Udara malam terasa menusuk kulit. Kerlip bintang dilangit, juga sudah mulai berpendar terang malam itu. Tidak ada sinar bulan yang menampakkan cahayanya di kegelapan malam itu. Sehingga membuat udara semakin terasa dingin.
Dalam dinginnya udara malam tersebut, seorang perempuan berambut panjang sepunggung, sedang berjalan tergesa-gesa menuju sebuah halte yang berada di seberang kantor. Kedua tangannya bersilangan di depan, sambil mengusap-usap kedua lengannya untuk menghalau dinginnya udara malam.
Perempuan tersebut, masih celingak celinguk menunggu taksi online yang sudah dipesannya. Sesekali, dia melirik jam tangannya dan seolah berharap penantiannya tidak akan lama lagi. Hingga tak berapa lama kemudian, taksi pesanannya pun datang. Perempuan bermata coklat dan berlesung pipi tersebut berdiri dan langsung memasuki taksi online yang sudah dipesannya.
Perjalanan menuju rumah kontrakannya tersebut, membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit. Tak berapa lama kemudian, taksi yang membawa perempuan tersebut sudah berhenti di sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh sepeda motor ataupun sepeda. Perempuan tersebut segera membayar taksi dan langsung turun.
Rumah kontrakan sederhana tersebut, berada tak jauh dari jalan utama. Hanya berjalan sekitar lima menit, perempuan tersebut sudah sampai di rumah kontrakannya.
Rumah kontrakan sederhana yang bercat putih tersebut, memiliki sebuah halaman kecil di bagian depan. Lebar rumah kontrakan yang hanya tiga meter, dan memiliki panjang delapan meter, cukup mampu membuat nyaman penghuninya.
Rumah kontrakan tersebut juga hanya mempunyai satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, dan dapur, di sulap sedemikian rupa sehingga mampu menampung barang-barang milik penghuninya.
Setelah mengeluarkan kunci rumah dari dalam tasnya, perempuan tersebut hendak membuka pintu utama rumah kontrakannya. Namun, suara dering ponsel menginterupsi aktivitasnya. Segera diambilnya ponsel tersebut, dan langsung menggeser ikon berwarna hijau untuk menyambungkan panggilan suara tersebut.
"Hallo, Nyonya. Selamat malam," sapa perempuan tersebut setelah panggilan telepon terhubung.
"Malam Nay, kamu sudah pulang?"
"Eh, sudah Nyonya. Ini saya baru sampai kontrakan. Ada yang bisa Nayra bantu, Nyonya?" tanya perempuan tersebut.
Ya, dia adalah Nayra Anindita. Seorang gadis berusia dua puluh lima tahun, yang bekerja sebagai seorang sekretaris di sebuah perusahaan periklanan berskala internasional. Nayra, adalah seorang gadis yang supel, ramah, energik, dan bisa diandalkan oleh atasannya. Kemampuannya sudah tidak diragukan lagi.
"Kamu tau dimana Rain?" tanya wanita di seberang sana.
Kening Nayra berkerut saat mendengar pertanyaan dari seberang sana.
"Pak Rain? Ehm, maaf saya tidak tahu, Nyonya. Pak Rain sudah pulang sejak sore?"
"Lalu, kemana dia? Kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi?"
Nayra memutar otaknya. Kemana perginya sang atasan? Bukankah sejak sore, atasannya tersebut sudah pulang dulu? batin Nayra.
"Ehm, maaf, Nyonya. Saya tidak tahu dimana Pak Rain sekarang. Sebenarnya, Pak Rain sudah pulang sejak sore. Beliau juga tidak bilang akan pergi kemana, Nyonya." Nayra tampak menyesal mengatakan hal itu kepada wanita di seberang sana.
Terdengar helaan napas berat sebelum sebuah suara memasuki pendengaran Nayra. "Nggak apa-apa, Nay. Pasti putraku itu banyak merepotkan kamu. Pasti gara-gara dia juga kamu sampai harus pulang larut malam seperti ini." Suara perempuan tersebut terdengar menggerutu kesal.
