NovelToon NovelToon

Yashinta (Kakak Iparku Cintaku)

Yashinta Wiraguna

Yashinta. Yashinta Wiraguna, seorang anak tunggal. Gadis cantik yang polos dan manja. Ketika sang mama pergi kembali ke pangkuan penciptanya, gadis yang akrab menyebut namanya Yas itu terbiasa hidup dengan kasih sayang dari pengasuhnya, juga dari sang papa disela-sela kesibukan kerjanya.

Yashinta bukanlah orang yang mudah bergaul, ia membatasi pertemanannya, atau mungkin orang lain juga enggan mengakrabkan diri dengannya yang hanya bertemankan buku.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, ia hanya memiliki satu teman, yaitu Ranti. Orang yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Sahabat terbaik yang ia miliki.

Di mana ada Yashinta, maka di sana akan ada Ranti. Sampai sekarang keduanya sudah duduk di bangku SMA, mereka tetap bersama-sama dan berteman dengan baik.

Bagi Yashinta, Ranti itu seperti seorang kakak yang selalu menjaganya, penasihat yang baik untuk apapun masalahnya. Tapi untuk satu masalah, Yashinta tidak bisa mendengarkan Ranti, dan ia memohon maaf yang sebesar-besarnya karena hal itu.

"Telat lagi 'kan, loe?" sambar Ranti saat mendapati Yashinta yang sedang duduk di bawah sebuah pohon di taman belakang sekolah.

Gadis itu baru saja menyelesaikan hukumannya menyapu halaman belakang setelah terlambat datang ke sekolah dan tertangkap basah oleh Pak Harto, guru yang saat itu sedang mendapat jadwal piket.

Yashinta menoleh, menatap Ranti di sampingnya yang berkacak pinggang dengan wajah kesal.

"Iya, Ranti. Yas, cape!" sahutnya sambil menyeka keringat di dahi dengan punggung tangan.

"Ini udah tiga kalo loe telat selama kita masuk tahun ajaran baru kelas dua belas. Kafka lagi?" Ranti seakan sudah tau penyebab keterlambatan Yashinta.

"Iya," gadis itu menyahut lemah.

"Kafka bilang mau jemput, Yas tungguin dia malah gak dateng-dateng."

Ranti terlihat menghela napas panjang.

"Berapa kali, sih, gue harus bilang. Gak usah percaya sama Kafka!" tau-tau Ranti emosi. Mengingat hal ini sudah sangat sering terjadi.

"Dia cuma ...," gadis itu menatap Yashinta, kemudian mendesah pasrah. "Terserahlah!" sambungnya. Tidak ingin memperpanjang masalah.

"Hukumannya udah beres 'kan?" ia mengalihkan pembicaraan. Percuma menasihati Yashinta panjang lebar. Gadis itu bebel dan budak cinta tingkat dewa.

Yashinta mengangguk.

"Ayo ke kelas!" Ranti menarik tangan Yashinta berlalu dari sana.

Iya, Kafka. Untuk pertama kali bagi Yashinta tidak mendengarkan Ranti, adalah tentang Kafka.

Kafka Ali Abiansyah, cowok tampan, seorang tsundere yang digilai para cewek se-SMA Firgo, Yashinta menaruh hati padanya sejak mereka duduk di kelas satu SMA. Katakanlah saja cinta pada pandangan pertama.

Tapi sayang, Kafka sedikitpun tak pernah meliriknya, apalagi tertarik dan suka padanya. Dari gosip beredar yang pernah Yashinta dengar, dia naksir Saras, cewek populer yang sekarang menjabat sebagai wakil ketua OSIS.

Tapi menurut kabar yang beredar pula, Yashinta sering mendengar jika beberapa kali Saras selalu menolak Kafka tanpa alasan.

Ketika mereka duduk di kelas sebelas semester dua, entahlah Yashinta harus senang atau bagaimana, saat tiba-tiba saja Kafka mengajaknya berpacaran.

Tidak ada angin tidak ada hujan, bahkan cuaca sangat cerah saat itu, saat Kafka mendatanginya dan mengajaknya untuk menjalin hubungan.

"Kenapa tiba-tiba ngajakin Yas pacaran?" tanya Yashinta yang saat itu duduk membaca buku di perpustakan. Pemuda di hadapannya nampak menghela napas.

"Loe suka 'kan, sama gue?"

Yashinta terdiam, ia bahkan tidak berani mengangkat pandangannya untuk menatap Kafka yang saat ini sedang menatapnya. Lebih tepatnya sejak sepuluh menit yang lalu.

"Loe 'kan yang sering naro botol minum di loker gue?"

"Loe juga yang sering liatin gue dari jarak jauh di mana pun gue berada, iya 'kan?"

"Artinya loe suka sama gue!" ia mengambil kesimpulan sendiri.

Yashinta hanya terdiam, ia menahan debaran di jantungnya saat Kafka dengan blak-blakan mengatakannya. Rupanya ia sudah mengetahui fakta jika Yashinta adalah pelakunya.

"Gimana?" pertanyaan to the point Kafka menyadarkan lamunan Yashinta.

