NovelToon NovelToon

Gadis SMA Kesayangan Om Duda

PRO-LOE-GUE

Gabriel keluar dari ruang Tata Usaha sebuah SMA swasta di kota tempatnya tinggal saat ini. Pria itu mengusap rambutnya sendiri dan sedikit meringis mengenang masa-masa lima belas tahun yang lalu saat dirinya masih mengenakan seragam putih abu-abu.

Rasanya baru kemarin itu semua terjadi. Namun siapa menyangka kalau kini usia Gabriel sudah menginjak kepala tiga. Tiga puluh dua tahun mungkin memang usia yang tak lagi muda bagi kebanyakan orang, tapi jiwa Gabriel masih tetap terasa muda sekarang.

Nyatanya, Gabriel masih berada di SMA lamanya. Bukan mengurus pendaftaran tentu saja! Tapi mengurus ijazahnya yang kebetulan hilang dan terselip entah kemana. Masih bagus sekolah selalu punya arsip cadangan kalau hal tak diinginkan seperti ini terjadi. Dan Gabriel benar-benar terselamatkan sekarang.

Triiiiiiiing!

Suara lonceng panjang membutarkan lamunan Gabriel. Meskipun sudah lima belas tahun berlalu, bunyi bel di sekolah ini ternyata masih belum berubah.

Gabriel mengulas senyum tipis saat beberapa siswa mulai terlihat menghambur keluar dari kelas masing-masing. Raut lelah setelah belajar, membuat Gabriel kembali bernostalgia tentang dirinya dulu yang juga pernah di posisi tersebut. Bagi Gabriel, masa-masa SMA adalah masa-masa paling menyenangkan karena Gabriel bisa main sepuasnya tanpa memikirkan beban hidup ataupun anak yang merengek minta jajan.

Eh!

Maaf, Queena!

Papi tak ada maksud untuk menyindirmu!

Gabriel tersenyum sendiri dan mendadak ingat pada Queena Alesha Ferdinand, sang putri yang kini sudah genap berusia dua belas tahun. Waktu benar-benar berlalu dengan cepat. Rasanya baru kemarin Gabriel menjadi papih muda untuk Queena karena dirinya yang memang baru genap berusia dua puluh tahun saat menyandang gelar sebagai seorang Papi.

Ya, andai bukan karena sebuah kecelakaan, Gabriel juga mungkin baru akan menyandang status Papi setelah usianya diatas dua puluh lima tahun. Tapi Gabriel tak mau menyalahkan siapapun, karena semua yang terjadi pada hidupnya adalah suratan takdir, termasuk saat Hana pergi meninggalkan ia dan Queena untuk selamanya, sembilan tahun yang lalu. Semuanya adalah takdir.

"Sashi! Tungguin aku!"

Bruuk!

"Aduuh!" Teriakan disertai tubrukan dari seorang gadis yang kini jatuh terkapar membuyarkan lamunan Gabriel.

Eh, tidak sampai terkapar. Hanya terduduk di depan Gabriel saja, si gadis berponi dengan rambut yang diikat ala ekor kuda tersebut. Namun saat Gabriel hendak membantunya berdiri, gadis itu sudah bangkit sendiri dengan cepat.

"Friska! Kamu tidak apa-apa?" Teman-teman si gadis sudah menghampiri gadis bernama Friska tersebut.

"Iya, nggak apa-apa! Jangan tinggalin aku makanya!" Omel Friska pada teman-temannya.

"Iya, makanya jangan lelet! Yuk, ah!" Ajak teman-teman Friska selanjutnya.

"Maaf, ya, Om!" Ucap Friska sekilas pada Gabriel, sebelum kemudian gadis itu berlalu bersama teman-temannya menuju ke pintu utama sekolah.

Gabriel tersenyum sendiri dan mengikuti langkah rombongan gadis SMA tadi, karena Gabriel juga hendak keluar menuju ke halaman parkir. Urusan Gabriel sudah selesai dan pria itu ingin secepatnya kembali ke kantor Steinberg Company.

