°°°
Daniel Starles terpaksa pulang ke negaranya karena ancaman dari ayahnya. Sang ayah menyuruhnya segera kembali untuk memimpin perusahaan atau harus segera menikah. Sementara Daniel belum mempunyai kekasih saat ini.
Diusianya yang ke dua puluh lima tahun, Daniel berhasil menjadi dokter bedah handal dan berpengalaman. Dia benar-benar bekerja keras selama beberapa tahun ini untuk membuktikan pada sang ayah, bahwasanya dirinya mampu dan berhasil tanpa bantuan sang ayah.
Daniel berhasil berdiri sendiri dan membesarkan namanya sebagai dokter bedah profesional di negara K.
Namun sayang, sang ayah nampaknya masih saja mengusiknya agar segera kembali dengan berbagai alasan dan cara. Bahkan mengancam akan menghancurkan karirnya sebagai dokter muda.
"Dad, aku sudah bilang tidak ingin kembali saat ini. Jangan memaksaku untuk pulang karena tidak akan mempan." Daniel yang baru saja menyelesaikan operasi kesal pada ayahnya.
Dia hanya ingin menjadi dokter dan menyelamatkan nyawa manusia, lalu dimana letak kesalahannya. Daniel heran pada ayahnya yang tidak pernah setuju dengan pilihannya.
📞"Daddy tidak mau tau, kau harus pulang sekarang atau karirmu sebagai dokter cukup sampai disini dan menjadi CEO di perusahaan Daddy." Sang ayah tegas tidak mau mendengar bantahan apapun dari sang putra satu-satunya. Beliau tau anaknya paling tidak mau menjadi CEO dan meneruskan perusahaan orangtuanya.
Daniel menghela nafasnya setelah panggilan telepon itu berakhir. Dia melemparkan begitu saja ponsel mahalnya ke atas meja. Daniel paling tidak suka dengan ayahnya yang pemaksa dan tidak bisa dibantah.
Arrggghh...!!
Daniel menjatuhkan diri di sofa yang ada di ruang kerjanya, menengadahkan kepalanya dan menatap langit-langit ruangan itu.
Pilihan yang sulit untuknya, cita-citanya sebagai dokter muda yang hebat baru saja diraihnya tapi sang ayah malah menyuruhnya kembali. Entahlah, dari kecil Daniel sama sekali tidak tertarik pada dunia bisnis sang ayah. Dia lebih suka dengan dunia medis mengikuti jejak kakeknya.
"Kenapa daddy egois, bukankah dia bilang kalau aku sudah berhasil menjadi dokter yang hebat, dia tidak akan mengganggu pekerjaan ku lagi. Lalu sekarang apa? Dia seenaknya menyuruh aku pulang dan meninggalkan pekerjaan sebagus ini."
Ya apa yang Daniel capai saat ini tidaklah mudah. Dia benar-benar berjuang dari nol tanpa bantuan ayahnya sedikitpun. Hal itulah yang juga membuatnya ditinggalkan oleh cinta pertamanya semasa masih menjadi mahasiswa magang di rumah sakit itu. Saat itu dia tidak punya apa-apa dan tidak ingin menggunakan fasilitas apapun dari ayahnya.
Teman-temannya mengira dia hanya anak dari orang biasa, termasuk juga sang mantan. Sebagai mahasiswa magang tentu dia harus menghemat uang untuk makan dan tempat tinggal. Boro-boro mampu membelikan pacar barang-barang mahal, mentraktir makanan di kantin rumah sakit saja Daniel tidak mampu saat itu.
Daniel mengira pacarnya saat itu adalah wanita yang sangat baik karena mau menerima dirinya apa adanya. Sampai suatu saat Daniel berniat memberitahu statusnya sebagai putra dari pemilik perusahaan star company. Namun, dia lebih dulu mengetahui satu kenyataan yang sangat menyakitkan.
Wanita yang masih berstatus sebagai pacarnya datang memberikan sebuah undangan pernikahan. Yang diatasnya tertulis nama pacarnya tapi nama pengantin prianya bukanlah dirinya. Melainkan seorang laki-laki yang sangat ia kenal karena mereka bertiga sudah bersahabat sejak pertama masuk kuliah.
