NovelToon NovelToon

My Killer Lecturer

Awal Sebuah Cerita

"Anda itu sebenarnya bodoh apa bego?” teriak dosen itu seraya berkacak pinggang, tepat di hadapanku

Wusssh!

Satu kalimat yang membuat tubuhku terasa lemas seketika.

"Ma-Maaf, Pak!" Hanya itu kata yang bisa terucap dari mulutku.

"Hhh, saya sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa pada Anda? Semua cara telah saya lakukan agar Anda dapat memahami mata kuliah ini. Semua metode dan model pembelajaran telah saya terapkan, agar Anda menguasai materi yang saya ajarkan. Tapi hasilnya apa? Saya kecewa pada Anda, benar-benar kecewa! Sepanjang sejarah saya menjadi dosen. Hanya Andalah satu-satunya mahasiswa paling lemot yang saya punya!"

Dosen killer itu masih menggerutu dengan kata-kata mutiaranya. "Ya sudah, saya akan memberi nilai D untuk mata kuliah Anda kali ini," putusnya.

"Ta-Tapi Pak! Apa tidak ada pengganti tugas yang lain untuk menambah nilai saya?"

Dengan perasaan tak berbentuk, aku mengajukan penawaran. Aku pikir, gila saja! Setiap mata kuliahnya dia, nilaiku selalu jeblok. Padahal aku merasa, aku bisa mengerjakan UTS dan UAS dengan baik. Satu-satunya kelemahanku mungkin pada pertemuan dan tugas saja.

"Percuma saya memberi Anda tugas. Toh tugas saya tidak pernah Anda kerjakan tepat waktu. Sekalinya dikerjakan, jawaban Anda selalu ngawur," ucap dosen itu dengan nada sinis.

"Lagian saya heran dengan Anda. Kemana saja Anda selama ini, hingga baru sekarang Anda mengenyam bangku kuliah! Kenapa tidak dari dulu Anda melanjutkan pendidikan Anda. Tidak malu Anda, menjadi mahasiswa paling tua di kelas ini? Atau jangan-jangan, Anda mahasiswa abadi karena otak Anda yang loading-nya lambat?”

Nyess!

Sekali lagi perkataan si dosen killer itu menyayat hatiku.

Gila aja, lo pikir gue sekaya elo yang bisa lanjutin buat kuliah. Lagian nih, kalau bukan karena tuntutan pekerjaan, ogah deh gue kuliah lagi. Lo enggak nyadar apa, otak gue, tuh udah kayak perapian rumah di negeri Belanda, yang sedang dilanda musim dingin. Yang isinya bara api semua.

Eit, tentu saja aku hanya bisa memaki dia dalam hati. Aku menundukkan wajah dan menelan bulat semua perkataan dosen itu.

"Oke, saya akan memberikan Anda satu kesempatan lagi, tapi ... saya tidak yakin Anda bisa melakukannya," ucap sang dosen bermata elang dan memiliki brewos tipis yang jika memandangnya, aku bisa merinding sendiri karena merasa geli.

Senyumku seketika mengembang mendengar penawaran sang dosen.

"Bapak tidak usah khawatir, kali ini saya pasti bisa melakukannya. Akan saya pastikan jika saya akan melaksanakan tugas Bapak sebaik mungkin, sesempurna mungkin!"

Eis gila deh, kok bisa-bisanya aku bicara kek gitu ya? Enggak apa-apa deh, yang penting aku lulus di mata kuliahnya, batinku.

Sebenarnya ini pertemuanku yang ketiga dengan mata kuliah yang berlatar belakang IPA.

Tiba-tiba dosen killer itu berdiri. Dengan senyumannya yang menyeringai, dia mendekati aku. Wajah tampan nan rupawan yang pernah mematahkan hati di saat SMA, mendekati wajahku. Hembusan napasnya yang berbau aroma mint, tercium di indera penciumanku. Semakin dekat dan hatiku semakin kacau melihat tatapan mata elang sang dosen. Hingga di jarak yang hanya satu cm, entah apa yang merasuki, aku mulai memejamkan mata.

"Tidurlah denganku!” ucap dosen angkuh itu.

Seketika mulutku bungkam mendengar tawarannya. Tak ingin berdebat lebih jauh lagi, aku berlalu pergi meninggalkan pria itu.

"Tunggu!" teriaknya.