"Halo! Iya ini Friska! Maaf ini dengan siapa, ya?" Gabriel menghentikan langkahnya sejenak, saat ia melihat gadis bernama Friska yang tadi menabraknya sedang mengangkat telepon di depan pintu utama sekolah.

"Apa? Mama dan Papa di rumah sakit? Rumah sakit mana?" Lamat-lamat, Gabriel mendengar Friska yang menyebut-nyebut tentang rumah sakit.

"Iya, iya, Pak! Saya ke sana secepatnya!" Gadis bernama Friska itu menyimpan ponselnya dengan tergesa, lalu berlari ke arah gerbang sekolah. Tak berselang lama, sebuah taksi berhenti dan Friska langsung naik ke dalamnya, sebelum kemudian taksi melaju meninggalkan sekolah.

Ck!

Gadis kaya!

Pulang sekolah saja naiknya taksi!

Gabriel hanya bergumam seraya mengul*m senyum sebelum kemudian bapak satu anak itu mengambil motornya, dan ikut meninggalkan sekolah, menuju ke kantor Steinberg Company.

****

"Friska Agustina?" Tanya seorang polisi pada gadis yang sejak tadi duduk termenung sendirian di ruang tunggu rumah sakit. Gadis itu segera mengangkat wajahnya.

"Iya, saya Friska Agustina, Pak!" Jawab Friska cepat.

"Ayo ikut ke dalam!" Ajak polisi tadi.

"Papa dan Mama saya baik-baik saja, kan, Pak?" Tanya Friska harap-harap cemas.

"Kau lihat saja sendiri," ujar polisi itu lagi seraya membuka pintu ruang UGD dan mempersilahkan Friska untuk masuk ke dalam.

Friska masuk dengan langkah gemetar, saat gadis itu melihat dua tubuh yang terbaring di atas bed perawatan yang terletak bersebelahan.

"Mama!" Suara Friska tercekat di tenggorokan saat melihat kondisi sang mama yang begitu memprihatinkan.

Friska beralih pada sang Papa yang kondisinya tak jauh berbeda dengan kondisi sang mama.

"Papa dan mama saya akan sembuh, kan, Dok?" Tanya Friska pada dokter yang berada di ruangan tersebut. Tadi saat di sekolah, yang menelepon Friska adalah pihak kepolisian yang mengatakan kalau papa dan mama Friska baru saja mengalami kecelakaan.

"Kami akan berusaha sebaik mungkin, Dik!" Ucap dokter menenangkan Friska.

Friska kembali menghampiri papa dan mamanya dan wajah gadis delapan belas tahun itu terlihat sendu.

"Mama, Papa, cepatlah sembuh dan bangun!"

"Friska!" Panggil seorang polisi wanita yang sudah masuk ke dalam ruang UGD.

"Iya, Bu Polisi. Ada apa lagi?" Tanya Friska seraya mengusap airmata di kedua pipinya.

"Bisa ikut kami sebentar? Ada hal penting yang mau kami sampaikan."

"Hal penting apa?" Tanya Friska bingung seraya mengikuti langkah polisi wanita tadi dan keluar dari UGD.

Di luar ruangan, sudah banyak orang dari pihak kepolisian dan entah dari amna. Yang jelas mereka semua berpakaian rapi serta membawa beberapa map di tangannya.

"Ini siapa?" Tanya seorang laki-laki yang seusia dengan Papa yang mengenakan jas dan kemeja rapi.

"Ini putri tunggal Prastawa dan Lisa."

"Pak, ini sebenarnya ada apa?" Tanya Friska semakin bingung.

"Siapa nama kamu, Adik?" tanya bapak-bapak berjas tadi.

"Friska," jawab Friska yang merasakan sesuatu yang janggal.

"Usia?"

"Delapan belas tahun, Pak! Ini bapak-bapak darimana dan ada urusan apa dengan Papa Mama saya?" Cecar Friska menatap bergantian pada orang-orang asing yang mengelilinginya.