Hancur sudah hati Daniel saat itu, dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Usut punya usut ternyata wanita yang Daniel anggap beda dari wanita lain ternyata lebih memilih laki-laki itu karena kekayaannya. Daniel hanya tersenyum menerima undangan itu, ia bertekad untuk menjadi dokter terbaik di rumah sakit itu untuk membuat sang mantan menyesal.
Dan kini Daniel telah berhasil, hanya dengan menjentikkan jarinya saja para gadis rela antri untuk mendekat. Namun, Daniel sama sekali tidak tertarik dengan para wanita disekitarnya. Dengan berdalih belum ingin menjalin hubungan, dia menolak para wanita itu.
Padahal di hatinya hanya ada nama sang mantan yang merupakan cinta pertamanya. Ya Daniel masih belum bisa membuang perasaannya, walaupun wanita itu telah menyakiti hatinya tapi dia tidak bisa membencinya. Dia wanita pertama yang mampu membuat seorang Daniel jatuh cinta. Jadi tidak mudah untuk melupakan kenangan manis di antara mereka.
Daniel memejamkan matanya, memikirkan kembali perintah sang ayah. Pulang berarti harus siap menghadapi ayahnya setiap hari dengan sindiran-sindiran yang pasti menusuk relung hatinya. Belum lagi ada kemungkinan akan bertemu dengan cinta pertamanya yang saat ini tinggal di negara S. Daniel belum siap kalau harus bertemu dengan wanita itu dan melihat ia bahagia dengan laki-laki lain.
"Kenapa juga aku harus ambil pusing, negara S bukanlah negara kecil. Kemungkinannya sangat kecil untuk bertemu dengan mereka. Ya kenapa harus aku yang menghindar, mereka yang berkhianat jadi aku tidak perlu takut lagi bila bertemu dengan mereka."
Daniel sudah bertekad untuk pulang, dia sudah selama ini menyembuhkan luka di hatinya. Walaupun mungkin akan sulit kalau bertemu dengan sepasang pengkhianat itu tapi dia tidak mau lagi terus menghindar. Mungkin dengan menghadapi kenyataan barulah dirinya bisa sepenuhnya merelakan masa lalunya.
Daniel mengambil ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan pada ibunya. Tentu saja karena dia tidak suka berkomunikasi dengan ayahnya yang selalu mengajak berdebat.
💌 Mom, sampaikan pada suamimu. Aku akan pulang dan bilang padanya jangan menyuruhku untuk terlibat di perusahaan.
Begitulah isi pesannya pada sang ibu.
Daniel beranjak dari sofa dan berjalan ke meja kerjanya. Duduk di kursi kebesaran untuk terakhir kalinya. Cukup sulit untuk mendapatkan posisi seperti sekarang tapi apa daya, dia tidak ingin berhenti menjadi dokter kalau tidak mengikuti perintah ayahnya.
"Selamat tinggal negara K, selamat tinggal kenangan pahit dan manis." Daniel mengusap meja kerjanya.
Beralih dari meja dan kursi kerjanya, Daniel berdiri di depan rak yang memajang foto-foto dan penghargaan yang telah ia terima. Penghargaan yang diraih dengan penuh perjuangan.
Mungkin Daniel memang masih bisa menjadi dokter di negaranya nanti tapi terlalu banyak kenangan di negara K yang sulit untuk ditinggalkan.
Daniel mulai memasukkan piala dan piagam penghargaan itu ke dalam kardus. Lalu beberapa barang miliknya yang ada di kantor itu. Selebihnya dia akan meninggalkannya di sana, sebagai kenang-kenangan. Walaupun nantinya mungkin akan disingkirkan kalau sudah ada penggantinya.
Setelah berpamitan dengan kepala rumah sakit dan para dokter juga perawat. Daniel pulang ke apartemennya, apartemen yang ia beli dari uangnya sendiri. Mengemasi beberapa baju dan barang lainnya, ia tidak membawa semua berharap suatu hari nanti dia bisa kembali ke negara K.
"Aku datang negara S... apa kau merindukanku?" ujarnya di atas balkon apartemennya, seraya memandangi indahnya kota dengan banyak gedung pencakar langitnya.
to be continue...
°°°
...Hai sobat-sobat othor tersayang 😍😍...
...Jangan lupa mampir ke novel baru othor. Ditunggu ya... ok ok....
...Judul: Nikahi Aku, Kak!...