Langkah kakiku terhenti mendengar teriakan sang dosen.

Kembali laki-laki itu mendekat. Aku bisa merasakan jika tangan dosen itu mulai meraih saku jaket yang kukenakan.

"Ini kunci apartemenku. Bisa kamu gunakan jika berubah pikiran. Ingatlah, aku akan selalu menunggumu dalam setiap malamku," bisiknya tepat di telingaku.

Bulu kudukku kembali berdiri merasakan hembusan napasnya yang menyentuh kulit leher. Tanpa bertanya apa pun lagi, aku segera berlari meninggalkan ruang dosen itu.

Brakk!

Tanpa sadar aku membanting pintu ruangan itu hingga membuat Citra terkejut.

"Ada apa, Kak?" tanya Citra.

"Heh!" Wajah pilonku terlihat kentara saat menyadari pertanyaan Citra.

"Apa Kakak baik-baik saja?" tanya Citra lagi.

"I-iya ... aku ... aku baik, Cit," jawabku gugup.

"Kakak terlihat pucat, apa dosen itu mengatakan alasan yang buruk tentang nilai Kakak?" Citra kembali bertanya.

"Ti-tidak ... dia ... dia tidak mengatakan apa pun." Aku kembali dibuat gugup oleh pertanyaan Citra.

"Lalu, kenapa wajah Kakak pucat pasi begitu?" tanya Citra lagi.

"Mungkin karena lapar. Maklum, aku belum sarapan, hehehe..." jawabku, asal bicara.

"Ya sudah, kalau begitu kita ke kantin sekarang, Kak. Isi bensin dulu, biar waras," gurau Citra.

Aku mengangguk menanggapi ajakan Citra. Akhirnya kami berjalan bergandengan menuju kantin kampus.

Tiba di kantin, kami segera mencari tempat duduk yang dirasa nyaman untuk makan sekaligus berbincang. Pilihan Citra jatuh pada bangku di pojok kanan kantin. Setelah memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas es jeruk, akhirnya kami duduk di sana.

"Sebenarnya pak Fatwa kenapa sih, Kak? Kok sepertinya dia punya dendam kesumat sama Kakak?" tanya Citra.

Pertanyaan Citra berhasil membuat jantungku berdetak tak beraturan. Jujur, aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada dosen killer itu. Namun, satu yang aku tahu. Setelah pertemuan tadi, aku mulai yakin jika dosen itu hanya ingin mempersulit diriku. Namun, apa motifnya? Aku sendiri tidak tahu.

"Entahlah." Hanya itu yang bisa aku jawab.

"Terkadang aku curiga sama pak Fatwa. Apa mungkin dia menyukai Kakak?" tanya polos gadis itu.

"Ish, jangan ngaco deh ... mana ada dosen yang menyukai mahasiswa tua seperti aku," jawabku, terkejut mendengar pertanyaan Citra.

"Kalau aku lihat-lihat, kayanya kalian berdua seumuran deh. Itu, 'kan bisa terjadi, Kak?" lanjut Citra

Rasanya, aku ingin menolak pernyataan Citra. Namun, aku tidak bisa mengingkari kenyataan jika aku dan dosen gila itu masih seumuran. Dan yang lebih parah lagi, kami pernah satu sekolah dulu.

"Tapi, aku heran, loh Kak. Kenapa dia sampai tiga kali memberikan nilai jelek kepada Kakak di setiap mata kuliahnya dia? Sepertinya ada yang aneh, gitu. Terus, apa yang dia katakan tadi? Apa alasannya sampai dia memberikan nilai D. Bukankah tugas Kakak untuk semester ini, penuh?" Citra memberondongku dengan berbagai macam pertanyaan.

Aku mengangguk.

"Lalu, kenapa masih bisa jelek juga?" Kembali Citra bertanya.

"Dia bilang, aku telat mengumpulkan tugas," jawabku.

"Hanya itu?! Lalu, apa tidak ada cara lain supaya dia bisa memberikan nilai tambahan?" tanya Citra lagi.

"Ada?"

"Apa?"

"Tidur dengannya."

"What? Gila ... ini benar-benar gila! Dari semester kemarin, aku sudah menduganya. Dia sepertinya sedang mengincar Kakak. Ish, Kakak ... apa sebelumnya Kakak mengenal dia? Atau Kakak pernah membuat kesalahan kepada pak Fatwa?"