"Eh, ehm, ti-tidak, Nyonya." Nayra terdengar tidak enak jika menjawab benar atas apa yang dikatakan oleh wanita di seberang sana.
"Sebenarnya, tadi siang aku meminta Rainer untuk makan malam dengan salah seorang anak sahabat keluarga kami di restoran. Namun, setelah gadis itu menunggu lama, Rain tak kunjung datang hingga gadis itu memutuskan untuk pulang. Aku bingung kemana perginya Rain, Nay. Dia juga tidak bisa dihubungi."
Nayra bingung harus menjawab apa, karena dia juga tidak tahu keberadaan Rainer.
"Maafkan saya, Nyonya. Pak Rain tidak memberitahu saya kemana beliau pergi. Tadi pagi, beliau memang meminta saya untuk mengosongkan jadwal setelah makan siang. Beliau bilang ada urusan keluarga yang harus dilakukannya. Dan, Pak Rain juga sudah pulang sejak sore."
Lagi-lagi terdengar helaan napas di seberang sana. Nayra tahu jika ibu atasannya tersebut benar-benar kesal dengan tingkah sang putra semata wayangnya tersebut.
"Ah, maafkan aku mengganggu kamu malam-malam begini, Nay," ucap perempuan tersebut karena merasa tidak enak dengan Nayra.
"Ah, tidak apa-apa, Nyonya. Ini memang semua sudah menjadi pekerjaan saya." Nayra menjadi semakin tidak enak.
"Ya sudah, kamu langsung istirahat saja. Aku akan mencari dimana putraku itu berada."
"Perlu saya bantu, Nyonya?" tawar Nayra.
"Nggak usah, Nay. Aku akan menghubungi teman-temannya. Biasanya, Rain nongkrong dengan mereka."
"Ah, baiklah, Nyonya."
Setelah itu, panggilan telepon terputus. Nayra hanya bisa mendesahkan napas beratnya ke udara. Dia sudah sangat hafal dengan hal yang baru saja terjadi. Nayra lagi-lagi ingin melanjutkan untuk membuka pintu. Namun, hal itu urung dilakukannya karena ponselnya kembali berdering.
Nayra mengamati layar ponsel tersebut yang menampilkan nomor asing yang tidak dikenalnya. Meskipun Nayra tidak mengenal nomor tersebut, namun dia segera menggeser ikon hijau untuk menyambungkan panggilan.
"Hallo, selamat malam," sapa Nayra begitu panggilan teleponnya terhubung.
"Selamat malam. Apa ini kerabat saudara Rainer?"
Nayra mengerutkan kening saat mendengar suara di seberang sana. Namun, dia buru-buru menjawab pertanyaan dari seberang sana.
"Ehm, saya sekretaris beliau, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Oh, begitu. Begini, Nona, kami dari kepolisian. Kami ingin memberitahu jika saat ini saudara Rainer sedang berada di rumah sakit. Beliau mengalami kecelakaan. Apa anda bisa datang ke rumah sakit?"
"Apa?"
\=\=\=
Selamat datang di cerita othor yang baru. Terima kasih bagi yang sudah ikut mampir kesini. Jangan lupa klik like dan berlangganan untuk mendukung cerita baru ini, ya. Semakin banyak dukungan, semakin semangat othor upnya. Terima kasih. 🤗
Deg.
Jantung Nayra seolah berhenti berdetak.
"Pak Rain, kecelakaan?" tanya Nayra seolah tidak percaya.
"Iya, Nona. Apa Anda bisa segera datang ke rumah sakit sekarang? Kami membutuhkan beberapa data tentang beliau."
Nayra mengerjap-ngerjapkan kedua matanya beberapa kali sebelum menyetujui permintaan polisi tersebut. "Eh, iya, Pak, bisa. Saya akan segera kesana sekarang."
Setelah mengetahui alamat rumah sakit tempat Rainer dirawat, Nayra segera bergegas ke sana. Dia mengurungkan niatnya untuk memasuki rumah kontrakannya dan langsung berjalan terburu-buru menuju jalan raya.