°°°
Di perusahaan terbesar di negara S, seorang wanita sedang membantu atasannya untuk memimpin rapat. Pekerjaannya yang bagus dan sangat bisa diandalkan membuatnya sangat dipercaya oleh atasannya.
Mia Khalisa, seorang wanita berusia tiga puluh lima tahun. Bekerja di perusahaan Star company sebagai sekretaris CEO perusahaan itu. Sudah hampir sepuluh tahun dia bekerja di tempat itu, selama itu juga dia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk perusahaan. Pengorbanan dan dedikasi seorang Mia lah yang mampu membuatnya di percaya oleh atasannya.
Mia sedang berada di dalam ruangan CEO untuk melaporkan hasil rapat tadi.
"Bagus, kamu memang selalu bisa diandalkan," puji sang CEO yang tak lain adalah Alex Starles ayah dari Daniel Starles.
"Terimakasih Tuan, nanti anda ada pertemuan dengan investor dari negara P untuk membahas proyek pertambangan kita yang baru." Mia mengingatkan atasannya karena memang itu tugasnya sebagai sekretaris.
"Baiklah, nanti kamu tolong temani," ujar tuan Alex.
"Baik Tuan, saya permisi dulu." Mia yang sudah selesai dengan laporannya segera undur diri untuk kembali ke ruangannya.
"Tunggu Mia," ujar tuan Alex mencegah Mia yang hendak keluar dari ruangan itu.
"Apa ada lagi Tuan?" tanya Mia.
"Tolong kamu besok jemput putraku di bandara. Mungkin dia akan akan mendarat sekitar pukul tujuh pagi. Kamu bisa kan?" tanya tuan Alex.
"Tentu Tuan, besok saya akan menjemput tuan muda." Mia menyanggupi perintah dari atasannya, ya selain mengiyakan bukankah tidak ada pilihan lain untuknya. Sebagai bawahan Mia harus patuh dan siap akan segala perintah atasan. Dia tidak pernah pilih-pilih mengenai pekerjaan.
"Baguslah, kau bisa kembali ke ruangan mu."
Mia pun meninggalkan ruangan atasannya dan kembali ke meja kerjanya yang berada tidak jauh dari ruangan CEO tentunya.
Mia meletakkan setumpuk pekerjaannya di atas meja. Sedikit menyenderkan punggungnya untuk merilekskan tubuhnya sebentar. Bekerja sebagai sekretaris tidak semudah yang orang lain lihat. Bayangan menjadi sekretaris yang hanya duduk manis dengan cantik sama sekali tidak ada pada Mia.
Diusianya yang sudah sangat matang ini, seharusnya tinggal diam di rumah mengurus anak dan keluarga, tapi Mia sama sekali belum memikirkan hal itu. Menjadi tulang punggung keluarga membuatnya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, ibu dan adiknya.
Sang ayah pergi entah kemana saat Mia beranjak remaja tapi Mia malah bersyukur laki-laki itu pergi karena kerjanya hanya mabuk-mabukan dan bermain judi. Setiap hari melampiaskan amarahnya pada sang ibu jika tidak bisa mendapatkan uang untuk judi. Mia sangat muak dengan ayahnya sendiri, untunglah laki-laki itu tidak pernah lagi pulang semenjak Mia mengancam akan melaporkannya pada polisi.
Setelah kepergian ayahnya tak lantas membuat hidup Mia dan keluarga menjadi lebih baik. Dunia seakan hancur saat sang ibu di vonis menderita penyakit alzheimer. Mia harus berjuang keras mencari uang demi untuk berobat ibunya. Beruntung dia pintar dan mendapatkan beasiswa hingga ke jenjang sarjana.
Setelah lulus kuliah Mia bertekad melamar kerja di perusahaan besar agar mendapatkan gaji yang juga besar. Tentu demi ibunya. Saat itu tuan Alex kebetulan sedang mencari sekretaris dan Mia masuk dalam kandidat calon sekretaris.
Mia berjuang keras demi mendapatkan posisi itu dengan kemampuannya yang memang memiliki kepintaran. Hasilnya tuan Alex sangat menyukai kemampuan Mia yang mudah mengerti dengan sekali diajari dia bisa melakukannya dengan baik.
"Pagi Mia, pagi-pagi begini sudah suntuk aja itu muka. Ini kopi mu, americano tanpa gula," sapa salah satu staf kantor, dia Catty teman dekat Mia.