"Emang—Kafka suka ..., sama Yas?" tanyanya sedikit gugup.

"IYA!" Kafka menyahut tanpa ragu.

Gadis itu menunduk, kemudian menyahut dengan suara pelan. "Yas, mau jadi pacar Kafka!"

Bagaimanapun, Yashinta menyukai Kafka, tidak ada alasan baginya untuk menolak pemuda itu, meski caranya mengajak berpacaran begitu aneh dan tiba-tiba.

Keanehan itu terus berlanjut seiring dengan berjalannya waktu. Kafka yang tsundere itu kerap kali tidak memperdulikan Yashinta sebagai pacarnya. Ia bersikap seolah-olah mereka tidak memiliki ikatan apapun.

Tapi, karena rasa sayang Yashinta padanya, gadis itu tidak mempermasalahkannya. Selama Kafka menjadi pacarnya, ia selalu bisa memahami pemuda itu.

Bahkan sangat sering Kafka membuatnya kecewa, dan sering pula Yashinta memakluminya. Hal itu mengundang kemarahan Ranti yang sejak awal memang merasa jika Kafka hanya bermain-main saja pada Yashinta, tapi Yashinta tidak pernah mau mendengarkannya.

Karena baginya, jika Kafka hanya bermain-main saja, tidak mungkin hubungan keduanya berjalan selama empat bulan ini.

"Habis ngapain, keringetan gitu?" seorang siswa yang berdiri di depan pintu kelasnya berhasil membuat langkah Ranti dan Yashinta terhenti.

Ranti menarik Yashinta sedikit menjauh. Matanya menyalang melihat Kafka dengan raut tanpa dosa.

"Telat?" tebaknya.

"Loe nanya?" Ranti smirk pada Kafka di hadapannya.

"Loe inget udah janji apa sama Yashinta?"

"Jemput dia?" Kafka justru balik bertanya.

"Terus?"

"Terus apa? Ya gue lupa, sorry!"

"Enggak papa!" Yashinta menyahut pasrah dengan senyum hampa, bukan hal baru baginya. Sementara Ranti menggeleng tidak percaya.

"Yashinta, semudah itu loe maafin dia?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Yashinta hanya diam. Sementara tatapan Ranti beralih pada Kafka.

"Loe gak tau diri banget, sih, Ka. Yashinta ini pacar loe, sikap loe yang kaya gini udah berapa kali coba?" Ranti emosi.

"Kenapa nyalahin gue, gak perlu di ingetin kok kalau dia cewek gue, gue inget. Harusnya, dia tau, dalam waktu lima belas menit gue gak dateng jemput, yaudah berangkat ke sekolah sendiri. Gak perlu nungguin!"

"Artinya gue gak bakal dateng!"

Kali ini Ranti benar-benar tertawa. Ia tidak menyangka dengan apa jawaban Kafka.

"Yang kaya gini loe bilang pacar, Yas? Yang bener aja, sih."

"Sepet gue ngeliatnya!"

Ranti berlalu begitu saja, meninggalkan Yashinta yang mematung di depan Kafka. Sementara Kafka tampak menghela napas.

"Loe gak ke kelas?" tanyanya kemudian pada Yashinta saat gadis itu hanya berdiri mematung di tempatnya.

"Iya, Kafka. Ini mau ke kelas,"

Yashinta melangkah.

"Sorry, ya!"

Langkah gadis itu terhenti, tapi ia tidak menoleh pada pemuda di hadapannya.

"Enggak papa, Yas 'kan udah biasa!"

Kafka mengalihkan tatapannya ke arah lain, sementara Yashinta berlalu dari sana.

"Gue udah bilang 'kan. Putusin Yas. Loe gak bakal berhasil, cewek itu cuma ngerecokin hidup loe doang!"

Kafka menoleh, Saras berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada.

"Cuma dua bulan lagi 'kan? Gampang!"

"Gue gak akan nyerah, sebelum apa yang gue mau itu terwujud!"

"Amazing!"

"Gue salut sama loe, Ka. Salut, sama loe yang cuma buang-buang waktu!" sahutnya yang kemudian berlalu. Kafka hanya menatap kepergiannya. Kepergian gadis, yang menjadi alasan kenapa ia mau berpacaran dengan seorang Yashinta Wiraguna.

Gadis manja, yang selalu mengganggunya saat sedang latihan basket. Gadis manja, yang selalu mengganggunya dengan terus menelponinya, mengirim pesan, melarangnya bergaul dengan teman-temannya, melarangnya pergi kesana-kemari. Dan .....,

Kafka setuju dengan Saras, jika gadis itu hanya merecoki kehidupannya saja.

**

"Ranti, Ranti!"

Yashinta dengan segera duduk di kursi miliknya di samping Ranti yang tengah duduk dengan tampang kesal.

"Ranti marah sama, Yas? Yas minta maaf,"

"Yang harusnya minta maaf tuh, Kafka. Bukan loe!"

"Kan tadi di depan kelasnya, Kafka udah minta maaf. Yas juga gak papa kok!"

"Ya iyalah, gak papa. Loe itu udah kebal sama perlakuan seenaknya dia ke loe!"

