NovelToon NovelToon

Dear Diary

PROLOG

23 Agustus 2010

 

           Rambut brunette yang tengah diikat ke belakang seluruhnya itu nampak bergerak, berayun seirama dengan langkah kaki sang pemilik— seorang gadis berusia dua belas tahun yang nampak cemerlang— Dei Anastasya. Wajahnya ayu dengan pipi chubby menggemaskan. Langkah kakinya ringan dan beraturan, sepatunya sesekali menyaruk debu ringan. Tas sekolah warna ungunya bergerak seiring langkahnya menyusuri jalan ditemani angin yang berhembus cukup kencang, berderak di antara pepohonan rindang. Sesekali, Dei terdengar bergumam, menyanyikan sebuah lagu kesayangannya, lagu dari penyanyi teranma Indonesia berjudul Bunda. Nyaring dan jernih. Kentara, sejernih ekspresinya.

           Tangan kecil Dei menggenggam sebuah buku kecil berwarna biru. Sebuah buku raport. Dia tersenyum kecil, senang dan tak sabar menunjukkan nilai bagusnya pada sang ibu. Dia berlari kecil di antara gemerisik angin yang berhembus kencang. Langit nampak kelam dengan mendung yang mengendap-endap datang menutupi langit biru yang tadinya cerah. Dei mempercepat langkahnya saat melewati pagar rumahnya dan segera membuka pintu rumahnya dengan semangat.

           “Mama!” panggilnya dengan suara nyaring.

           Dei menutup pintu rumahnya dan membalikkan tubuhnya menatap ke sekelilingnya. Mendung yang semakin kelam, mengurangi pencahayaan dalam rumah. Terlebih, lampu rumah yang masih belum nyala, membuat suasana kian temaram. Dei menyipitkan mata sambil melangkah kecil memasuki rumah. Dia melangkah perlahan penuh hati-hati, takut terantuk sesuatu.

           “Mama... Dei, pulang... Mama... nilai Dei bagus, lho... Aww.”

           Dei meringis kecil seraya mengelus telapak kakinya yang baru saja menyaruk sesuatu di lantai. Padahal, dia sudah cukup perlahan melangkah. Tak lama, Dei menatap lantai di bawah kakinya, sebuah palu tergeletak di sana. Dei mengernyit kecil namun kembali melangkah mengabaikan palu yang entah bagaimana bisa berada di ruang tamu itu.

           “Mama... Mama... Mama... ,” panggil Dei kembali.

           Gadis kecil itu mulai memasuki ruang tengah yang nampak lebih gelap. Dei terhenti sejenak, mencoba menembus kegelapan yang ada sambil meraba dinding, mencari saklar lampu dan menyalakannya. Lampu mulai menyala, memberikan secercah terang di sekeliling Dei. Ia memutar tubuhnya dan, mata Dei seketika mendelik ketakutan. Ruang tengah rumahnya nampak berantakan. Bantal sofa tampak robek-robek, membuat kapuknya bertebaran di atas lantai. Meja kaca yang ada di tengah ruangan tampak sudah pecah, dan pecahan kacanya bercampur dengan pecahan kaca vas bunga palsu yang biasa menjadi hiasan di pojok ruang tengah. TV layar datar yang lebar di sudut ruangan juga nampak pecah. Suasana yang sangat berbeda dari tadi pagi saat ia berangkat ke sekolah.

           Dei bergetar ketakutan di tempat. Dia menatap keadaan ruang tengah rumahnya yang mengerikan itu dengan wajah pias. Isak tangis mulai turun membasahi wajah putih kecilnya. Matanya kini terpaku pada sesuatu yang lain yang tengah nampak menghiasi lantai menuju kamar milik orang tuanya yang tengah terbuka lebar. Sesuatu berwarna merah. Sesuatu yang berbau anyir... Darah. Nampak seperti sesuatu yang berdarah baru saja diseret memasuki kamar orang tuanya. Beberapa cipratan tersebar di dinding dekat pintu kamar orang tuanya. Bola mata Dei bergetar, menyiratkan rasa panik dan takut yang membuat tubuh kecilnya gigil.

           “Aaaaaaa!!! Mama!!!” teriak Dei ketakutan melihat darah bercecer dimana-mana.