Setiap pagi dia tidak pernah absen untuk membawakan secangkir kopi untuk Mia.
"Terimakasih," ujar Mia, lalu dia mengambil kopi itu dan menyesapnya. Pahit memang tapi tidak sepahit hidupnya.
"Kenapa? Apa bos menyuruh hal yang aneh-aneh lagi?" tanya Catty sedikit berbisik karena tidak ingin ketahuan sedang membicarakan atasannya.
"Tidak ada, cuma tugas kecil saja. Besok mungkin aku akan datang terlambat tidak usah membelikan ku kopi." Mia kembali menyesap kopinya selagi panas, sedikit mengurangi rasa kantuknya.
"Kamu mau kemana, apa ada tugas di luar?" tanya Catty lagi yang selalu ingin tau.
"Aku mau menjemput anak Tuan Alex di bandara," jawabnya singkat karena masih menikmati kopinya.
"Maksudmu tuan muda Starles?"
Mia mengedipkan matanya mengiyakan tebakan Catty.
"Hai... kenapa kamu biasa saja yang mau kamu jemput itu tuan muda Daniel Starles. Pewaris tunggal Starles company, laki-laki tampan dan kaya." Catty sangat antusias menyebutkan tentang Daniel padahal dia sendiri belum pernah bertemu langsung hanya tau dari katanya, kata gosip yang tersebar di kantor itu.
"Aku harus apa? Dia juga manusia kan?" Mia acuh lebih memilih menikmati kopinya yang tak lagi panas.
"Kamu tau, seluruh wanita di perusahaan ini sangat menggilai nya. Secara siapa yang tidak ingin menjadi menantu tuan Alex. Aku kasih saran ya, besok kamu harus dandan yang cantik saat menjemputnya." Catty bergerak memutari meja mendekati temannya.
"Apa yang sedang kau lakukan, Cat?" Pekik Mia saat Catty melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya dan menarik pengait cepolan rambut yang membelenggu rambut indah milik Mia.
"Dengar, besok kamu tidak boleh memakai kacamata usang ini dan harus menggerai rambut indahmu ini. Come on Mia Khalisa, kamu itu cantik. Tidak perlu kamu berdandan seperti ini Mia, umurmu sudah kepala tiga. Kapan kamu akan mengakhiri masa lajang mu."
Catty benar mau sampai kapan, aku sendiri tapi terlalu banyak beban yang aku tanggung dan tidak ada laki-laki yang mau dengan wanita yang menanggung banyak beban. Mia dalam hatinya.
"Kembalikan Cat, dengarlah aku tidak butuh laki-laki. Aku masih bisa menghidupi diriku sendiri." Mia mengambil kembali kacamata yang ada di tangan Catty dan memasangnya kembali. Tidak lupa juga dia kembali menggulung rambutnya yang panjang.
"Kau butuh seseorang untuk bersandar Mia, kau tidak bisa selamanya sendiri. Sebagai teman aku hanya ingin melihat mu bahagia," ujar Catty.
"Aku paham Cat, cuma kamu yang memahami ku. Kalau aku kesepian nanti aku bisa menculik anakmu untuk menemani ku," balas Mia.
"Aahh tidak lagi, sudah cukup kamu membawanya setiap minggu. Ayahnya sampai mengeluh karena tidak bisa menghabiskan akhir pekan depan putranya sendiri." Catty melipat kedua tangannya, tentu wanita seumurannya memang sudah sewajarnya mempunyai anak.
"Kalian tinggal membuat satu lagi, saat aku membawa anakmu kalian kan punya banyak waktu untuk membuatnya," tukas Mia dengan gampangnya.
"Memang kamu pikir membuat anak segampang itu, kami juga harus memikirkan kedepannya. Masa depannya, biaya hidupnya dan untuk sekolahnya," protes Catty.
Kedua sahabat itu biasa saling ejek tapi sebenarnya mereka saling menyayangi. Mia selalu ada saat Catty membutuhkan begitupun sebaliknya.
°°°
Alur yang author buat memang selalu santai ya, jadi nggak tiba-tiba tidur satu ranjang 🙈
Jadi nikmati saja ceritanya 😘
Yuk like komen dan bintang lima.
