku.
Oh iya walaupun aku tergolong orang yang super miskin tapi aku adalah murid yang cerdas, jadi selama sekolah dari SD sampai SMA aku selalu mendapatkan beasiswa. Semenjak SD aku sudah mengikuti beladiri pencak silat dan sudah sering mendapatkan juara bahkan sampai tingkat Nasional. Sebenarnya aku juga mendapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta saat itu namun kakek tidak mengijinkan.
Kenapa aku mengerti dan bicara bahasa gaul seperti, gua, lo dan lain-lain. Jangan salah di Desa tempatku tinggal ada banyak orang gaul dari kota besar yang sering berkunjung, biasa dibilang mereka sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata). Walaupun bahasa yang aku gunakan sudah cukup gaul, orang-orang bilang penampilanku tidak segaul omonganku alias norak dan kampungan.
Dari umur 18 sampai 25 tahun ini kegiatanku adalah melatih murid-murid yang mengikuti beladiri pencak silat. Baik murid SD, SMP maupun SMA di Desa tempatku tinggal. Kadang kala aku masih ikut turnamen dan kejuaraan pencak silat. Tujuanku belajar bela diri adalah sebagai persiapan balas dendam. Aku mengumpulkan sebanyak-banyaknya sertifikat dan piagam pencak silat hanya untuk mengikuti audisi calon bodyguard untuk anak gadis semata wayang keluarga Wijaya yang diadakan setiap tahun. Selain belajar beladiri diluar, dirumah pun aku belajar dengan kakek. Kakek itu walaupun umurnya sudah tua tapi kemampuan beladirinya sangatlah bagus.
Keluarga Wijaya adalah tujuanku untuk balas dendam. Terutama terhadap Frans Wijaya. Dendam yang sudah kusimpan sejak aku berumur 10 tahun akan kubalaskan mulai sekarang. Dendam apa yang kupunya? Aku punya alasan yang kuat untuk balas dendam. Yah ... Seiring berjalannya cerita ini pasti kalian akan tau.
.
.
.
***
Sekarang aku sudah berada di Jakarta. Tepatnya di sebuah stasiun kereta api. Aku pun bingung layaknya orang hilang. Banyak orang lalu lalang namun tak ada satupun orang yang peduli. Beruntung aku bertemu dengan seorang ibu-ibu penjual minuman yang bertanya karena melihatku kebingungan.
"Ini dimana lagi? Biasanya kalo ikut turnamen di Jakarta gak bingung-bingung amat kayak gini," keluhku dengan kencang.
"Dek baru pertama kali dateng ke Jakarta ya?" tanya Ibu itu.
"Udah sering sih, Bu, tapi biasanya saya sama rombongan gak sendirian gini, Bu," jawabku sambil nyengir.
"Ya kalo gitu sih sama aja masih awam dong, Dek," ucap Ibu itu.
"Iya sih, Bu." Aku mengiyakan ucapan Ibu itu.
"Memang tujuan adek ini mau kemana? Sapa tau ibu bisa bantu," tanya Ibu itu.
"Saya mau ikut audisi jadi bodyguard di keluarga Wijaya, Bu." Aku menjelaskan tujuanku kesana.
"Oh ... keluarga Wijaya yang kaya banget itu ya dek? Wah kalo itu langsung aja ke rumahnya aja dek. Dari sini deket kok Dek, naik ojek juga langsung sampe. Tuh banyak tukang ojek bilang aja ke keluarga Wijaya gitu." Ibu itu menjelaskan secara terperinci.
"Oh iya makasih, Bu, tapi kalo naik ojek online bisa juga kan, Bu?" Aku bertanya kepada Ibu itu lagi.
Mumpung ada promo gratisan, batinku.
"Bisa sih dek tapi apa adek tau alamat jelasnya gitu?" tanya Ibu itu lagi.
"Ya gak sih, Bu, tapi kan ibu tau," ucapku sambil nyengir.
"Yah Dek saya mah gak tau nama jalan Dek cuma tau tempat aja." Ibu itu menjelaskan.
"Yah ... okelah, Bu ... makasih ya, Bu."
Akhirnya aku meninggalkan ibu-ibu itu menuju tukang ojek pangkalan. Yah mau gimana lagi karena tidak tahu alamat lengkap rumah keluarga Wijaya (sebenarnya waktu itu aku sudah simpan alamatnya tapi gara- gara dikagetin kucing kertasnya terbang). Jangan tanya lagi ya, kenapa orang kampung sepertiku bisa tau cara pake ojek online, inget aku itu norak dan kampungan bukan bodoh.
.
.
.
***
Akhirnya aku menghampiri tukang ojek pangkalan dekat situ.
"Bang rumah keluarga Wijaya dong."
"Oke kuy lima puluh ribu," jawab Abang ojek.
"Anzay! Bang mahal banget," protesku.
"Mau kagak?"
"Oke deh, Bang." Aku pun mengiyakan dengan wajah sedih.