           Dei berlari melintasi ruang tengah rumahnya yang berantakan menuju kamar orang tuanya namun segera terhenti di ambang pintu kamar.

           “Mama... Papa... ,” lirih Dei dengan suara bergetar bersama isak tangisnya.

           Dei terdiam membeku. Gadis kecil itu nampak tercekat. Ia terdiam dengan tangan bergetar. Kakinya lemas namun dia tidak ingin lunglai. Belum.

“D... De... De... Dei, uhuk! To... long... Pap... Papa,”

           Dei melihat papanya tengah tergeletak di atas lantai dengan wajah babak belur dan darah mengalir dari kepala, hidung serta perutnya. Papanya terlihat sangat pucat dan mulai terbatuk-batuk mengeluarkan darah dari mulutnya. Papanya nampak tertelungkup di lantai, namun jelas terlihat sesuatu yang mengerikan tertindih oleh tubuhnya yang bersimbah darah. Sesuatu yang selama ini tidak pernah Dei lihat secara langsung. Usus.

           “Papa... ,” lirih Dei dengan air mata yang deras berderai jatuh dari ujung matanya. Takut. Cemas. Jijik. Bau anyir darah semerbak membuat Dei membekap hidung. Gadis kecil itu semakin pias ketakutan.

           “De... Dei... .” rintih papanya yang mencoba mengulurkan tangan, memohon bantuan Dei kecil.

           Dei hampir melangkah mendekati papanya saat sebuah pisau tertancap di atas kepala papanya, menghabisi nyawa papanya seketika. Membuat papanya tak berkutik seketika. Mati.

           “Aaaaa!!!”

           Dei menjerit ketakutan melihat pisau itu memuncratkan darah segar sekaligus membuat papanya meninggal dengan mata melotot ke arah Dei. Lalu, seseorang muncul di samping tubuh papanya, menatap Dei yang nampak terguncang ketakutan. Sepasang tangan dari sosok itu basah dan meneteskan darah merah segar. Dei merasakan air matanya meleleh, entah karena takut atau terlalu terkejut. Sosok itu mendongak rendah, menatap lurus pada dei dan tersenyum ramah. Sosok itu terlihat santai dengan senyuman lebarnya.

           “Halo, Dei sayang... kamu sudah pulang? Papamu... baru saja mati,” sosok itu menyeringai puas menginjak perut papanya yang bahkan ususnya sudah terburai. Dei menahan rasa mualnya dan mulai sedikit terisak. Ujung gaun mamanya basah juga oleh darah.

           “Mama! Papa... kenapa, ma? Mama... takut! Dei takut!” pekik Dei mundur ketakutan dan terhenti saat punggungnya menyentuh dinding. Ia tercekat, merasakan napasnya yang mulai engap. Dada kecilnya kembang kempis dengan irama yang cepat.

           “Takut? Kamu pikir, mama yang membunuhnya?" tanya sang mama dengan wajah serius lalu tak lama, ia tertawa cukup kencang, "Ah... mama memang membunuhnya. Jangan takut, sayang... mama menghukum papa. Mama sedang menghukum papamu. Kenapa? Karena... Dia baru saja bermain dengan perempuan sial di luar rumah.”

           Dei terdiam dan menatap tubuh papanya yang tergeletak tanpa nyawa. Ia menangis sekaligus menahan rasa mual karena bau anyir darah yang semakin membuatnya pusing. Gadis kecil itu linglung, terduduk lemas di atas lantai.

           “Dei, sayang... sini... peluk mama. Kita makan siang, yuk?" ajak sang mama yang nampak berpikir kecil, "Ah... Mama akan masak goreng ati ampela... papa.”

           Dei merasakan tangan dingin penuh darah mamanya menyentuh tubuhnya. Bau anyir, amis semakin pekat tercium. Dei memberontak, namun tubuhnya serasa begitu lemas ketakutan. Tangan mamanya mulai menjamah tubuhnya, membuat seragam sekolahnya yang putih ikut merah karena darah di tangan mamanya membekas di sana. Dei semakin ingin memberontak dari rasa takut sekaligus mualnya. Namun, tenaganya lenyap. Dia hanya bisa pasrah saat mamanya membopongnya ke luar kamar, meninggalkan tubuh papanya di balik kegelapan. Mati.

