Seragam sekolah SMA Trisakti sudah terpasang lengkap di tubuh Tiara. Sekolah elit dengan popularitas yang tinggi di kalangan orang-orang kaya kini akan menjadi sekolah barunya. Kemeja putih lengan pendek, dasi hitam melingkar di leher, serta rok hitam dengan panjang di atas lutut membuat Tiara terlihat seksi dengan penampilannya. Seragam sekolah dengan style yang jauh berbeda dengan seragam sekolah di kampung halamannya.
"Apa seperti ini gaya hidup di kota? Kalau saja bukan seragam sekolah aku tidak akan mengenakan nya."
Tiara menghela nafas, menyisir rambut panjangnya sambil melihat pantulan badannya di cermin. Gadis desa yang belum terbiasa dengan hiruk pikuk kehidupan di kota merasa tabu dengan yang di rasakan nya sekarang.
Merasa tidak nyaman melihat pantulan penampilan nya sendiri yang harus mengekspos kaki mulusnya karena menggunakan rok pendek.
"Dari pada tidak nyaman, lebih baik aku mengenakan ini saja."
Tiara kembali bergumam dengan senyuman manisnya, otaknya mulai berputar, seingatnya tidak ada larangan mengenakan stocking kan? Gadis polos itupun bergegas menggunakan stoking hitam untuk menutupi kulit putih kakinya, meraih tas sekolahnya dan bergegas turun untuk sarapan bersama Paman, Bibi dan juga sepupunya.
Di meja makan. Ayah, Ibu dan putrinya sudah terlihat duduk bersama.
"Bagaimana sekolah mu, Sha? Hari ini adalah hari pertama Tiara masuk sekolah. Kalian juga akan di satu kelas yang sama. Ayah harap kamu bisa membantunya beradaptasi di sekolah."
Arya, laki-laki paruh baya yang merupakan paman Tiara mulai berbicara pada putri semata wayangnya. Shasa, itulah namanya. Sepupu Tiara yang seumuran dengan nya.
"Baik, Yah."
Shasa menjawab singkat. Suara dari
bibir mungkin terdengar baik baik saja, tapi tidak dengan hatinya. Tangannya sudah mengepal meremas ujung rok seragamnya. Hatinya kesal, kenapa Ayahnya selalu saja memperhatikan Tiara. Lagi, lagi dan lagi. Bahkan dia sampai muak karena terlalu sering mendengar kata Tiara yang keluar dari mulut Ayahnya.
"Dan lagi. Apa kamu sudah mempertimbangkan permintaan Ayah minggu lalu?"
Arya kembali bertanya. Inilah pokok permasalahannya. Percakapan tempo lalu kini harus segera di selesaikan.
Permintaan Arya agar Shasa bisa menerima perjodohan harus mendapatkan kepastian.
Keadaan di meja makan terlihat semakin tegang dengan apa yang mereka bicarakan. Suasana yang baru baru ini terjadi, adanya sebuah masalah bertepatan dengan kehadiran Tiara di keluarga mereka, membuat hubungan di antara Ayah dan putrinya itu sedikit meregang karena semuanya.
"Sudah ku bilang aku tidak mau, Yah. Mau di pertimbangkan seperti apapun jawaban ku tak tetap sama. Tidak mau."
Shasa menolak dengan begitu tegas.
Bahkan intonasinya begitu tinggi dengan penuh amarah. Masih kesal karena masalah Tiara, kini sang Ayah malah membahas perjodohan yang sama sekali tidak dia inginkan.
"Sha, jangan seperti itu sayang! Ini juga demi kebaikan mu dan kebaikan kita semua."
Widia menimpali, wanita paruh baya yang merupakan Ibu Shasa dan adik ipar dari Ayahnya Tiara berusaha melerai ketegangan di antara suami dan putrinya itu.
"Hah. Kebaikan ku?"
Shasa menyeringai, sambil menekuk kan kepalanya. Mengulang kembali perkataan sang Ibu. Seolah perkataan itu hanyalah sebuah lelucon yang membuat nya bergidik jijik saat mendengarnya.
"Aku tidak akan pernah mau. Wanita mana yang mau di jodohkan dengan laki-laki yang tidak jelas. Sakit-sakitan, tidak tahu rupanya seperti apa. Sekalipun dia anak orang kaya aku tidak mau."
Shasa menegaskan penolakannya. Bukan tanpa alasan dia menolak keras perjodohan dengan putra dari sang CEO perusahaan Ayahnya bekerja. Sekalipun mereka keluarga ternama dengan kekayaannya yang tidak terhitung entah di mana saja. Tapi rumor sudah beredar cukup luas, bahwa putra CEO tersebut memiliki kelainan fisik dan mudah sakit-sakitan. Makanya sampai sekarang identitas nya selalu di sembunyikan. Bahkan orang-orang kantor pun tidak tahu seperti apa rupa sang Tuan muda mereka. Hingga mereka semua membuat rumor bahwa sang putra CEO pasti laki-laki yang buruk rupa dan punya kelainan.
"Shasa!"
Arya marah. Tidak sepantasnya putrinya itu sampai menghina putra dari atasannya.
"Kenapa? Apa Ayah berpihak pada laki-laki itu dan lebih mengasihaninya dari pada putri Ayah sendiri?"
Iya, hanya itu pembelaan Shasa. Sekalipun Ayahnya akan marah. Dia masih punya alasan untuk tetap berdiri teguh dalam keputusan nya.
"Sha, putra Pak Kenan tidak seburuk yang orang rumorkan."
Arya pun tidak kalah memberikan alasan.