Nayra berniat untuk mencari ojek agar bisa segera sampai di rumah sakit. Beruntung di seberang jalan, ada sebuah pangkalan ojek. Nayra lumayan sering menggunakan ojek tersebut.
Setelah Nayra melambai, salah satu dari tukang ojek tersebut mendekat. Rupanya, Pak Mitro yang saat itu mendekatinya. Pria berusia sekitar empat puluh tahun tersebut, sudah cukup lama mengenal Nayra, karena memang rumahnya juga tak jauh dari sana.
"Mau kemana, Mbak Nayra?" tanya Pak Mitro sambil memberikan helm kepada Nayra.
"Rumah sakit, Pak. Bosku kecelakaan. Agak sedikit ngebut bisa, Pak?"
"Oke, siap, Mbak. Pegangan, kita ngebut."
Nayra segera menaiki boncengan motor Pak Mitro. Dia yang masih memakai baju kerjanya, tampak kesulitan. Rok span dan high heel yang dipakai Nayra, membuatnya harus mencengkeram jaket Pak Mitro erat-erat agar tidak jatuh.
Tidak sampai tiga puluh menit kemudian, Nayra sudah tiba di rumah sakit. Dia langsung menuju resepsionis dan menanyakan keberadaan Rainer, atasannya tersebut.
Setelah mengetahui keberadaan sang atasan, Nayra segera beranjak menuju ruang perawatan di lantai tiga rumah sakit tersebut. Ternyata, Rainer sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
Begitu berada di depan ruang perawatan, ternyata sudah ada dua orang petugas kepolisian yang menunggu. Nayra buru-buru menemui kedua orang tersebut. Kedua polisi tersebut menoleh karena kedatangan Nayra.
"Anda, Nona Nayra?" tanya salah satu polisi yang bernama Raka.
"Iya, Pak. Saya Nayra."
"Pak Rainer ada di dalam. Bisa kami menanyakan beberapa informasi kepada anda?"
"Bisa, Pak. Sekalian saya juga ingin tau apa yang terjadi dengan atasan saya."
Kedua polisi tersebut mengangguk. Setelah itu, mereka bertiga menuju sebuah kursi di ujung lorong untuk berbicara.
Beberapa saat kemudian, kedua orang polisi tersebut segera pamit undur diri setelah mendapatkan informasi tentang Rainer. Setelahnya, Nayra segera beranjak ke arah pintu ruang perawatan sang atasan.
Tok tok tok.
Nayra mengetuk pintu sebentar, dan langsung membukanya. Dia melongokkan kepala ke dalam ruang perawatan. Nayra melihat sang atasan tengah terbaring di atas brankar dengan infus terpasang pada lengan kirinya. Nayra memutuskan untuk memasuki ruang perawatan tersebut dan berjalan mendekati brankar.
Terlihat atasannya tersebut sedang memejamkan mata. Dia hanya bertelanjang dada, dengan bahu kanannya sudah di perban. Sepertinya, atasan nya itu mengalami benturan pada bahu kanannya.
Nayra juga mengamati ada beberapa luka lebam pada bagian tulang pipi kanan Rainer. Ada juga bekas luka goresan pada pelipis kanan yang menjalar hingga ke tulang pipinya. Sepertinya, terkena goresan kaca.
Nayra masih diam sambil mengamati keadaan sang atasan hingga tidak menyadari sepasang mata tengah menatapnya.
"Sampai kapan mengamatiku seperti itu?" Tiba-tiba suara sang atasan mengagetkan Nayra.
Mendengar suara sang atasan, sontak saja Nayra langsung kaget. Dia memegangi jantungnya yang langsung berdebar kencang karena terkejut.
"Anda sudah siuman, Pak?" Suara Nayra terdengar lirih karena terkejut.
"Siapa yang bilang aku pingsan?" Seperti biasa, suara Rainer terdengar sangat ketus.
Nayra hanya bisa mendesahkan napas berat ke udara saat mendengar jawaban Rainer. Entah mengapa dia masih saja merasa kesal mendengar jawaban ketus dari atasannya tersebut, meskipun sebenarnya dia sudah sangat hafal dengan sikapnya.
