Pagi ini sangat sejuk. Hembusan angin terasa dingin merasuk hingga menusuk ke tulang. Aku baru selesai mandi dan mengenakan seragam sekolah lalu aku melapisi seragamku dengan sweater, kemudian aku duduk di meja rias untuk memastikan wajahku terlihat segar.
Tok... Tok... Tok...
"Airin... apakah kamu sudah selesai berkemas?" Tanya mama dari balik pintu.
"Oh... iya mah. Airin sudah siap berkemas kok mah," jawabku pada mama.
"Kalau begitu cepatlah turun ke bawah nak, bibi sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kita."
"Baik mah," jawabku dengan singkat.
Aku berdiri dari kursi dan beranjak meninggalkan cermin riasku untuk mengambil tas ransel dari atas kasur dan kemudian aku berjalan menuju pintu kamar. Aku membuka pintu kamarku dan kemudian aku keluar untuk menuju ke ruang makan.
"Rin... Ajak juga ka Adit untuk sarapan!" Perintah Kak Haura kepadaku saat aku melewati pintu kamarnya yang terbuka.
"Kenapa tidak Kaka saja yang memanggil ka Adit?" godaku, dia berbalik badan dan melihat ke arahku dengan sorot mata yang terlihat tajam.
"Ya elah, lu jadi adik males banget sih! Gak bisa disuruh apa?" ujar Kak Haura dengan kesal.
"Bawel lu!" balasku sambil menggoda Kak Haura lalu berlari menuju kamar kak Adit.
"Awas aja lu ntar ya!" teriak Kak Haura dengan nada kesalnya.
"Pura-pura gak denger ah!" responku terhadap teriakannya dengan godaan yang usil.
Hubunganku dengan Kak Haura memang selalu seperti ini. Jarang akur, mungkin malah tidak pernah akur sama sekali. Aku akan kenalkan dia kepada kalian. Nama lengkapnya, "Haura Evangelista." Orang-orang biasa memanggilnya "Haura." Tetapi tidak denganku, seperti yang diketahui bahwa aku dengannya tidak pernah akur. Maka dari itu aku memiliki nama panggilan yang cocok baginya, aku memanggilnya dengan sebutan "Burung Pipit." Karena itu memang nama yang cocok untuknya, sangat sesuai dengan dirinya yang selalu berkicau di pagi hari.
Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kini dia sudah duduk sebagai mahasiswi di universitas yang bertempat cukup jauh dari keramaian kami.
"Tok Tok Tok."
"Ka Adit, sarapan yuk! Hidangannya sudah menunggu kita di meja makan, loh!"
Aku mengetuk pintu kamar kak Adit dan kemudian aku mengajaknya untuk turun menuju ruang makan dan menyantap sarapan pagi yang telah disediakan.
"Tunggu, Rin! Kita bareng ya ke ruang makan!" perintah Kak Adit dengan ramah memintaku untuk menunggunya.
"Baik ka, jangan lama-lama ya, aku sudah lapar soalnya."
Kataku kepadanya dengan nada manja.
"Iya, iya, Kaka udah siap kok."
Jawab Kak Adit dan kemudian dia pun keluar dari kamarnya.
"Yuk!"
Ajak Kak Adit dengan singkat dan kemudian dia pun berjalan sambil memperbaiki dasinya, sedangkan aku berjalan di belakangnya hingga akhirnya kami pun sampai di ruang makan.
"Pagi Pa! Ma!"
Kak Adit menyapa Papa dan Mama yang sudah terlebih dahulu menempati tempat duduknya masing-masing.
"Pagi sayang."
Jawab Papa dan Mama dengan senyuman. Aku juga menyusul sapaan Kak Adit kepada Papa, Mama, dan juga si burung Pipit, kemudian aku dan Kak Adit pun duduk di kursi kami masing-masing untuk memulai sarapan bersama.
"Airin jadi masuk SMA mana pa?"
Tanya Kak Adit sebelum melahap sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Di SMA Negeri dekat kota, Dit."
Jawab Papa kepada Kak Adit.
"Nanti lagi sambung ceritanya setelah selesai makan."
Sambung Mama memotong percakapan antara Kak Adit dan Papa.
"Oke, Nyonya."
Jawab Kak Adit dan Papa dengan kompak, dan kami pun melanjutkan sarapan hingga selesai.
Setelah sarapan, kami pun langsung berjalan menuju teras rumah untuk berangkat ke tujuan masing-masing.
