New York City.
"Apa yang kau pikirkan Nat? Sejak tadi kulihat kau banyak melamun," Pamela bertanya dengan wajah cemas.
"Ah, apa terlihat seperti itu?" Aku tersentak beberapa saat, mengerjapkan mata mencoba untuk fokus.
"Ya, tentu saja! hanya orang bodoh yang tak bisa melihatnya," ejek Pamela dengan senyum datarnya.
"A-ku hanya merasa bimbang dengan keputusanku, Pamela. Apakah aku harus pulang dan kembali ke Chicago lagi?" Tanyaku bingung.
"Lakukan lah apa yang harus kau lakukan, Nat.
Apa kau ragu karena takut keluargamu akan menolakmu nanti? Aku rasa tidak mungkin itu terjadi, kau meninggalkan Chicago sudah 6 tahun pasti mereka begitu merindukanmu," sahut Pamela mencoba meyakinkanku.
"Kalau saja itu terjadi, tapi rasanya tidak mungkin," sahutku seraya tersenyum kecut.
Saat itu juga Pamela menatapku serius.
"Sekarang katakan padaku, apa yang membuatmu ingin pulang kesana lagi?" Tanyanya penasaran.
"Lindsay akan menikah, dan dia memintaku agar datang ke pernikahannya nanti," jawabku.
"What?? Benarkah itu? Itu sebuah berita baik, Nat! Lalu apa yang membuatmu ragu, hmm?" Pamela bertanya kembali tak mengerti.
"Entahlah, aku hanya takut dengan satu hal yang sampai saat ini belum aku mengerti," jawabku lesu.
"Haiisss, aku yakin itu hanyalah keraguanmu saja. Sekarang dengarkan aku, jika kau tidak datang ke pernikahan adikmu, apa kau akan masih punya muka di depan seluruh keluargamu nanti? Aku bisa membayangkan betapa kecewanya Lindsay nanti di pernikahannya, apalagi dia sendiri yang memintamu untuk datang ke pernikahannya" Pamela mencoba menjelaskan.
Aku berpikir selama beberapa saat, mencoba menimbang dan mencerna apa yang dikatakan Pamela padaku.
"Kurasa kau benar, Pam kalau aku memang harus datang ke sana," jawabku yakin.
...***...
Chicago.
"Welcome back Chicago! Kota kelahiranku, dimana 18 tahun lamanya semua hal yang tak terlupakan terjadi dalam hidupku, sebelum 6 tahun silam aku meninggalkan kota ini."
Dengan penuh keyakinan dan langkah yang mantap aku melangkah menuju tempat yang memang menjadi tujuan utamaku.
Rumah besar milik keluarga Mckent. Yang sudah 6 tahun lamanya aku tinggalkan.
Kutatap lekat-lekat rumah bergaya eropa itu di depanku sekarang, tak ada yang berubah.
Semua masih tetap sama, halaman besar dengan taman yang membentang hijau terawat membuat rumah itu terlihat hidup.
Aku menghembuskan nafas panjang, mencoba mengumpulkan tenaga dan mentalku agar aku kuat menghadapi apa yang akan kutemui di rumah itu.
Ku ketuk pintu rumah itu dengan nafas tertahan dan beberapa saat kemudian seseorang membuka pintu rumah.
Seperti tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat, wanita paruh baya itu tampak menatapku lekat-lekat dengan ekspresi wajah terkejut.
"Nona, Natalie??! Astaga ini benar nona Natalie?!" wanita paruh baya yang sangat kukenal itu berseru tak percaya.
Aku hanya mengangguk tersenyum memberikan jawaban.
"Ya, ini aku, Barbara," sahutku mantap.
...***...
"Kakak...??! Aku senang akhirnya kau bisa datang!" Lindsay berlari kecil menghampiriku.
Ia tampak cantik dengan balutan dress selutut warna merah mudanya, rambutnya yang pirang panjang diikat setengah ke belakang membuat penampilannya semakin manis.
Adikku Lindsay memang gadis yang manis sejak dulu, ia adalah putri kesayangan Mom dan Dad. Berbanding terbalik denganku yang selalu mandiri sejak kecil, karena kasih sayang Mom dan Dad memang sepenuhnya mereka curahkan untuk Lindsay selama ini.
Jarak usia kami hanya berbeda 3 tahun namun wajahnya yang baby face membuatnya jauh lebih muda dari usianya sekarang.
Kini ia memeluk tubuhku erat, harum bunga chamomile tercium begitu jelas di tubuhnya yang mungil.
"Bagaimana kabarmu, Lindsay?
Apakah kau bahagia?" tanyaku membalas pelukannya.
"Tentu saja, Kak. Aku sangat bahagia karena aku akan menikah dengan orang yang paling kucintai dan kau bisa hadir di pernikahanku nanti...," jawabnya yakin, kini ia menatap lembut wajahku dan menyentuh kedua tanganku dengan penuh sayang.