           Semua menghilang. Papanya yang tergeletak tanpa nyawa, darah yang membanjiri ruang hampa. Perlahan Dei menutup mata, menangisi kepergian papanya. Dan saat ia mendongak kembali, ia menatap mamanya penuh kebencian. Namun, kebencian itu tertahan oleh pelukan hangat mamanya.

           “Suatu hari, kamu juga akan seperti mama. Laki-laki berengsek itu, pantas mati.”

           Mungkin.

 

-oOo-

Bersambung...

Halo semua, selamat datang di novel baruku. Kali ini aku memutuskan untuk menghadirkan genre Horor, Thriller ya...

Jadi, jangan kaget kalau akan ada adegan sedikit brutal dan penuh kekerasan. Tapi, gak seserem itu kok. Hanya sedikit merinding aja.

Kalau kalian berkenan, berikan like, komentar, dan rating. Kalau berkenan, berikan sedikit hadiah dan vote untuk karyaku, ya.

Jangan lupa juga untuk mampir di karyaku yang lain.

Ada Marry to Me yang bikin kalian ketagihan!

Regards Me

Far Choinice ^^

NIGHTMARE

31 Januari 2022

 

           “Pagi,” sapa sebuah suara yang belum cukup mampu mengalihkan pandangan Dei dari lamunannya.

           Dei bergeming. Dia nampak memainkan jari jemarinya yang dingin. Matanya menerawang kosong sesaat lalu kembali sibuk dengan rasa bimbangnya sendiri. Hawa dingin menyeruak, ruangan ini memang selalu dingin. Begitu khas dan memenjarakan rasa gusarnya semakin dalam. Tapi, dia tidak bisa keluar dari sana. Tidak untuk beberapa saat.

           “Jadi, bagaimana semalam?” tanya suara itu lagi.

           Suara lembut namun tegas itu membuat Dei mendongak. Suara yang terlihat kontras dengan sosok pemiliknya. Seorang wanita tengah baya dengan mengenakan blazer cokelat susu yang menutupi mini dress putih selututnya, menyeret kursi dan duduk di sana, menghadap ke arah Dei. Wanita itu mengeluarkan sebuah note kecil dengan bolpoint sementara ia nampak siap menulis apa yang akan ia dengarkan, matanya menatap lurus ke arah Dei dari balik kacamatanya yang bertopang pada hidung mancungnya, menunggu jawaban dari Dei. Benar-benar sosok tegas dengan tatapan intimidasi yang cukup kuat. Auranya membuat Dei cukup memulai gerakan kecil.

           “Apa ada yang tidak beres? Ceritakan saja padaku.” Ucapnya lagi. "Ceritakan semuanya... padaku. Aku akan berusaha membantu, aku janji."

           Dei menarik napas sebelum menjawab pertanyaan dokter Elisa—wanita di hadapannya— sambil memainkan jari jemarinya cemas. Matanya nampak cowong seolah kurang tidur dan nampak begitu lelah, “Aku memimpikan mama kembali, dok. Aku mengingat hari itu. Lagi. Aku ingat bagaimana papa meregang nyawa di hadapanku,” Dei terdiam dan merasakan dadanya sesak dengan air mata yang mengambang di kelopak matanya, “Mimpi buruk ini datang lagi. Mimpi buruk yang menyeretku untuk merasakan kengerian yang sama saat aku mencium bau anyir darah papa. Saat aku... merasakan tangan dingin mama menyentuhku. Aku bisa merasakan semua itu seolah nyata. Dalam mimpi burukku.” Dei hanya bisa mendesah dengan mata berkaca-kaca. Hal yang sudah ia lalu setelah sekian lama. Terus berulang. Lagi dan lagi. Dia merasakan dadanya berdebar dalam ketakutan tersebut jika mengingat semua kenangan itu.

           “Hmmm... ,” dokter Elisa manggut-manggut kecil. Ia mencatat ucapan Dei dengan cepat, "Aku bisa merasakan bagaimana kondisi saat itu. Kamu masih cukup kecil. Dan, jelas itu bukan kenangan yang baik untuk diingat.

           “Mimpi burukku. Semakin menyeramkan. Aku bisa merasakan rasa takut di setiap cengkal tubuhku. Gigil.” Dei menggosok kedua lengannya sambil menghela napas. Lagi. "Seolah mama sungguh datang lagi padaku."

