Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di desa Ban-ceng itu sungguh amat meriah. Seluruh penghuni desa Ban-ceng ikut merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga mereka dikenal sebagai keluarga ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di desa itu. Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar akan kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan.
Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi makin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja leluhur. Walaupun wajah pengantin perempuan tidak dapat dilihat jelas karena tertutup oleh hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, namun masih dapat dilihat bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus.
Pengantin laki-laki juga kelihatan gagah, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu karena banyak sahabatnya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya. Sepasang mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali.
Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, bagaikan bunga sedang mekar. Adapun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat dan pandai berdagang karena sejak kecil telah membantu ayahnya. Keluarganya adalah pedagang ikan, membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho dan menjualnya ke kota Tai-goan.
Setelah sepasang mempelai itu selesai melakukan upacara sembahyang lalu mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua, mereka baru diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang sudah dipersiapkan. Para tamu pun mulai dengan perjamuan makan.
Hari telah mulai gelap dan para pelayan mulai menyalakan lilin dan lampu-lampu yang diatur indah untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari. Suasana gembira ini menjadi agak bising karena para tamu kini bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai sampai ke urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dari seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar.
"Ada apa?"
Tanyanya kepada pelayannya dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu. Akan tetapi pelayan itu nampak tubuhnya menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya.
Thio Ki lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas mendekati dinding dan tiba-tiba mukanya pun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan sepertinya, benda cair yang dipakai menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang.
Sepertinya, pelayan tadi menyalakan lilin dekat dinding dan melihat lukisan itu, sehingga dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiripun terkejut.
"Aihh...!"
Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu dengan muka pucat.
Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ada yang mendapati gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis diculik. Dan sekarang, justru terjadi pada saat seorang gadis merayakan hari pernikahannya, terdapat gambar pada dinding rumah itu!
"Siluman Gua Tengkorak...!"
Terdengar bisikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan. Nama ini, biarpun baru muncul beberapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya.
Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah segerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai.
"Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, kawan-kawan?"
Teriaknya. Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas dan berteriak,
"Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!"
Walaupun begitu, para tamu sudah merasa ketakutan dan perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit, seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, lalu berbondong-bondong minta diri dan meninggalkan rumah keluarga Thio. Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu yang tadinya bising dengan para tamu.
Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang sudah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai telah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mempelai di malam pertama itu.
Seluruh keluarga Thio yang sudah memasuki kamar masing-masing, namun tak dapat memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, dua belas orang nelayan muda, teman-teman dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang berdekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu. Setelah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengantin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan diapun pergi ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Namun, di dalam kamar inipun dia dan isterinya rebah dengan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali.
Malam semakin larut dan amat sunyi. Terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan kemudian berobah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis gentayangan di permukaan bumi.
Dua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan terpaksa dia tadi meninggalkan isterinya untuk ikut berjaga bersama kawan-kawannya. Baru setelah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar, barulah pengantin pria memasuki kamarnya lagi.
"Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga di dalam kamar," Katanya.
"Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!" Kata seorang temannya.
"Sudahlah, nikmati malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul."
"Hushh!" Cela seorang kawan lain.
"Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau akan merasa aman dalam pelukan istrimu, ha-ha!"Dua belas orang itu tersenyum.
"Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?"
The Si Kun lalu membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya. Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di tepi pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup apapun lagi, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biarpun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tak dapat menahan hatinya dan duduklah dia disamping isterinya,
Tangannya merangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya. Tiba-tiba lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar, maka merekapun tertawa-tawa karena padamnya lilin dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa.
Akan tetapi, betapa terkejut dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tak lama kemudian terdengar jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ. Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar dan mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil.
Thio Ki dan isterinya dan seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masing-masing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan. The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya menggunakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus.
Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya. Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis.
Siluman Gua Tengkorak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria. Gegerlah desa Banceng.
Alasan mengapa penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Gua Tengkorak adalah karena gambar itu. Setiap kali hendak melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, penjahat itu pada siang atau sore harinya selalu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi. Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Tengkorak. Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan gua-gua.
Tempat ini dikenal dengan sebutan Gua Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali gua-gua besar dan diantaranya memang ada gua-gua yang bentuknya seperti tengkorak. Karena inilah, maka penjahat yang telah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Gua Tengkorak.
Pemerintah daerah yang dibantu oleh para pendekar setempat telah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Gua-gua itu telah diperiksa, namun tidak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya amat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu.
Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin pria dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang keempat selama hampir dua bulan penjahat itu muncul. Walaupun belum pernah ada yang dapat melihat wajahnya karena penjahat itu pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, namun orang-orang tahu bahwa penculikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yamg sama, yang mereka juluki Siluman Gua Tengkorak karena cara-caranya yang sama, yaitu sebelum datang, telah memberi tanda gambar tengkorak darah dan caranya bekerja juga sama, amat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang.
Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda malapetaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka. Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota, telah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, sukar disusul dan ketika dicari di daerah Gua Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya.
Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan diculiknya, dan beberapa orang hartawan telah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia.
Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Guha Tengkorak, terdapat seorang laki-laki bernama Cia Kok Heng. Dia bekerja sebagai ahli bangunan bagian kayu, dan nama Cia Kok Heng ini cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia adalah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja memiliki dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut.
Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai asli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dan menjadi murid atau anggota dan karena dia sendiri anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggota perkumpulan itu.
Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biarpun kini telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tidak berkurang. Anak mereka, yang pertama laki-laki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun.
Hidup mereka tidak dapat dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli cukup untuk hidup layak bagi keluarga itu.
Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Dan biarpun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, namun bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah. Biarpun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desas-desus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya.
Pagi hari itu, Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya, dengan hati agak kesal. Karena saat isterinya berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya dan mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikian kata isterinya dan biarpun Kok Heng menganggap kekurangajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan penyakit umum dan tidak begitu aneh, tetap saja hatinya diliputi rasa cemburu dan penasaran.
Namun, sebagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah agak muram. Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, main-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi, timbul keheranannya ketika melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, memandang ke arah dinding dan menunjuk-nunjuk, nampak keheranan. Diapun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar ini berubah merah lalu pucat, dan merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu. Di atas dinding putih itu nampak jelas gambar tengkorak dan dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah!
"Ayah, apakah itu?"
Tanya Cia Ling. Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah setelah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumah masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan hatinya lega ketika dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur.
"Eh, ada apakah? Engkau kelihatan..."
Isteri-nya bertanya khawatir melihat wajah suaminya.
"Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak,"
Kata suaminya. Biarpun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka.
"Siluman Gua Tengkorak...? Isterinya ber-bisik, bibirnya gemetar mukanya pucat.
"Jangan khawatir. Siapapun adanya badut atau penjahat itu, dia akan ketemu batunya sekarang. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Sudah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu,"
Kata Kok Heng dengan penuh semangat. Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, biarpun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir.
Kok Heng lalu menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya. Keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lalu tidur di kamar mereka pada siang hari itu.
Kok Heng bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam, dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk membicarakan ancaman itu setelah kedua orang anak mereka tertidur. Kok Heng mengambil pedangnya dan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu.
"Akan tetapi mengapa kita...?"
Isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat. Kok Heng memegang lengan isterinya.
"Tenanglah, mukamu begitu pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu."
"Tapi... mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya..."
"Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya suka mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita..."
Muka yang pucat itu berubah merah.
"Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..."
Kok Heng menatap wajah isterinya dan tersenyum bangga.
"Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka."
"Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak..."
"Aku tidak bergurau. Biarpun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan amat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurangajaran pemuda bangsawan itu..."
Tiba-tiba pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah.
"Si keparat itu... ah, mengapa engkau memandangku seperti itu...?"
"Pemuda she Phang itu... kemarin dia menggodamu dan hari ini siluman itu memberi tandanya! Hem... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?"
"Hubungan bagaimana maksudmu?"
Tanya isterinya bingung.
"Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?"
"Akupun merasa heran, kenapa begini kebetulan? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku."
Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng. Disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega.
Keberadaan 7 pendekar membuat rasa takut lenyap. Bahkan nyonya rumah juga kini dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimanapun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apa yang perlu ditakuti? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orang-orang sembarangan.
Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukanlah yang paling rendah ilmunya. Orang kedua adalah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar bermarga Cia itu. Orang ini bernama Kwee Siu berusia empat puluh lima tahun dan dia adalah murid perguruan Siauw-lim-pai yang lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng.
Walaupun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng karena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Butong-pai yang lihai sekali dengan senjata rantai bajanya. Orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik bermarga Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja. Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi, hanya bedanya kalau Ciok Lun biasa mempergunakan senjata toya, adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok.
Orang ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tahun, perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, berusia empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli piauw dan pedang. Untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan seringkali membantu pemerintah untuk menghadapi penjahat lihai.
Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu. Tangannya yang memiliki Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis.
"Hem, darah tulen...!" Gumamnya.
"Mungkin bukan darah manusia," Kata Kok Heng.
"Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang."
Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.
"Belum tentu. Aku pernah mendengar dahulu tentang seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali mempergunakan darah dalam surat ancamannya dan darah itu ternyata darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis."
Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka merekapun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan tentang pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata.
"Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu.
"Memang, dia seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tidak segan-segan untuk mempergunakan kedudukan dan hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Akan tetapi dia belum pernah menggunakan kekerasan, apa lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya."
Cia Kong Heng mengangguk-angguk.
"Akupun mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali dan mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan."
Tiba-tiba Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai, yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju dan memukul meja.
"Bruk!"
Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah.
"Siapapun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!"
"Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut saja isterimu, aku akan mematahkan tangannya!"
Ciok Lun, orang tertua diantara mereka, menarik napas panjang.
"Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Bagaimana juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban di waktu siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus diatur agar kita dapat saling membantu."
Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu telah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri dan dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang dililitkan di pinggang. Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Adapun kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiripun tidak akan mampu memasuki kamar itu tanpa diketahui dan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat.
Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah pulas, tidak seorangpun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanyalah Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, dan enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi.
Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, perumahan di situ semua memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga. Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan.
Kesunyian yang mencekam itu kadang-kadang dipecahkan oleh bunyi burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam terbang lalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut.
Telah beberapa kali para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada di kamar. Hati mereka terasa lega dan diam-diam hati yang tegang itu mengharapkan siluman itu menjadi jerih dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan.
Akan tetapi ketika waktu menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu terkepung.
Terdengar suara Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah batuk-batuk, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa serem di hati. Suara batuk-batuk ini dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga.
Tiba-tiba...
"ngeonggg...!"
Terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga. Jantung mereka yang sedang tegang itu seperti copot rasanya, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu adalah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!