Walaupun dia belum tahu seperti apa laki-laki yang akan di jodohkan dengan putrinya, tapi dia percaya kalau putra Pak Kenan adalah anak baik seperti sosok Pak Kenan sendiri yang menjadi panutan banyak orang.
"Jika masih ingin melanjutkan perjodohan ini kenapa Ayah tidak menjodohkan nya dengan Tiara. Bukunya Tiara juga bagian dari anggota keluarga kita sekarang. Jodohkan saja dengannya. Agar gadis kampung itu tidak hanya menjadi benalu di keluarga ini."
Shasa bicara dengan begitu tegas dengan penuh penekanan. Bagai sebuah angin segar. Ternyata ada manfaatnya juga Tiara hadir di keluarga mereka. Gadis desa itu bisa menjadi tumbal untuk menyelamatkan nya.
"Anak pintar."
Widia ikut tersenyum. Sebenarnya dia juga menyesalkan jika Shasa benar benar akan di jodohkan dengan laki-laki yang tidak sesuai dengan kriteria yang di inginkan putrinya. Tapi dia tidak mungkin juga melepaskan kesempatan emas ini dan tidak terpikirkan pula kalau Tiara bisa menggantikan posisi putrinya. Dengan adanya ide ini, kini dia bisa bernafas lega.
"Tidak bisa, Sha."
Baru saja Arya mau menyangkal perkataan Shasa. Putrinya itu malah beranjak dari meja makan dan meninggalkan sarapannya.
"Maaf, Yah. Bu. Shasa harus segera berangkat sekolah. Ada buku di perpustakaan yang harus aku ambil sebelum masuk kelas."
Shasa sudah tidak mau lagi meladeni perkataan Ayahnya. Tidak mempedulikan lagi perkataan Arya. Melangkah pergi keluar dan memanggil sopir yang akan mengantarkan nya ke sekolah.
"Sha. Shasa!"
Arya berusaha memanggilnya, namun percuma tidak ada jawaban dari putrinya.
"Setidaknya habiskan dulu sarapan mu, Nak."
Punggung Shasa mulai menghilang dari pelupuk matanya. Arya hanya bisa menghela nafas panjang. Bagaimana pun Shasa adalah putrinya, ia pun ingin putrinya itu hidup bahagia dengan jalan yang di pilihnya.
"Harus menjawab apa kalau nanti Pak Kenan membicarakan perihal ini lagi?"
Pikiran nya buntu. Akal logikanya mulai merespon perkataan Shasa. Pak Kenan tidak meminta dengan siapa putranya akan di jodohkan. Dia hanya meminta keluarga mereka bisa lebih dekat dengan sebuah ikatan.
"Apa mungkin aku harus menjodohkan nya dengan Tiara saja."
Hatinya mulai terhanyut oleh perkataan Shasa. Tapi tidak mungkin juga melibatkan Tiara yang baru saja satu minggu bergabung dan hadir di keluarga nya.
"Mas, perkataan Shasa benar. Tiara bisa menggantikan nya untuk melanjutkan perjodohan ini."
Tangan Widia bergerak menggenggam tangan suaminya. Berusaha meyakinkan Arya kalau cara itu lebih baik dari pada mengorbankan putrinya sendiri.
"Bu..."
Arya ingin menyangkal, akal sehatnya masih memiliki rasa iba pada Tiara yang baru saja merasakan duka. Tidak mungkin dia di libatkan dengan permasalahan keluarganya.
"Pagi Paman, Bibi."
Belum Arya bicara panjang lebar. Suara lembut Tiara terdengar di antara mereka. Entah gadis itu sudah berapa lama berada di sana. Arya hanya bisa berharap Tiara tidak mendengar percakapan mereka.
"Tiara! Pagi, Nak. Ayo sini duduk, kita sarapan bersama!"
Perasaan Arya sudah gelisah, rasa gugup bercampur aduk dengan senyuman nya, berusaha terlihat baik baik saja untuk menutupi semuanya.
"Terima kasih, Paman."
Tiara tersenyum menganggukkan kepala menyapa kedua orang tua paruh baya itu. Walau masih canggung dengan keadaan nya yang tiba-tiba hadir di keluarga Arya, dia akan berusaha patuh dan sadar diri agar tidak jadi benalu untuk keluarga pamannya.
"Shasa di mana, paman?"
Tiara mulai duduk. Melihat kursi kosong di sampingnya yang biasa menjadi tempat duduk Shasa.
"Akh, syukurlah. Sepertinya Tiara tidak mendengar percakapan kita."
Hati Arya mulai sedikit lega. Sepertinya gadis yang duduk di depannya itu tidak mendengar apa yang mereka debat kan. Tidak tahu alasan putrinya sampai meninggalkan sarapannya.
"Dia anak yang rajin. Jadi dia harus secepat mungkin sampai di sekolah."
Dengan ketusnya Widia yang menjawab. Menggerakkan bola matanya seolah menegaskan kalau Tiara harus tahu diri dan seperti apa posisinya di sini.
"Maaf, Mas. Aku duluan, sepertinya aku mendadak jadi kenyang."
Widia bangkit, bergegas pergi meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan sarapan.
"Nek, apa sebenarnya yang Nenek inginkan saat menyuruh aku tinggal di sini. Jika Nenek mengharapkan kebahagiaan, sepertinya aku akan lebih bahagia jika aku tetap hidup di desa."
Tiara hanya bisa menahan sesak di dada. Dia bukan gadis bodoh yang tidak mengerti dengan keadaan. Dia hanya tidak tahu apa yang harus dia lakukan agar tidak melakukan kesalahan dan menjadi beban.
"Tiara, maafkan paman, Nak."
Hanya itu yang keluar dari bibir Arya.