           Dokter Elisa terdiam sambil mencatat beberapa hal di atas note kecilnya lalu memainkan bolpointnya, mengetuk-ngetuk ujungnya ke permukaan meja dengan irama lambat, “Jadi... Setelah sekian lama. Mimpi itu kembali datang.” Dokter Elisa menatap Dei cukup lekat, “Lalu... obat yang terakhir aku berikan di pertemuan terakhir kita minggu lalu, apa kau meminumnya? Apa itu membantunya mengatasi mimpi buruk ini?” tanya dokter Elisa.

          Dei mengangguk kecil “Yah... cukup membantu awalnya. Tapi, aku tidak mau terus bergantung pada obat itu, dok. Membuatku seperti pesakitan yang mengerikan.” Dei nampak tertunduk lesu. "Aku cukup lelah meminum obat itu. Aku memang sudah lelah dengan semua ini."

          “Oke. Aku akan memberikan obat lain padamu. Lebih kuat namun tidak akan mebuatmu kecanduan," kembali, dokter selasa menuliskan sesuatu di notenya dengan cukup cepat. Lalu, ia kembali mendongak ke arah Dei sambil tersenyum tipis, "tapi... bisa kita memulai hal lain?” tanya dokter Elisa. "Kita bisa mulai menceritakan hal lainnya lagi selain mimpi burukmu. Sesuatu yang... hmmm, cukup penting untuk kita ketahui. Untuk ku ketahui."

           Dei menghela napas panjang. Bukan tentang obat. Ini tentang sesuatu yang lain. Dia ada di sana bersama dokter jiwa yang anggun itu untuk hal lain yang lebih penting. Dokter Elisa menyunggingkan senyum kecilnya, selalu. Dokter itu selalu tersenyum anggun dan menawan. Menenangkan. Meski terkadang nada dan auranya tegas mengintimidasi, tapi dia tetaplah sosok yang menawan.

           “Tentang apa? Apa yang sedang anda butuhkan dariku?” tanya Dei kemudian. Ia mencoba mengalihkan topik. Karena sejujurnya, dia tidak cukup punya keberanian untuk menceritakan kembali sesuatu yang lebih kelam dari mimpi buruknya.

           “Mimpi burukmu yang lain.” Ucap dokter Elisa tegas sambil menghentikan permainan bolpointnya.

           “Yang lain?” Dei berpikir sejenak lalu menatap dokter Elisa takut-takut, “Yang itu... ?” tanya Dei lagi dengan wajah tegang. Pada akhirnya, Dei memang harus menceritakannya, khan? Dia ada di sana, memilih dokter Elisa yang terbaik untuk menyelesaikan semua ini.

           “Yah... aku... ingin mendengar detail-nya lebih jelas. Ini adalah apa yang harus aku lakukan sebagai psikiater kamu.” Dokter Elisa menarik napas kecil, mengambil jeda sejenak, “Dei... Apa kamu percaya padaku? Bukan... hmmm... tepatnya, bisa percaya padaku? Sebagai dokter?” tanya dokter Elisa.

           “Jika aku tidak percaya, kita tidak akan berada di sini sekarang. Aku butuh tempat bercerita. Aku tidak bisa memendam ini terlalu lama.” Kegusaran Dei sedikit memudar. Dia memang sengaja memilih dokter Elisa. Karena dia sungguh ingin menceritakan semuanya. Semua yang membuatnya kian gigil dan terkurung dalam ketakutan. “Tolong aku, dok... .” nada Dei jelas menunjukkan nada putus asa.

           Dokter Elisa tersenyum simpul dan mulai serius mendengar cerita Dei selanjutnya setelah sebelumnya meneguk setengah air putih dari gelasnya. Dei menatap setiap gerakan dokter Elisa dengan seksama. Ah, sungguh konteks yang elegan. Menawan. Wanita yang akan selalu menjadi impian banyak laki-laki. Kecuali untuk profesinya, akan banyak yang mengerutkan dahi terkejut. Dokter seluwes dan seanggun ia, memilih spesialisasi yang cukup unik dan aneh.

        “Berceritalah... .” ujar dokter Elisa.

          “Baiklah... ,” Dei menarik napas dalam yang panjang.

