NovelToon NovelToon

Terpaksa Nikah

BAB I. Bedak tepung

"Ais ... Is ... Ais!" teriak Bu Siti seraya membalikan tahu yang ada di wajan.

"Anak itu susah betul bangunnya," gerutu Bu Siti.

Pagi itu begitu dingin. Udara pagi di musim kemarau membuat siapa saja enggan untuk membuka mata. Kenyamanan yang diberikan selimut membuat betah berada didekapnya. Begitu pula dengan Aisyah.

"Fajar, bangunkan adikmu!" perintah Bu Siti saat melihat si sulung keluar dari kamar mandi.

Sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk, Fajar menuju kamar sang adik.

Tok Tok Tok

Tak ada tanggapan dari yang di dalam. Fajar akhirnya membuka pintu kamar Aisyah perlahan.

Krek

Fajar melongok ke dalam kamar Aisyah. Dilihatnya Aisyah yang tidur miring ke kanan. Selimut masih menutupi tubuhnya dengan telapak tangan terlihat di depan wajah. Aisyah masih asyik dengan mimpinya.

"Enak betul tidurnya. Sampai aku mengetuk pintu saja dia tidak mendengarnya," ucap Fajar pelan.

Terlintas di benak Fajar sebuah ide untuk menjahili sang adik. Senyum seringai terlihat di wajah khas pemuda jawa saat mengambil sebuah benda di dapur.

Benda itu ditaruh di tangan kanan sang adik. Kemudian dia mengambil beberapa ujung rambut Aisyah yang berantakan di atas bantal. Dia sapukan rambut itu di wajah sang adik. Aisyah yang terusik tidurnya dan merasa gatal di wajahnya, reflek menggerakkan tangan kanannya.

PLAK

"Uhuk ... uhuk ...." Aisyah terbatuk karena menyedot butiran tepung.

Wajah Aisyah kini terlihat putih seperti kue moci. Fajar pun setika tertawa begitu keras saat idenya berhasil. Tawanya menggema ke seluruh bagian rumah yang terbuat dari kayu itu.

"Ih ... Mas Fajar! Banguninnya biasa aja apa tidak bisa!" sungut Aisyah sambil membersihkan tepung yang ada di wajahnya. Bibirnya manyun hingga tak terkira.

"Makanya, anak cewek itu kalau bangun yang rajin," kata Fajar sambil berlalu menuju kamarnya.

Aisyah keluar kamar dengan berkacak pinggang. Hatinya sangat dongkol sekali dengan perbuatan Fajar. Aisyah mendekati Bu Siti.

"Ibu ... itu Mas Fajar jahil banget. Lihat wajahku," adu Aisyah pada sang ibu dengan manja seraya menujuk mukanya sendiri.

"Udah, sana mandi. Nanti telat kamu sekolahnya." Bu Siti tak menghiraukan aduan sang anak dan memasukan tahu ke dalam wajan.

Merasa tak digubris, Aisyah menuju kamar mandi dengan hati yang bertambah dongkol. Gadis itu menggerutu karena sudah mendapat sial di pagi hari.

Waktu hampir menunjukan pukul 06.00 tapi Aisyah belum juga keluar dari kamarnya. Bu Siti yang menunggunya dari tadi merasa cemas. Pasalnya ini hari pertama Aisyah masuk SMA. Wanita itu khawatir jika putrinya telat.

"Ais ... cepat sarapan! Nanti telat lho," ucap Bu Siti seraya menata baju seragam yang dipakai Bagas.

Aisyah keluar dari kamar menuju meja makan. Ditaruhnya nasi, tahu dan oseng kangkung di atas piring. Walaupun sederhana, masakan Ibu Siti sangat lezat bagi keluarganya. Aisyah makan dengan terburu-buru, karena mengejar waktu.

"Pelan-pelan makannya dong, Ais. Nanti keselek," ucap Bu Siti yang duduk berhadapan dengan Aisyah.

"Makanya, anak gadis itu kalau bangun harus pagi-pagi. Kalau begini kan kamu sendiri yang repot," lanjutnya.