"Jadi begini, Friska!"

"Kami harap kamu bisa tabah dan sabar setelah mendengar berita ini."

"Papa dan Mama kamu sudah terbukti melakukan penggelapan dana dari pemerintah."

"Tidak mungkin?" Friska menggeleng-gelengkan kepalanya dan merasa tak percaya.

"Rumah, mobil, serta semua aset milik kedua orangtuamu terpaksa harus kami sita, Friska! Karena itu semua hasil pencucian uang yang digelapkan oleh kedua orang tuamu."

"Tapi Mama dan Papa masih sekarat!" Friska sudah berurai airmata sekarang.

"Penahanan akan kami tangguhkan menunggu Pak Prastawa dan Ibu Lisa pulih. Tapi kasus ini tetap akan bergulir dan semua aset akan kami sita sebelum kami kembalikan pada negara."

"Jadi mulai besok, kami harap kamu sudah mengemasi semua barang-barang kamu dan meninggalkan rumah kedua orang tua kamu, Friska!"

"Lalu saya harus tinggal dimana, Pak?"

.

.

.

Hai!

Kita ketemu Friska dan Gabriel disini.

Gabriel Ferdinand adalah saudara kembarnya Gabrian Ferdinand (calon suami Ayunda yang meninggal H-1 sebelum pernikahan) Gabriel sudah muncul di "Beauty & Berondong" bab 33, 54, 55, 59

Friska Agustina tokoh baru ya.

Sehari 2 eps. Semoga bisa konsisten.

Konflik aku bikin seringan mungkin ala anak remaja aja kayaknya. Kan Friska masih remaja 😌😁

Jangan kaget kalo nanti pas flashback masalalu Gabriel, Ayunda nongol lagi 😅😅

Terima kasih yang tetap setia mengikuti cerita othor.

Silahkan like biar othornya bahagia.

KERJA APA?

Friska datang ke sekolah dengan raut wajah lesu. Jika kemarin Friska masih bisa naik taksi, pagi ini Friska terpaksa naik angkot demi menghemat pengeluaran. Tadi malam Friska sudah menghitung dan mengumpulkan uang yang masih ia miliki karena Friska butuh rumah kontrakan baru atau minimal kost-kostan untuk berteduh dari panas dan hujan.

Baju dan buku-buku Friska terpaksa Friska titipkan di rumah sakit di dalam kamar perawatan sampai Friska dapat kost-kostan baru. Sepertinya Friska juga harus mulai memikirkan cara mencari uang tambahan agar ia tak putus sekolah. Tapi pekerjaan macam apa yang bisa dilakukan oleh seorang Friska yang hidupnya selalu dimanja sejak lahir?

Friska tak pernah mencuci piring atau turun ke dapur seumur hidupnya, karena sejak ia kecil sudah punya pengasuh dan maid yang selalu memenuhi semua kebutuhan Friska. Mama Lisa dan Papa Pras juga sangat memanjakan Friska dan membelikan apa saja yang Friska inginkan. Sebelum kemudian Friska sadar kalau semua uang yang dipakai oleh Papa dan Mamanya untuk memanjakan Friska itu adalah uang hasil korupsi.

Astaga!

Friska adalah anak seorang koruptor! Apa kabar nanti kalau teman-teman di sekolah tahu?

"Fris! Kok melamun?" Teguran dari Sashi, sahabat baik Friska di sekolah membuyarkan lamunan gadis delapan belas tahun tersebut.

"Eh, nggak kok!"

"Siapa yang melamun?" Jawab Friska sedikit tergagap.

"Ya kamu itu! Barusan melamun, makanya aku tegur biar nggak kesambet kunti penunggu sekolah," kikik Sashi yang langsung berhadiah cubitan di perut dari Friska.

"Sembarangan!" Gerutu Friska yang kini merengut. Sementara Sashi masih asyik terkikik seolah tanpa dosa.