Gomawo ❤️❤️❤️
°°°
Pulang dari kantor Mia langsung menuju apartemennya yang sekarang menjadi tempat tinggalnya beserta ibu dan satu adiknya yang masih kuliah.
Sudah Lima tahun Mia dan keluarga tinggal di sana. Setelah sebelumnya tinggal dengan berpindah-pindah tempat agar tidak diketahui ayahnya. Akhirnya Mia menemukan apartemen itu dengan keamanan yang ketat, setidaknya keluarganya akan aman bila tinggal di sana. Meskipun harga yang harus dibayar tidaklah murah, tapi itu sepadan dengan keamanan yang tinggi dari pihak apartement.
Mia menempelkan ibu jarinya pada gagang pintu sebagai sandi masuk ke apartemennya.
Klik
"Aku pulang," ujar Mia setiap kali ia baru saja masuk ke dalam apartemen nya. Dia melepaskan sepatu hak tingginya terlebih dahulu dan menggantinya dengan sandal rumahan.
"Kau sudah pulang nak, cucilah tanganmu. Kita makan bersama," ujar sang ibu yang bernama Emma.
Mia pun meletakkan tas kerjanya kemudian menuju tempat cuci tangan. Menuruti perintah sang ibu.
"Apa Felice sudah pulang, mah?" tanya Mia seraya mengeringkan tangannya dengan kain lap yang ada di dekat wastafel.
"Sudah, adikmu ada di kamar. Kamu panggilkan dia untuk makan," ujar ibu Emma yang sedang menata piring di atas meja makan.
Mia berjalan ke arah kamar adiknya, di depan pintu kamar yang bertuliskan Felice si anak manis itu, Mia berhenti saat mendengar suara cekikikan dari dalam kamar adiknya. Tanpa mengetuk pintu, Mia menerobos masuk dan tentu saja hal itu membuat si pemilik kamar protes keras.
"Kakak! Kenapa nggak ketuk pintu dulu," protes Felice seraya menyembunyikan ponselnya ke bawah bantal.
"Sedang apa kau tadi?" tanya Mia dengan tatapan penuh selidik, curiga dengan apa yang adiknya lakukan.
"Aku sudah besar Kak dan tidak perlu melaporkan apa saja yang aku lakukan pada kakak, aku juga butuh privasi." Felice tidak mau memberitahu kakaknya.
Mia menyipitkan matanya dan menatap adiknya, dia sadar kalau saat ini adiknya sudah mulai beranjak dewasa. Semakin dikekang maka akan semakin berontak, Mia harus bisa mendekati adiknya sebagai teman agar sang adik mau terbuka padanya.
"Keluarlah, mamah sudah menunggu di meja makan," ujar Mia kemudian dia keluar dari kamar adiknya. Salahnya yang terlalu sibuk bekerja sampai tidak punya waktu untuk sekedar menemani adiknya untuk berbagi cerita. Padahal diusianya sekarang, sang adik pasti sedang gampangnya mempunyai perasaan dengan lawan jenis.
"Sebentar lagi aku keluar," ujar Felice, dia kembali mengambil ponselnya yang tadi sempat ia sembunyikan.
Mia sudah bergabung bersama ibunya di meja makan. Dia yang sudah lelah dan lapar berniat ingin makan lebih dulu tanpa menunggu adiknya yang tak kunjung keluar dari kamarnya.
"Tunggulah adikmu, biar kita makan bersama," ujar ibu Emma pada putri tertuanya dan Mia pun kembali meletakkan sendok dan garpu yang sudah sempat ia pegang.
Tanpa rasa bersalah sudah membuat orang menunggu, gadis manis itu baru keluar dari kamarnya. Duduk di sebelah Mia dan langsung mengambil makanan di depannya.
Merasa sedang diperhatikan, Felice pun menoleh.
"Kalian tidak makan," ujarnya tanpa dosa.
"Kau datang terlambat lalu makan duluan mendahului kami. Sangat tidak sopan," sindir sang kakak yang sudah kelaparan sejak tadi.
"Hehe... maaf." Felice tersenyum memamerkan gigi kelincinya.
"Sudah sudah, ayo kita mulai makan," ujar ibu Emma menengahi kakak beradik itu.
Mereka akhirnya makan tanpa bersuara hingga selesai, hanya suara denting sendok dan garpu yang bersahutan.
