NovelToon NovelToon

Pria Idaman Lain

DA_aku mencintaimu

Pagi ini di rumah sederhana, terlihat seorang gadis sedang kebingungan mencari sesuatu.

"Ya tuhan, kemana larinya kado milikku, mas kamu mengambil kotak merah milik ku gak?" teriaknya pagi ini.

"Berisik dek, kotak merah di bawah meja tv, semalem kamu ketiduran," jawab sang kakak kedua.

"Terima kasih, aku berangkat dulu, oh ya mas, kata ibu tadi kamu di suruh bawa cikar ke sawah gih, kasihan bapak ngangkut sendiri sama mas Zainal," kata gadis itu yang sudah menaiki sepeda miliknya.

Gadis yang baru lulus Madrasah Tsanawiyah, bernama Nurul Fadilah, semua orang memanggilnya Dila.

Sedang hanya satu orang yang memanggilnya cengeng, dan orang itu adalah kakak sepupunya.

Gadis berambut hitam panjang itu, sudah di anggap sebagai putri di keluarga pakdenya itu, bahkan Dila sudah seperti putri kesayangan.

Dia bergegas mengayuh sepedanya menuju ke daerah Jogoroto, tak lupa dia sambil terus berdo'a dalam hatinya.

"Semoga tak telat, jika tidak entah kapan aku bertemu dia lagi," batinnya terus menerus berharap.

Sesampainya di rumah milik sang pakde, Dila langsung memarkir sepedanya.

"Assalamualaikum pakde, bude, apa mas Andri sudah pergi?" tanya Dila dengan nafas yang ngos-ngosan.

"Tenang Dila, mas Adri mu paling masih tidur," kata bude dengan tawa.

"Ya ... aku kira sudah berangkat ..."

"Memang kenapa to nduk, kamu ini orang masnya mau kerja kok sedih gitu, masak iya mas Andri mu harus menemani kamu main terus sih," kata pakde yang baru selesai mengeluarkan dagangannya dari keranjang yang di bawanya.

"Habis Dila hanya punya mas Andri yang peduli, sedang dua mas ku sendiri sering usil pakde," Adi Dila dengan suara manja.

"Ya sudah masuk gih, bangunin mas Andri mu itu, pakde mau panen nangka muda dulu ya," pamit Dila.

"Iya pakde," jawab Dila yang langsung masuk kedalam rumah.

Dia pun langsung masuk ke arah kamar nomor tiga di samping dapur, Dila pun langsung masuk tanpa mengetuk pintu.

Kebetulan Andri sedang bersiap untuk berangkatlah bekerja, "kamu datang dek?"

Dila menahan tangan dari Andri, "apa mas harus pergi? terus dila harus main bareng siapa?"

"Kamu akan SMA dek, dan mas yakin kamu akan memiliki teman yang banyak," jawab Andri dengan suara lembut.

"Tapi semalem Dila denger dari bude likah, jika mereka ingin menjodohkan aku dengan keponakan suaminya, aku gak mau mas," tangis Dila yang tak terbendung.

Hatiku terkoyak mendengar dan melihat tangisan gadis kecil yang selalu mengikuti ku kemana pun.

"Jangan menangis dek, mas mohon ...."

Aku bingung, bagaimana bisa para orang tua ini ingin menikahkan Dila yang bahkan baru saja baligh.

"Biar mas ngomong dengan bapak dan ibu, mas gak mau kamu menikah sebelum waktunya," kata ku yang mencoba menghentikan tangisannya.

Dila pun sedikit tenang dan mulai terisak, aku pun mengajaknya keluar, untuk menemui orang tuaku.

Tapi langkah ku terhenti karena Dila yang ketakutan sampai bersembunyi di balik tubuhku.

"Mau apa Bude kesini?" tanya ku dengan nada yang tak terkendali lagi.

"Cukup Andri, bagaimana cara mu berbicara dengan bude mu, Dila ... nak kemarilah," panggil pak Budi bapakku

"Mboten Pakde, Dila mantuk mawon, mas Andri ..."

"Tidak pak, biar aku antar Dila saja, dia harus pulang, karena arif sudah menunggunya," kata ku yang tak ingin melihat gadis kecil ini ketakutan seperti ini.

Dila dan Andri menuju ke rumah gadis kecil itu, selama dalam perjalanan itu dila terus diam.

Bahkan Andri tak tau harus melakukan apa, hingga sepeda itu berhenti di tengah jalan yang cukup sepi.