Aisyah mengangguk pelan, mengerti. Gadis itu mulai melambatkan ritme makannya. Dan menikmati sesuap demi sesuap nasi yang masuk ke dalam mulutnya.

"Bapak sudah berangkat, Bu?" tanya Aisyah setelah menelan makanannya. Bu Siti hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kalau mas Fajar?" tanyanya lagi.

"Udah dari tadi. Lihat sekarang jam berapa," ucap Bu Siti sambil menujuk jam yang berada di atas tv.

"Aduh, bisa telat aku." Aisyah menyudahi makannya.

Diteguknya segelas air putih lalu menggapai tangan Bu Siti dan menciumnya.

"Berangkat dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum," pamitnya seraya berjalan cepat ke arah sepeda.

"Waalaikumsalam. Peralatan sekolahmu sudah dibawa semua?!" teriak bu Siti memperingatkan.

"Sudah, Bu." Aisyah menuntun sepedanya keluar rumah.

Aisyah Khairina, gadis dengan rambut sepunggung dan selalu diikat satu. Tubuhnya mungil, tingginya hanya 155 cm. Sejak SMP, gadis itu selalu berangkat sekolah naik sepeda. Dia memang berasal dari keluarga tak berada.

Ayahnya, Pak Sukiman bekerja sebagai buruh tani. Ibunya, Bu Siti Zulaikah hanya ibu rumah tangga yang kadang ikut membantu suaminya menggarap ladang. Aisyah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakanya, Fajar Susanto bekerja di bengkel. Adiknya, Bagas Trianto baru duduk di kelas IX.

Jarak rumah ke sekolahannya lumayan jauh. Aisyah harus mengayuh sepedanya hampir satu jam untuk sampai di sekolahan. Setelah keluar gang dari rumahnya, Aisyah harus merayap di jalan raya yang begitu sibuk di pagi hari.

BAB 2. Tugas MOS Aisyah

Setelah melewati sandiwara jalanan di pagi hari, akhirnya Aisyah sampai di sekolah. Hampir saja telat. Karena sesampainya di depan pagar sekolah, Pak Satpam sudah bersiap menutup gerbang sekolah.

Sepeda diletakan di parkir sekolah yang kebanyakan diisi oleh motor. Aisyah menyusuri teras kelas sambil mencari ruang kelasnya. Tak perlu waktu lama dia menemukan kelas XA. Aisyah masuk dan clingukan mencari tempat duduk. Dilihatnya satu bangku kosong urutan nomer dua dari belakang. Aisyah berjalan menuju bangku kosong itu.

Kok cowok sih, batin Aisyah saat sudah dekat dengan bangku itu. "Apa di sini kosong?"

"Iya," jawab cowok itu.

"Bolehkah aku duduk di sini?" tanya Aisyah lagi.

"Silahkan." Cowok itu mempersilahkan Aisyah duduk.

"Cie ... dapat temen sebangku cewek nih." Sorak teman di sekelilingnya.

"Hush ... apaan sih." Cowok itu memukul lengan cowok di belakangnya.

Ya tuhan ... apa salahku sehingga aku dapat tempat duduk sebangku dengan cowok, batin Asyah melirik cowok di sampingnya.

Tet...

Bel masuk sekolah berbunyi. Tak beberapa lama dua anggota OSIS masuk ke dalam kelas. Mereka memberi aba-aba kepada semua murid agar menuju lapangan dengan membawa tugas mereka.

Di lapangan, semua murid berbaris tiga berkelompok sesuai kelas masing-masing. Aisyah berada di tengah baris bersama dua teman baru yang duduk di depannya, Putri dan Indah. Ya, itu nama teman baru Aisyah yang dia kenal saat berjalan menuju lapangan.

"Adik-adik, keluarkan semua tugas kalian." Suara kakak OSIS terdengar melalui pengeras suara.

Semua siswa baru menyiapkan perlengkapan mereka. Para pembina OSIS mengecek satu per satu kelengkapan mereka. Kini sampai di bagian Aisyah untuk di cek kelengkapannya.

"Mana roti tiga rasanya?" tanya kakak OSIS.