"Loe kapan, sih, Yas mau sadar, kalo Kafka tuh gak pantes sama loe!"

"Loe cantik, banyak kok di sekolah ini yang mau sama loe, gak mesti sama Kafka yang seenak jidat memperlakukan loe!"

"Tapi Yas sayang sama Kafka, Ranti."

"Sayang boleh, Yas. Ya, tapi jangan tolol-tolol juga, lah. Coba loe tegas sedikit sama Kafka. Biar nggak seenaknya aja dia sama loe!"

Yashinta hanya menunduk, membuat Ranti tidak tega karena memarahinya. Bukan apa-apa, hanya saja Ranti merasa tidak setuju dengan hubungan Yashinta dan Kafka, terlebih saat melihat perlakuan seenaknya Kafka pada Yashinta, dan ia lebih kesal lagi saat melihat Yashinta yang selalu memaklumi apapun tindakan Kafka.

"Sorry-Sorry, iya gue yang minta maaf."

Gadis itu berhambur memeluk Yashinta.

"Gue cuma gak mau loe terus-terusan disakitin sama Kafka!"

"Iya, Ranti. Yas ngerti!" Yashinta tersenyum, membuat Ranti juga tersenyum melihatnya.

Baginya, Yashinta itu terlalu lemah untuk menjalin hubungan dengan seorang Kafka. Yashinta memang manja dan terlalu baik, mungkin itu alasan kenapa Kafka bersikap seenaknya saja pada gadis polos ini.

"Lupain Kafka!"

"Ehh,"

"Saat ini aja, Yas. Kita, 'kan mau belajar."

Yashinta hanya nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih. Sampai suara guru yang memasuki kelas dan mengucap salam membuat keduanya mengubah posisi duduk dan segera mengambil buku untuk memulai pelajaran.

TBC

Hay guys? Bagaimana? Berikan tanggapan dan dukungan, kalian. Terimakasih.

Waiting

Yashinta berjalan sendiri ke arah kantin dijam istirahat kedua, ia melihat Kafka juga sedang berada di kantin dengan kawan-kawannya, salah satunya ada Saras di sana, tapi itu bukan pemandangan baru bagi Yashinta, ia sudah sangat sering melihat hal seperti itu.

Ia berjalan begitu saja melewati Kafka dan kawan-kawanya yang tengah tertawa membahas sesuatu hal, entah apapun itu Yashinta tidak tau.

"Cewek loe, Ka." komentar salah satu teman Kafka.

Kafka yang semula mengaduk makanannya mengangkat pandangan saat Yashinta melewatinya begitu saja, memesan makan dan duduk di salah satu meja yang tak jauh darinya.

"Kebiasaan, loe, Ka. Cewek lu, tuh, tegur kek atau apa. Jangan kaya pura-pura gak kenal gitu." pemuda bernama Sean itu kembali angkat bicara. Kafka hanya menoleh, sekarang Yashinta tidak sendiri, ia dengan Deril, Ketua OSIS SMA Firgo.

"Gue duluan, ya." Saras bangkit, kemudian berlalu, sementara Kafka masih menatap Yashinta yang menikmati makanannya sambil mengobrol ringan dengan Deril.

"Loe cemburu, Ka?" tanya Aris, teman Kafka yang lain yang sejak tadi hanya diam.

Kafka menggeleng, melanjutkan makannya dengan perasaan dongkol. Bukan karena cemburu, ia sedikitpun tidak merasa cemburu. Hanya saja, sebagai cowok populer di sekolah, Kafka merasa tidak dihargai saat pacarnya bertingkah seenaknya. Seperti mengobrol dengan cowok lain misalnya, persis seperti sekarang.

"Mustahil kalo loe nggak ada perasaan apapun sama Yas, secara dia cantik boy. Cowok manapun bakal naksir sama dia,"

Kafka hanya tersenyum miring mendengar ocehan yang secara langsung memang memuji Yashinta.

"Termasuk loe?"

Kali ini Sean terdiam, tapi ia nampak begitu tenang tanpa terkejut sedikitpun dengan pertanyaan Kafka.

"Gimana kalo gue bilang iya?"

Air muka Kafka nampak berubah mendengar jawaban tidak terduga dari Sean.

"Cuma sayang aja, dia malah mau sama loe, yang begonya nggak ketulungan!"

"Setan!" Kafka mendesis, sementara Sean hanya tersenyum miring melihat Kafka yang kelabakan.

Tatapan Kafka kembali pada Yashinta yang sesekali tersenyum di hadapan Deril. Persis, senyum manis yang selalu gadis itu perlihatkan padanya.

"Kamu cantik kalo senyum,"

Yashinta menggeleng kecil sambil tersenyum mendengar pujian ketua OSIS di hadapannya.

"Maksud Deril, Yas nggak cantik gitu?"

Deril tertawa.

"Kalo senyum, cantiknya nambah berkali-kali lipat."

"Udah ah, Yas nggak mau di puji-puji gitu."

Yashinta tidak ingin berlarut-larut dengan obrolan tidak penting yang mereka bahas. Karena kedatangan Deril padanya untuk sesuatu hal yang penting. Yah, Yashinta baru mengingatnya.