"Ngomong-ngomong, pekerjaan yang gampang dilakuin tapi gajinya gede apa ya, Shi?" Tanya Friska meminta saran dari Sashi. Teman Friska ini selalu punya banyak akal. Jadi mungkin Sashi juga punya ide atau masukan untuk Friska mencari pekerjaan.

Friska benar-benar buta masalah pekerjaan.

"Ngepet aja gimana, Fris? Cuma jagain lilin nanti dapat duit banyak," jawab Sashi asal disusul dengan gelak tawa dari sahabat Friska yang sedikit somplak tersebut.

"Ngepet apaan?" Tanya Friska polos dan bingung.

"Ngepet. Jadi pig ngepet," jelas Sashi yang malah membuat Friska semakin bingung.

"Pig ngepet? Warnanya pink?"

Sashi tertawa terbahak-bahak melihat kepolosan Friska.

"Iya! Warnanya ping atau rainbow biar cute!" Jawab Sashi di sela-sela gelak tawanya.

"Sashi aku serius! Pig Ngepet apaan, sih?" Tanya Friska seraya menghentak-hentakkan kakinya karena kesal.

"Emang kamu cari kerjaan kenapa, sih? Uang jajan dari papa mama kamu kurang?" Sashi balik bertanya dan merasa kepo.

"Mau buat bayar kost!" Jawab Friska seraya merengut.

"Seriously? Kamu diusir dari rumah, Fris?" Sashi sudah merengkuh kedua pundak Friska dan melempar tatapan horor penuh selidik pada Friska.

"Iya. Rumah papa mama disita. Trus sekarang papa mama lagi dirawat dirumah sakit karena habis kecelakaan," Friska mulai menangis dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Aku bingung harus tinggal dimana sekarang, Shi! Aku udah jatuh miskin dan nggak punya apa-apa lagi!"

"Duit aku tinggal lima ratus ribu dan aku butuh tempat tinggal!" Tangis Friska semakin menjadi dan Sashi yang tadi sibuk menertawakan Friska, kini sudah ganti memeluk sahabatnya tersebut.

"Kamu tinggal sementara di rumah aku aja bagaimana? Mama dan papa aku pasti ngijinin, kok!" Tawar Sashi pada Friska.

"Aku mau kerja, Shi! Biar bisa lanjut sekolah," curhat Friska pada Sashi.

"Tapi kerja apa, Fris? Kamu kan nggak ada skill apa-apa. Baru naik ke kelas dua belas juga."

"Tapi kalau aku berhenti sekolah sekarang nanggung, Shi! Tinggal setahun lagi," Friska kembali menangis tergugu

"Iya juga, sih! Papa mama mungkin nggak keberatan nampung kamu di rumah. Tapi buat biaya sekolah berat juga. Papa dan Mama masih biayain aku dan abang Jimmy juga.

"Trus aku harus gimana?" Tanya Friska pada Sashi lagi.

"Gimana, ya?" Sashi meletakkan telunjuknya di dagu dan tampak berpikir.

"Kalau bisa, aku mau nyari kerjaan itu yang enak tapi gajinya gede," ujar Friska lagi mengungkapkan ekspetasinya.

"Kerja apaan itu? Kayak Kak Rasti itu, ya?"

"Kak Rasti?" Friska mengerutkan kedua alisnya.

"Kakak tingkat kita yang baru lulus tahun ini. Aku dengar dia punya pekerjaan part time sepulang sekolah yang bayarannya itu lumayan. Kerjaannya cuma jalan-jalan," cerita Sashi yang langsung membuat Friska penasaran.

"Serius? Jalan-jalan doang dapat gaji lumayan? Aku mau juga kalau kayak gitu!" Ucap Friska antusias.

"Nanti kita ketemuan sama Kak Rasti kalau begitu! Kita tanya-tanya barangkali ada lowongan buat kamu!" Ujar Sashi yang langsung membuat Friska mengangguk setuju.

"Udah, ya! Jangan sedih-sedih lagi!" Sashi merangkul Friska dan dua gadis remaja tersebut segera menuju ke kelas bersamaan dengan bel masuk yang sudah berbunyi.