"Ini." Dengan ragu Aisyah mengeluarkannya. Pasalnya, dia mencari roti tiga rasa kemanapun tidak menemukannya. Akhirnya, gadis itu membuat roti tawar yang diisi selai dengan tiga rasa.

Pembina OSIS mengernyitkan dahi sambil menggelengkan kepala. Dia berlalu dari hadapan Aisyah.

"Huh ...." Hembus nafas Aisyah lega. "Untung tidak dimarahi."

Siang itu kegiatan Masa Orientasi Siswa ( MOS ) selesai. Melalui pengeras suara, kakak ketua OSIS mengumumkan apa saja yang akan dibawa besok. Kemudian semua siswa bubar masuk ke dalam kelas masing-masing.

"Ini kok sulit banget teka-tekinya," ucap Putri yang berada di bangku depan Aisyah sambil tubuhnya menghadap ke belakang.

Mereka memang disuruh berdiskusi untuk memecahkan teka-teki apa saja yang harus dibawa besok. Aisyah, Putri dan Indah berdiskusi. Karena teman sebangku Aisyah cowok, dia berdiskusi dengan teman cowok yang ada di belakang.

Minuman para lelaki. Hmm ... apa ya? batin Indah. "Extrajos bukan minumannya?" celetuknya.

"Kok bisa?" tanya Aisyah.

"Extrajos kan minuman para lelaki. Kayak yang di iklannya," jelas Indah.

"Bener juga." Setuju Putri. "Terus makanannya ... anak paling berharga nomer satu. Hmm ...."

Mereka berfikir keras untuk mencari jawaban teka-teki itu.

Anak nomer satu kan anak sulung. Mana ada makanan sulung, pikir Putri.

"Anak mas bukan?" cetus Aisyah.

"Anak mas? Hmm ... betul juga. Anak nomer satu emas." Indah girang sambil menepuk lengan Putri.

"Apa kalian sudah menemukan jawabannya?" tanya Ari teman sebangku Aisyah setelah mendengar kegaduhan mereka. Aisyah mengangguk dan tersenyum manis.

"Kasih tau dong." Ari tersenyum dengan mata memohon.

"Enak aja," kata Indah.

"Kok pelit sih." Ari memajukan bibirnya tanda tak suka dengan jawaban Indah.

"Aisyah, kasih tau ya ... ya ...." Ari menaik turunkan alinya sambil nyengir.

Karena rayuan ari yang terus menerus, akhirnya Aisyah menyerah. Dia memberi tahu jawabannya. Ari sangat senang tak terkira.

“Terimakasih, kamu baik deh,” ucap Ari sambil mencubit kedua pipi Aisyah.

“Aduh ... sakit.” Aisyah mengelus pipinya yang agak kemerahan.

“Ih ... kok main cemol tuh pipi orang sih,” protes Indah agak tidak suka.

“Maaf.” Ari meringis sambil menangkupkan kedua tangannya.

Akhirnya waktu pulang sekolahpun tiba. Sesampainya di rumah, Aisyah segera pergi ke warung untuk membeli perlengkapan buat besok. Setelah mendapatkan semuanya, Aisyah segera pulang.

“Ais!” seru Bu Siti dari arah dapur.

Aisyah meletakkan bungkusan itu di atas meja ruang tamu dan bergegas menghampiri ibunya.

“Ada apa, Bu?” tanya Aisyah.

“Itu cabenya diulek,” ucap Bu Siti sambil menunjuk ke arah cabe yang telah digoreng.

“Mau buat sambal apa, Bu?” Tangan mungilnya dengan lihai mengulek cabe.

“Sambal tomat. Itu tomatnya,” ucap Bu Siti menunjuk tomat yang baru ditiriskan. “Ibu masak sayur sop dan goreng tempe sama tahu,” sambungnya.

Setelah selesai semua. Satu keluarga sederhana itu makan malam bersama. Mereka makan makanan sederhana itu dengan nikmatnya. Sayur sop walau hanya sayurnya saja tanpa diberi embel-embel apapun, habis tak tersisa. Keluarga itu mensyukuri dengan kenikmatan itu.