Selesai makan, Mia membantu ibunya membereskan meja makan dan mencuci piring. Selelah apapun Mia, dia tetap tidak tega membiarkan ibunya melakukan pekerjaan rumah sendirian. Ya berbeda dengan Felice yang lebih cuek.
"Sampai kapan kau akan seperti ini nak?" tanya ibu Emma pada putrinya yang sedang mengelap piring yang telah dicucinya tadi.
"Seperti ini bagaimana mah, aku baik-baik saja dan aku cukup bahagia dengan seperti ini." Mia tau arah pembicaraan ibunya yang pasti mau membahas masalah pendamping hidup.
"Kau tidak mungkin seperti ini selamanya, carilah pria yang baik untuk menjaga kalian nantinya. Mamah tidak mungkin selamanya berada disisi kalian." Ibu Emma selalu mengkhawatirkan putri-putrinya, dia tau penyakitnya tidak mudah disembuhkan dan dia hanya berharap mempunyai waktu lebih lama untuk melihat putri-putrinya menikah.
"Mah, jangan membahasnya lagi. Aku sudah bilang kalau mamah pasti akan sembuh seperti sedia kala. Mamah akan selalu bersama kami selamanya." Mia meletakkan piring terakhir dan meninggalkan dapur, setiap kali berdua dengan ibunya pasti berakhir dengan membahas pasangan dan kematian.
Ibu Emma menatap putrinya dengan nanar, dia selalu merasa bersalah pada putri tertuanya. Karena dirinya sang putri harus bekerja keras bahkan terkadang pulang larut malam. Semua itu untuk biaya berobat dan terapi ibunya yang tidak murah. Sebenarnya ada opsi lain yaitu dengan jalan operasi tapi dokter di negara itu masih belum mumpuni untuk melakukannya.
,,,
Di dalam kamar Mia melepaskan jas dan kemeja nya, menyisakan baju mini nya saja dengan satu tali. Terlihat jelas tubuhnya sangat body goals, dengan bagian daaa da yang besarnya melebihi ukuran normal dengan perut yang kecil dan bo*ko ongnya yang padat berisi.
Aneh memang, dia lebih memilih untuk menutupi keindahan tubuhnya saat keluar dari rumah. Lebih memilih menggunakan kemeja yang ia kancing hingga leher dan jas yang kebesaran, ditambah rok yang panjangnya dibawah lutut. Sangat disayangkan wanita dengan tubuh indah seperti itu harus menutupi semuanya.
Ya sebenarnya bukan tanpa alasan, dulu Mia pernah berpacaran dengan teman sekantornya. Namun, dia selalu menatap ingin pada Mia yang dulu tidak berpenampilan seperti itu. Akhirnya Mia memilih untuk menutupi bagian tubuhnya yang mengundang gaa airah laki-laki.
Sayangnya si pria itu, lebih memilih wanita lain yang terlihat sek si dan mau menyerahkan tubuhnya. Padahal saat itu Mia dan pria itu sudah hampir menikah. Dengan teganya pria itu berselingkuh dengan alasan Mia terlalu sibuk dan kuno, karena tidak mau melakukan hubungan ba* daaan sebelum menikah.
Mia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, jika mengingat hal itu bukannya marah karena telah dikhianati tapi marah pada dirinya sendiri yang sudah buang-buang waktu dan uang untuk berhubungan dengan laki-laki seperti itu. Mia malah bersyukur karena tak jadi menikah dengan pria itu.
Jika mengingat perkataan ibunya, Mia selalu gundah gulana. Ia sudah berjuang sejauh ini, ia tak akan membiarkan ibunya meninggalkan mereka dengan cepat. Mia terus mencari informasi mengenai dokter ahli bedah di negara itu. Mungkin bisa ke luar negeri, tapi uang yang Mia kumpulkan belum cukup kalau untuk hidup di luar negeri. Belum lagi adiknya sedang kuliah.
"Ayo Mia semangat... kamu pasti bisa mengumpulkan uang untuk mamah."
to be continue...
°°°
Jangan lupa tap love, like dan komen 😍😍
Sementara visual aku hapus dulu sampai lolos kontrak ini novel.🙏🙏
...Ini Mia Khalisa kalau lagi di rumah 😍😍...
...Beda lagi kalau lagi di kantor ya....
...Umurnya memang 35 tapi wajahnya baby face aslinya dan bodynya jelas adu hai 😘...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!