Karena tidak mendapati jawaban dari Nayra, Rainer kembali bersuara.
"Segera urus administrasi rumah sakit. Aku mau pulang malam ini juga." Rainer memberikan perintah dengan suara tegas seperti biasanya.
Nayra masih belum bisa memahami perkataan sang atasan dengan baik. Mendadak otaknya loading.
"Maksudnya, malam ini juga Anda mau pulang dengan keadaan seperti ini, Pak?"
"Hhhmm."
"Tapi, Anda masih terluka, Pak. Dan, sepertinya luka Anda membutuhkan perawatan lebih." Nayra masih sempat memprotes perkataan Rainer.
"Aku tidak akan mengulang perkataanku dua kali, Nay. Segera urus administrasi rumah sakit. Aku mau pulang sekarang." Rainer menatap tajam ke arah Nayra.
Bukannya takut, Nayra hanya bisa mendesahkan napas beratnya. Dia tidak akan bisa melawan perkataan atasannya tersebut. Nayra langsung bergegas menuju bagian administrasi.
Awalnya, Nayra tidak mendapatkan izin untuk membawa Rainer pulang. Namun, setelah mengetahui siapa Rainer sebenarnya, pihak rumah sakit mengizinkannya pulang malam itu.
Siapakah Rainer sebenarnya? Apakah dia orang yang berpengaruh? Dan, jawabannya adalah iya. Rainer Reksa Hutama adalah seorang pengusaha yang cukup terkenal. Dia mengikuti jejak sang ayah, William Reksa Hutama, sebagai pengusaha. Ditambah lagi, sang ibu, Aida Namira, adalah salah satu mantan anggota dewan yang cukup disegani.
Setelah mendapatkan izin, Nayra segera mengurus administrasi Rainer. Rainer akan mendapatkan perawatan khusus di rumah. Dia akan diperiksa oleh dokter khusus yang sudah disiapkan untuknya selama menjalani perawatan.
Begitu menyelesaikan administrasi rumah sakit, Nayra segera bergegas kembali menuju ruang perawatan Rainer. Dia melihat sang atasan sudah duduk bersandar di atas brankar. Karena saat itu Rainer tidak memakai baju, dia meminta Nayra untuk membantunya memakai baju.
"Bapak masih sakit ini, kenapa harus memaksa pulang sih. Nanti kalau di rumah, siapa yang akan membantu Anda memakai baju seperti ini?" Nayra masih menggerutu saat membantu memasukkan lengan Rainer ke dalam lengan bajunya.
"Berisik!"
"Cckkk." Nayra hanya bisa mencebikkan bibirnya. Dia sudah terbiasa dengan sikap arogan sang atasan.
Beberapa saat kemudian, Nayra sudah selesai membantu mengancingkan baju pasien Rainer. Ya, dia terpaksa memakai baju pasien karena tidak ada baju ganti selain itu.
"Nah, sekarang sudah selesai. Saya akan menghubungi Pak Budi dulu," ucap Nayra sambil hendak beranjak menuju sofa untuk mengambil ponselnya yang berada di dalam tas.
Namun, langkah kaki Nayra terhenti saat Rainer memanggilnya.
"Tunggu dulu. Bantu aku ke kamar kecil. Aku ingin buang air kecil." Wajah Rainer terlihat memerah saat mengatakan hal itu. Ya, meskipun dia terkesan sangat arogan, namun Rainer masih memiliki rasa malu jika berhubungan dengan aktivitas pribadinya.
Nayra hanya bisa mendesahkan napas berat ke udara. Setelahnya, dia kembali berjalan mendekati brankar dan berniat membantu Rainer. Nayra membuka selimut yang sejak tadi menutupi tubuh Rainer. Hingga sebuah pemandangan tak biasa terlihat oleh mata polosnya.
"Astaga, Pak! Lo-lontongnya tidak dibungkus?!"