Hal yang membuat aku kesal adalah abang ojek itu mengambil keuntungan yang sangat besar karena ternyata jarak rumah keluarga Wijaya dari pangkalan ojek hanya 500 meter. Padahal untuk mendapatkan uang 50 ribu itu, aku sangat kesusahan karena harus memandikan anak macan milik kepala desa.
"Oke, sudah sampe, Dek," ucap Abang ojek.
"Lah ... deket amat, Bang!" sahutku.
"Ya mau gimana, kan udah sampe, Dek," tukas Abang Ojek itu santai.
Aku sangat kesal dan ingin marah. Namun aku menahan emosiku. Aku tidak ingin membuat keributan karena aku baru saja sampai di kota orang. Kalau saja itu di desaku, pasti sudah aku lempar tukang ojek itu ke comberan.
.
.
.
***
Sesampainya di depan gerbang rumah Keluarga Wijaya. Tiba-tiba ada motor besar keluar dengan kencangnya dari dalam rumah. Aku kaget dan langsung berteriak.
"Woy! Biasa aja bawa motornya! Cari mati ya?!" teriakku kesal.
Pengendara MoGe (Motor Gede) itu pun berhenti lalu membuka helmnya.
"Yang cari mati itu lo bukan gua! Ganggu aja gak tau apa orang lagi buru-buru," teriak pengendara itu.
Lalu pengendara motor itu memakai helm lagi dan langsung melaju dengan kencangnya. Sedangkan aku hanya terbengong dengan sedikit meneteskan air liur.
"Cantiknya...." Aku mengagumi wajah gadis itu yang sungguh cantik.
Maklumi saja reaksiku yang berlebihan itu, hal itu karena di desaku gadisnya tidak ada yang secantik itu. Bahkan bunga desa pun tak secantik gadis yang baru saja aku lihat tadi. Gadis yang aku lihat barusan bahkan mirip seorang Dewi yang turun dari langit.
Yah kira-kira itulah sepenggal ceritaku saat hendak menuju ke kediaman keluarga Wijaya. Nantikan kisah selanjutnya di episode selanjutnya ya.
Zeno POV end.
***
Next episode>>
Baru saja Zeno hendak masuk kedalam kediaman rumah keluarga Wijaya, terlihat dari kejauhan segerombolan orang yang berlari menuju gerbang. Nampak ada seorang pria paruh baya berambut putih yang memakai seragam satpam, ibu-ibu yang memakai daster, dan seorang pria umur 30an membawa sapu lidi. Zeno pun terkejut karena dia berpikir bahwa dia akan diusir sebelum menginjakkan kakinya masuk kedalam rumah itu.
Waduh mamp*s gua, belom sempet bales dendam udah mau dihajar massa, batin Zeno.
Segerombolan orang-orang itu pun mulai mendekat kearah Zeno. Zeno pun sudah mengambil ancang-ancang untuk melindungi tubuhnya dengan tangannya. Namun orang-orang itu hanya melewatinya tanpa melakukan apapun terhadapnya, malah terdengar mereka memanggil-manggil nama seseorang.
"Non! Non Jessie jangan kabur lagi dong," teriak satpam tua itu sambil ngos-ngosan.
"Haduh Non, Bibi bisa kambuh migrainnya kalo Non Jessie kabur terus," ucap ibu-ibu berdaster itu.
Zeno yang melihat hal tersebut pun terbengong heran.
"Lah gua kira mau gebukin gua, taunya manggil orang toh", gumam Zeno.
Ketiga orang yang berlari tadi pun menengok kearah Zeno dikarenakan Zeno bergumam begitu kencang. Mereka memperhatikan penampilan Zeno dari atas kebawah. Penampilan Zeno memang terlihat norak dan kampungan. Zeno memakai baju kaos partai dengan celana setengah tiang banyak kantung. Kesan kampungan dan noraknya pun semakin bertambah karena Zeno membawa tas yang terbuat dari karung goni yang ia jahit sendiri di punggungnya sambil menenteng seekor ayam jago. Makin diperparah dengan penampilan Zeno yang tak terurus dan dekil.
"Mas gelandangan ya? Tolong Mas jangan berdiri didepan gerbang," ucap laki-laki yang membawa sapu lidi.
Wah aje gile gua dibilang gelandangan.
Zeno pun menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke kediaman keluarga Wijaya. Ketiga orang tadi pun mengerti dan mempersilakan Zeno masuk kedalam. Padahal seharusnya para peserta audisi yang hadir harus melewati gerbang selatan bukan melewati gerbang utama rumah seperti Zeno (pantes aja sepi).
Dalam hati Zeno mengumpat tak kala dia mengingat Abang ojek yang baru saja mengantarnya tadi. Karena Abang ojek itu mengantarkan Zeno ke gerbang yang salah. Untung saja itu gerbang rumah bukan gerbang Neraka.
Wah gua ditipu mentah-mentah sama tukang ojek syalan itu! Awas aja! umpat Zeno dalam hati.
.
.
.
***
Zeno yang selama ini hidup di kampung pun begitu takjub dengan kediaman keluarga Wijaya yang begitu mewah dan besar. Wajahnya melongo dan mulutnya menganga sangking takjub dengan rumah tersebut. Rumah itu didesain dengan konsep yang mirip dengan bangunan mewah di negara Inggris.