Dia bisa melihat dengan jelas raut wajah Tiara yang melemas saat sang istri meninggalkan mereka. Bak pukulan keras bagi gadis remaja yang kini hanya hidup sebatang kara.
"Kenapa Paman minat maaf, seharusnya aku yang minta maaf. Maaf karena sudah hadir di keluarga paman dan malah menjadi benalu di sini."
Pikiran Tiara sesaat membeku. Haruskah dia terus tinggal di sini? Dia benar benar malu melihat dirinya sendiri.
Iya, bukan hanya menampungnya di rumah ini. Arya juga sudah merogoh kocek yang cukup besar untuk mendaftarkan Tiara di sekolah yang sama dengan putrinya. Memenuhi segala kebutuhannya, bak sang Ayah yang akan melakukan apapun yang terbaik untuk putrinya. Tapi balasan dia apa. Dia hanya menjadi benalu yang merusak kerukunan keluarga mereka.
"Jangan bicara seperti itu, Tiara. Paman sudah menganggap mu seperti putri paman sendiri. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Cepat habiskan sarapan mu. Biar paman yang mengantarkan mu ke sekolah."
Arya berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia merasa tidak enak dengan sikap sang istri dan putrinya yang belum juga menerima kehadiran Tiara. Tapi tidak mampu untuk menegur keras mereka. Dia hanya butuh waktu, mungkin istri dan putrinya lambat laun bisa menerima Tiara dan bisa hidup rukun bersama-sama.
"Paman, jika ada yang bisa aku lakukan. Paman jangan sungkan untuk meminta bantuan ku."
Tiara tersenyum. Dia harus terlihat ceria. Dia akan berusaha meringankan beban Arya. Apapun itu. Sungguh dia tidak ingin jadi benalu untuk keluarga mereka.
.
.
.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah pikiran Tiara terus di bayang-bayangi perkataan Shasa. Ya, suara Shasa cukup keras, dia yang baru keluar kamar bisa dengan jelas mendengar percakapan mereka. Tentang perjodohan dan seperti apa laki-laki yang akan menjadi pasangan Shasa. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Shasa benar benar menganggapnya benalu di keluarga mereka.
"Perjodohan." Kata itu langsung terngiang di kepala Tiara, kata yang paling tabu dalam hidupnya. Jangankan sampai pada sebuah tahap perjodohan, pacar ataupun rasa suka pada lawan jenis saja Tiara belum pernah merasakannya. Jika iya, bagaimana bisa dia menggantikan Shasa untuk melanjutkan perjodohan itu.
"Akh sudahlah jangan terus memikirkan itu."
Tiara kembali menenangkan pikiran nya. Toh setelah percakapan nya tadi di meja makan, pamannya tidak mengungkit-ungkit perkataan Shasa dan masalah perjodohan.
Mobil Arya berhenti. Karena terus melamun, Tiara sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah.
"Tiara!" Arya memanggil, Tiara yang awalnya mau membuka pintu mobil kini menghentikan pergerakannya.
"Iya, paman."
"Apa kamu benar benar mau membantu paman jika paman membutuhkan bantuan mu?"
Ya, akhirnya Arya bersuara. Perkataan Tiara saat sarapan tadi membuat Arya tahu kalau dia pasti mendengar jelas percakapan mereka. Semua sudah terlanjur. Walau tidak tega melibatkan Tiara. Tapi Arya akan lebih khawatir kalau istri dan putrinya akan lebih membenci Tiara jika dia tidak segera mengambil tindakan dan membereskan permasalahan keluarganya.
"Bicarakan saja paman. Apa yang bisa aku bantu?"
Walau masih di penuhi keraguan, Tiara akan berusaha sebisa mungkin untuk membalas kebaikan pamannya.
"Ini semua berawal saat dulu paman melawan Nenek mu. Kamu mungkin tidak ingat karena dulu saat paman memutuskan untuk merantau ke kota kamu masih kecil sama seperti Shasa."
Arya mulai bicara, sebelum membicarakan perihal perjodohan, Tiara harus tahu dulu akar permasalahan ini seperti apa.
"Saat itu paman tidak mempunyai apa-apa, hanya bermodalkan uang yang sedikit dan harapan besar untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik saat sampai di kota. Namun alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik, paman malah kesusahan. Paman tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Ingin kembali ke kampung juga percuma. Paman terlalu malu pada nenek mu jika harus kembali dengan kondisi seperti itu. Paman tahu paman salah, paman egois. Memilih pergi meninggalkan kalian padahal tahu bahwa saat itu kalian sedang berduka atas kematian orang tua mu."
Arya menundukkan kepala, mengusap kasar wajahnya. Dia benar benar malu. Cerita masa lalu dan kasih sayangnya sekarang pada Tiara seolah permintaan maafnya secara tidak langsung kepada gadis malang itu.
Sebenarnya Tiara tidak perlu merasa terbebani dengan apa yang telah ia terima dari nya. Anggap saja semua ini pembalasan atas dosanya di masa lalu yang tidak bisa membahagiakan nya.
Bukannya menjadi sosok Paman dan anak yang baik, dulu dia malah memilih mencari kehidupan baru dan hanya memikirkan kebahagiaan keluarga nya saja.
"Kau tahu? Karena keegoisan itu paman mendapatkan karma. Paman sampai kelaparan dan hidup terpuruk dalam kesusahan."
Arya mengangkat kembali kepalanya, memasang senyum kecil menghadap Tiara. Ya rupanya kehidupan terkadang tidak seindah dan semudah bayangannya. Balasan karena melawan pada sang Ibu. Arya malah kesusahan dengan waktu yang cukup lama.