"Ada apa dek?" tanya Andri kaget melihat Dila turun dari sepeda ontelnya

"Mas Andri, aku tak mau menikah, karena aku menyukai pria lain," kata Dila tiba-tiba.

"Dek kamu ini masih kecil, sudah ayo pulang, nanti kamu kehujanan, dan nanti biar aku yang membujuk orang tuaku agar tak menyetujui pernikahan mu,"

"Aku mencintai mu mas, aku mencintaimu ..." tangis Dila yang terjatuh di rerumputan pinggir jalan desa itu.

Andri pun memejamkan matanya, perasaan yang ingin dia singkirkan tapi kini ternyata terbalas.

"Tidak Dila, kita saudara, jangan merusak hubungan ini," kata Andri.

"Tapi-"

"Dila pulang!" suara itu menghentikan ucapan Dila yang masih ingin mengatakan perasaannya.

Zainal datang dengan wajah merah padam, dan menyeret adiknya agar segera pergi.

"Tunggu mas, biarkan aku bicara dulu, aku mohon ... setelah itu aku janji apapun permintaan mu aku ikuti,"

"Tunggu sebentar Zainal, bagaimana pun dia adik mu, jangan kasar begini," tahan Andri yang melihat kulit putih itu sudah kemerahan karena genggaman tangan Zainal.

"Kenapa? memangnya apa hak mu mencampuri urusan ku, pergi Andri kamu membawa pengaruh buruk untuk Dila," kata Zainal mendorongnya.

"Hentikan mas, jangan bertengkar, ini salah Dila, mas Andri pergi, pergi ...."

Aku terdiam kembali, saat melihatnya berkaca-kaca, gadis kecil itu bahkan tak bisa melawan kakak pertamanya.

Aku bahkan tak bisa melakukan apapun untuk menolongnya, apa aku pantas untuk melindunginya.

Aku memilih menyalakan motorku dan kembali kerumah, dan memilih untuk segera berangkat ke luar kota untuk memenuhi panggilan kerja itu.

Dila hanya bisa diam dan mengikuti mas Zainal, kakak pertamanya itu adalah orang paling keras kepala tapi itu di lakukan untuk melindungi dirinya.

"Mas, aku gak mau menikah ... aku ingin sekolah mas," mohon Dila saat melihat rumahnya begitu ramai.

"Tapi bapak sudah menyetujuinya," jawab Zainal dengan suara dingin.

"Kenapa kalian jahat, dupa baru lulus Mts mas, semua temen-temen Dila sekolah, tapi kenapa Dila harus menikah dengan orang yang tak suka kenal ..." tangis Dila.

"Cukup dek, kamu jangan bikin malu," kata Zainal yang berusaha menghentikan tangisan Dila.

"Mas, Ojo keterlaluan, Dila Iki sek cilik, (mas, jangan keterlaluan, Dila itu masih kecil)," kata Arif yang melihat Zainal yang begitu kasar.

"Arek Iki wes limo las tahun, gak cilik neh, (anak ini sudah lima belas tahun, bukan kecil lagi)," bantah Zainal.

Tak terduga dari dalam rumah terdengar suara ribut-ribut, mereka bertiga pun segera berlari masuk kedalam rumah.

"Kurang ajar, sopo seng ngekei awak mu hak ate nikahno putuku, lek wani patenono bapak mu Iki disek, arek sek sak unu aren mbok nikah ne, koen Iki nduwe utek opo gak, lek gak iso nyekolahno,ben aku seng nyekolahno, (kurang ajar, siapa yang memberikan dirimu hak untuk menikahkan cucuku, kalau berani bunuh bapak mu ini dulu, anak masih kecil begitu mau kamu nikahkan, kamu ini punya otak apa tidak, kalau gak bisa menyekolahkan biar aku yang yang menyekolahkan), " marah dari mbah Sarji, kakek dari Dila.

"Tapi pak, Iki duduk wong liyo, Iki dulure mbak likah, lan Dila iso urep seneng engko, (tapi pak, ini bukan orang lain, tapi ini saudara Mbak likah, Dila bisa hidup bahagia nanti)," bantah ibu Wati, ibu dari Dila.

"Nelongso aku ngedekno anak wedok seng arep ngedol anak e Dewe, koen eroh lek likah iku mesti intuk duwek teko keluarga ne cah Lanang, lek anak mu Nok Kono di sikso, piye! (menyesal aku membesarkan anak perempuan yang mau menjual anaknya sendiri, kamu tau jika Lika itu pasti dapat uang dari keluarga pria , kalau anak mu di sana di siksa bagaimana)!" marah Mbah Sarji yang masih tak habis pikir dengan pemikiran dari putrinya.