"Aku harap Mom dan Dad juga senang kakak datang dan bisa kembali lagi berkumpul di rumah ini," ucapnya penuh harap.
Ucapan Lindsay mengingatkanku pada kenyataan kalau masih ada 2 orang di rumah ini yang belum kutemui. Mom dan Dad.
Aku tersenyum pahit dan berkata, "aku tak mengharapkan mereka senang dengan kehadiranku, Lindsay. Aku di sini karena kau yang meminta, hanya itu tujuanku kembali ke rumah ini," jawabku dingin.
"Kak, kenapa kau bicara begitu? Aku tak suka kau selalu pesimis dengan keadaan.
Mom dan Dad mencintaimu sama seperti mereka mencintaiku selama ini," sahut Lindsay meyakinkanku.
Sama sekali tak ada niatku untuk membantah ucapan Lindsay padaku, karena aku sudah terbiasa dengan semua penolakan dan ketidak adilan yang selama ini aku rasakan selama hidup di rumah ini.
Hanya senyuman tipis dengan wajah tegar berusaha ku tampilkan di depan Lindsay sekarang.
"Kau pasti lelah kak, ayo kuantarkan kau ke kamarmu sekarang! Mom dan Dad sedang keluar berkunjung ke rumah uncle Grey untuk membicarakan tentang pernikahanku 2 hari lagi, aku rasa mereka akan pulang larut malam nanti," tutur Lindsay menjelaskan.
***
Tanpa terasa malam pun tiba, saat ini waktu menunjukkan pukul 8 lebih 5 menit.
Sejak kepulanganku tadi siang, selama itu pun aku tetap di dalam kamar.
Ya, kamar milikku dulu saat aku masih tinggal di rumah ini. Tak ada yang berbeda, semua masih tetap sama hanya saja beberapa perabotan sudah tak ada di kamar ini.
Aku rasa memang mungkin mereka sengaja membuang atau memindahkannya.
Kepergianku yang mendadak 6 tahun yang lalu memang membuat gempar seluruh keluarga besar Mckent.
Itu karena aku menolak mentah-mentah pernikahanku saat itu yang sudah hampir di depan mata. Pernikahanku bersama dengan seorang pengusaha kaya dari Jerman, yang terpaut umur jauh lebih tua dariku.
Pernikahan hanya lah kedok, mereka hanya membuat pernikahan itu terlihat sakral padahal jauh di balik itu semua, bisnis di mata mereka semua yang haus akan materi dan kekuasaan.
Aku yang saat itu berumur 18 tahun dengan jiwaku yang bebas tentu saja menolak mentah-mentah pernikahan itu. Nekad pergi dari keluarga Mckent dengan hanya membawa nama. Hingga sekarang aku sampai di tempat ini kembali setelah sekian tahun, sungguh tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Lamunanku buyar saat kudengar suara ketukan di pintu luar kamar.
"Ya, masuk!" perintahku.
Kulihat Lindsay masuk dengan senyuman manisnya padaku.
"Apa aku mengganggu istirahat Kakak?" tanyanya.
"Sama sekali tidak, ada apa?" sahutku.
"Mom dan Dad sudah pulang kak, ayo aku antarkan kakak untuk menemui mereka" tuturnya berusaha membujukku.
Aku ragu beberapa saat, namun ekspresi Lindsay yang kini tampak memohon membuatku tak bisa menolak keinginannya sekarang dan lagi pula sampai kapan aku akan menghindar dari mereka di dalam rumah ini?
"Baiklah, aku melakukannya semua demi kau, Lindsay" ucapku lirih.
"Terima kasih Kak." Lindsay tersenyum puas.
Kemudian dengan langkah pasti Lindsay menuntunku berjalan menuju ruang keluarga yang ada di lantai bawah, cukup jauh dari kamarku yang ada di lantai kedua.
Dari atas tangga aku bisa melihat seorang pria dan wanita setengah baya duduk di sebuah sofa mahal dari kulit yang menjadi favorit mereka sejak dulu.
Nafasku sedikit tertahan dan bibirku terasa kering seketika saat melihat kedua sosok itu.
Sosok yang tak pernah kulihat lagi sejak 6 tahun yang lalu.
Seperti mengetahui kehadiranku, mereka berdua pun memalingkan wajahnya padaku dan berdiri saat itu juga.
Dapat kulihat ekspresi wajah terkejut di wajah mereka masing-masing saat melihat kehadiranku saat ini.
"Natalie...?!" panggil wanita yang kupanggil Mom itu tak percaya.
"Ba-gai-mana bisa..., Natalie...??" tanya Mom masih tak percaya pada apa yang dilihatnya sekarang.