Aku bergeming. Bingung antara harus berterus terang atau tidak. Tapi Citra terus mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepalaku hampir pecah.

Cit, sebenarnya ... emm, sebenarnya dia adalah cinta pertamaku yang tidak pernah bisa aku raih."

Apa?!

Aku mengangguk pasrah.

"Aku tidak mengerti Kakak. Bisakah Kakak menceritakan semua kisahnya?"

"Baiklah, akan kuceritakan...."

Hai readers semua...

Othor kembali hadir dengan cerita yang kacau balau dan membutuhkan krisan dari kalian.

Selamat membaca yaaa....

Semoga bisa menghibur kalian semua.

Jangan lupa like, vote n komennya 🙏🤗

Gadis Bola

Hidupku yang berwarna tapi tanpa rasa, seketika berubah saat aku mengenal laki-laki itu. Aku sendiri tidak mengerti. Dia tidak tampan seperti Aji, tidak ramah seperti Yusuf, tidak pemalu seperti Anton. Tidak pernah tebar pesona seperti Deni, tidak playboy seperti Gustaf, tidak ja'im seperti Awal, tidak sok alim seperti Ali, dan tidak suka mengayomi seperti Gaos.

Hmm, mungkin kalian heran, kenapa aku hanya menyebutkan nama-nama pria dalam ceritaku. Jawabannya cuma ada satu, karena ... sebagian besar temanku berjenis kelamin laki-laki.

Aku sendiri? Hmmm, aku sendiri bingung dengan jati diriku. Aku seorang wanita tulen. Asli, dan itu bisa dibuktikan dengan tamu tak diundang yang selalu datang setiap bulannya. Casing-ku juga cewek abis ya. Tinggi badanku sekitar 159 cm, nanggung banget ya, padahal cuma tinggal satu cm lagi, aku pasti memasuki kategori tinggi yang ideal. Namun apalah daya, meski aku telah melakukan olah raga renang dan basket. Tetap saja tinggiku tak mau bertambah.

Aku bukan gadis tomboy, itu terbukti jika aku masih memiliki rambut panjang yang sering aku kuncir dua sehingga kalau aku berlari tampak bergoyang ke sana kemari. Mungkin mereka menganggapku tomboy karena kegilaanku terhadap bola. Meski jujur saja, aku tidak bisa bermain bola. Bahkan jika aku di bayar pun, aku tidak akan mau bermain bola.

Gila aja, kuy! Bola cuma satu, diperebutkan 20 orang dari kedua tim, berlarian kesana kemari, deuuh ... bisa hilanglah kecantikanku. Meskipun aku sadar, aku enggak pernah memoles diriku dengan make up. Jangankan make up, bedak tipis pun kagak pernah. Aku memang gila bola, tapi khusus untuk team luar negri ya! kalau untuk luar Nagreg? Jangan tanya, aku bahkan enggak hapal nama-nama team luar Nagreg.

Saking gilanya bola, aku sampai punya kebiasaan jelek. Waktu itu lagi demam liga seri A Italia. Gilanya, aku sama teman-teman gesrekku, selalu menjadikan ajang itu untuk mencari sarapan gratis di hari Senin.

Di kelasku, satu-satunya cewek pecinta bola cuma aku. Sedangkan yang lainnya hanya ada 5 orang dari sekian banyak cowok, yang selalu nongkrong tiap hari Sabtu sepulang sekolah dan hari Senin sebelum bel masuk sekolah di tukang hokyen milik bang Dadang.

“Kita megang yang mana nih? Malam Minggu apa malam Senin?” tanya Mumu salah satu temen cowokku.

“Malam senin aja deh. Club-ku maen nih," rengekku, satu-satunya cewek yang berada di tengah-tengah kelima cowok itu. Dia adalah Gustaf, Deni, Mumu, Anjas dan Awal.

Aku yakin teman cowok di kelasku pastilah menyukai bola, hanya saja yang memiliki sifat gesrek sepertiku, ya cuma kelima kunyuk itu.

“Ah elo mah gitu! Pegang club lain napa?” gerutu Deni si cowok yang selalu tebar pesona dan selalu kalah setiap kali taruhan.