"Oh iya. Deril tadi mau bilang apa sama Yas?"

"Oh, itu. Aku mau nawarin kamu gabung ekskul teater,"

"Deril nggak salah nawarin Yas buat masuk di ekskul itu?" herannya.

Sepertinya Yashinta tidak perlu menceritakan pada Deril bagaimana dirinya yang tidak mudah akrab dan bergaul dengan banyak orang. Gila saja dia diajak ekskul teater dan berbaur dengan orang-orang yang tak akrab dengannya dari berbagai kelas dan angkatan.

"Apa salahnya, sih, Yas. Siapa tau, dengan begitu kamu bisa akrab sama temen-temen seangkatan kita, adik kelas juga." Deril setengah membujuk.

Yashinta diam, tidak ada yang salah dengan apa yang Deril katakan. Justru apa yang dikatakannya amat masuk akal jika saja Yashinta mau menerima tawarannya.

"Gimana?"

"Nanti Yas pikir-pikir lagi, yah."

Deril diam sebentar, kemudian tak lama ia mengangguk.

"Yaudah, kalo gitu aku duluan, ya. Aku tunggu jawaban kamu,"

Yashinta hanya mengangguk sambil tersenyum, sementara Deril sudah menghilang di hadapannya, meninggalkannya sendiri di meja panjang kantin.

Sebelum kembali ke kelas, Yashinta lebih dulu ke toilet untuk membenarkan seragam dan rambutnya. Begitu keluar, ia cukup terkejut melihat Kafka yang bersandar pada tembok di samping pintu toilet.

"Kafka,"

"Kafka ngintip?" tanyanya dengan raut heran dan terkejut. Sekaligus senang bertemu pemuda itu.

Kafka yang melipat tangan di dada menurunkan tangannya, menatap Yashinta.

"Kafka kalo ngintip nanti bintitan loh, mau? Nggak ganteng lagi dong,"

"Gue nggak suka loe sama Deril,"

"Hah?"

Yashinta terkesiap mendengarnya, ia tidak begitu jelas mendengar apa yang Kafka katakan.

"Gue gak suka loe sama Deril," Kafka mengulang kalimatnya.

"Kapan?" dahi Yashinta berkerut.

"Loe nggak inget? Pas di kantin tadi!"

"Oh, Kafka liat?" tanyanya dengan polos.

"Loe pikir gue gak punya mata?"

"Kalo punya mata kenapa nggak pernah mau nyapa Yas kalau papasan?"

"Kafka kaya orang buta."

Kali ini Kafka diam, Yashinta hanya menatapnya. Terlihat gadis itu tampak menghela napas.

"Yas cuma ngobrol biasa aja, kok." memilih mengalah seperti biasa dan menceritakan detailnya.

"Tapi gue tetep nggak suka. Satu SMA ini tau loe pacar gue,"

"Ya makannya Kafka nggak perlu khawatir, Yas nggak bakal berpaling!"

"Gue malu kalo cewek gue kecentilan sama cowok lain!"

Yashinta terdiam. Jangan tanya, hatinya jelas terpukul mendengar jawaban Kafka yang menohok hatinya. Ia sama sekali tidak menyangka jika Kafka akan tega mengatakan hal seperti itu padanya. Awalnya ia mengira, jika pria itu cemburu. Tapi ternyata bukan.

"Hargain gue sebagai cowok loe!"

"Iya Kafka, maaf. Deril cuma nawarin Yas buat ekskul!" kembali mengalah seolah hal itu sudah mendarah daging dengannya sejak dimulainya hubungan antara ia dengan Kafka.

"Enggak usah ikut ekskul!"

"Tapi kata Deril, nanti biar Yas bisa punya banyak temen."

"Gue bilang gak usah, nggak mau denger?"

Gadis itu menunduk, menghindari tatapan mematikan Kafka.

"Iya Kafka, Yas nggak bakal daftar ekskul."

Kafka mengangguk puas.

"Balik sana ke kelas!"

Yashinta mengangguk, kemudian melangkah. Tapi baru selangkah, ia berhenti, kembali membalikan tubuhnya pada Kafka.

"Ada apa?"

"Hari ini Yas ada les piano, nanti pulangnya Kafka jemput, ya."

"Sopir loe?"

"Ada, tapi Yas pengennya Kafka yang jemput."

Kafka diam, kemudian bertanya, "Pulangnya jam berapa?"

"Jam lima sore,"

Kafka mengangguk. "Nanti gue jemput,"

"Makasih yah, Kafka!"

Kafka hanya mengangguk samar, sampai kemudian Yashinta berlalu dari hadapan Kafka menuju kelas. Setelah kepergian gadis itu, Kafka hanya menyandarkan punggungnya pada tembok, kemudian menghela napas berat. Ia lupa, jika jam setengah lima sore ia memiliki janji dengan Saras untuk mengantar gadis itu ke toko buku.

**

Sesuai perjanjiannya dengan Kafka, Yashinta menunggu jemputan pemuda itu di sebuah halte bus yang dekat dengan tempat lesnya. Hampir satu jam ia menunggu, tapi Kafka tak kunjung datang. Bahkan ponselnya tidak dapat dihubungi.