Aku naik mobil bersama Papa dan Kak Adit mengendarai motor berdua, sedangkan Mama tetap di rumah karena dia masih cuti kerja.
"Da-da, mah!"
Ucapku sambil melambaikan tangan kepada Mama sebelum akhirnya mobil pun keluar dari pekarangan rumah dan mulai memasuki jalan-jalan Sriwijaya yang sangat sepi. Angin berhembus kencang menggoyang pepohonan cemara yang rimbun di sekitaran jalan Sriwijaya.
Perkenalkan, namaku "Airin Kanya sara." Aku akrab dipanggil "Airin." Aku adalah anak terakhir dari ketiga bersaudara. Kak "Azka Pradita Julian" adalah anak pertama, dia akrab disapa dengan nama "Adit." Oleh orang-orang yang dekat dengannya, dan yang kedua adalah si "Burung Pipit," alias Kak Haura Evangelista. Kami semua adalah anak kandung dari Papa Nathan Wijayanto dan Mama Ajeng Sudrajat.
Kami tinggal di sebuah rumah besar yang terletak di pegunungan, jauh dari keramaian.
"Rin, kamu kok melamun?"
Tanya Papa kepadaku.
"Oh, Airin gak melamun kok, pa. Airin cuma sedang melihat-lihat pepohonan cemara yang bergoyang terkena hembusan angin."
Jawabku sambil tersenyum.
"Oh, gitu."
Saut Papa dengan singkat.
Kemudian Papa pun mengajakku untuk bercerita panjang lebar di sepanjang perjalanan kami menuju ke sekolah baruku.
Kami tiba di depan sekolah, suasana hari masih segar. Papa mengantarku hingga ke pintu gerbang sekolah.
"Ayo, Airin, masuk ke dalam," kataku dengan ambisi yang membara. Tanpa ragu, aku melangkah masuk melalui pintu gerbang sekolah.
Tiba-tiba, panggilan suara memecah keheningan pagi.
"Rin!"
Panggilan dari Papa menghentikanku. Aku menoleh, mata kami bertemu.
"Iya, Pa?" Sahutku, ingin tahu apa yang ingin Papa katakan.
"Ada yang kamu lupakan, nak?" Pertanyaan Papa membuatku berhenti, berpikir keras.
Menghampiri Papa, aku mencoba mengingat kembali.
"Pa, maaf ya, Airin lupa. Apa yang harus aku lakukan?" Tanya ku kebingungan.
Papa tersenyum penuh pengertian, "Aduh, si bungsu. Kamu selalu lupa untuk mencium tangan Papa sebelum berangkat sekolah."
"Oh iya, Pa, maaf ya," kataku sambil tertawa, dan tanpa ragu aku mencium tangan Papa sebelum melanjutkan langkahku masuk ke sekolah.
"Selamat pagi, Pa. Sampai jumpa!" Aku melambaikan tangan, dan ketika mobil Papa menghilang dari pandangan, aku memasuki gerbang sekolah.
Langkah-langkah kaki murid baru terdengar, seiring semangat mereka menggebu. Gerombolan siswa baru berjalan melewati gerbang menuju dalam sekolah.
Aku bergabung dengan mereka, langkahku di tengah-tengah ratusan murid baru lainnya, berjalan menuju aula.
"Tett... tett..."
Suara bel berbunyi, mendesak kami untuk bergegas menuju aula. Aku merasa terkejut oleh suara bel yang tiba-tiba, namun dengan cepat mengikuti arah para siswa lainnya.
Dari atas panggung, suara seorang gadis terdengar melalui pengeras suara, mengarahkan kami menuju aula.
"Semua, cepat berkumpul di Aula!"
Suaranya terdengar tegas, seolah memerintahkan kami untuk tidak berlama-lama.
"Ayo, cepat! Jangan menunda!" Suara gadis itu kembali terdengar, memberi arahan dengan nada tegasnya.
Dengan segera, aku dan murid-murid baru lainnya berlari di koridor, melewati Kaka senior yang mengenakan seragam hitam khas dan memberikan instruksi cepat.
"Ayo, cepatlah, teman-teman!"
Aku tercengang saat sampai di aula, menemukan bahwa tak ada satu pun bangku yang kosong.
"Puk.. puk.." Seseorang mengetuk pundakku.
"Kamu tidak mendapat tempat duduk?"
Aku menoleh, menemukan seorang gadis dengan senyum ramah di wajahnya.