Ya! kegiatan gesrekku adalah taruhan menonton bola. Eits jangan salah ya, taruhannya bukan uang, loh! Yaelah, untuk ukuran anak SMA kek kita, mana berani aku taruhan pake uang. Taruhannya hanya membayarkan seporsi hokyen dan segelas es jeruk sebagai sarapan pagi pada orang yang memegang club yang menang. Itu pun bayarannya barengan dari pihak yang kalah (kalau istilah sunda rurubungan/udunan) dan entah kenapa, hoki selalu menyertai hari Seninku. Hingga slogan yang awalnya I hate Monday, berubah menjadi I like Monday bagiku.

Satu lagi nih kawan. Club yang aku pegang dari dulu sampai saat ini, Club Juventus. Apalagi jika duo maut sedang berlari saling menggocek bola. Wuuiih rasanya aku pengen pergi ke Negara pizza itu untuk menyaksikan kelincahan mereka secara langsung. Siapa lagi kalau bukan Inzaghi dan Del Piero. Meski saat ini Del Piero telah tiada, namun pesonanya masih tetap di hati. Inzaghi sendiri, hmm yang pasti semakin tua semakin menawan…wkwkw.

Saking nge-fansnya aku sama kedua orang itu. Dinding kamarku penuh oleh gambar mereka yang aku gunting dari majalah bola. Majalah yang hits di Zamannya (Zaman aku SMA, gaisss). Aku rela menyisihkan uang jajan hanya untuk membeli kaos Inzaghi dan Del Piero yang saat itu bernomor punggung 9 dan 10 (kalau aku tidak salah ingat, maklum gaiss, usiaku sudah tidak muda lagi ya! )

Jika saat itu gadis seumuranku menyisihkan uangnya untuk peralatan bedak dan perawatan tubuh, aku malah rela menyisihkan uang untuk membeli pernak-pernik Juventus dan Michael Jordan. Maklumlah, selain gila bola, aku juga gila basket, gaiss. Nah kalo basket, meski sekarang umurku sudah tidak muda lagi, tapi aku masih sanggup melakukan three point ya…gkgkgk.

"Tau nih si Chichan, resek banget!” jawab Gustaf.

Chichan adalah julukan teman-temanku semenjak aku duduk di bangku SMA. Sebenarnya namaku Resti, tepatnya Octora Resttyani. Tapi sahabatku sering memanggilku Chi, sebagai kata ganti Ti. Nah Chan-nya itu, aku yang nambahin chan\=chantik jadi chichan\=chi yang cantik….wkwkwk, maklum gaiss, aku tuh seorang gadis yang memiliki tingkat kepedean melebihi dosisnya.

Sebenarnya aku bukan gadis cantik. Aku pun sadar itu. Aku juga bukan gadis pintar, meskipun aku anak IPA. Kalau boleh jujur sih, aku pilih IPA karena rasa frustasiku saja. Aku nggak mungkin pilih bahasa, karena aku enggak mahir berbahasa Inggris, apalagi bahasa Arab dan Jepang sebagai bahasa tambahan di kelas bahasa.

Aku juga tidak bisa memilih kelas IPS, karena aku bukan type anak yang mudah menghapal. Aku tidak suka pelajaran sejarah yang seolah dininabobokan saat bu Ida, guru mata pelajaran sejarah menerangkan materinya.

Terlebih lagi akuntansi yang telah menjadi musuh bebuyutanku saat pak Acep memberikan nilai merah di raport kelas 2 SMA. Bagiku pelajaran akuntansi adalah pelajaran yang telah lolos menipu para siswanya. Kenapa aku bilang begitu? Ya kalian bayangin aja, kita harus menghitung uang ratusan juta yang bikin pala kleyengan. Mending kalau uangnya nyata, lumayan, 'kan bisa aku lipat dikit. Lah ini uangnya fiktif. Mana harus balance lagi. Hmm, aku ingat saat aku duduk di kelas satu aku memberikan julukan balance pada guru akuntansiku. Ah benar-benar murid durhaka...

"Ya elah, lo pade kagak tau aje, tu bocil, 'kan cinta mati ma Inzaghi!” ledek Awal.

Aku Cuma nyengir kuda saat mereka meledekku.

"Hooh, ngayal mulu, tuh hidupnya!" Kini giliran si Anjas yang ikut mencemoohku.

"Udah deh, malam Senin atau nggak sama sekali!” ujarku seraya menghampiri abang hokyen.

“Ngutang ya, Bang, bayarnya 'ntar Senin ma mereka!” ujarku menepuk bahu mang Dadang seraya menunjuk ke arah temen-temen gesrekku.