Lalu-lalang kendaraan masih menjadi pemandangan yang Yashinta nikmati sepanjang menunggu Kafka, ia melihat arloji di pergelangan tangan mungilnya, sudah hampir jam enam sore, adzan magrib sudah berkumandang, dan Kafka masih belum juga menampakan batang hidungnya.

Yashinta hanya tersenyum miris, seharusnya ia sadar, jika dirinya bukanlah prioritas Kafka, bisa saja Kafka lupa jika memiliki janji untuk menjemputnya.

Seharusnya Yashinta sadar, jika ia adalah nomor ke sekian setelah semua kegiatan dan urusan Kafka.

"Yas bego banget, sih." ia mengutuki dirinya sendiri. Yashinta mengangkat pandangannya, senyumnya mengembang saat melihat orang yang tak asing menghampirinya.

"Loe ngapain?"

"Ranti ngapain?" ia malah balik bertanya pada sahabatnya itu.

"Gue habis nganterin buku kimia si Dewi, rumahnya nggak jauh dari sini," Ranti menyahut seraya mengarahkan pandangannya ke arah kemunculannya.

Yashinta mengangguk-anggukan kepalanya.

"Loe ngapain, harusnya loe udah balik sejak satu jam yang lalu, 'kan? Kenapa masih di sini, loe habis les piano, 'kan?" tanya Ranti, beruntun dan tidak sabaran.

"Nunggu jemputan,"

Ranti menghembuskan napasnya dengan kesal, kemudian duduk di samping Yashinta.

"Ranti ngapain malah duduk?"

"Nemenin loe, lah. Loe pikir gue bisa tenang, ninggalin loe gitu aja!"

Yashinta hanya diam, meski dalam hati ia sangat berterimakasih pada Ranti yang selalu ada untuknya dalam keadaan apapun.

Meski ia tau, begitu Kafka datang, pasti akan terjadi sedikit keributan.

Kafka? Akankah ia datang? Ranti meragukannya seperti biasa.

"Balik aja yuu," ajak Ranti setelah sekitar dua puluh menitan ia menemani Yashinta menunggu Kafka, gadis itu bahkan sudah bangkit dan mondar-mandir dengan raut kesal.

"Kalo Kafka nanti dateng, gimana?"

"Kasian nanti kalo ke sini, Yasnya udah nggak ada. Yas nggak mau ngecewain Kafka,"

Ranti memutar bolamatanya, jengah.

"Gue pesenin taksi online, loe balik. Sadar, Kafka gak bakal dateng!"

"Nggak usah terlalu percaya deh sama Kafka. Dia itu playboy, buaya. Lagian gue juga gak bakal tenang loe balik sama dia, udah malem. Loe lupa, sama mantan-mantannya Kafka yang udah berhasil dia tidurin di apartementnya?"

"Jangan sampe loe jadi korban berikutnya!"

"Ranti jangan gitu dong ngomongnya,"

"Kenyataannya gitu, 'kan!"

"Kafkanya ada di belakang Ranti," Yashinta berkata pelan. Ranti membalikan tubuhnya, dan benar saja jika Kafka ada di belakangnya, tapi ia tidak terkejut atau takut sedikitpun.

"Kemana dulu loe? Nganterin selingkuhan loe?" sambarnya tanpa gentar.

"Yashinta udah nunggu loe hampir dua jam, loe sengaja?"

Ranti emosi, ia memaki Kafka dengan berapi-api.

"Kenapa nggak pulang aja?" Kafka justru bertanya pada Yashinta, tidak mau meladeni Ranti yang selalu sensi padanya.

"Apa, loe malah mau nyalahin Yas?"

"Enak amat hidup loe, salah nggak salah harus Yashinta yang salah!"

Kafka mengembuskan napas dari bibir, terlihat dengan jelas betapa ia sedang menahan emosi saat ini. Tanpa berkata apapun, ia menarik tangan Yashinta ke arah mobilnya, Yashinta yang cukup terkejut hanya mampu berkata singkat pada Ranti yang terlihat emosi.

"Ranti, makasih yah. Yas pu—lang!"

"Dasar bego!" Ranti mengumpat kesal pada gadis polos yang kelewat baik itu.

Sementara Yashinta sudah berada di dalam mobil dengan Kafka yang memasang seatbelt.

"Pake," katanya pada Yashinta, Yashinta memasang seatbelt di tubuhnya. Mobil melaju, memecah jalanan Ibu Kota yang masih padat oleh lalu-lalang kendaraan diwaktu menjelang malam.

Yashinta menoleh pada Kafka yang fokus menyetir, ia senang karena Kafka sudah mau datang menjemputnya. Tidak masalah pria itu datang terlambat, karena faktanya Kafka menepati janji untuk datang menjemputnya.

"Berapa kali gue bilang, lebih dari lima belas menit gue gak dateng, artinya gue gak bakal dateng. Kenapa tetep nunggu?" pertanyaan Kafka membuat fokus Yashinta teralihkan.

"Karena Yas yakin, Kafka bakal dateng. Akhirnya Kafka dateng, 'kan?"