****

"Jadi sugar baby buat Om Om. Mau?" Ujar Kak Rasti saat Friska dan Sashi bertanya perihal pekerjaan enak bergaji besar.

Friska dan Sashi sontak melongo dengan jawaban Kak Rasti tersebut.

"Sugar baby? Bayi gula maksudnya, Kak?" Tanya Friska polos yang langsung membuat Kak Rasti tertawa kecil.

"Masih polos ternyata kamu!" Kak Rasti mengetuk kening Friska yang tentu saja langsung membuat gadis itu merengut.

"Sugar baby itu maksudnya, kita harus selalu ada waktu buat ngasih perhatian ke sugar daddy kita. Entah itu tanya udah makan belum, udah mandi belum. Trus kalau daddy sedang butuh ditemani ke karaoke misalnya, ya kita harus selalu siap menemani."

"Daddy disini maksudnya daddy-nya siapa?" Tanya Friska lagi tetap dengan raut polosnya.

"Ya daddy-nya kita lah! Yang ngasih duit jajan ke kita!" Kak Rasti memamerkan gepokan uang berwarna merah di tangannya yang langsung membuat Friska menelan ludah dan matanya berubah hijau dalam beberapa detik.

Astaga!

Eling, Friska!

Eling!

"Kenapa disebut Daddy? Memangnya dia udah tua dan udah daddy daddy?" Tanya Friska lagi semakin penasaran.

"Ada yang tua, ada juga yang kadang masih sedikit muda. Tapi mau tua atau muda nggak penting sih buat aku. Yang penting duitnya banyak!" Ujar Kak Rasti yang semakin membuat Friska merasa tertarik dengan pekerjaan sebagai sugar baby ini.

"Tapi satu hal yang harus diingat, jangan sampai ketahuan sama istri sahnya, atau kamu bakal kena labrak nanti!" Kak Rasti menuding ke arah Friska seolah sedang memperingatkan.

"Istri sah? Jadi maksudnya pekerjaan ini menjadi simpanan pria beristri, gitu, Kak?" Tanya Sashi memperjelas yang langsung membuat Kak Rasti membungkam mulut Sashi.

"Pelanin suara kamu, Beg*!"

"Iya! Sugar baby itu nama keren dari wanita simpanan!" Ungkap Kak Rasti akhirnya bicara jujur.

"Wah gila! Kamu jadi pelakor nanti, Fris!" Kikik Sashi yang lagi-lagi mulutnya dibungkam oleh Kak Rasti.

"Pekerjaan lain yang lebih terhormat nggak ada, Kak?" Tanya Friska penuh harap.

"Nggak ada! Ini juga pekerjaan terhormat, kok! Kalau mau dapat uang banyak dan kerja enak, ya jalanin saja! Tapi kalau mau pekerjaan lain yang lebih terhormat, jual diri saja ke anak presiden sana!" Jawab Kak Rasti ketus.

"Lagian, jaman sekarang mau kerjaan enak, gaji gede, dan terhormat! Ngimpi aja kamu!" Pungkas Kak Rasti seraya menggebrak meja. Wanita itupun langsung pergi begitu saja meninggalkan Sashi dan Friska yang dilanda kebimbangan.

"Jadi gimana, Fris? Mau lanjut jadi sugar baby? Atau salt baby, micin baby." Tanya Sashi sedikit bercerocos.

"Nggak tahu, Shi! Bingung aku!" Jawab Friska seraya garuk-garuk kepala.

"Lah, masih bingung! Yaudah, terserah kamu aja, Fris!" Sashi ikut garuk-garuk kepala dan kini dua gadis remaja itu sama-sama bingung.

.

.

.

Terima kasih yang sudah mampir.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

SUGAR DADDY?

Gabriel pulang ke rumah dengan sejuta rasa suntuk yang menggelayuti otak serta pikirannya. Pekerjaan di kantor yang kelihatannya hanya duduk-duduk menghadap layar komputer, nyatanya benar-benar menguras pikiran. Gabriel butuh angin segar sekarang.