Aku melirik ke arah mereka sebentar untuk memberikan senyum manisku. Senyum manis yang akan mereka anggap sebagai ledekan dariku. Tak lama kemudian aku segera berlari sebelum kelima sobat gesrek itu menimpuk aku menggunakan bungkus snack yang sudah mereka remas-remas menjadi bulatan berukuran bola bekel.

"Ji! Numpang dong!” teriakku pada Aji mantan wakil ketua OSIS nan tampan rupawan yang sedang menyelah motornya.

“Anjay, pake kabur lo Chan!” teriak Gustaf tak terima dengan keputusanku yang pulang tanpa membayar hokyen yang kumakan.

Senyumku semakin mengembang saat motor Aji yang sedang memboncengku melewati anak-anak bola yang gesrek itu.

Pada akhirnya hanya makian dan sumpah serapah dari mulut mereka yang aku dengar, dan perlahan semakin samar.

“Kamu ngerjain mereka lagi, Res?” tanya Aji lembut.

Di antara teman-teman cowokku hanya Aji dan Anton si pria pemalu yang selalu memanggilku dengan normalnya, Res! Itu panggilan mereka untukku.

Sebenarnya aku heran pada diriku sendiri. Kenapa aku harus mendapat perhatian lebih dari salah satu idol di sekolahku. Ya, Aji sang mantan wakil ketua OSIS itu, salah satu idol di sekolah. Selain memiliki wajah yang baby face, orangnya juga baik, dan selalu tersenyum sama siapa saja. Entah itu teman satu angkatan atau beda angkatan. Kedekatanku dengannya bahkan membuat aku dibenci oleh para wanita cantik di angkatanku.

Pernah suatu waktu aku dilabrak sekretaris OSIS yang waktu itu masih menjabat, gara-gara si Aji yang ketua OSIS sedang mengurusi masalahku di ruang BP yang ketahuan membolos di mata pelajaran sosiologi. Satu lagi mata pelajaran yang tidak aku sukai.

Terkadang risih juga dengan kehadiran cowok-cowok ganteng yang justru malah membatasi pergerakanku. Ya kalian bayangin aja. Setiap aku nemplok di cowok laen. Para selebriti ahli ghibah itu pasti dengan semangat '45 menyebar gosip jika aku cewek murahanlah, cewek caperlah, dan cewek-cewek apalah yang julukannya terkesan negatif di telinga orang.

Tapi, bukan seorang Octora Resttyani yang akan bermuram durja dengan gosip-gosip murahan seperti itu. Prinsipku, semakin mereka mencemoohku, semakin aku punya kekuatan untuk membuat mereka kebakaran jenggot dengan kedekatanku bersama para coverboy SMA 1.

Bersambung

Jangan lupa like, vote n komennya yaa 🙏🤗

Dilabrak Susan

Sebenarnya, aku bukan gadis berkerudung. Entahlah, hatiku terasa berat banget untuk mengenakan kerudung di kepala. Padahal, salah satu kewajiban seorang wanita muslim adalah menutup auratnya, termasuk berkerudung. Aku sendiiri bingung, entah terbuat dari apa itu perasaanku. Kok kek-nya imanku lemah banget sehingga aku selalu tergoda untuk menampilkan pesona rambut kuncir duaku….wkwkwk

Hari itu hari jumat. Semenjak aku naik ke kelas 2 SMA, dengan terpakasa aku mulai mengenakan kerudung. Tapi itu aku lakukan pada saat aku sekolah. Kalau di rumah, aku masih senang mengenakan yukensi everything, kalau nggak, hotpants lebih nyaman 'tuh bagiku.

Jum,at itu, aku hanya mengenakan baju pramuka berlengan pendek dan hanya aku tutupi pakai sweater rajut berwarna ungu. Warna favoritku. Selesai kami bershalawat di lapangan sekolah, tiba-tiba Pak Irawan, guru kesiswaan mengumpulkan anak-anak perempuan yang memakai sweater, jacket, cardigan dan kawan-kawan, di tengah lapang. Sedangkan anak-anak yang berseragam pramuka, kembali ke kelasnya masing-masing.