Makan malam pun berakhir. Semua anggota keluarga beranjak dari meja makan. Aisyah membantu ibunya membereskan meja makan. Setelah semuanya beres, Aisyah bergegas menuju ruang tamu untuk mengambil barang yang dibelinya tadi.

Kriuk

Kriuk

Kriuk

Terdengar suara renyah di telinga Aisyah. Dia bergegas lari ke arah ruang tamu.

“Mas Fajar!” seru Aisyah.

“Ada apa, Dek. Kok teriak-teriak,” ucap Fajar dengan santainya masih melahap jajan itu.

“Itu punya Ais.” Aisyah berkacak pinggang sambil memonyongkan bibirnya.

“Oh ... nih.” Fajar mengulurkan jajanan itu ke Aisyah. “Tinggal dikit, Dek, maaf. Besok beli lagi ya.”

“Bukan masalah belinya. Tapi itu buat besok MOS. Besok beli, mana ada warung buka pagi-pagi. Enak saja mas ngomongnya.” Aisyah masih berdiri dan air mata menggenang di pelupuk matanya.

 

Aisyah berlari menuju kamar, mengunci pintu dan menjatuhkan diri di atas kasur yang sedikit keras karena terbuat dari kapuk. Dia tidak tahu besok harus bagaimana. Pasti akan kena hukuman pikirnya.

Karena melihat Aisyah yang berlari menuju kamar setalah adu mulut dengan Fajar, Bu Siti berjalan menghampiri Fajar.

"Kenapa, Jar?" tanya Bu Siti.

"Ini bu, jajanan Aisyah aku makan." Fajar memperlihatkan gigi-giginya.

"Kamu ini. Kenapa tidak tanya-tanya dulu. Kasihan tuh adikmu," ucap Bu Siti.

"Iya ... maaf, Bu." Fajar menangkupkan kedua tangannya.

Sebenarnya Fajar juga tidak bermaksud bertengkar dengan Aisyah. Pria itu benar-benar tidak tahu kalau jajanan yang dia makan adalah untuk tugas MOS Aisyah. Fajar sungguh menyesal karena telah memakannya.

"Jam segini warung sudah pada tutup. Gimana adikmu besok," ujar Bu Siti.

Bu Siti memcoba membela Aisyah, karena dilihatnya Fajarlah yang bersalah. Tanpa bertanya dulu, Fajar telah memakan jajanan milik Aisyah. Fajar pun terus menundukan kepala.

Di dalam kamar, Aisyah mendengar sayup-sayup kakaknya yang dimarahi sang ibu. Walaupun begitu Aisyah masih saja jengkel dan air mata terus mengalir. Aisyah sesenggukan hingga terasa sesak dadanya. Gadis itu takut jika besok harus menerima hukuman.

Bab 3. Hukuman

Aisyah berjalan menuju ruang kelasnya dengan gontai. Gadis itu terus memikirkan hukuman apa yang akan dia dapat. Dia tak menghiraukan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Sampai di tempat duduknya, Aisyah menjatuhkan tasnya perlahan di meja dan langsung duduk.

“Kenapa kamu, Ais?” tanya Ari yang menatap Aisyah kelihatan sedih.

“Aku tidak membawa bahan MOS,” jawab Aisyah dengan lemas.

“Kukira kenapa. Lihat aku, yang tidak bawa apa-apa saja santai,” ucap Ari santai.

“Kok bisa tidak bawa, kenapa?” tanya Ais.

“Lupa beli. Kemarin keasyikan main game," ucap Ari sambil melihatkan giginya.

Sungguh Aisyah heran dengan cowok satu ini. Sepertinya cowok itu tak punya rasa takut ataupun bersalah. Apa Ari tidak memikirkan akibatnya sebelum bertindak.

“Kamu tidak takut dihukum?” tanya Putri heran.

“Mau gimana lagi.” Ari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Dia mah orangnya emang kayak gitu. Masa bodoh. Terus kamu gimana, Ais?” tanya Indah prihatin akan keadaan Aisyah.

“Terima nasib saja lah, Ndah,” jawab Ais sekenanya.