Kafka menoleh sebentar, Yashinta tersenyum dengan manisnya, membuat desiran aneh di hati Kafka yang sering kali ia tepis muncul tanpa permisi.

"Kafka habis dari mana?"

Kafka berdehem untuk menetralkan perasaan dan ekspresinya. "Gue ketiduran," dustanya, padahal ia baru saja mengantarkan Saras. Dan ia terpaksa tidak menunggu gadis itu karena harus menjemput sang pacar.

Kafka cukup yakin jika Yashinta akan tetap menunggunya untuk menjemput, dan benar saja, gadis itu tetap duduk menunggu, ia juga tidak marah sedikitpun padanya karena datang terlambat, ah bahkan Kafka sangat terlambat.

"Loe nggak marah, gue telat?" berujung penasaran dan memilih bertanya untuk mendengar jawaban Yashinta.

"Kenapa harus marah? Yas udah kebal. Kan Yas nomor ke sekian setelah semua urusan Kafka," sahutnya dengan tutur kata yang begitu santai dan lembut, seolah tidak ingin membuat Kafka tersinggung.

"Kalau seandainya gue gak jemput loe, apa yang bakal loe lakuin?"

"Pulang, lah. Kafka, masa mau nginep di halte!"

"Loe gak bakal marah kalo gue gak dateng?"

"Enggak!"

Kafka tersenyum getir mendengar jawaban tulus Yashinta. Bagaimana mungkin seorang gadis normal nampak kebal dengan sikap acuh pacarnya. Atau rasa sayang Yashinta padanya memang kelewat besar? Kafka tidak mengerti.

Biasanya, mantan-mantan Kafka sebelumnya akan marah dan meminta putus karena sikapnya, tetapi Yashinta tidak, dia langka dan berbeda.

"Karena Yas sayang sama Kafka, Yas nggak bisa marah, sebesar apapun kesalahan Kafka."

Ia tersenyum mengakhiri ucapannya, sementara Kafka tak bereaksi sedikitpun. Ia hanya berusaha menahan debaran aneh di hatinya.

TBC

Gimana, apa sudah ada dendam pada Kafka wahaii para pembaca?

Kafka Sayang Yashinta

Mobil yang dikemudikan Kafka berhenti tepat di depan gerbang rumah Yashinta, gadis itu mulai membuka seatbeltnya dan bersiap untuk turun.

"Kafka nggak mau mampir dulu?"

Kafka menoleh, ia terlihat seperti memperhatikan rumah Yashinta, kemudian beralih menatap gadis itu.

"Bokap loe udah balik?"

"Kayaknya udah, itu mobilnya udah ada!"

Kafka diam sebentar, ia hanya mengetuk-ngetukan jari telunjuknya pada gagang stir, membuat Yashinta menoleh dan memerhatikannya.

"Kafka mampir nggak?" gadis itu bertanya sekali lagi.

"Enggak deh,"

"Kenapa? Nggak mau ketemu sama Papa?"

"Malu Yas."

Gadis itu mengerutkan keningnya, menatap heran pemuda yang baru saja mengatakan 'malu' itu. Yashinta tersenyum kecil.

"Biasanya juga nggak pernah malu, aneh, deh, Kafka!" cibirnya kemudian.

"Udah, sana masuk. Bokap loe pasti nunggu." suruh pria itu agar Yashinta tidak terus mengoceh. "Sorry ya, gue telat jemput loe!" sambungnya.

"Iya, nggak papa Kafka. Kafka gak perlu minta maaf."

Kafka tersenyum, senyum hangat yang membuat Yashinta senang sekali melihatnya, sangat jarang Kafka tersenyum, apalagi padanya.

"Kafka senyum sama, Yas?"

"Iya!"

Gadis itu lagi-lagi tersenyum, ah bahkan hampir tertawa mendengar jawaban lembut Kafka. Ia bahkan merasa pipinya memanas karena tersipu.

"Makasih, yah, Kafka."

"Buat?"

"Buat semuanya!"

"Termasuk buat gue yang selalu nyakitin loe, terimakasih untuk itu?"

Yashinta tanpa ragu sedikitpun mengangguk.

"Besok gue jemput," sahut Kafka mengalihkan pembicaraan, merasa risih dengan sikap sang pacar.

"Iya, lebih dari lima belas menit Kafka nggak dateng, nanti Yas diantar sopir aja."

"Gue gak bakal telat, gue janji!"

Gadis itu mengangguk, "Oh iya, pulang nanti Kafka telpon Yas, yah."

"Batre hape gue abis,"

"Nanti sampe rumah langsung Kafka charger, yah?"

Tidak ada sahutan dari Kafka, pemuda itu hanya diam membiarkan Yashinta berharap-harap cemas padanya.

"Harus banget?" tanyanya setelah beberapa saat.

"Haruslah, Kafka. Biar sebelum tidur, Yas denger suara Kafka, yah."

Anggukan dari Kafka membuat Yashinta tersenyum senang, ia kemudian turun dari mobil. Kafka melajukan mobilnya sebelum Yashinta benar-benar memasuki gerbang. Yashinta hanya menatapnya, menatap kepergian mobil Kafka sampai menghilang dari penglihatannya.