"Dan apa kau tahu siap yang mambantu paman sampai bisa mendapatkan kehidupan yang mewah seperti sekarang?"
Tangan Arya bergerak mengelus kepala Tiara. Gadis itu pun hanya bisa terdiam, dengan setia mendengarkan setiap perkataan yang di ceritakan pamannya. Tiara tahu, kata-kata Arya yang seolah-olah melayangkan pertanyaan sebenarnya adalah penegasan, dengan maksud lain di balik setiap ucapan.
"Pak Kenan. Beliau lah yang membantu paman, Tiara."
Arya kembali menurunkan tangannya, kembali menunduk. Suaranya kembali melemas. Perlahan menarik napas berusaha memilih kata yang tepat untuk melanjutkan perkataanya. Alih-alih melanjutkan bicara. Tiara malah mendahuluinya bicara. Gadis itu begitu peka.
"Paman," Tiara bisa dengan cepat menangkap apa maksud perkataan pamannya.
"Jadi ini alasannya kenapa Paman bersikeras membujuk Shasa agar menerima perjodohan ini. Paman pasti sangat kebingungan karena penolakan Shasa."
Kegundahan muncul. Antara kasihan pada sang Paman dan mengasihani diri nya sendiri. Tidak mungkin dia pura pura tidak mengerti dan mengabaikan pamannya. Dan mungkinkah dia bisa membantu paman untuk menggantikan Shasa. Sungguh bagai simalakama. Jika dia tidak membantu paman maka dia akan terus tertekan dengan tingkah bibi dan sepupunya. Dan jikapun dia membantu paman dengan mengikuti perjodohan, dia tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depannya.
"Jangan terlalu di jadikan beban, paman.
Aku mengerti posisi paman."
Tiara meyakinkan hatinya, kini dia yang berbalik mengulurkan tangannya, mengelus tangan Arya yang sudah ia anggap seperti Ayah kandungannya sendiri. Sungguh kasihan orang tua paruh baya itu, besar hati ingin membalas kebaikan orang yang telah menjadi pahlawan hidupnya. Tapi tidak mampu mengabulkan keinginan nya.
"Beri waktu aku satu minggu untuk beradaptasi di sekolah baru ini, paman. Dan setelah itu, paman bisa mengenalkan ku pada Pak Kenan. Jika beliau berkenan, meski aku bukan putri paman. Aku bisa menggantikan Shasa dalam perjodohan itu."
Tiara tersenyum lebar, membuktikan keseriusan nya bahwa dia bisa membantu. Iya, walau dengan terpaksa mungkin ini jalannya. Di jodohkan dengan laki-laki yang tidak di kenalnya. Kekurangan fisik tidak apa, cukup mendengar cerita tentang Pak Kenan yang memiliki hati baik menjadi penguat bagi Tiara. Mungkin putranya juga memiliki sifat yang baik seperti Ayahnya.
Arya sampai tertegun, berharap Shasa yang akan lebih mengerti dengan posisinya. Tapi kini malah Tiara yang lebih mengerti akan permasalahan nya.
"Terima kasih, Nak." Arya tersenyum penuh keharuan. Bukunya menaruh dendam, gadis kecil yang dulu ia tinggalkan kini malah menjadi penolongnya.
"Masuklah! maaf paman malah menyita waktu mu di hari pertama mu masuk sekolah."
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Murid yang lain mungkin sudah mengawali satu mata pelajaran di dalam sana.
"Paman tidak bisa mengantarkan mu sampai ke dalam. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Paman sudah bicara panjang lebar dengan wali kelas mu. Langsung masuk lah keruangan guru. Sebutkan nama lengkap mu, maka orang orang di kantor guru akan langsung mengenali mu."
Iya, Arya bukan tanpa persiapan mengajak Tiara untuk berbicara sebentar dengannya. Sebelum itu, ia sudah berbicara dengan orang dalam dan meminta izin bawah Tiara akan sedikit terlambat di hari pertama nya masuk sekolah.
"Baik, paman. Terima kasih. Paman hati hati di jalan."
Tiara pamit. Bergegas masuk ke dalam. Bersiap mengumpulkan mentalnya untuk memulai kehidupan baru di sekolah baru nya.
"Ayo semangat, Tiara. Tidak perlu terbebani dengan perjodohan itu. Kau hanya perlu belajar dengan giat demi masa depan mu."
Tiara menggebu-gebu menyemangati diri sendiri, langkah demi langkah pun ia lalui. Matanya terkesima melihat kemegahan bangunan sekolah yang akan ia tempati.
Halaman yang begitu luas, bangunan besar yang ada di sini kanan dan kiri. Membuat Tiara bingung untuk melangkah ke arah mana karena belum tahu pasti keadaan di sini.
"Ya Tuhan, apa mungkin aku bisa sekolah di sini tanpa tersesat."
Ya itulah kesan pertama seorang gadis desa yang baru menginjakkan kakinya di kemewahan kota. Badan Tiara sampai memutar memilih jalan, harus ke arah manakah dia melanjutkan langkahnya.
"Ayolah Tiara, kau hanya perlu melangkah. Mungkin kau bisa bertemu dengan seorang di koridor yang kau lalui dan bertanya ruangan guru di mana."
Tiara lebih memilih melangkah ke arah kanan, menelusuri koridor berharap mendapatkan bantuan.
"Oh tidak, kenapa semakin kesini suasananya semakin sepi."
Tiara hanya bisa celingukan sana sini. Yang dia harapan sebuah bantuan, tapi hanya ada bangunan bangunan yang tidak terisi orang. Dia benar benar tersesat. Memang gadis kampung yang tidak tahu apa-apa. Padahal di pintu gerbang sekolah ada pak satpam yang bisa ia mintai pertolongan.