Pak Yono pun melihat Dila dan kedua putranya, pak Yono pun berdiri dan menghampiri putrinya Dila.

"Nduk, bapak arep Takon, awak mu arep di nikahno Karo ponakan e bude likah, genduk purun? (nak, bapak mau bertanya, kamu mau di nikahkan sama keponakannya bude Likah, anak cantik mau)?"

"Mboten pak, Dila tasek kepingin sekolah (tidak pak, Dila masih ingin sekolah)..."

"Yawes nduk, lek ngunu bapak pingin eroh awak mu sekolah, dan dadi kebanggaan bapak Yo, (ya sudah, kalau begitu bapak ingin tau kamu sekolah, dan jadi kebanggaan bapak ya)," seru pak Yono yang memeluk putrinya.

Semua pun terdiam, Dila tak mengira jika sang bapak tak ingin melihat putrinya itu terluka.

pilihan bapak.

Akhirnya semua pun tenang, Dila juga sudah tak di paksa menikah, bahkn pak Yono marah saat ini Wati mengungkitnya.

"Pak, pikirno maneh (pak, pikirkan ulang)," mohon Bu Wati.

"Uwes Bu, lek awak mu gak iso di kandani, sak karep mu, tapi Ojo wani ngomong masalah nikah e anak ku, (sudah Bu, kalau kamu tidak bisa di bilangin, terserah kamu, tapi jangan berani bicara masalah pernikahan anak ku)," kata pak Yono.

Tapi tanpa di duga bude likah datang dan membuat keributan lagi, sedang Arif yang menemani Dila di dalam kamar.

"Kalian semua ini bodoh ya, anak gadisnya di nikahin sama orang kaya kok gak boleh," marah bude Likah

"Sudah mbak, lebih baik cari gadis lain, saya ingin menyekolahkan Dila ke jenjang yang lebih tinggi lagi," jawab pak Yono.

Bu Wati tak mungkin membangkang kepada suaminya, pria yang sudah menemaninya selama ini.

"Ya Wes, gak usah nyesel, tak do'akan semoga gak ada yang mau sama anak gadis mu itu, cih ..." marah bude likah.

Zainal pun menghampiri kedua orang tuanya yang masih nampak kalut, tapi setidaknya mereka sedikit bernafas lega.

Dila memang gadis yang menjadi idaman semua pria di desa, terlebih gadis itu juga memiliki kebaikan hati.

Tapi sayang karena sang bapak yang keras, jadilah dia sering di jauhi teman-temannya.

"Dek lebih baik main sana, ada pasar malem," kata Arif pada adiknya.

"Yakin mas nyuruh aku main, kalau begitu antar ya, teman-teman ku gak ada yang mau jika aku ajak," jawab Dila.

"Gak ah, nanti aku di bilang pacar mu lagi, kapok aku," jawab Arif.

"Ih... kok gitu, terus aku main sama siapa? aku juga mau lihat pasar malem," kata Dila.

"Sama mas saja, kebetulan aku akan pergi dengan mbak Anis," kata Zainal.

"Mas gak papa, nanti si Dila ganggu lagi," kata Arif pada sang kakak.

"Gak masalah, orang nanti dia juga ajak adiknya yang laki-laki paling kecil kok," jawab Zainal.

"Ya sudah aku nanti lihat dari jauh saja, sudah pamitan sama bapak dan ibu gih,"

"Iya mas," jawab Dila.

Zainal tetap merahasiakan tentang ungkapan cinta adiknya pada Andri,toh pria itu sekarang sudah bekerja di luar kota.

Bahkan Zainal berdoa semoga adiknya itu melupakan perasaan yang mungkin hanya cinta sesaat itu.

Dila menghampiri para orang tua yang sedang bersiap untuk melakukan rajangan tembakau.

Ya kakek dari Dila adalah pemilik sawah yang tahun ini di tanami tembakau, meski begitu dia juga seorang pemain di salah satu grup Gandrung.

"Bapak, ibu, dan Mbah, Dila mau pamit untuk ikut mas Zainal ke pasar malam, boleh ya?"

"Boleh nduk, kene gowoen duwit Iki, gawe sangu ya, (boleh nak, sini bawa ini uangnya, di buat uang jajan ya)," kata Mbah Sarji.