           Ia menggeser duduknya hingga mendekati ujung bangkunya lalu meletakkan tangannya di atas meja. Matanya sesaat menyorotkan keraguan namun dorongannya untuk bercerita semakin kuat. Dia harus siap. Dia mulai berpikir, dia akan memulai cerita ini dari mana. Dia harus memilih waktu yang menjadi permulaan dari mimpi buruk yang terus menghantuinya.

           “Jadi, semua dimulai sejak saat itu... mama membunuh papa dengan cukup kejam. Di hadapanku.” Dei menjilat bibirnya sejenak, “Tapi, yah... itu hanya kisah lama. Dan, setelah, Sepuluh tahun berlalu, mimpi buruk itu tiba-tiba datang kembali... .”

           “Datang kembali? Tiba-tiba saja? Apa ada pemicunya?” tanya dokter Elisa yang semakin penasaran.

           “Yah... mungkin memang ada sesuatu yang membuat hal buruk itu muncul. Menurutku... kutukan mungkin. Kutukan dari mama... .”

    “Kutukan?”

    Dei mengangguk ragu, “Anda percaya pada kutukan?”

    “Tergantung.” Dokter Elisa mendesah pendek, “Kamu percaya?”

    “Mimpi buruk yang adalah kutukan bagiku? Tentu aku percaya. Itu benar-benar menyiksaku.” Dei perlahan mulai hanyut dalam ingatannya. Otaknya mulai menggali kembali ingatan terkelamnya, "Jadi, malam itu... ."

 

-oOo-

 

Bersambung

Nah, ayo-ayo like, komentar, ratingnya...

kalau berkenan, bisa kasih sedikit hadiah dan vote untuk karyaku.

jangan lupa untuk mampir di novelku yang lain.

Marry To me yang gak kalah bikin ketagihan.

Regards Me

Far Choinice ^^

Permulaan

23 Agustus 2020

 

           Jam satu tengah malam, lewat dua menit dan Dei terbangun dengan tubuh berkeringat. Ia merasakan perasaannya serasa tidak nyaman dengan tubuh gigil. Ia tercenung sambil menyingkap rambut ikal panjangnya ke belakang kepala, basah dan pekat oleh keringat. Wajahnya memucat pasi. Napasnya terengah dan dadanya berdebar kencang. Mimpi itu datang lagi. Mimpi buruk yang ingin ia lupakan. Setelah sekian lama nyaris terlupakan dan sekian lama mengkonsumsi obat penenang, mimpi buruk itu kembali menemukan jalan untuk kembali menghantui Dei. Dei menatap kedua tangannya yang bergemetar.

           “Mama... ,” erang Dei sambil mencengkeram permukaan kain babydoll biru lautnya. Mencoba menekan rasa gusar yang mulai menyerang ya.

           Seluruh nadinya berdesir aneh saat kembali mengingat bagaimana rupa papanya. Bagaimana detik-detik papanya meregang nyawa. Tentang bagaimana darah menempel di seragamnya kala itu. semua masih membekas secara nyata. Sekian lama ia melupakannya. Kenangan itu datang kembali lagi, menghadirkan rasa takut untuk Dei. Dei memejamkan mata sejenak. Mencoba mengatur napasnya.

‘ Bernapas, Dei! Bernapas!’

           Dei menghembuskan napas panjang dan mencoba menepis apa yang berkecamuk di otaknya. Dia membuka matanya kembali lalu menyingkap selimut tebalnya, lalu turun dari ranjang, melangkah kecil meninggalkan kamar menuju dapur. Lemari es nampak setengah penuh namun Dei tidak menemukan air di dalam botol bening yang tersimpan di sana. Dia mendengus seraya meraih sebuah kaleng minuman soda yang nampaknya tersisa setengahnya lalu meneguknya habis. Ia menyandarkan pinggulnya ke meja dapur dan kembali terdiam. Beruntung, air soda masih mampu menebus ion dari keringatnya yang baru saja terkuras habis. Namun, dia masih merasakan tubuhnya lemas.

      “Sssssshhhhh... hmmmpph ,” Dei melenguh kecil, menghembuskan napas sisa ketakutannya sambil meneguk sekali lagi isi kaleng sodanya.