Sedangkan kulihat ekspresi wajah tegang dan marah dapat kulihat di wajah pria paruh baya di depanku sekarang.
"Kau-?! Kenapa kau ada disini, hah?!!
Gadis brengs*k! Gadis pengkhianat!!" Serunya marah dengan tatapan berapi-api seakan ingin menelanku hidup-hidup saat ini.
"Mom! Dad! Berhentilah bersikap seperti itu di depan kakak!! Aku yang memintanya ada di sini karena aku menginginkan kakak menjadi saksi di pernikahanku nanti!" Lindsay berseru membelaku.
Aku yang memang sudah siap dengan keadaan seperti ini hanya menatap mereka tanpa bereaksi apapun.
"Kalian tak perlu cemas, aku akan pergi dari rumah ini setelah Lindsay menikah," sahutku tenang.
"A-pa?? Bagaimana bisa kau bersikap seperti itu pada kami setelah kau pergi dan meninggalkan aib memalukan selama 6 tahun lebih lamanya, Natalie?!!" seru Mom tak terima.
"Lalu kalian minta aku harus bagaimana?
Aku tak pernah menuntut apa-apa selama dalam hidupku hingga sampai saat ini, jadi aku pun berhak untuk melakukan apa yang ingin kulakukan tanpa harus mendapatkan izin dari kalian," jawabku penuh percaya diri.
"Kau!!!"
"Dad!! Hentikan aku mohon!!" Lindsay berseru mencoba menghentikan Dad yang ingin menamparku.
Aku yang sudah biasa dengan keadaan seperti ini hanya diam dan tetap berusaha setenang mungkin di depan mereka sekarang.
"Aku mohon hentikan!!
Hargailah aku, aku akan menikah sebentar lagi jadi aku mohon untuk saat ini singkirkan ego kalian!
Natalie adalah kakakku, putri kandung kalian berdua dan dia berhak ada disini mendampingiku hingga sampai saat pernikahan nanti!" seru Lindsay dengan ekspresi wajah memohon dan kulihat kedua matanya mulai berkabut serasa menahan tangis.
"Lindsay, sayang.
Maafkan Mom dan Dad ya, maaf.
Kau jangan menangis lagi, Mom akan melakukan apapun selama itu membuatmu bahagia, nak," bujuk Mom seraya memeluk tubuh mungil Lindsay yang kini tampak bergetar menahan emosi.
Aku yang saat itu berusaha menahan perasaan selama aku menginjakkan kaki di rumah ini, hanya bisa berjalan cepat masuk ke dalam kamar kembali.
Tanpa terasa bulir-bulir air mata menetes di pipiku kini. Susah payah aku menahannya tadi saat di depan mereka, hingga saat aku sampai di dalam kamar milikku seakan semua pondasi yang ku bangun kuat hancur begitu saja dalam bentuk tangisan yang tak berhenti seakan mewakili perasaan sakit hati yang aku rasakan sekarang.
...***...
Hari ini Lindsay memintaku untuk menemaninya ke sebuah bridal butik yang cukup ternama di kota Chicago untuk fitting gaun pengantinnya dan juga gaun untukku sebagai pendamping pengantin wanita.
Kami berangkat bersama-sama dan Lindsay begitu bahagia sepanjang perjalanan.
Senyum cantik tak lepas di wajahnya yang secerah pagi.
Aku sebagai kakak tentu saja ikut bahagia melihat senyum di wajahnya yang secerah pagi itu. Sungguh beruntung Lindsay mendapatkan banyak cinta dalam hidupnya, sejak kecil memang hidup Lindsay tak pernah kekurangan cinta, terlepas dari kekurangan yang dimilikinya dengan kelainan jantung yang sejak lahir ia miliki.
Berbeda denganku yang tak beruntung dalam urusan cinta dan kasih sayang, namun selama menjadi keluarga Mckent tak pernah sedikitpun aku mengeluh dengan keadaanku. Karena aku tahu dan mencoba mengerti kalau Lindsay, adikku adalah gadis yang spesial ia pantas mendapatkan kebahagiaan itu dalam hidupnya. Aku sebagai kakak hanya mendukung apa yang terbaik untuk dirinya.
"Kak, hari ini calon suamiku akan datang aku harap kakak bisa bertemu dan berkenalan dengannya nanti ya.
Karena dia selalu mengatakan ingin mengenal dengan baik semua anggota keluargaku, terutama kau sebagai kakak kandungku satu-satunya," ucap Lindsay seraya tersenyum padaku.
"Oh, baiklah.
Aku rasa dia memang calon suami yang baik dan pantas untukmu, Lindsay," jawabku dengan senyum tipisku.
"Ya, kak kau benar. Aku sangat beruntung dapat mengenalnya, karena dia adalah segalanya bagiku.
Dia pria yang baik dan bertanggung jawab.