Akhirnya bel masuk sekolahpun berbunyi. Para pembina OSIS masuk ke ruang kelas satu. Mereka memberi perintah kepada semua murid baru keluar kelas dan membawa tugas meraka.

Semua murid kelas satu berbaris di lapangan sesuai kelas masing-masing. Setelah pembukaan dan berbagai macam acara, akhirnya ketua OSIS menyuruh semua adik kelas mengeluarkan tugas mereka. Jantung Aisyah berdetak kencang menunggu gilirannya dicek.

“Mana punyamu?” tanya sang kakak kelas kurus jangkung berkulit kuning langsat itu.

“Maaf, Kak, saya lupa,” jawab Ari menundukan kepalanya.

“Kamu ke depan berdiri!” perintah kakak kelas tegas.

Jantung Aisyah pun semakin kencang berdegup. Seakan bernafaspun susah.  Mata Aisyah terus mengikuti langkah kaki kakak kelas itu. Sampai kakak kelas tepat dihapannya.

Matilah aku. Gimana ini, batin aisyah yang semakin takut.

“Mana punyamu?” tanya kakak kelas yang sama.

Aisyah mengeluarkan minuman serbuk. “I— Ini, Kak.” Aisyah tergugup. Tangan Aisyah sudah dingin dan bergetar.

“Yang satunya lagi?” tanya kakak kelas lagi.

“Ti— tidak bawa, Kak.” Aisyah semakin menundukan kepalanya.

“Kamu lagi. Kemarin bawa tapi tidak sesuai. Eh ... sekarang malah tidak bawa sama sekali. Sana berdiri di depan!” perintah kakak kelas itu sedikit geram.

Aisyah berjalan ke tengah lapangan dengan lemas. Banyak mata tertuju padanya. Aisyah pun semakin malu dan menunudukan kepalanya. Aisyah berhenti di samping orang yang terkena hukuman juga. Aisyah tak memperhatikan siapa yang ada di sebelahnya karena dia masih saja menunduk.

“Kamu ngikutin aku juga. Ha ha ha ...” tawa Ari pelan.

Aisyah melirik kesamping. Ari ... bisa-bisanya dia tertawa, batin Aisyah.

Aisyah memonyongkan bibirnya karena tidak suka Ari yang menertawakannya. Melihat itu, Ari reflek mencubit pipi Aisyah.

“Kok marah,” ucap Ari dengan bibir dimonyongkan menggoda Aisyah.

“Apaan sih.” Aisyah menyingkirkan tangan Ari lalu mengelus pipinya.

Cowok ini selalu tidak bisa mengkondisikan tangannya, batin Aisyah kesal.

Acara sudah selesai. Semua murid masuk ke kelas masing-masing. Tinggallah mereka yang mendapat hukuman.

“Karena kalian tidak melaksanakan tugas kalian, maka kalian akan dihukum. Bersihkan semua lingkungan sekolahan!” perintah ketua OSIS.

Semua siswa mengambil perlengkapan kebersihan. Anak perempuan mengambil sapu, dan yang laki-laki mengambil peralatan untuk merapikan rumput. Mereka kira-kira delapan orang yang terdiri dari lima laki-laki dan tiga perempuan segera melaksanakan tugas. Mereka menyebar ke penjuru sekolahan. Aisyah menuju depan ruang kantor guru diikuti Ari.

“Eh ... kok ngikutin sih?” tanya Aisyah yang masih sebal sama Ari.

“Siapa yang ngikutin? Aku mau ke depan kantor guru. Tuh, rumputnya agak panjang,” tunjuk Ari pada rumput di depan ruangan itu.

“Ish ….” Aisyah mencibikan bibirnya dan melenggang meninggalkan Ari.

Mereka membersihkan tempat itu bersama-sama. Setelah selesai, Aisyah pindah ke tempat yang belum disentuh rekan mereka. Ari lagi-lagi mengikuti Aisyah. Kali ini Aisyah hanya diam, karena dia tipe orang yang tak ingin membuat masalah.

Terlintas di benak Ari untuk mengerjai Aisyah. Dia menyebar potongan rumput ke tempat yang sudah Aisyah sapu.