"Iya nih!" Aku menjawab, senyumku membalas.
"Perkenalkan, namaku Kayla Sintia, biasa dipanggil Key!"
Dia menuliskan namanya dengan tangan, menawarkan tangannya kepada ku.
"Airin Kanya sara, biasa dipanggil Airin."
Aku membalas dengan senyuman dan menjabat tangannya dengan hangat.
"Kalian berdua, berdiri saja?" Suara seorang senior tiba-tiba menghentikan kami.
"Bangku habis, Kak."
Aku menjawab, menundukkan kepala.
"Lihatlah, ada di pojok sana, masih ada bangku kosong!" Kaka senior dengan nada kesal menunjukkan bangku kosong yang masih tersedia.
Dengan cepat, kami menuju bangku yang ditunjuk oleh Kaka senior tersebut.
Tidak lama setelah itu, aku dan Key duduk di bangku kosong yang kami temukan.
Lampu di ruangan tiba-tiba padam, menyelimuti kami dalam kegelapan sejenak. Suara musik menggema, mengiringi suasana misterius.
Kemudian, lampu kembali menyala, dan dua MC muncul di atas panggung.
"Saat itulah aku menyadari, kehidupanku sebagai murid baru telah dimulai. Aku siap menghadapi petualangan ini."
Pikiranku semakin terbawa suasana.
"Eh, Rin, kamu bawa handphone?" Key tiba-tiba bertanya, memecah lamunanku.
"A-ha! Tentu saja!" Jawabku, memberikan handphoneku.
"Boleh minta kontakmu?" Key tersenyum manis.
"Pasti, aku kasih. Tapi untuk apa sih?"
Aku mengelus kepala, tak mengerti.
"Agak ribet kalau dijelaskan, hahaha."
Dia tertawa, mengeluarkan kesan ramah.
"Sudah, Catat saja!" Aku membuka kontak WA-ku dan memberikannya padanya.
Kami berbicara panjang lebar, mengejar waktu, tanpa menyadari acara yang berlangsung di atas panggung.
Tiba-tiba, acara pembukaan dan penyambutan murid baru selesai.
"Semoga beruntung, Rin!" Key membuka jendela mobilnya dan melambaikan tangannya.
"Iya, Key, jangan lupa hubungi aku ya!"
Aku tersenyum dan merespon lambaian tangannya.
"Pasti, Rin!" Dia menjawab singkat, sebelum pergi meninggalkan sekolah dengan mobilnya.
Saat ini, aku berdiri di depan gerbang sekolah yang semakin sepi, menunggu Papa menjemput ku pulang.
Namun, pandangan mataku tertuju pada seorang wanita di seberang jalan, mengenakan jubah hitam. Dia menggerakkan tangannya seolah memanggilku.
Aku ragu, tetapi rasa penasaran menggelitik pikiranku.
"Sebaiknya aku tidak memedulikannya dan menunggu di dalam sekolah saja."
Tapi hatiku tidak tenang. Aku merasa ada yang aneh, tapi aku takut terlibat dalam masalah yang tidak diinginkan. Aku memutuskan untuk meninggalkannya dan berbalik untuk menuju keramaian.
Tapi kemudian, suara lemah terdengar lagi, memanggil
namaku.
"Airin Kanyasara, aku memanggilmu!"
Suara itu seperti angin, membuatku berhenti. Napasku tercekat, dan aku merasa seperti ada magnet yang menarikku ke arah suara itu.
"Baiklah, aku akan mendekatinya."
Aku mengambil langkah berani dan menyusuri jalan untuk bertemu dengan wanita itu.
Ketika aku berdiri di hadapannya, dia mengangkat kepalanya, mata kami bertemu.
"Pukul... enam..."
Dia melafalkan kata-kata itu dengan penuh getaran, sambil menyodorkan selembar kertas padaku.
Saat aku melihat kertas itu, tertulis angka enam dengan tinta merah yang mencolok.
"Apa ini? Dan bagaimana kamu tahu namaku?"
Aku ingin bertanya, tetapi sebelum aku bisa melanjutkan, dia tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Aku merasa terpaku, merinding di tempat. Aku melihat ke kiri dan kanan, mencari tahu apakah ada orang lain yang menyaksikan kejadian ini.
"Tin tin."
Suara klakson mobil yang tiba-tiba berbunyi membuatku melompat, aku hampir pingsan karena terkejut.