Tiba-tiba ia teringat dengan ocehan Ranti di halte tadi. Tentang mantan-mantan Kafka yang terjebak, dipaksa atau mungkin dengan sukarela menyerahkan diri pada Kafka, menyerahkan miliknya yang paling berharga.

Tapi padanya, sejauh ini Kafka tidak pernah melakukan hal macam-macam. Atau meminta apapun yang sifatnya merugikan satu pihak, Yashinta terutama.

Entah apa alasannya. Tapi Yashinta cukup yakin, jika Kafka sayang padanya.

"Non Yas,"

Yashinta tersadar dari lamunannya, kemudian menoleh ke sumber suara, di mana perempuan paruh baya berdiri di belakangnya.

"Bi Rasti, ngagetin Yas aja." sahut gadis itu dengan senyuman seraya menggandeng Bi Rasti.

"Maaf, Non. Habisnya tadi malah melamun, Tuan sudah menunggu sejak sore," sahutnya. Yashinta mengangguk, kemudian berjalan dengan Bi Rasti, masuk ke dalam rumah.

"Papa," Yashinta berseru dengan suara nyaring.

"Papa tumben pulangnya cepet," sahutnya setelah menyalami pria paruh baya itu yang sedang bersantai di ruang tv. Biasanya sang papa akan pulang larut, atau setelah jam makan malam habis.

"Papa sengaja, mau makan malam sama kamu,"

Yashinta tersenyum senang, sangat jarang sang papa pulang cepat dan menikmati makan malam dengannya.

"Yaudah, Yas mandi dulu, yah."

Andri– Papa Yashinta tersenyum, sementara Yashinta bergegas ke kamarnya untuk mandi dan merapikan diri. Begitu selesai, ia dengan cepat kembali ke lantai bawah dan bergabung dengan Andri yang sudah menunggunya di meja makan.

"Tadi kamu pulang sama Kafka?" tanya

Andri disela-sela makan, Yashinta mengangkat pandangannya dan menatap sang papa, rupanya dia tahu. Kemudian mengangguk.

"Kenapa Kafkanya nggak diajak mampir?"

"Katanya malu sama Papa," gadis itu menyahut tanpa ragu.

Andri tertawa mendengar jawaban jujur Yashinta yang tidak menutupi apa yang dikatakan pacarnya.

"Kenapa dia malu sama Papa?"

"Enggak ngerti, Kafka kadang suka aneh, sering malahan. Ahh, Yas nggak ngerti deh, pokoknya ya gitu, dia gak bisa ditebak." tuturnya dengan raut terheran-heran, yang hanya ditanggapi senyuman oleh sang papa.

Tapi, melihat Yashinta yang selalu bahagia saat berbicara tentang Kafka, membuat Andri senang putrinya berhubungan dengan pemuda itu.

**

"Ka, makan sini jangan main game mulu,"

Kafka menoleh pada wanita yang sedang menyiapkan makan malam. Ia menaruh stik PS-nya setelah mem-pause permainan.

"Sini makan," ajaknya sekali lagi.

"Mas Gibran belum pulang?" ia bertanya sambil berjalan ke arah meja makan.

"Belum, mungkin pekerjaannya lagi banyak."

"Kerja terus, kapan mau nyari calon istrinya?"

"Hus! Kamu,"

"Nanti kalau keduluan sama Kafka, gimana?" oceh Kafka.

"Emang kamu udah ada niatan mau ngelamar Yashinta?"

Pertanyaan dari Nindi–bunda Kafka kali ini membuat Kafka diam, Nindi hanya tersenyum melihat reaksi putranya.

"Yashinta udah lama nggak kamu ajak ke sini. Apa kabar dia?"

"Baik."

"Bunda suka loh Ka, sama Yas. Selain cantik, dia juga sopan, sayang banget sama kamu." pujinya mengingat tiga kali pertemuannya dengan Yashinta.

Saat pertemuan pertama, gadis itu tampak malu-malu, namun pada pertemuan selanjutnya, dia menunjukan sisi dirinya yang ceria dan menyenangkan.

Kepribadiannya mungkin berbalik dengan Kafka yang tidak banyak bicara dan tidak terlalu suka tertawa. Tapi dari yang Nindi lihat, dua orang itu cocok dan bisa saling melengkapi.

Namun begitu, Nindi juga tidak ingin berharap banyak. Terlebih, Kafka dan Yashinta hanyalah anak-anak SMA. Keduanya masih sangat muda untuk menjalin hubungan serius. Tapi tetap saja, Nindi memang tidak suka putranya sering menyakiti anak perempuan orang.

"Hormat juga sama Bunda," sambungnya begitu lamunannya buyar.

"Kamu nggak ada niatan putus sama dia, 'kan? Bunda bosen kamu gonta-ganti pacar terus." ocehnya, saat mendapati sang putra yang justru melamun.

Ia lantas menegurnya. "Kamu denger Bunda, 'kan Ka?"