“Ais, tuh lihat. Di sana masih kotor,” tunjuk Ari ke tempat yang telah dia sebari potongan rumput.

Aisyah mengangguk lalu menuju ke tempat yang ditunjuk Ari. Aisyah membersihkan tempat itu. Ari menyebar lagi potongan rumput.

“Ais, disini juga belum nih,” tunjuk Ari.

“Ini pasti ulah kamu kan, Ri. Tadi di situ sudah aku bersihkan, masak iya kotor lagi,” ucap Aisyah pada Ari.

“Kamu lupa kali. Ini, nyatanya masih kotor. Ayo bersihkan!” perintah Ari.

“Tidak mau ah. Itu pasti ulah kamu. Jadi kamu sendiri yang harus bersihin.” Aisyah memalingkan muka.

“Enak saja. Aku kan yang motongin. Kamu yang bersihin,” tolak Ari.

“Tidak mau,” kekeh Aisyah menggelengkan kepalanya.

Melihat perdebatan mereka. Kakak pembina berjalan menghampiri mereka.

“Kenapa ini pada ribut?” tanya kakak yang kurus jangkung itu.

Tak ada jawaban dari keduanya yang masih sama-sama merajuk. Kakak kelas itupun menghembuskan nafas panjang.

“Kalian segera selesaikan tugas itu. Kalau belum selesai, kalian berdua belum boleh pulang,” ucap kakak kelas itu tegas.

Bel panjang pun berbunyi. Tanda waktu pulang sekolah. Bambang dan Dwi yang duduk di belakang mereka menghampiri Ari.

“Bro, pulang yuk,” ajak Bambang seraya memberikan tas Ari.

“Ayo.” Ari meraih tas punggung itu.

“Eits ... enak saja. Kan belum selesai. Main nyelonong pergi saja,” cegah Aisyah.

“Kan udah waktunya pulang. Ayo kita pulang,” ajak Ari pada Aisyah.

“Tapi kakak kelas bil—“ Perkataan Aisyah berhenti ketika melihat mereka bertiga meninggalkannya.

Aisyah kembali menyapu tempat itu lagi. Tak berapa lama teman Aisyah datang dengan membawakan tasnya. Mereka sangat akrab walau baru dua hari ini berteman.

“Ais, ayo pulang,” ajak Putri.

“Sebentar lagi. Tinggal dikit nih. Nanggung,” ucap Aisyah

“Kan sudah waktunya pulang. Tinggalin saja,” usul Indah.

“Loh ... kamu belum pulang?” tanya kakak kelas yang jangkung tadi.

“Belum. Kan belum selesai, Kak,” jawab Aisyah.

“Tinggal saja sana. Biar besok diterusin sama pak Zaenal,”  ucap kakak kelas itu yang ternyata namanya Rizki dilihat dari id nama di dada kanannya.

Aisyah mengangguk dan meletakkan sapu di dekat pohon. Mereka membubarkan diri. Indah dan Putri berjalan ke depan untuk naik angkot. Aisyah berjalan ke belakang menuju tempat parkir. Sampai di parkir Aisyah terkejut melihat ban sepedanya yang kempes.

Kok kempes. Kenapa sih kok sial banget hari ini. Gara-gara mas Fajar kemarin aku jadi sial hari ini, batin Aisyah.

Dia menuntun sepedanya keluar area sekolahan, mencari tambal ban. Tak perlu berjalan lama, Aisyah menemukan tukang tambal ban di seberang jalan. Aisyah menengok kanan kiri. Dirasa aman, Aisyah membelokan stang sepeda untuk menyeberang.

BRUK

Sebuah motor menabrak ban bagian depan Aisyah. Motor pun jatuh ke depan beberapa meter. Untung yang lecet hanya motornya saja. Pengendaranya sudah berdiri lalu berjalan menghampiri Aisyah. Aisyah yang masih terduduk sambil memegangi kepalanya yang luka karena terbentur stang sepeda melihat ke arah seseorang yang mendekatinya.

Jangan lupa tinggalin jejak dengan like dan komen yang membangun ya kak...

Kalau suka dengan cerita ini, boleh kok kasih hadiah. 😊

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!