"Airin, apa yang terjadi? Kenapa kau pucat sekali?" Suara Papa mengalihkan perhatianku.
"Papa, aku... aku tidak yakin. Aku merasa... aneh."
Aku berbicara dengan suara gemetar, mencoba menjelaskan apa yang baru saja terjadi.
Papa melihatku dengan penuh perhatian, "Tenang, Nak. Mungkin hanya kelelahan. Mari, ayo pulang."
Papa mengusap kepala ku dengan lembut, dan aku merasa sedikit tenang.
Kami masuk ke dalam mobil, meninggalkan sekolah di belakang. Aku memandangi gerbang sekolah yang semakin menjauh, merasa ada rahasia yang belum terungkap di balik semua ini.
" Rin, bangun Rin. "
Suara ka Haura mulai terdengar ketika aku mulai sadar.
" Rin, ayo bangun. "
Ucapnya lagi sambil menepuk nepuk pipiku sehingga membuat ku berusaha untuk membuka mata ku dengan perlahan.
" Aku di mana kak? "
Aku bertanya kepada ka Haura setelah aku bisa membuka mataku.
" Pa Airin sudah sadar. "
Ucap ka Haura kepada dengan riang.
" Kamu sekarang sedang berada di mobil Rin! "
Jawab ka Haura kepada ku.
" Oh, di mobil ya kak. "
Ucap ku sambil bangun untuk duduk dengan benar di kursi mobil.
" Apakah kamu baik baik saja nak? "
Tanya papa sambil tetap fokus menyetir mobil.
" Aku gak papa kok pa. "
Jawab ku dengan singkat sambil memegang kepala ku yang masih terasa agak sedikit pusing dan agak berat.
" Apa yang sebenarnya terjadi padamu Rin? Kenapa kamu bisa pingsan di hanya karena suara klakson mobil papa? "
Papa kembali bertanya.
" Sebenarnya ada kejadian yang bisa dikatakan sangat aneh pa sebelum aku pingsan. "
Jelas ku sambil mencoba untuk mengingat kembali kejadian di depan gerbang sekolah tadi.
" Kejadian apa nak? "
Tanya papa dengan ekspresi bingung.
" Tadi aku bertemu dengan wanita yang aneh pa, dia mengenakan jubah hitam dan kemudian dia pun memberikan ku selembar kertas yang bertuliskan angka enam di dalamnya. Tak hanya itu, wanita itu juga mengetahui nama ku pa, dan ketika menundukkan pandangan ku sejenak kemudian ketika aku mengangkat kembali pandangan ku dengan maksud menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya, tetapi pada saat itu dia juga langsung hilang dalam sekejap mata. Itu yang membuat ku merinding ketakutan dan klakson mobil papa yang sangat tinggi itu mengejutkan ku sehingga membuat ku pingsan pa. "
Aku bercerita panjang lebar dengan tergesa-gesa.
" Ha ha ha ha, mungkin itu hanya mimpi buruk mu ketika pingsan saja nak. "
Papa mentertawakan cerita ku.
" Kamu sakit ya Rin? Gak usah kebanyakan halusinasi deh! "
Sambung ka Haura dengan jutek seolah tidak mempercayai cerita yang ku alami tadi..
" Apaan sih kak, aku bercerita apa adanya kok. "
Ucap ku dengan kesal.
" Sudah-sudah, jangan bertengkar, Airin apakah kamu benar benar baik baik saja? Perlukah kita pergi ke klinik? "
Ucap papa dan kemudian papa pun bertanya kepada ku.
" Aku baik baik aja kok pa, gak perlu repot-repot pergi ke klinik. "
Jawab ku dengan kesal.
" Ya sudah kalau begitu, mungkin kamu sering bergadang ya nak? Kalau begitu sesampainya di rumah nanti kamu langsung istirahat yang cukup ya! "
Ucap papa kepada ku, dia menganggap bahwa aku pingsan karena kekurangan tidur dan begitu juga anggapan papa tentang cerita ku tadi, dia menganggap ku berhalusinasi karena aku kurang tidur.
Aku tidak menggubris papa, aku diam di sepanjang perjalanan menuju rumah .
Sembilan jam kemudian.
" Tut....Tut.....Tut..."
Itu suara nada handphone ku yang sedang menghubungi nomor milik key.
Sekarang sudah jam setengah dua belas malam, aku masih belum bisa tidur karena memikirkan kejadian siang tadi, sedangkan semua orang yang ada di rumah ini sudah tertidur pulas.