Kafka hanya mengangguk. Ia berperang sendiri dengan pikirannya. Ia tidak menyangka jika Nindi akan secepat itu menyukai Yashinta. Padahal, pada pacar-pacar Kafka sebelumnya, Nindi selalu bersikap biasa- biasa saja. Terutama jangka waktu pacaran Kafka yang selalu sebentar.

Setelah makan malam selesai, Kafka masuk ke kamarnya. Mengambil ponselnya yang ia charger begitu sampai di rumah sesuai perintah Yashinta. Kafka tidak mengerti mengapa ia mau saja menurut pada gadis itu.

Kafka merebahkan diri, mencoba memghubungi Yashinta. Tidak ada respond dari sana, dua kali, tiga kali, empat kali.

Kafka mengumpat kesal saat benar-benar tidak ada respon dari Yashinta, padahal ia sudah membatalkan acara dengan kawan-kawannya demi menelpon gadis itu.

"Maunya apa sih?" kesalnya yang kemudian membanting ponsel ke sampingnya setelah beberapa kali menghubungi Yashinta dan tetap tidak ada respond dari gadis itu. Lantas ia memejamkan mata. Tapi percuma saat hatinya justru menunggu gadis itu menelpon balik padanya.

**

Yashinta mencuci wajahnya, kemudian keluar dari kamar mandi. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, ia baru selesai mengerjakan tugasnya dan menonton K-drama favoritenya.

Ia merebahkan diri di tempat tidur, kemudian menggapai ponsel. Matanya melotot saat mendapati banyak panggilan tak terjawab dari Kafka.

"Astaga, Yas lupa. Ternyata ada janji buat telponan sama Kafka." sesalnya dengan raut panik.

"Kafka marah nggak, yah?

Ragu, Yashinta tetap menghubungi Kafka, takut jika pemuda itu menunggu balasan telpon darinya.

Tak butuh waktu lama, panggilan terhubung, yang pertamakali Yashinta dengar adalah helaan napas berat dari ujung sana. Kafka pasti marah, begitu pikirnya.

"Loe kemana aja sih?" pria itu segera menyerangnya dengan pertanyaan yang diiringi nada kesal.

"Maaf Kafka, tadi Yas habis ngerjain tugas. Terus nonton tv, Yas lupa kalo ada janji sama Kafka, maaf yah."

"Gue sampe batalin acara sama temen-temen gue buat telponan sama loe. Tapi apa, loe malah lupain gitu aja!" makinya tanpa ampun. Bukannya sedih atas kemarahan Kafka, Yashinta justru mengulum senyum. Jika Kafka rela membatalkan acara dengan teman-temannya, artinya ia memiliki posisi penting di hidup Kafka.

"Kenapa loe diem, nangis?" suara di ujung sana menyadarkannya.

"Enggak, Yas nggak nangis. Justru Yas seneng, dengerin Kafka marah-marah!"

"Cewek aneh!" Kafka menyerah.

Yashinta hanya diam, mengubah posisinya, miring ke kanan.

"Kafka lagi ngapain?" tanyanya, senyum manis menghiasi wajah cantiknya.

"Tidur!"

"Tidur kok ngomong, emang bisa?"

"Bisa, lah, ini bisa!" Kafka sewot sendiri.

Yashinta tertawa. Sejujurnya, di balik sikap dingin Kafka padanya, kadang dia bersikap baik dan lembut. Bahkan Yashinta tidak dapat menebak bagaimana perasaan pemuda itu padanya.

Selama berpacaran, ia memang tidak pernah mengalami hal romantis dengan Kafka. Tapi baginya, cukup dengan Kafka, ia memiliki banyak kenangan indah.

"Kafka," panggilnya saat orang di ujung telpon tidak terdengar suaranya. "Kafka udah ngantuk?"

"Enggak,"

"Kalau gitu, ajakin Yas ngobrol dong Kafka, Yas belum mau tidur soalnya."

"Ajak ngobrol apaan? Gue gak ada yang mau di omongin, gue ngantuk."

"Tadi katanya belum ngantuk,"

"Ya sekarang beda lagi, lah. Sekarang gue udah pengen tidur."

Yashinta memberenggut, tapi percuma saja jikapun ia memaksa Kafka untuk tidak memutus sambungan, pemuda itu tidak akan mau mendengarkannya.

"Yaudah, Kafka. Selamat tidur, yah, jangan lupa mimpiin Yas."

"Ngapain?"

"Biar kita samaan, Yas juga mau mimpiin Kafka soalnya."

Yashinta mendengar decakan Kafka di sana. Pasti Kafka malas meladeni ocehan tidak pentingnya.

"Tidur, nanti kesiangan. Besok gue jemput."

"Iya Kafka,"

Panggilan terputus, Yashinta menatap layar ponselnya, di mana terpampang foto Kafka yang dengan keren memakai kaos olahraganya di sana, ia mengambil remote yang berada di laci ranjang, kemudian mematikan lampu dan menarik selimutnya.

"Selamat tidur Kafka, Yas sayang Kafka. Semoga Kafka juga sayang sama Yas, yah."

Ia memejamkan mata, kemudian kembali membuka matanya.

"Kalo Yas nggak mimpiin Kafka, Kafka marah nggak yah?"

TBC

Bucin tingkat akut mah beda, yah, Yas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!