Tiara kini melangkah berbelok ke sebuah lorong, walau keadaan makin sepi tapi dia berutang, matanya bisa melihat ada beberapa murid laki-laki yang sedang berkumpul tidak jauh dari tempatnya sekarang.
"Akh akhirnya aku menemukan siswa lain."
Saking senangnya Tiara bergerak dengan sedikit berlari, ingin segera menghampiri mereka untuk bertanya.
Para murid laki-laki yang di lihat Tiara belum menyadari keberadaan dia di sama.
Mereka semua sama-sama sedang asyik dengan ponsel nya masing-masing.
"Cepat end dong, Bro. Keburu guru BK menemukan kita."
Salah satu siswa mulai heboh dengan permainan mereka. Iya, rupanya murid yang berjumlah tiga orang itu sedang asyik bermain games bersama.
"End gimana hah. Darah kita sekarat mundur oncom, mundur!"
Semakin memanas. Murid yang lainnya menimpali dengan suara menggebu-gebu.
"Ken, lo ngapain hah? Bantu oi!"
"Akggggh, kita rata."
Dua murid itu mengeram kesal, meminta bantuan pada teman yang satunya lagi, tapi percuma. Hero yang mereka mainkan kena kill dan kini hanya bisa melihat akhir permainan.
"Bantai mereka, Ken. Balas kan dendam kita!"
Timpalnya lagi, masih dengan semangat yang menggebu-gebu.
"Tunggu, gue kelarin minions dulu."
Salah satu murid yang masih melanjutkan permainan menimpali dengan begitu santai, sepertinya ia sedang mengatur strategi untuk mengakhiri permainannya.
"Mereka mendekat, bantai Bos."
"Mamp*s, ma*i kau bangs*t."
"Ayo kelarin satu lagi, Bos."
Bagaikan suporter sejati, mereka berdua mulai ricuh. Double kill, tripel kill, maniac.
bahkan suara audio permainan pun ikut mempersengit suasana.
Namun tiba-tiba....
Brakk
Bukannya berakhir dengan menggila, ponsel yang di pegang murid laki-laki yang di panggil Bos oleh kedua rekannya malah terjatuh ke lantai. Badannya tiba-tiba terdorong saat seseorang menubruk punggungnya.
"Akh maaf, saya tidak sengaja."
Entah kesialan apa yang menimpa Tiara, karena terlalu bersemangat menghampiri tiga murid laki-laki itu, kakinya malah terpeleset dan jatuh menimpa murid laki-laki di depannya.
"Jir..... Sial."
Murid itu mengendus kesal. Tidak ada waktu menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berani mengusiknya.
Dia hanya mempedulikan ponselnya dan dengan cepat mengambilnya. Namun percuma, SHUT DOWN audio permainan terdengar jelas, menandakan permainan nya sudah berakhir. Sedetik saja dia lengah Hero nya sudah di kalahkan.
"Akggggh...."
DEFEAT
Benar benar berakhir, tim mereka telah di kalahkan oleh tim musuh, gara-gara kerusuhan Tiara.
"Woi. Lo, mau cari gara-gara ya?"
"Permainan kita jadi hancur nih."
Dua rekannya itu langsung berdiri, menghardik Tiara dengan penuh kekesalan mewakili pimpinan mereka. Dengan serempak langsung berdiri dan mengintrogasi Tiara dengan tatapan kesal.
"Siapa Lo, Hah?"
"Gak punya mata ya sampai seenaknya nabrak si Bos."
Mereka berdua terus bertanya dengan penuh selidik. Perasaan wilayah yang mereka tempati sekarang jarang di datangi murid yang lain. Tapi kenapa ada cewek menyebalkan yang tiba-tiba nongol dan merusak keseruan mereka. Membuat naik darah saja.
"Jawab, Woi!"
"Ma..maaf...."
Karena terlalu gugup hanya kata itu yang keluar dari bibir Tiara, dia tidak bisa berkata-kata. Tatapan dan perkataan mereka yang begitu kasar membuat Tiara makin ketakutan.
"Sungguh sial kau, Tiara. Setelah tersesat, sekarang kau malah terjebak dengan tiga laki-laki ini. Mereka bukan preman yang menyamar jadi murid sekolah ini kan?"
Tiara mengumpat diri sendiri. Rasa takutnya bukan tanpa alasan. Tiga laki-laki yang dia hampiri malah seperti preman. Jika mereka memang murid sekolah ini, kenapa mereka masih berada di luar dan tidak mengikuti pelajaran. Dan laki-laki yang barusan ia tabrak lebih mencurigakan lagi, orang itu terlihat tidak memakai seragam lengkap, dia hanya mengenakan celana seragam sekolah dengan switer berwarna coklat sebagai atasannya.
"Sepertinya aku harus segera kabur meninggalkan tempat ini."
Baru juga Tiara mau melangkah pergi, tapi niatannya jadi berhenti. Laki-laki yang mengenakan switer tiba-tiba bersuara sambil berdiri.
"Bro, jangan terlalu kasar lah pada wanita. Pertanyaan kalian malah menakutinya."
Tangan laki-laki itu menyentuh kedua pundak temannya. Berbicara dengan begitu santai namun dengan nada yang begitu datar. Mengisyaratkan agar mereka mundur ke belakang. Biar dia yang menghadapi wanita pengganggu di depannya.
"Hei, cupu."
Itulah kesan pertama laki-laki itu saat melihat Tiara. Melihat penampilan nya saja dia langsung tahu kalau wanita di depannya ini adalah murid baru yang pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Sungguh tidak modis, berbeda dengan murid wanita lainnya.