           Sepuluh tahun dan rupanya, waktu selama itu tidak cukup mengubur mimpi buruk itu. Dei, menjadi saksi atas kematian papanya. Tidak hanya itu, sehari setelah membunuh papanya, mamanya ikut mati dengan bunuh diri. Mamanya melompat untuk bunuh diri. Dan, parahnya lagi, Dei menyaksikan kejadian itu dengan matanya sendiri. Dia harus ada di saat papa dan mamanya meregang nyawa. Dei yang masih kecil, harus diganti kenangan yaang luar biasa buruk. Benar, Sepuluh tahun tidak akan cukup untuk mengubur kenangan itu.

 

           “Mama menebus dosa besar. Mama menghukum diri Mama sendiri. Jangan bersedih, sayang... mama akan di sisimu selalu dan menjagamu di balik kegelapan. Mama janji. Mama sayang Dei.”

 

           Dei meletakkan kaleng soda kosongnya ke meja sementara ia mendekap diri, mengelus kedua bahunya yang semakin bergidik ngeri. Mendadak, ia merasakan hawa dingin mencuat di sekelilingnya, cukup membangkitkan bulu kuduk Dei. Dia ingat kalimat terakhir yang diucapkan sang mama sebelum mengakhiri hidupnya sendiri kala itu.

 

           Di balik kegelapan... .

 

           Dei meneguk air liurnya dengan sekuat tenaga, menatap ngeri pada kegelapan akan keremangan cahaya di sekitarnya. Dia serasa tengah diperhatikan di di kegelapan itu. Semakin bergidik, Dei memutuskan segera kembali  ke kamarnya lagi, bergelung dan bersembunyi di balik selimut tebalnya. Dei menatap langit-langit kamarnya dan kembali memejamkan mata, berharap mimpi itu tak lagi datang.

           Tidak, Dei... tenang... tenang. Mama sudah meninggal. Itu hanya sekedar ucapan kosong.

           Dei mencoba memejamkan mata, tenggelam dalam kegelapan fana dan terlelap kembali. Tanpa Dei sadari, lampu kamarnya berkedip-kedip sesaat lalu meremang dan menghadirkan kegelapan di sekeliling Dei. Lalu, sesosok bayangan muncul, menatap Dei yang terlelap dalam diam.

      Dei... mama selalu di sisimu.

 

-oOo-

 

           Dei sibuk membaca sms dari Langit, sosok yang paling sabar dan paling bisa membuat Dei tenang. Seulas senyum merekah di bibirnya. Gelora di dada kembali membuncah oleh kerinduan. Setidaknya, memberinya ruang lega setelah mimpi buruk semalam.

 

From : Langit

           Kutunggu jam tujuh tepat. Kita ketemu di sana. Oke?

 

           Dei mengetikkan sms balasan dan mengirimnya kembali pada Langit—Kekasihnya selama dua tahun terakhir— lalu menyusupkan kembali ponselnya ke dalam saku celemek cokelat tuanya. Dei membuka microwave jumbo di depannya dan mengeluarkan satu nampan berisi kue berbentuk segilima, aroma kue yang menggoda membuat perut Dei keroncongan. Dia meletakkan nampan itu di atas meja dan ganti memakai sarung tangan plastik sembari memotong ujung plastik berisi cream cokelat, hiasan untuk kue berbentuk segilima yang asapnya nampak masih mengepul itu, fresh from the oven. Aroma kue bercampur coklat menggoda, membuat air liurnya cukup tergiur.

           “Kamu jadi jalan sama Langit, Dei?” tanya Yuna—Sahabat Dei— yang tiba-tiba hadir di sebelah Dei.

           Dei melirik kecil ke arah Yuna lalu mengangguk singkat. Dei dan Yuna telah berteman sejak mereka berusia enam belas tahun. Mereka sama-sama berasal dari panti asuhan. Setelah Dei yatim piatu, dia dibawa ke panti asuhan oleh kerabat jauhnya. Dan, Dei yang pendiam sulit berkomunikasi dengan anak lain. Terlebih, setelah kenangan menyakitkan itu. Hanya Yuna yang berhasil membuat Dei nyaman dan menjadi sahabat baik hingga sekarang.