"Queena!"Panggil Gabriel pada sang putri yang kini sudah genap berusia dua belas tahun. Queena memang baru tahun ini masuk ke bangku sekolah menengah pertama. Putri tunggal Gabriel dan Hana itu tumbuh begitu cepat.

"Queena!" Panggil Gabriel sekali lagi pada sang putri.

"Ngambek," Bukan Queena. Melainkan Bu Laksmi yang menjawab panggilan Gabriel.

Bu Laksmi adalah ibu kandung Gabriel yang juga merupakan oma dari Queena.

"Ngambek kenapa lagi?" Tanya Gabriel seraya memijit pelipisnya.

Suram sudah hari Gabriel karena pikirannya yang suntuk akan semakin suntuk karena Queena ngambek.

"Dapat tugas dari sekolah. Menulis surat untuk Mami. Tahu sendiri endingnya bagaimana," jawab Bu Laksmi seraya menampilkan raut wajah jengah.

"Hanya menulis surat? Lalu apa susahnya?" Gabriel berdecak dan hendak menuju ke kamar Queena, saat kemudian kalimat Bu Laksmi menghentikan langkah Gabriel.

"Tentu saja susah untuk Queena yang tak lagi punya Mami!"

"Queena butuh sosok seorang Mami, Briel! Lagipula, tujuh tahun sudah cukup untuk kamu mencari penggantinya Hana, Briel!" Tutur Bu Laksmi panjang lebar menasihati sang putra.

"Bukan sebuah dosa jika kamu memutuskan untuk menikah lagi sekarang," ujar Bu Laksmi lagu yang tak dijawab apapun oleh Gabriel. Pria itu melanjutkan langkahnya menuju ke kamar Queena.

"Queena!" Gabriel mengetuk pintu dan berulang kali memanggil nama sang putri.

"Queena, buka pintunya, Sayang! Papi sudah pulang!" Bujuk Gabriel sekali lagi pada sang putri.

"Quee-" Gabriel belum menyelesaikan ketukannya yang terakhir saat pintu akhirnya dibuka dari dalam. Langsung terlihat Queena yang kini sudah beranjak remaja dengan wajah merengutnya. Gadis itu kembali berbalik masuk ke kamar setelah membuka pintu.

"Queena!"

Queena mengambil secarik kertas dari atas meja belajarnya, lalu memberikannya dengan kasar pada Gabriel.

To: Mami

Begitulah tulisan yang tertera di atas kertas yang tadi diberikan oleh Queena.

"Queena, kau bisa memberikan surat ini untuk Oma!" Hibur Gabriel memberikan sebuah solusi.

"Apa papi tidak bisa baca? Surat itu untuk Mami. Nanti surat untuk Oma ada sendiri! Kalau surat untuk mami Queena berikan pada Oma, lalu surat untuk Oma, harus Queena berikan pada siapa?" Cerocos Queena dengan nada kesal.

"Baiklah, Papi minta maaf!"Gabriel menjewer telinganya sendiri sebagai hukuman kalau ia melakukan kesalahan pada Queena.

Gabriel sudah duduk di atas tempat tidur Queena, dan pria toga puluh dua tahun tersebut meraih lengan Queena, lalu membimbing putrinya tersebut untuk ikut duduk bersamanya.

"Kau sudah mandi tadi?" Tanya Gabriel seraya mengusap lembut kepala Queena.

"Sudah." jawab Queena lirih.

"Queena mau jalan-jalan sebentar bersama Papi? Ke toko buku? Lalu beli es krim?" bujuk Gabriel lagi pada sang putri. Bujukan ke toko buku dan membeli es krim selalu berhasil dan tak pernah ditolak oleh Queena.

"Iya."

"Tapi Papi mandi dulu sana!" Usir Queena seraya mendorong Gabriel ke arah pintu kamar.

"Harus, ya? Nanti kalau ketampanan Papi luntur bagaimana?" Gurau Gabriel yang langsung membuat Queena memutar bola matanya.