Dila yang masih takut melihat sang bapak dan Bu Wati, "wes di gowo, Ojo Wedi Karo bapak mbi Ibuk mu, tapi ati-ati to nduk, Ojo bengi-bengi lek moleh, (sudah bawa saja, jangan takut sama bapak dan ibu mu, tapi hati-hati ya nak, jangan malam-malam pulangnya)," pesan Mbah Sarji.

"Inggeh Mbah, (iya Mbah)" jawab Dila.

Dila berpamitan dengan semua orang, dia pun berangkat bersama sang as naik motor GL max.

Sesampainya di rumah kekasih dari Zainal, ternyata adik dari Anis juga sudah siap.

Dia adalah adik kelas dari Dila, dan bocah pria itu di kenal kemayu di sekolah.

"Loh mas Zainal ajak mbak Dila juga?" tanya Koko.

"Iya kasihan dia di rumah sendiri, sudah ayo berangkat, dek kamu boncengan dengan Koko ya," kata Zainal.

"Iya mas, sini ko biar aku bonceng," kata Dila.

"Wih asik nih di bonceng kakak kelas cantul," kata koko tertawa.

Mereka malam itu pun bersenang-senang, dan Dila tak tau jika Andri sudah pergi.

Terlebih tanpa sepengetahuan darinya, Zainal sudah memberikan peringatan pada pria itu untuk menjauhi adiknya.

Sedang Arif bergabung bersama teman-temannya, mereka malah sedang minum-minum malam ini.

Arif memang terlalu mudah bergaul dengan orang, itulah kenapa dia sering ikut dalam hal yang sama sekali tidak jelas.

Pukul sembilan malam, pak Yono sudah khawatir pada Dila yang masih belum pulang.

Meski putrinya itu pergi dengan Zainal, tapi hatinya juga tak bisa langsung tenang begitu saja.

Kebetulan rajangan juga belum selesai, jadi rumah masih sangat ramai.

Ternyata Zainal mengantarkan pulang adiknya dahulu sebelum pergi lagi ke pasar malam.

"Assalamualaikum, bapak, Mbah," sapa Dila yang baru datang dengan kantong kresek.

"Waalaikum salam..." jawab Semuanya.

"Baru pulang nduk?"

"Inggeh pak, tadi Dila juga beli tahu solet kesukaan bapak dan ibu, dan gorengan kesukaan Mbah Sarji dan Mbok Min," kata Dila.

"Ya wes lek ngunu, leren sek Yon, (ya sudah kalau begitu, berhenti dulu Yon)" kata Mbah Sarji.

Mereka pun cuci tangan sebelum mencicipi gorengan yang di beli Dila, sedang Dila berganti pakaian untuk membantu menata tembakau di alat jemur.

Terlihat Dila sudah terbiasa membantu keluarganya, Mbah Sarji tersenyum melihat Dila.

"Wes nduk, rene dhahar sek, (sudah nak, sini makan dulu)" panggil Mbah Sarji.

"Sampun Mbah, (sudah Mbah)" jawab Dila yang menyelesaikan semua pekerjaannya.

"Putu kesayangan e Mbok Min, cah ayu... semoga tetep bahagia dan sehat ya," kata mbok min.

Dila hanya tersenyum dan memeluk sang nenek, setelah beristirahat pak Yono dan Mbah Sarji melanjutkan pekerjaan mereka.

Dila memperhatikan mereka dengan sangat serius, terlebih potongan dari tembakau itu begitu rapi.

Malam makin larut, Dila pun selesai membantu semua, dan kini dia bersih-bersih sebelum tidur.

Karena besok dia dan teman-temannya ingin mengunjungi sekolah yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu selajutnya.

Sedang di dalam kereta, Andri begitu sedih sambil memandangi foto yang di pegangnya.

Foto dirinya dan Dila yang menjadi pagar ayu beberapa bulan kemarin.

Disitulah kenapa Bude Likah tetap kekeh ingin menikahkan Dila karena gadis itu sudah nampak dewasa meski baru berusia lima belas tahun.

"Jika ini yang terbaik,aku pilih pergi, tapi aku tak bisa melupakan janji atau cintaku padamu, jadi mungkin aku akan menyimpan cinta ini di sudut hatiku," gumam Andri.

Meski keduanya berjauhan, tapi mereka berdua tetap saudara, bahkan mungkin suatu saat keduanya akan terjebak dalam masalah yang rumit.

Dila pun tidur dengan nyaman sambil terus mendekap boneka beruang yang di berikan oleh Andri sebagai hadiah kelulusannya.