\=\=\=\=
Jangan lupa tinggalkan jejak buat othor ya. Klik favorit, like dan komen yang buanyaakk. Terima kasih. 🤗
Nayra masih bersungut-sungut kesal setelah kedua matanya ternodaii dengan pemandangan yang tidak seharusnya tersebut. Sebenarnya, bukan munafik jika Nayra tidak pernah melihat hal-hal seperti itu di beberapa media sosial yang sempat bocor.
Namun, saat itu pertama kali bagi Nayra melihat secara langsung onderdil privat laki-laki secara langsung. Meskipun hanya siluet, namun Nayra bisa dengan sangat jelas melihat bentuk dan ukuranya yang, ah sudahlah.
Nayra hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir bayangan yang dikhawatirkan akan mengendap lama di dalam otaknya.
Sambil menunggu Rainer selesai di kamar mandi, Nayra memutuskan untuk menghubungi sopir pribadi Rainer. Nayra juga mengetahui jika orang tua Rainer sedang berada di luar negeri. Dia juga tidak mungkin menghubungi orang tua Rainer tentang musibah yang dialami putra semata wayang mereka.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara Rainer yang memanggil Nayra. Dia ternyata sudah selesai di dalam kamar mandi. Dengan sangat terpaksa, Nayra memberanikan diri untuk memasuki kamar mandi tersebut untuk membantu Rainer.
Sebenarnya, Rainer tidak hanya terluka pada bagian lengan kanan dan wajahnya saja. Namun, kaki kanannya juga mengalami benturan dan sedikit terjepit pintu mobil. Hal itu yang membuat Rainer kesulitan berjalan sendiri.
Sambil menyipitkan mata, Nayra membantu memapah Rainer kembali menuju brankarnya. Setelahnya, Nayra buru-buru menarik selimut dan menutupi bagian bawah tubuh Rainer yang terlihat mengembung tersebut. 🤧
Rainer bukannya tidak menyadari tingkah Nayra, namun dia terpaksa pura-pura tidak melihat. Dia tidak mungkin meminta Nayra membelikan pakaian dalam untuknya.
Setelah Rainer duduk nyaman di atas brankar, Nayra langsung memberitahu jika dia sudah menghubungi sopir keluarganya.
"Saya sudah menghubungi Pak Budi untuk menjemput Anda, Pak," ucap Nayra.
Rainer menoleh menatap wajah Nayra dengan tajam. "Kamu memberitahu, Mama juga?" tanyanya.
Nayra menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Saya tidak mungkin memberitahu Nyonya atau Tuan tentang kondisi Anda. Mereka pasti sangat mencemaskan Anda. Saya juga sudah memberitahu Pak Budi untuk merahasiakan hal ini tadi."
Rainer terdengar menghembuskan napas lega. Setelah itu, Rainer mengambil ponselnya dan mulai menekuni benda pipih tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh Nayra setelah mengambil tempat duduk di sofa tak jauh dari brankar Rainer.
Beberapa saat kemudian, Rainer meletakkan ponselnya di atas nakas dan menoleh ke arah Nayra.
"Selama aku sakit, aku ingin kamu pindah ke apartemen ku," ucap Rainer sambil menoleh ke arah Nayra.
Nayra yang saat itu tengah mengotak atik ponsel pun, langsung menatap ke arah Rainer. Keningnya berkerut saat menatap atasannya tersebut.
"Kenapa saya harus pindah ke apartemen, Anda? Apa yang mau Anda lakukan? Anda jangan macam-macam ya, Pak." Nayra terlihat gusar. Pikirannya sudah mulai membayangkan adegan aye-aye yang sudah mulai berseliweran di kepalanya.
Rainer menolehkan kepalanya dan menatap wajah Nayra dengan tatapan garang.
"Apa yang ada di otakmu itu, hah?! Jangan berpikiran aneh-aneh. Aku nggak tertarik dengan tubuhmu!" Rainer mendengus kesal sambil mengalihkan tatapannya kembali pada ponsel saat melihat sebuah notifikasi.
Nayra masih tak bergeming di tempatnya. Bibirnya mengerucut sambil menatap wajah atasannya yang menyebalkan tersebut.
"Lalu, kenapa saya harus tinggal di apartemen Anda? Apa maksudnya itu?"