Luar binasa bener ini rumah, rumah gua di kampung mah cuma segede pos satpam doang.
Jeno pun diantar oleh Bang Ismed, orang yang memegang sapu lidi tadi ke tempat dimana audisi para bodyguard diadakan. Bahkan Bang Ismed harus menggunakan motor pada saat mengantar Zeno ke tempat audisi. Bisa dibayangkan betapa luasnya kediaman keluarga Wijaya.
Sesampainya ditempat audisi, terlihat banyak sekali orang yang berkumpul dan berbaris. Bahkan ada tempat dimana untuk mengambil nomor antrian. Zeno pun bergegas menuju meja yang memberikan nomor antrian. Dia pun kaget karena dia mendapatkan nomor antrian 15.655.
Buset ini mau ngantri daftar jadi bodyguard apa mau daftar CPNS sih, batin Zeno.
.
.
.
***
Lima jam pun berlalu, sangking lamanya menunggu Zeno pun tertidur dibawah pohon beringin yang ada disana (rumah apa hutan ada pohon beringin). Suara pengeras suara pun mengumandangkan nomor antrian Zeno. Zeno pun sontak terkaget dan terbangun dari tidurnya sambil mengelap liurnya.
"Saya hadir, Pak!" teriak Zeno sambil mendekati sumber suara.
Akhirnya Zeno pun dipersilahkan untuk memasuki ruang audisi. Ternyata ruang audisinya merupakan sebuah aula besar yang mampu menampung sekitar 1000 orang. Terlihat banyak sekali laki-laki yang mengikuti audisi, mereka nampak datang dari berbagai daerah.
"Misi, Mas darimana ya?" tanya Zeno kepada seorang pria berkulit agak gelap disampingnya.
"Beta dari Ambon Manise" jawab pria itu.
Zeno pun hanya tersenyum mendengar jawaban dari pria itu.
Gile jauh amat orang dari Ambon mau ikut audisi kenapa gak sekalian dari Papua aja ikutan juga, batin Zeno.
Tak lama kemudian ada seorang pria berkulit hitam yang menyahut dari samping pria Ambon tadi.
"Kalau saya dari Papua Kakak, tepatnya daerah perbatasan dengan Papua Nugini Kakak," sahut pria yang berkulit hitam.
Zeno hanya tersenyum dengan wajah yang aneh mendengar hal itu.
.
.
.
***
Audisi pun dimulai, terlihat seorang bapak-bapak dengan kumis hitam tebal dan wajah yang galak yang berdiri didepan para peserta audisi. Bapak tersebut adalah juri audisi tahap pertama ini. Di spanduk tertulis bahwa audisi tahap pertama ini bertema "AYO GETARKAN DUNIA". Zeno masih belum paham apa maksud dari tema audisi pertama ini.
Zeno yang masih bingung pun hanya mendengar dengan seksama penjelasan dari bapak tersebut. Namun tetap saja dia tidak mengerti karena bapak itu menjelaskan dengan bahasa yang cukup aneh, hanya beberapa orang peserta audisi yang mengerti dan tertawa.
Tak berapa lama kemudian terdengarlah suara musik dangdut koplo. Ada sebagian peserta yang mulai berjoget mengikuti irama namun ada pula yang bingung termasuk Zeno.
Ini audisi jadi bodyguard apa jadi dangduters sih, gerutu Zeno dalam hati.
Tiba-tiba ada suara nyaring dari pengeras suara.
Bagi para peserta yang jogetnya paling yahud akan lolos ke audisi tahap kedua. Suara toak.
Zeno yang mendengar hal itu pun langsung berjoget dengan gaya-gaya yang diluar nalar manusia. Sehingga membuat para peserta yang lainnya tertegun. Karena gaya jogetnya tersebut dia pun lolos dengan peringkat pertama. Author juga bingung bagaimana jogetnya Zeno? Ya sudah kalian pikirkan saja sendiri dengan imajinasi liar kalian sendiri, muehehe.
.
.
.
***
Selesai audisi Zeno pun duduk diruang tunggu para peserta audisi yang lolos tahap kedua. Ternyata dari sekitar 20 ribu peserta, yang lolos audisi tahap kedua hanya sekitar 1000 orang termasuk Zeno.
Zeno sejenak tak habis pikir dengan audisi yang dialaminya barusan. Dia menganggap bahwa latihan beladiri yang bertahun-tahun dia tekuni semuanya sia-sia.
"Tau audisinya kayak gini mending gua dangdutan aja terus tiap malem sama Bang Jamil," gumam Zeno.
Walaupun begitu, Zeno tetap bersyukur karena dia masih bisa lolos audisi. Tidak lupa Zeno pergi ke Mushola yang ada disana. Dia menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim dan memanjatkan doa agar apa yang menjadi tujuannya bisa tercapai. Padahal mau balas dendam aja pake acara berdoa, dasar Zeno.
Note : Bang Jamil adalah raja dangdut Desa Umbul Jaya, Desa tempat Zeno tinggal.
***
HAPPY READING 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!