Dia tau jika semua salah, dan ia akan berusaha sebisa mungkin juga menguburkan rasa cintanya pada kakak sepupunya itu, dia akan berusaha sekeras mungkin untuk melakukannya.

kehilangan terbesar

Dila sudah siap dengan seragam Mts, karena dia ingin mendaftar di salah satu SMK baru sesuai arahan dari gurunya.

"Assalamualaikum, Dila. Dil ayo cepat nanti telat," panggil Nikma.

"Waalaikum salam ... masuk nduk, Dila-nya masih ganti baju," kata Bu Wati.

"Inggeh Bu, ayo ndul," kata Nikma menarik temannya Lala.

"Maaf ngeh bu, Dila cepetan kamu lelet ih," kesal Lala.

"Iya ini sudah selesai, Bu. Dila pamit ya," kata Dila pamit sambil mencium tangan sang ibu.

"Iya hati-hati ya," kata Bu Wati.

Dila pun mengangguk dan berangkat bonceng tiga bersama dengan sahabat-sahabatnya

Sesampainya di sekolah, mereka pun bergabung dengan teman-teman yang lain.

"Wah si trio kampret datang nih," ejek Nita saat melihat ketiga gadis itu.

"Kenapa memangnya, kalian picek gak bisa lihat, atau kecantikan kami terlalu membutakan matamu," kata Lala saat mendengar ucapan Nita dan teman-temannya.

"Kamu cari masalah huh," kata Nita yang tak terima.

"Cukup Lala, biarkan anjing menggonggong kita berlalu, toh dia juga itu melihat kepintaran kita," kata Dila menahan Lala.

"Swag," kata Nikma pada temannya itu.

"Kau cari mati," kata Nita menarik jilbab Dila hingga lepas.

Karena kesal, Dila langsung membalasnya dan tanpa sadar karena kukunya yang cukup panjang mencakar wajah Nita.

Gadis itu pun menangis karena luka di wajahnya, sedang Dila tak mengira jika reaksinya itu melukai gadis itu.

"Kalian berdua ini, belum apa-apa sudah berantem," kata guru IPS geografi yang membawa mereka.

"Tapi pak, Dila mencakar wajah ku, jadi hukum dia," kata Nita tak terima.

"Aku tau Semuanya Nita, jadi jangan buat bapak menghukum mu, dan berhenti membuat malu," kata guru itu dengan dingin.

"Bapak pilih kasih," kata Nita yang pergi begitu saja.

Sedang Lala, Nikma dan Dila kaget melihat reaksi dari guru IPS itu, pasalnya guru itu terkenal begitu keras dan mudah marah.

Tapi kenapa sekarang malah membantu mereka, dan malah memarahi Nita dan teman-temannya.

Pagi itu semua orang sedang melihat-lihat sekolah yang akan menjadi tempat menimba ilmu tiga tahun kedepan.

Dila pun memiliki ponsel jenis Nokia tiga ribu delapan ratus, yang penting bisa telpon dan SMS.

"Ada apa Dil, kenapa kok diem aja?" tanya Nikma.

"Gak deh, aku Uma merasa aneh saja saat tadi melihat tatapan dari pak Irwan," jawab Dila.

"Jangan bilang tuh guru suka sama kamu, beh bisa ngeri-ngeri sedap gitu," ledek Lala

"Ha-ha-ha, sayangnya dia bukan tipe ku," jawab Dila.

Ketiga gadis itu memilih duduk di bawah pohon keres, karena sambil menunggu pembagian baju olahraga.

Setelah selesai mereka pun pulang, tak lupa mereka mengantarkan Dila dulu.

"Mampir dulu yuk, kita rujakan sambil mencium aroma tembakau," ajak Dila tertawa.

"Boleh tuh, tapi kami yang ngambil mangga ya, habis bikin ngiler ih," kata Nikma melihat pohon mangga milik keluarga Dila.

"Oke, masuk dulu," ajak Dila

Lala dan Nikma sedikit ketakutan melihat Mbah Sarji, terlebih karena pria sepuh itu menatap dengan tajam.

"Wih... Mbah Dila kok serem sih," bisik Lala.

"Udah deh diam, assalamualaikum Mbah," kata Nikma dengan sopan.

"Waalaikum salam, masuk jangan cuma di luar, mau es?" tawar Mbah Sarji.

"Terima kasih Mbah," jawab Lala.