"Tinggal di ampelas lagi, Pi!" Jawab Queena seraya menutup pintu kamar. Lumayan keras hingga Gabriel sedikit kaget.

Dasar Queena!

****

Friska dan Sashi masuk ke sebuah toko buku demi mencari referensi buku untuk tugas dari guru Bahasa Indonesia.

"Eh, bagian novel teenlit sedang promo, Fris! Lihat-lihar bentar, yuk!" Ajak Sashi seraya menarik tangan Friska ke rak bagian buku-buku teenlit yang memang sedang promo besar-besaran. Mungkin karena menjelang akhir tahun.

"Mau nyari tugas apa nyari novel, sih, Shi?" Tanya Friska sedikit sebal. Friska sejak dulu memang malas membaca dan malas ke toko buku kalau tak ada hal atau tugas penting. Tidak seperti Sashi yang memang seorang kutu buku dan gemar sekali membaca novel-novel remaja.

"Kan sambil menyelam minum susu, Fris! Nyari buku buat tugas iya. Nyari novel buat teman gabut iya," jawab Sashi asal.

"Perasaan bukan begitu bunyi peribahasanya. Sambil menyelam minum susu? Susu siapa coba?" Gumam Friska seraya garuk-garuk kepala.

"Susu kamu!" Jawab Sashi asal seraya tertawa terbahak-bahak.

"Yee! Kenapa bukan susu kamu sendiri itu. Yang datar nggak ada bentuknya sama sekali sampai udah SMA masih pakai miniset aja," ledek Friska pada Sashi.

"Sialan kamu, Fris! Kalau buka aib jangan di tempat umum, dong!" Sashi langsung menoyor kepala Friska karena kesal.

"Udah buruan kalau mau cari novel! Nanti keburu malam nggak ada angkot lagi mau pulang naik apa, hayo!" Friska mengingatkan Sashi yang dari tadi sibuk bersungut-sungut karena ledekan Friska perihal susu.

"Suruh jemput Abang Jimmy, beres!" Jawab Sashi enteng.

"Iya kamu dijemput. Lah aku?" Friska menunjuk ke arah wajahnya sendiri.

"Masa iya naik motor bertiga. Yang ada auto kena tilang nanti!" Sambung Friska lagi yang hanya membuat Sashi terkekeh.

"Kalau begitu, kamu disumpelin ke jok aja biar nggak kena tilang!" Celetuk Sashi yang sudah mulai memilih-milih novel yang hendak dia beli. Friska tak menyahut ledekan Sashi dan ikut-ikutan melihat-lihat novel teenlit yang sedang diskon 50% tersebut. Meskipun yang Friska lihat hanya cover dan blurb-nya saja.

"Fris!" Sashi tiba-tiba sudah menyenggol pundak Friska.

"Apa?"

"Itu lihat! Ada sugar daddy arah jam sepuluh!" Bisik Sashi yang langsung membuat Friska mengikuti arah yang ditunjuk Sashi.

"Hah? Yakin itu sugar daddy? Tahu darimana? Memang ada plangnya?" Cecar Friska bingung.

"Lha itu yang digandeng gadis remaja juga seperti kita," ujar Sashi lagi.

"Anaknya mungkin," Friska menebak-nebak.

"Mustahil! Masa iya anaknya udah gede begitu bapaknya masih muda," sergah Sashi menyangkal pendapat Friska.

"Keponakannya berarti!" Pendapat Friska lagi.

"Sugar baby-nya itu! Godain, gih! Keliatan tajir dan banyak duit!" Sashi mengompori.

"Nggak ah! Kurang kerjaan! Mau nyari buku trus pulang!" Ucap Friska seraya berlalu dan tak mau lagi berlama-lama menatap pada sugar daddy yang tadi dimaksud Sashi. Entah Sugar daddy beneran atau hanya sudar daddy jadi-jadian!

.

.

.

Terima kasih yang sudah mampir.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!