Jelbbb bagai tusukan anak panah yang menancap di hati. Tiara kira laki-laki ini akan lebih lembut dari pada dua rekannya tadi. Tapi ternyata dia lebih parah. Lebih mengintimidasi walau hanya dengan tatapannya nya saja.
"Mau a...apa kau?"
Tiara sampai terbata-bata. Berusaha berjaga-jaga. Memundurkan langkah kakinya beriringan dengan langkah kaki laki-laki itu yang semakin mendekat ke arah tubuhnya.
"Apa kau tahu kalau di sekitar sini tidak ada cctv?" ucap lelaki itu sambil mengangkat satu sudut bibirnya.
Tiara malah makin ketakutan, refleks melihat sekeliling memeriksa keadaan. Dan benar saja, tidak ada satupun cctv di sana. Perkataan laki-laki itu membuatnya berpikir pada hal yang tidak ia harapkan.
"Maaf, sungguh aku tidak sengaja terpeleset dan malah jatuh menimpa mu."
Akhirnya Tiara mampu menjelaskan keadaan. Dia tidak bisa terus diam ketakutan.
"Pergi! Sebelum kedua teman ku memakan mu hidup hidup."
Tidak mempedulikan alasan Tiara. Laki-laki itu langsung menyuruh Tiara pergi. Nada bicaranya memang begitu datar dan sangar, tapi perkataanya itu seolah-oleh dia ada di pihak Tiara, dan memberi angin segar untuk nya.
"Dia menyuruhku pergi? Apa mungkin sebenarnya dia baik? Apa aku tanya saja di mana ruang guru padanya?"
"Iya aku akan pergi. Tapi bisakah kau tunjukkan pada ku di mana ruangan guru?"
Terserahlah, laki-laki itu menakutkan atau tidak. Yang jelas niatan Tiara menghampiri mereka memang untuk bertanya.
"Lurus ke arah Utara."
Dengan santainya laki-laki itu menjawab, tanpa keraguan dan tanpa basa basi.
"Bos, kok di lepasin begitu saja?"
"Diam, si Kenzo pasti sedang merencanakan sesuatu. Mana mungkin dia melepaskan orang yang mengusiknya begitu saja."
Dua temannya yang ada di belakang saling berbisik. Ada yang aneh.
"Sekali lagi maaf karena telah menabrak mu. Dan terima kasih informasinya."
Tiara berbalik, karena sudah mendapatkan jawaban dia pun langsung pergi. Bahaya jika terus berlama-lama di sana.
Kini tinggal tiga laki-laki itu di sana, dua orang yang sedari tadi berbisik seketika menahan tawa. Tega nian laki-laki yang bernama Kenzo ini.
"Ken, bukanya wanita itu bertanya di mana ruang guru? Kenapa lo malah memberi tahunya arah menuju kantin."
Seolah bertanya, padahal dia sedang mengagumi kelakuan temannya.
"Biarkan saja si cupu itu berkeliling dulu sebelum menemukan ruang guru."
"Hahaha...."
Seketika tawa dua rekannya pecah. Bukan Kenzo namanya kalau tidak jahil dan mengerjai orang. Dia malah memberi tahu arah yang berlawanan.
Entah apa yang akan terjadi pada Tiara karena ulah laki-laki yang bernama Kenzo itu.
.
.
.
Tiara berjalan lunglai, bukan hanya tubuhnya yang kelelahan. Tapi hatinya juga terbakar amarah karena ulah seseorang.
"Aku memang salah karena telah menabrak nya, tapi tidak harus seperti ini juga kan. Berpura pura baik dan pada akhirnya mengerjai ku. Dasar cowok switer. Awas saja kalau sampai bertemu lagi."
Tiara terus mengumpat, karena ulah laki-laki itu dia sudah hampir setengah jam keluyuran tanpa kepastian. Untung saja ibu kantinnya baik hati. Bersedia mengantarkan Tiara, hingga kini dia sudah berada di depan ruangan guru.
Tiara merapihkan seragam nya bersiap untuk masuk, menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Iya, mungkin dengan cara itu lelahnya akan sedikit berkurang.
"Satu sama."
Suara lelaki tiba-tiba terdengar jelas di belakang Tiara, tanpa peringatan dan aba-aba menyelusup masuk ke rongga telinga.
Refleks Tiara langsung berbalik, terkejut bukan main saat tahu orang yang kini berdiri persis di depannya adalah orang yang baru saja ia maki.
"S..switer."
Belum juga satu menit dia mengumpat nya. Kenzo malah sudah ada di depan mata.
"Kau!"
Tiara sampai menatapnya dengan penuh kekesalan. Bisa-bisanya laki-laki itu memasang wajah datar tanpa dosa setelah mengerjainya.
"Apa? Impas kan?"
Kenzo menimpali dengan begitu santai. Salah satu sudut bibirnya sampai terangkat melihat reaksi Tiara yang penuh amarah.
Jika Tiara sukses membuat nya kesal maka diapun bisa membalasnya dengan setimpal.
"Minggir! Kau menghalangi jalan."
Lagi-lagi Kenzo memerintah dengan begitu datar. Hati kecil ingin kembali mengerjai gadis cupu ini, tapi dia harus bergegas menuju tujuannya.
Tiara pun mengalah, langsung menggeser kan tubuhnya membiarkan Kenzo pergi. Berharap lelaki itu segera pergi jauh dari jangkauannya.
Cklek.....
Suara pintu terbuka. Bukannya pergi menjauh, ternyata Kenzo juga sedang menuju ruangan yang sama dengan Tiara.