Nikma yang mendengar pun gemas sendiri, terlebih gadis itu bahkan terlalu grogi sendiri.

Mbah Sarji pun pergi begitu saja, sedang Dila menarik kedua temannya dan ternyata sudah ada bumbu rujak dan juga mangga muda tersedia di meja.

"Yaelah nona besar, udah di sediain ternyata," kata Nikma yang gemas sendiri melihat Dila.

"He-he-he, sepertinya itu tadi mbak Anis habis dari sini, ya udah ada sisa, tuh bumbu masih banyak, sudah makan aja, sambil menikmati pemandangan tembakau yang fi jemur," kata Dila lagi.

"Oke deh, dan rasanya mantul mak, pedes ey..." kata Lala yang sudah makan dulu.

"Eh jangan bikin kemecer dong, aku juga mau," kata Nikma yang bergabung.

Tak lama Mbah Sarji datang sambil membawakan es jangelan yang di belikan di warung.

Dila pun menerimanya, dan terlihat sang Mbah sudah membawa arit mau ke sawah.

"Mbah mau kemana? kok bawa arit, ini sudah mau sore loh,"

"Iki loh nduk, arep ngewangi bapak mu, wes Nok omah ae ya," kata Mbah Sarji.

"Inggeh Mbah," jawab Dila.

Setelah puas main, Lala dan Nikma pamit pulang, terlebih sudah makin sore.

Tak lupa mereka juga membawa mangga muda, karena tadi di suruh ibu Wati.

"Ibu, tadi yang ke sawah bapak sama Mbah saja?" tanya Dila.

"Tidak kok, sama paklek juga, memang kenapa sih dek?"

"Ya cuma nanya saja, habis kalau tembakau gini kan tinggi buk, ingat- mas Zainal hampir hilang dulu," kata Dila yang tertawa.

"Memang kenapa, namanya juga anak kecil ikut Kesawan dek, sudah gih antar ke sawah yuk, kasihan bapak sama yang lain," kata Zainal yang langsung memiting Dila.

"Iya mas, lepas ih ..." protes Dila.

Keduanya pun membawa tas untuk mengirimkan makan, "mas tungguin, ini jembatannya kenapa sekarang cuma bambu doang,"

"Ayo dek, kamu ini lama ya," kata Zainal yang mengandeng tangan Dila.

Keduanya memang sengaja lewat di kebun belakang rumah, dan ternyata mereka memilih lewat kuburan desa.

Tak butuh waktu lama untuk keduanya sampai, tapi mereka berdua tak melihat pak Yono, Mbah Sarji dan juga paklek Latif.

"Mbah, bapak!" panggil Dila.

"Dek jangan teriak-teriak dong, sudah ayo masuk ke sawah dan nyari di saung," ajak Zainal

Dila pun heran karena tak melihat satupun orang di sawah, "bapak!" teriak Zainal yang kini mulai khawatir.

Tiba-tiba dia terperosok masuk ke sebuah irigasi kali kecil yang ada di tengah sawah.

Tapi saat Dila terjatuh, Dila kaget melihat ada seseorang yang tertelungkup di pinggir galengan.

"Bapak!," teriak Dila yang menangis gemetar.

"Ada apa dek?" tanya Zainal.

Dila pun tak menjawab pertanyaan sang kakak, dia langsung berlari menghampiri pak Yono yang tak sadarkan diri.

"Bapak!" kaget Zainal yang melihat Dila yang membalik tubuh sang bapak.

Pak Yono pingsan dan dahinya memar, "mas, ini bapak kenapa?" tangis Dila melihat sang bapak.

"Tunggu di sini dek, biar aku minta bantuan orang-orang," kata Zainal yang keluar dari sawah untuk meminta pertolongan.

Dila pun bingung karena di sawah tak ada siapapun, dan pak Yono bisa pingsan seperti ini.

"Kalau bapak pingsan, paklek dan mbah kemana? tolong!" teriak Dila yang langsung memancing para warga yang mencari rumput.

Zainal pun datang dan membantu sang bapak, dia dan para warga membawa pak Yono pulang.

Tapi Dila masih mencari sang Mbah dan paklek yang tak tau dimana mereka.

"Mbah! paklek! kalian dimana!" teriak Dila yang masih begitu khawatir.

"Mbak Dila tadi saya lihat mas Latif menuju ke tempat diesel," kata seorang pemuda.

Saat Dila ingin pergi, Arif menahannya dan ikut mencarinya, dia tak bisa melihat adiknya yang panik pergi sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!