      Tapi, Yuna cukup beruntung, dia diadopsi keluarga sederhana setelah tiga tahun Dei ada di panti asuhan itu. Sementara Dei, masalalunya yang kelam serta setelah menjadi mantan pesakit di sebuah Panti rehabilitasi gangguan kejiawaan, dia harus puas dengan berada di panti asuhan selama sisa masa remajanya sampai Yuna menawarkan bantuan pada Dei untuk hidup mandiri. Jadi, Yuna menawarkan pekerjaan di Toko Roti miliknya. Cinderella Pastry.

           “Aku cukup lama nggak denger kabar tentang dia. Titip salam, ya? Aku dengar, Harmonia akan launching album keduanya tengah tahun ini. Wah, pasti menyenangkan punya pacar artis.”

           Dei terkekeh kecil menanggapi godaan dari Yuna. Yuna nampak semakin senang menggoda Dei dengan menyenggol kecil lengan Dei. Dei menoleh kecil pada Yuna yang tampak seperti anak kecil.

           “Apaan sih, Yuna... jangan lebay,deh... .”

           “Kapan nih, masuk ke jenjang yang lebih seriusnya?” tanya Yuna, mengabaikan omelan kecil dari Dei barusan.

           “Apaan sih, Yun... Masih enjoy aja dengan status pacaran. Lagipula, karirnya sebagai drummer Harmonia lagi di puncaknya, aku nggak mau ganggu impiannya.”

           Sebuah helaan napas kecil keluar dari bibir Dei. Yah, sebenarnya dia memang berharap lebih. Berapa umurnya sekarang? Dia butuh pendamping alih-alih pacar. Tangan Dei masih dengan cekatan menghias kue-kue hangatnya dengan krim kocok berwarna krem.

           “Duh, nggak mau ganggu apa karena fans ceweknya pada labil?” tanya Yuna setengah tergelak.

           “Nggak ada hubungannya ama fans labil, tuh. Serius. Cuman lagi pingin mengalir aja... .”

           “Bo’ong banget kamu,” Yuna menjulurkan lidah dan semakin membuat Dei gemas.

           Dei tertawa lebar sambil mulai memasukkan kue-kue yang baru ia hias ke dalam plastik kecil sebelum dipajang di etalase toko. Pikiran Dei melayang sejenak, ia teringat akan kisah cintanya dengan Langit. Seorang drummer dari band ternama, Harmonia. Lucu. Dei yang hanya pekerja di toko roti, bisa berkencan dengan Langit. Semua terjadi sejak mereka di SMA, sejak Langit belum menjadi apapun. Mereka berteman baik sampai kemudian resmi jadian dua tahun yang lalu. Jika dipikir, Dei memang tergolong beruntung. Dia punya sahabat sebaik Yuna dan pacar setampan Langit. Harusnya, dengan semua yang ia miliki saat ini, tidak ada alasan bagi masalalu kelamnya untuk datang. Harusnya. Tapi, kenangan itu tetap kuat bercokol dalam otak Dei. Sebanyak apapun obat penenang yang ia minum, selama apapun ia pernah berada di pusat rehabilitasi, mimpi buruk itu akan terus menyapanya, mengendap-endap untuk mencuri mimpi indahnya.

           “Eh, beneran jangan lupa titip salam ya buat mereka. Kapan-kapan suruh mampir ke toko kue. Ntar aku buatin kue enak,” ujar Yuna tepat sebelum Dei pergi meninggalkan pantry, berusaha untuk menggoda Dei.

           Dei memutar bola matanya lalu tersenyum kecil. Ia menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. Giliran Dei yang menyenggol bahu Yuna penuh godaan, Yuna melengos kecil, semakin membuat Dei girang untuk menggoda sahabatnya ini.

           “Siapa yang disuruh mampir? Langit? Harmonia? Atau... Deka?” tanya Dei sambil menahan senyum saat mendapati Yuna merona merah saat Dei menyebut nama Deka, gitaris Harmonia yang diduga Dei tengah ditaksir Yuna.

           “Apaan sih... Harmonia-lah... Aku khan juga kangen ama cerewetnya si Sherin,” ucap Yuna memukul kecil bahu Dei.

           “Percuma. Kamu udah ketangkep basah,” sahut Dei sambil melenggang meninggalkan pantry menuju counter.