Aku memang badung, beberapa kali pernah mendapatkan hukuman. Tapi jujur saja, ini adalah pertama kalinya aku mendapatkan hukuman sendirian. Sekujur tubuhku gemeteran. Ya lo bayangin aja, dari 32 anak di kelas IPA 2. Hanya gue, men yang mendapatkan hukuman. Sama guru kesiswaan pula, guru yang terkenal galaknya sampai-sampai diberi julukan Herder ma para murid. Waah bener-bener murid kagak punya akhlak yeee...

“Kamu juga nggak pakai baju, hah!” teriak Pak Herder tepat di depan muka, hingga aku merasakan muncratnya air hujan dari mulutnya.

Aku memejamkan mataku seraya menutup telingaku yang terasa sakit mendengar suara cempreng si Bapak.

"Buka!" teriaknya.

Spontan tanganku sedikit mengangkat sweater kesayangan untuk membuka bajuku. Meski dalam hati jantungku berdisko ria karena takut ketahuan jika aku menggenakan atasan pramuka berlengan pendek.

“Ish, bukan baju kamu yang di buka P-A, tapi mata kamu!” teriak Pak Herder seraya mendorong keningku dengan telunjuknya.

Gila men … dorongannya kuat banget, sampai-sampai aku terjengkang ke belakang. Untung saja ada salah satu siswi yang memegang punggungku hingga bokongku yang seksoy ini tak jadi mencium tanah.

Aku mengerjapkan mataku. Bola mata Pak Herder seakan ingin melompat keluar dari tempatnya.

"Kamu juga tidak memakai seragam pramuka, hah!" Duh Pak Herder itu kembali berteriak.

“Nggak, Pak! Aku pakai, kok!” ucapku masih dengan nada bergetar. Ya ... siapa yang gak takut dipantengin bola mata segede bola bekel.

"Kalo gitu, kenapa nggak kamu buka sweater kamu?” tanyanya. Penggaris nan panjang sepanjang 1 meter telah dia acung-acungkan di hadapanku. Seketika nyaliku menciut melihat penggaris itu seolah melambai-lambaikan tangannya pada bodiku yang sedikit kurus kering bagai kerupuk kulit asli Garut.

“Aku sakit, Pak !” ucapku, ngeles.

“Sakit apaan?” teriak Pak Herder semakin mengacungkan penggarisnya.

“Ya sakit, Pak. Pokoknya sakit yang menyuruh aku pake baju double, Pak!" ucapku, seenaknya.

Hmm…, jangan tanya ya gaiss…, urusan sahut- menyahut dan memberikan alasan yang tak masuk akal, itu salah satu keahlianku juga.

“Sakit apa, bronkitis, Tbc?" teriak Pak Herder lagi.

"Masya Allah Pak, amit-amit….amit-amit….!” ucapku seraya mengetuk-ngetukan ujung kepalan tanganku bergantian di pelipis dan paha.

Sebagian anak terkekeh mendengarkan ucapan do’a dari si guru galak. Aku pun hanya bisa mendengus kesal sambil melirik tajam kepada anak-anak yang sedang asyik menertawakan aku.

“Maju dan beri hormat di depan tiang bendera!” perintah Pak Herder seraya memukul bokongku dengan penggarisnya.

Anjay, malu banget aku gaiss. Dengan langkah kaki yang seolah membawa beban besi seberat 50 kg, aku pun menghampiri tiang bendera itu seraya menengadah dan memberi hormat. Samar-samar aku masih mendengar suara si guru Herder itu memaki murid yang lainnya.

.

.

.

Aku mulai merasakan perih di lambungku. Sialan, karena bangun siang, aku jadi belum sempat sarapan tadi di rumah, umpatku dalam hati.

Semakin lama, cacing-cacing perutku semakin tak bersahabat. Sepertinya mereka tengah berdemo seraya membentangkan spanduk dengan tulisan, 'Beri kami makan!' Aku pun mulai merasakan pelipisku berdenyut. Mataku berkunang-kunang. Dan burung-burung mulai berkicau memutari kepalaku.

"Pak, Resti pingsan!”

Hanya itu teriakan terakhir yang aku dengar sebelum akhirnya mataku tertutup sempurna.

***

Aku mengedip-ngedipkan mataku, dan mendapati pria innocent berwajah baby face sedang tersenyum tepat di depan wajahku.

“A-Aji…!” gumamku.

Ya, pria itu adalah Aji salah satu coverboy sekolahku. perkenalanku dengan Aji dimulai dari kelas 1 hingga akhirnya kelas 2 pun kami sekelas lagi. Sejak saat itulah kami mulai akrab.