"Tut"
" Yes key menjawab telpon ku. "
Ucap ku dengan perasaan senang.
" Halo, ini siapa ya? "
Key bertanya kepada ku, apa dia tidak menyimpan nomor handphone yang telah kuberikan padanya di sekolah tadi.
" key, kok lu nanya ini siapa sih? lu gk nyimpan nomor hp gwe ya? "
Tanyaku dengan nada jutek bercampur kesel.
" Oh lu rin, Iyah gwe lupa nyimpan nomor lu, tadi soalnya gwe nggak pegang handphone. "
Jawabnya dengan lembut dan sedikit tertawa.
" hah..? lu barusan pegang hp? ngapain aja lu dari tadi .? "
Aku kepo untuk berbasa-basi dengan nya.
" Gwe lagi nyiapin novel nih. "
Jawabnya dengan singkat.
" Lu penulis novel key? "
Aku kembali bertanya.
" Gak juga sih Rin, ngomong ngomong lu tidur jam berapa sih Rin, kok masih hidup aja? "
Tanya key kepada ku.
" Yes waktunya tiba, akhirnya key bertanya kenapa aku masih belum tidur. "
Batinku dalam hati.
"Jadi gwe mikirin kejadian tadi siang nih key. "
Aku mulai membagi beban ku padanya, aku harap dia mau menemani ku berbicara sampai aku tidur.
" Emangnya lu ngalamin apa tadi siang? "
Key bertanya dengan nada histeris.
" Tadi siang gwe ketemu sama wanita berjubah hitam, mukanya serem banget!! "
Aku menceritakan sedikit cerita tentang apa yang ku alami tadi siang.
" Tut. "
key mematikan telfonnya.
" Dar.. "
Tiba-tiba jendela terbuka kencang hingga memecahkan kaca jendela, aku turun dari kasur dan segera berjalan menuju pintu dan hendak keluar dari kamar ku.
" Duk.."
Aku menabrak pintu kamar yang tadinya tidak ku kunci, lalu aku menggoyang goyangkan pegangan pintu yang tidak bisa terbuka.
" wus.. wus.."
Angin berhembus sangat kencang.
" Pa..!! Ma...!!! ka Adit ..!!! ka Haura..!!!"
Aku berteriak sekeras mungkin.
" Ha...."
Suara wanita terdengar bergema di ruang kamar ku, suara itu terdengar di iringi oleh kerasnya suara angin yang berhembus kencang. Karena pintu kamar tidak bisa ku buka, aku pun hanya bisa pasrah menunggu hingga semua ini berakhir.
" Airin!!!! "
Suara bisikan yang bergema di ruangan kamar ku terdengar lagi, kali ini dia menyebutkan namaku, aku tidak mau merespon suara itu.
" Hi Hi Hi Hi. "
Tiba tiba sosok itu muncul di depan jendela tengah yang belum pecah.
Aku tetap diam, karena aku memang harus menerima ini semua.
Aku sudah mencari celah yang mungkin bisa ku lewati untuk keluar dari kamar ini, tetapi tidak ada lagi celah bisa ku pakai untuk keluar dari kamar ku ini.
" Huh. "
Aku bersandar di pintu kamar ku yang tidak bisa terbuka.
Aku duduk dengan tetap memandangi sosok wanita yang berada di luar jendela tengah. Dia mengenakan long dress, rambut panjangnya berkibar, pupil matanya hitam sangat kecil dan bercahaya. Dia melotot ke arah ku, tangannya terbuka seolah ingin mencakar ku .
" wuss.."
Dengan secepat kilat wanita itu menghampiri ku, jarak jendela dan pintu kamar ku sekitar tiga meter, dan dia menghampiri ku dengan sangat cepat sekali.
Dia lalu memegang pundak ku dan tiba-tiba kakiku terangkat kemudian dia membuatku mengapung jauh di atas lantai.
" Airin, kini tiba waktunya bagi mu untuk bernafas (hidup) di dua alam yang berbeda, kamu tidak bisa menghindari takdir ini, jalani lah dan selesaikan seluruh misteri yang kamu temukan. "
Ucap sosok itu memberikan ku amanah dengan suara bergema dan menakutkan.
Setelah pesan itu selesai, sosok itu menghilang bersama angin kencang tadi.
" Duk.."
Aku terbanting dari ketinggian dua meter dari atas lantai dan seketika semuanya pun terlihat gelap.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!