           Dei menata rapi kue-kuenya ke dalam etalase toko saat Yuna mengekorinya namun memilih duduk di kursi belakang counter, membaca sebuah majalah setelah mengomeli Dei yang terlalu banyak menggodanya dengan Deka. Dei terkekeh kecil lalu mulai menata kue-kuenya berjejer manis di dalam etalase.

           Wush. Semilir angin berhembus, membuat Dei menggigil kecil namun masih sibuk menata kuenya.

           “Berapa kue ini, Kak?” tanya sebuah suara tiba-tiba.

           Dei berjengit kecil dan menoleh ke arah gadis yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Dei melirik sekitarnya dan berpikir kecil, sejak kapan gadis itu di sana? Dei menghela napas pendek dan menatap kue di tangan gadis itu. Dei menelisik kecil ke arah gadis itu. Rambutnya terurai panjang dan agak kusut, pakaiannya berwarna krem dan dengan sepatu kets hitam.

           “Itu harganya tujuh ribu lima ratus. Mau beli? Sini, saya bungkuskan,” ucap Dei.

           “Saya mau langsung makan. Nih uangnya,” ujar gadis itu datar sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan pada Dei.

           “Tunggu sebentar, ya... saya ambilkan kembaliannya.”

           Dei berbalik hendak menuju counter saat ia merasakan semilir angin dingin kembali berhembus. Semilir angin yang membuatnya bergidik sekaligus membuatnya ingat jika gadis barusan itu adalah pelanggan tetap toko ini. Seorang gadis SMA yang selalu datang akhir pekan untuk membelikan kue mamanya. Dei hampir melangkah kembali saat ia merasa ada yang aneh. Sebuah ingatan lain kembali muncul, membulatkan kedua mata Dei dalam ketakutan.

           “Gadis itu... ,” lirih Dei sambil membalik badannya ke arah gadis tadi dengan perlahan dan wajah yang memucat, "Bukankah... dia... Sudah mati,” desah Dei yang nampak tercengang dalam diam saat menemukan gadis itu tak lagi ada di sana. Lenyap.

           Dei merasakan hawa dingin semakin menyeruak hebat, dia nampak menelisik ke sekelilingnya yang kosong. Tangan Dei dingin. Ia mengangkat telapak tangannya yang baru menerima uang dari gadis tadi.

           “Ahhhh!!!” Darah. Darah mengalir hebat dari kedua tangan Dei, "Aaaaaarrgghh!!!”

           “Dei!!!” pekik sebuah suara bersamaan dengan sebuah tepukan di pundak.

           “Woaa!!!” Dei berjengit kecil, melompat menjauh dan berbalik.

           “Apaan sih? Ini aku, Yuna!” pekik Yuna yang berdiri di depan Dei dengan wajah bingung.

           “Yuna... ,” desah Dei sekaligus bernapas lega, ia menyentuh lengan Yuna. Yah, dia memang Yuna.

           Dei menatap kembali tangannya yang kosong. Tidak ada uang ataupun darah. Dia menatap sekelilingnya sekali lagi. Kosong. Hanya ada etalase berisi roti-roti yang berjejer di sudut-sudut toko serta pintu yang masih tertutup dengan bel yang tidak berdenting sama sekali. Napas Dei terengah-engah saat Yuna memegang pundaknya lembut, menarik kembali fokusnya.

           “Kamu kenapa?” tanya Yuna,”Keringetan gitu. Kamu tadi juga ngomong sendiri.”

           Dei nampak linglung,”Tadi... itu... aku... ,” Dei menyeka keringat dingin di keningnya lalu menggeleng lemah,”Nggak ada apa-apa. Sorry. Aku ke toilet bentar.”

           “Kamu yakin, nggak apa?” tanya Yuna yang diabaikan Dei dengan satu kibasan tangan sementara ia melenggang menuju toilet dengan wajah masih pucat.

           Dei melangkah gontai namun ia menyempatkan diri menoleh ke luar toko. Di sana, Dei melihat gadis yang mati itu berdiri, menatapnya kelam. Dei melengos cepat dan segera menghilang demi menghindari sosok menyeramkan itu.

 

-oOo-

Bersambung

Hayooo.. jangan lupa like, komentar, fav dan rating ya...

kalau berkenan, kasih hadiah dan vote juga...

Mampir juga di novel Marry to Me yang bakal bikin kalian ketagihan... ^^

Regards Me

Far Choinice

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!