"Loh ku kira si switer cuma lewat saja, ternyata dia juga mau ke ruangan guru."
Entah situasi macam apa, berharap tidak berurusan lagi dengan orang yang mengerjainya, kini Tiara dan Kenzo malah masuk ke ruang guru bersama sama.
"Permisi!"
Tiara yang bersuara, sedangkan Kenzo langsung nyelonong masuk tanpa mempedulikan tata krama.
"Ada apa?"
Salah satu guru yang berada di dekat pintu menjawab sambil menoleh ke sumber suara.
"Maaf Pak, saya Tiara lestari."
"Katanya saya di panggil guru BK."
Tiara dan Kenzo menjawab bersamaan.
Guru yang bertanya malah kebingungan harus mendahulukan yang mana.
"Oh, murid baru itu ya. Ayo sini duduk! Dari tadi wali kelas XII A sudah menunggu, tapi sekarang beliau sedang mengajar di kelas."
"Dan kau Kenzo, kau juga duduk sini. Ada yang harus bapak sampaikan."
Kebetulan ada guru BK yang sudah siaga karena sedang menunggu Kenzo. Sekalian menyambut Tiara dan menyampaikan pesan wali kelas Tiara agar dia menunggunya. Mempersilahkan Tiara dan Kenzo duduk di kursi di depan meja kerjanya.
"Terima kasih, Pak."
Tiara menyahut, menjawab sambil membungkukkan kepala menyapa guru guru yang ada di dalam sana.
Bergegas duduk tanpa mempedulikan Kenzo yang masih berdiri di belakangnya.
"Pantas cupu, namanya saja kampungan."
Kenzo mendelik kesal, kenapa bisa sesantai itu si cewek cupu duduk mendahuluinya.
"Pak, kenapa wanita cupu ini juga harus duduk di sini? Kalau hanya menunggu wali kelas bisa kan duduk di tempat lain."
Kenzo protes. Tidak terima jika dia dan Tiara malah duduk bersampingan.
Bukan tanpa alasan, Kenzo memang sudah langganan di panggil guru BK, sudah hapal pula wacana apa yang akan di dengarnya, cuma gengsi saja jika Tiara juga mendengar wacana guru BK yang akan di sampaikan pada nya.
Tiara menoleh ke belakang, kesal sendiri karena terus di panggil cupu. Padahal katanya sudah impas. Tapi Kenzo malah terus cari gara-gara dengan nya.
"Maaf ya aku punya nama."
Tiara memasang senyum yang di paksakan. Seolah berkata "Jangan terus berulah dan duduk saja."
"Heh, namanya saja kampungan, apa yang harus di banggakan."
"Sudah-sudah, sepertinya kalian sudah akrab, jadi tidak apa-apa kan kalau duduk di sini bersama."
Pak guru BK ikut bersuara memotong percekcokan mereka. Menyuruh Kenzo agar segera duduk, namun bukannya membuat Kenzo duduk, kata 'akrab' yang keluar dari mulut nya malah membuat Kenzo bergidik.
Murid laki-laki itu langsung mengambil kursi kosong yang lain dan duduk jauh di belakang Tiara.
"Sudah siap Pak, bisakah langsung bicara pada intinya saja? Kenapa Bapak memanggil saya?"
Kenzo langsung to the poin, duduk menyandar di kursi dengan begitu santai sambil memasang wajah datar. Percuma saja berdebat, murid baru itu memang tidak bisa pergi ke mana-mana sebelum wali kelas menemuinya.
"Masih bertanya padahal kau sudah tahu jawabannya."
Guru BK menjawab sinis. Sepertinya dia sudah bosan terus menasehati anak brandal sekeras kepala Kenzo. Lihat saja gayanya. Sudah tahu dia berbuat kesalahan tapi masih saja berbicara santai dengan wajah tampan nya.
"Iya Pak, maaf. Lain kali saya akan masuk kelas lebih giat lagi."
Kenzo menimpali, masih dengan wajah datar tanpa ekspresi. Padahal dia sudah bolos di mata pelajaran pagi sudah hampir tiap hari, tapi dia tidak merasa bersalah sama sekali.
"Duh Kenzo, bapak tidak butuh permintaan maaf mu. Bapak butuh tanggung jawab mu sebagai seorang murid. Ini bukan pertama kalinya kau minta maaf. Setelah kau minta maaf kau pasti melakukan kesalahan lagi."
Iya, itulah kebiasaan Kenzo. Walau sudah di panggil ke kantor beberapa kali, dia pasti kembali membuat ulah lagi.
"Jadi bukan hanya tadi pagi saja dia dan kedua temannya itu melewatkan jam pelajaran."
Tiara yang mendengar percakapan guru dan murid itu sampai kaget. Ada ya murid yang dengan sengaja meninggalkan pelajaran, bahkan sampai berkali-kali.
"Bahkan minggu kemarin saja hampir setiap hari kau melewatkan jam pelajaran pertama mu. Ini sudah kelewatan Kenzo. Pihak sekolah sudah tidak bisa mentoleransi kelakuan mu. Kami sepakat akan melakukan tindakan pada mu."
Guru BK sampai meninggikan suaranya.
Memperingati dengan jelas, berusaha agar Kenzo benar benar jera. Dia sudah lelah, sebagai seorang guru BK rasanya harga dirinya jatuh karena seorang murid pembangkangan yang tidak pernah mematuhinya.
"Akh sungguh membosankan. Sekarang apa lagi yang akan mereka lakukan?"
"Ya silahkan saja, Pak."
Kenzo menurut, toh seperti biasa pihak sekolah akan menghukumnya dengan berbagai cara, dan dengan senang hati dia akan menerimanya. Cuma sayangnya sampai sekarang belum ada yang membuatnya menjadi jera.