Kakak tahu? kami hanya berkenalan dalam hitungan minggu dan kemudian dia datang berkunjung ke rumah untuk menemui Dad sengaja untuk melamarku! Bukankah itu sangat menakjubkan?!" Lindsay bercerita girang dengan senyumnya yang sumringah.
"Benarkah??
Sungguh pria gentleman yang langka, aku jadi tak sabar ingin bertemu dengan calon adik iparku nanti," sahutku ikut senang.
***
Hampir setengah jam berlalu, Lindsay masih sibuk dengan fitting gaun pengantinnya, aku yang merasa agak bosan hanya menunggunya duduk dengan santai sembari membaca majalah di sofa.
"Selamat pagi, maaf aku terlambat datang hari ini," sapa seseorang tiba-tiba mengejutkanku sebuah suara yang familier kudengar, aku yang saat itu sibuk dengan majalah yang kubaca pun detik itu juga langsung mengalihkan tatapanku pada sumber suara itu dan langsung terkejut dengan apa yang kulihat di depan mataku sekarang ini.
"Chris?!
Akhirnya kau datang juga!" Lindsay menyahut senang dengan wajah berseri-seri di tengah fitting gaun pengantinnya di depanku.
"Chris Raven...???" Tanpa kusadari aku mengucapkan nama itu dengan nafas tertahan dan tatapan masih tak percaya dengan apa yang kulihat kini.
"Kak, ini Chris Raven, yang aku ceritakan tadi," tutur Lindsay mencoba memperkenalkanku.
"Hay, apakah kau kakak dari Lindsay?
Perkenalkan aku Chris Raven, calon suami Lindsay.
Senang bisa berkenalan dan bertemu secara langsung denganmu, Lindsay banyak menceritakan tentangmu selama ini," pria bernama Chris Raven itu memperkenalkan diri dengan wajah tampannya yang memikat, ia mengulurkan telapak tangannya padaku untuk berjabat tangan.
Aku yang sejak tadi masih melongo tak percaya dengan apa yang terjadi berusaha sebaik mungkin bersikap tenang dan baik-baik saja.
"Ohh, hay.
Senang berjumpa denganmu juga, Chris." Susah payah aku mengucapkan kalimat itu di bibirku yang terasa kelu dan membalas jabatan tangannya padaku.
Kemudian tanpa mengucapkan apa pun, Chris beralih menghampiri Lindsay yang tak jauh di depannya.
"Kau sangat cantik sayang, aku sungguh beruntung memiliki kau sebagai calon istriku" sanjung Chris seraya mengecup bibir Lindsay lembut dan Lindsay hanya tersenyum tersipu dengan wajah bahagia.
Entah kenapa aku hanya menatap kemesraan pasangan di depanku ini seperti orang bodoh. Seribu tanya ada dalam pikiran dan otakku sekarang. Seolah masih tak percaya dengan apa yang kini kulihat di depan mataku.
Bagaimana bisa Chris ada di sini dan menjadi calon suami dari adikku sendiri?
Dan dia bersikap seolah tak mengenalku?
Bagaimana dia bisa seperti itu??
Oh, Tuhan apakah ini kebetulan atau bukan aku tak tahu, yang jelas aku belum bisa menguasai perasaanku sendiri saat ini.
Setelah selesai mencoba gaun pengantin kini Lindsay menyuruhku masuk agar aku mau mencoba beberapa gaun untukku di pesta pernikahannya nanti.
Aku yang merasa enggan karena suasana hatiku yang kini berubah terpaksa harus menyanggupi permintaan Lindsay yang memang tak bisa kutolak.
Gaun panjang warna putih berenda bermodel simple, namun elegan dengan bahu yang terbuka kini melekat erat di tubuhku yang ramping, aku sedikit tak nyaman saat memakainya apalagi saat kulihat tatapan mata Chris saat menatapku kini dengan penuh arti, seakan aku ingin segera menghampirinya dan menampar wajah tampannya itu sekarang.
"Kau cantik sekali, kak!!
Sepertinya orang-orang di pesta nanti akan menyangka kalau kau adalah mempelai wanitanya, hahaha...!!
Bukankah itu benar Chris?" puji Lindsay ekspresif seraya bergelayut manja di lengan Chris yang kokoh.
Aku susah payah berusaha menelan salivaku sendiri saat ini.
"Terima kasih, tapi aku rasa pujian itu terlalu berlebihan untukku, Lindsay," sahutku dengan nada enggan.
"Kau memang cantik, kak Natalie.
Kurasa kau memang pantas menjadi mempelai wanita," ucapan Chris membuatku terkejut setengah mati.
Sedetik kemudian, kulihat Chris dan Lindsay pun tertawa gembira seakan pujian itu benar-benar mereka ucapkan atau hanya bermaksud untuk menggodaku.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!