Awalnya, Aji tidak begitu menyukai gaya bicaraku yang asal mangap. Dia selalu menasihati aku. "Res, jadi wanita itu harus lembut, penuh perasaan. Bicaranya harus di jaga, jangan asal mangap. Trus kalau ketawa 'tuh nggak usah ngakak kek gitu! Jelek tahu!” Nasihatnya waktu kami kelas 2.

Tapi yang namanya Resti, ya tetaplah Resti. Seseorang yang akan selalu barbar dan berprinsip teguh pada pendiriannya sendiri.

“Kamu nggak sarapan lagi?” tanya Aji seraya menyentuh rambutku yang kerudungnya entah terbang ke mana.

Aku hanya menggelengkan kepala dengan lemah. Aku melihat Aji mengulurkan tangannya dan meraih sesuatu dari nakas di samping ranjang UKS. Dia menyerahkan sebungkus roti isi coklat dan susu kotak kepadaku.

“Makanlah!” perintahnya, lembut.

Aku mengangguk seraya menerima makanan tersebut. Selesai makan, Aji tersenyum seraya mengusap rambut panjangku.

"Aku masuk kelas dulu, ya! Kamu istirahat di sini," ujarnya.

Kembali aku mengangguk dan tersenyum padanya.

Setelah kepergian Aji. Aku mulai membenahi bantalku dan membaringkan kepala di atas bantal. Mataku mulai terpejam, merasakan pusing yang masih asyik bergentayangan di kepala.

Beberapa menit kemudian. Aku merasakan seseorang menyibakkan selimut yang kupakai dengan sangat kasar.

“Eh, cewek murahan! Bangun lo! Dasar cewek ganjen! Pe'rek lo! Berani ya, lo rebut gachoan orang! Nggak usah deh, sok kecantikan gitu, dasar tongos loh! Si gigi kelinci. Cewek gatel. Sok kecakepan banget sih hidup, lo!”

Seorang gadis cantik tinggi semampai dengan bodi bak biola, tiba-tiba datang mencaci maki aku dengan segala kata-kata mutiara indah yang keluar dari mulut mungilnya.

“Su-Susan?” gumamku.

"Iya, gue! Kenapa? Heran, gue ada di sini? Jangan mentang-mentang gue nggak satu kelas sama Aji, terus lo kira gue nggak tahu kelakuan kalian di belakang gue, hah!"

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku yang biasa aja, tak putih dan tak mulus. Aku hanya bisa meringis merasakan panas di pipiku.

“Chi, lo nggak apa-apa?”

Tiba-tiba ketiga temanku berlarian menghampiri. Kak Lastri langsung memelukku, sedangkan Irma dan Tika menarik tangan Susan dan membawanya pergi dari ruang UKS.

“Chi, lo baik-baik aja, 'kan? Mana yang sakit Dek?” tanya Kak Lastri dengan mata berkaca-kaca melihat cetakan tangan terpampang jelas di pipiku.

Aku hanya menggelengkan kepala dengan lemah untuk menjawab pertanyaan Kak Lastri. Jujur, aku masih shock mendapati sikap Susan pacarnya Aji.

Melihat air mata mulai menggenang di kedua sudut mataku, akhirnya Kak Lastri menarikku ke dalam pelukannya. Di antara kami berempat, usia Kak Lastri memang paling tua, hanya beda beberapa bulan dengan kami. Sifatnya yang dewasa dan sering megayomi kami semua, membuat kami sepakat untuk memanggilnya Kak Lastri.

“Aku tidak apa-apa, Kak!” jawabku lemah. Aku menarik pelukanku dan melepaskannya. "Kak, pipiku perih," rajukku.

Kak Lastri meniupi pipiku agar terasa nyaman.

“Apa ada bekasnya, Kak?"

Kak Lastri mengangguk.

“Kak, aku takut mamah melihat ini. Apa aku boleh menginap di kontrakan Kakak?” tanyaku lagi.

Seraya tersenyum, Kak Lastri mengangguk dan kembali memelukku.

Brakk!

Tiba-tiba, pintu ruang UKS terbuka kasar. Tampak Gustaf dan Anjas berdiri di ambang pintu.

"Are you oke, Chi?”

Bersambung

Jangan lupa like, vote n komennya yaa 🤗🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!