"Kamu tidak lihat aku tidak bisa menggerakkan tangan kanan dan kakiku? Mulai sekarang sampai aku sembuh, kamu yang akan menjadi tangan kananku," ucap Rainer sambil masih menatap ponsel di tangan kirinya.
Apa-apaan itu? Tangan kanan? Apa maksudnya itu? Apa aku juga akan membantunya mandi? batin Nayra kesal.
Rainer yang melihat ekspresi Nayra, langsung memelototkan kedua bola matanya. Tatapan mata tajamnya langsung menghunus tajam ke arah Nayra. Merasa ada yang sedang menatapnya, Nayra kini menolehkan kepala. Dia sedikit kaget saat mendapati tatapan tajam dari sang atasan.
"A-ada apa, Pak?" Nayra bertanya.
"Apa yang kamu pikirkan, hah? Jaga pikiran kamu. Jangan suka tamasya. Kamu tidak cukup menarik untuk membuatku tergoda," ucap Rainer sambil mendengus kesal.
Ingin sekali Nayra mencabik-cabik mulut atasannya tersebut. Bibirnya benar-benar tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang manis. Sangat berbeda dengan wajahnya, ups. Nayra merutuki pikiran konyolnya.
Meskipun begitu, Nayra tidak menyangkal jika sang atasan memang memiliki pesona yang sulit untuk ditolak, kecuali mulut lemesnya.
Ya, Rainer Reksa Hutama memang memiliki pesona yang bisa memikat para perempuan di luar sana. Dengan tinggi seratus delapan puluh dua sentimeter, Rainer memiliki proporsi tubuh yang seimbang. Ditopang dengan wajah putih, bersih, dengan hidung mancung serta tatapan mata elangnya, mampu membuat hati orang yang berdekatan dengannya kebat kebit.
Namun, hal itu tidak berlaku dengan Nayra. Nayra, sosok gadis yang tidak bisa dibilang jelek tersebut, benar-benar tidak tertarik dengan Rainer, ehm atau mungkin belum. Entahlah.
Lalu, jika Nayra tidak menyukai sifat Rainer, kenapa dia masih bertahan bekerja menjadi sekretaris yang merangkap sebagai asisten pribadi Rainer? Dan, jawabannya adalah karena sang big bos, alias William Reksa Hutama, ayah Rainer.
Sebenarnya, pekerjaan yang diperoleh Nayra tersebut berawal dari magang yang dilakukannya saat masih kuliah. Dia mendapatkan kesempatan untuk magang di RH Group sebagai salah satu staf sekretaris presdir saat itu.
Karena kemampuan Nayra yang cukup cekatan dan mampu menguasai bahasa Inggris dengan sangat baik, dia mendapatkan tawaran kontrak untuk bekerja di sana setelah lulus kuliah. Tentu saja hal itu tidak disia-siakan oleh Nayra.
Dan benar saja, setelah lulus kuliah, Nayra bekerja sebagai sekretaris dua presdir RH Group yang tak lain adalah William, ayah Rainer. Nayra menandatangani kontrak kerja selama lima tahun di RH. Dia begitu bahagia karena mendapatkan pekerjaan yang cukup baik tanpa perlu bersusah payah mendaftar kesana kemari.
Namun, rasa bahagia itu tidak berlangsung lama. Memasuki tahun kedua, sang presdir melimpahkan semua pekerjaannya kepada putra tunggalnya yang untuk menggantikan kedudukannya di perusahaan. Sementara William dan sang istri, memilih mengurus perusahaan yang berada di Australia, negara asal orang tua William.
Mau tidak mau, Nayra mengikuti perintah sang atasan. Hingga sejak saat tiga tahun yang lalu, Nayra menjadi sekretaris sekaligus asisten Rainer yang menggantikan kedudukan sang ayah.
\=\=\=
Jangan lupa kasih dukungan buat othor ya. Klik berlangganan, like, dan komen sebanyak-banyaknya. Kasih hadiah yang banyak juga othor terima dengan ikhlas kok. Hehehe. 🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!