"Oke, bapak akan menelepon orang tua mu dan menyuruh mereka untuk datang ke sini."
Langsung pada sasaran, Guru BK itu langsung mengambil tindakan.
"Pak tunggu! Kenapa harus memanggil orang tua. Yang lain saja Pak."
Kenzo terkejut. Ketenangan nya terusik.
Dia sampai bangkit dari sandarannya. Biasanya hukumannya selalu di suruh mengelilingi lapangan bola kalau tidak membersihkan WC sekolah. Tapi kenapa sekarang harus memanggil kedua orang tua nya. Padahal hukuman minggu lalu pihak sekolah sudah menghubungi orang tuanya. Kenapa sekarang makin sadis dan malah memanggilnya ke sekolah.
Guru BK sampai tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya, setelah sekian lama dia bisa mengetahui kelemahan Kenzo. Padahal awalnya sudah harap harap cemas. Takut cara ini juga tidak berhasil. Pasalnya minggu kemarin saat dia menghubungi orang tua Kenzo, anak itu masih bersikap santai tanpa memperlihatkan kegelisahan seperti sekarang. Dan pada akhirnya kembali melanggar peraturan sekolah.
"Tidak ada negosiasi. Saya akan menelepon orang tua mu, dan menyuruhnya ke sini sekarang juga. Biar mereka melihat sendiri seperti apa kelakuan anaknya."
Semakin menolak, malah semakin ingin melakukannya. Guru BK itu langsung mengeluarkan ponsel dari sakunya.
"Pak, ini masalah saya. Kenapa harus melibatkan mereka. Hukuman nya yang lain saja."
Benar-benar ancaman. Baru kali ini Kenzo merasa di pojokan.
"Baiklah pilih salah satunya. Taati peraturan sekolah dan berjanji untuk tidak melanggar nya, atau bapak hubungi orang tua mu sekarang, dan menyuruh mereka untuk datang ke sekolah."
Masuk dalam perangkap, guru BK sampai menyeringai. Ingin tahu, apa yang akan di lakukan Kenzo sekarang?
"Sial..."
Kenzo mengendus kesal. Dua pilihan yang sama sama tidak menguntungkan.
Tidak mungkin dia memilih untuk berjanji mematuhi peraturan sekolah. Karena dia butuh kebebasan. Dan tidak mungkin pula orang tua nya mengetahui kalau dia kembali di panggil oleh guru BK. Dia bukannya takut di marahi orang tua nya. Hanya saja minggu ini ada sedikit permasalahan di rumahnya. Kalau orang tuanya mengetahui dia kembali melakukan kesalahan dia terpaksa harus mematuhi keinginan orang tuanya.
"Bagaimana, kau mau pilih yang mana?"
Pak guru BK kembali menegaskan karena sudah tidak sabar ingin mendengarkan jawaban.
"Silahkan, bapak bisa menghubungi orang tua ku."
Iya, itulah pilihan Kenzo. Kembali bicara dengan nada datar dan tanpa ekspresi. Bagi nya, lebih baik di kekang orang tua dari pada di kekang oleh peraturan sekolah.
"Meskipun bapak memanggil mereka ke sekolah sekarang juga?"
Tanya guru BK, kembali menegaskan.
"Iya, silahkan. Tapi saya tidak bisa berjanji untuk menaati peraturan sekolah."
Kenzo menimpali dengan begitu santainya.
Bahkan wajahnya benar-benar tanpa ekspresi sampai guru BK itu tidak bisa menerka-nerka apa sebenarnya yang ada di kepala berandal sekolah ini.
Kalau akhirnya seperti ini percuma saja dia memanggil kedua orang tua Kenzo, toh anak itu tidak bisa jera dengan hukuman yang diberikan nya.
"Masalah nya sudah beres, kau bisa kembali ke kelas."
Pak guru BK sampai melemas. Dia sudah kehabisan kata-kata. Padahal sudah kegirangan mengira akan berhasil. Tapi tetap saja, sang berandal sekolah selamanya akan tetap menjadi berandal sekolah.
"Permisi Pak, saya akan kembali ke kelas."
Kenzo beranjak pergi, walau masih dengan ekspresi datar tapi sekarang ada sedikit perubahan, si berandal sekolah yang terkenal begitu cuek rupanya juga bisa mengucapkan kata 'permisi' sebelum pergi.
Pak guru BK menghembuskan nafas panjang, pandangannya kini beralih pada Tiara.
Melihat jelas ekspresi Tiara yang keheranan dengan apa yang di lihat dan di dengarnya.
"Maaf, Tiara. Di hari pertama mu masuk sekolah malah harus melihat hal yang memalukan."
"Tidak apa-apa, Pak."
Tiara hanya tersenyum, sebagai murid dia jadi malu sendiri dengan apa yang barusan terjadi.
"Dari cara dia memanggil mu tadi, sepertinya kau telah mengusiknya?"
Pak guru BK berusaha menebak. Dia sudah lama mengenal Kenzo, jadi sudah tahu seperti apa wataknya.
"Iya, Pak. Tadi pagi saya tidak sengaja menabrak nya."
"Berhati hatilah! sepertinya kalian akan bertemu setiap hari karena kalian satu kelas."
Sambung guru BK, berusaha menasehati.
Bukan karena apa-apa, berjaga-jaga saja karena Tiara murid baru di sana.
"Apa, satu kelas Pak?"
Tiara kaget. Mendengar nasehat Pak guru BK membuat nyali Tiara sedikit menciut. Bisakah dia melewati hari hari yang indah di sekolah ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!