NovelToon NovelToon

Ketika Cinta Harus Menentukan

Bab 1

"Bagaimana para saksi? sah?" tanya penghulu.

"Sah!" jawab semua bersamaan.

"Barokalloh wabaroka alaikuma wajama'a bainakuma fii khoir".

Suara doa dipanjatkan untuk mendoakan kedua mempelai yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mereka adalah Larissa dan Hamzah. Mereka menikah di kantor KUA terdekat hanya didampingi oleh Baskoro, ayah Hamzah, dan Lia, sepupu Larissa.

Walau Hamzah hanya seorang lelaki miskin, tapi Larissa mantap memilihnya sebagai seorang suami. Ia sudah terpikat dengan kejujuran yang ditunjukkannya sejak pertama kali bertemu.

Hamzah resmi menikahi Larissa dengan mahar uang tiga ratus ribu rupiah. Uang yang ia dapatkan dari kerja kerasnya selama beberapa bulan merantau ke negeri orang. Sebagian telah ia gunakan untuk mempersiapkan pernikahan ini.

Larissa meraih tangan Hamzah dan mencium punggung tangannya. "Sekarang aku adalah milikmu seutuhnya, Mas. Aku akan tunduk pada perintahmu. Kau adalah imam keluargaku".

Hamzah meraih Larissa dan mendaratkan sebuah ciuman di pucuk kepalanya. "Terimakasih karena sudah bersedia menjadi istriku, teman dalam hidupku, dan partner dalam sisa umurku".

Larissa tersenyum mendengar ucapan Hamzah. "Aku bahagia menjadi istrimu, Mas!".

Hamzah pun ikut tersenyum. "Aku juga bahagia!".

Penghulu menyerahkan beberapa berkas yang harus mereka tandatangani. Setelah usai, ia menyerahkan dua buah buku nikah pada mereka berdua. Selanjutnya ia memberikan beberapa petuah padanya.

Usai ijab kabul, mereka kembali ke rumah masing-masing. Resepsi akan dilakukan esok hari di rumah Larissa. Menurut kepercayaan masyarakat di desa, mereka belum boleh berkumpul bersama walau sudah resmi menikah. Mereka baru boleh tinggal bersama setelah ada acara penyerahan.

Sesampainya di rumah, Larissa merebahkan tubuh diatas ranjang. Matanya menerawang kearah langit-langit kamar. Ingatannya kembali pada pertemuan pertama mereka.

FLASHBACK ON

Sebuah pesan singkat masuk di handphone, ternyata dari sebuah nomor tidak dikenal. Larissa mengernyitkan dahi, ia menghela napas berat, 'Nomor tidak di kenal lagi' batinnya. Tak urung Ia pun membuka dan membaca isinya.

'Hai, boleh kenalan, nggak?' isi pesan tersebut.

Ternyata isinya adalah sebuah permintaan kenalan. Selama beberapa Minggu ini, ia memang kerap mendapatkan pesan dari nomor tidak dikenal. Isinya juga sama, yaitu permintaan perkenalan.

Selama ini Larissa enggan membalas setiap pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Tapi entah kenapa kali ini ia merasa ada yang lain. Ia pun iseng menjawab pesan tersebut. 'Boleh, kamu siapa?'.

'Aku Hamzah, Aku tinggal di dekat rumahmu'.

Larissa mengerutkan dahi mendengar jawaban darinya. Ia mencoba mengingat apakah ada tetangganya yang bernama Hamzah.

Selama ini Larissa tidak tinggal dirumahnya. Ia dibesarkan di sebuah panti asuhan di kota Malang. Keluarga Larissa tergolong keluarga tidak mampu. Itu sebabnya ia berada disana. Ia hanya pulang sekali dalam setahun, itupun hanya seminggu saja. Itulah mengapa ia tidak begitu mengenal semua tetangganya.

Tak mau ambil pusing dalam mengingat nama itu, Larissa gegas menjawab pesan itu kembali. 'Kamu dapat nomorku dari mana?'.

'Aku dapat dari sepupumu, Munir!'.

'Sialan, dia lagi ternyata!' umpat Larissa dalam hati. Sepupunya itu memang kerap membagikan nomornya pada teman-temannya, satu hal yang sering membuat Larissa merasa kesal padanya.

Larissa tak lagi menanggapi pesan tersebut. Ia kembali disibukkan dengan pekerjaannya.

Keesokan hari, Hamzah kembali mengirim pesan pada Larissa. 'Boleh, ketemuan *n**ggak*?'.

Ada sesuatu yang menggelitik dalam pikiran Larissa saat membaca pesan itu. Tapi entah kenapa ia setuju begitu saja dengan ajakannya. Sebenarnya dia juga penasaran dengan sosok Hamzah tersebut. 'Boleh, kita ketemu dimana?'.

'Gimana kalau kita bertemu di lapangan desa, besok pagi habis Subuh. Sekalian kita jalan pagi ke pasir putih.'

Kebiasaan orang di desa ini memang suka jalan pagi ke pasir putih saat hari Jum'at. Tempatnya memang sangat cocok untuk melepas kepenatan setelah sepekan bekerja. Ditambah dengan udara yang masih sejuk karena memang masih pagi, membuat orang betah berlama-lama berada disana. Terlebih sebelum pukul delapan pagi tidak dipungut biaya masuk.

Setelah berpikir sejenak, Larissa pun setuju dengan ajakannya. 'Baik, aku setuju!'. Setelah menjawab pesan tersebut, Larissa kembali melanjutkan aktivitasnya.

Sesuai janji, keesokan hari Larissa datang ke lapangan desa. Ia menelpon Hamzah untuk menanyakan keberadaannya, karena dia belum mengetahui bagaimana wajahnya. Hamzah memberi isyarat dengan melambaikan tangan. Ternyata dia sudah menunggu dari tadi.

Kesan pertama yang larissa lihat dari sosok Hamzah adalah ia seorang pemuda yang sopan dan tidak banyak bicara. Dia tidak tampan, tapi cukup mempesona. Di samping itu, dia juga sosok pemuda yang sederhana dan apa adanya.

Tapi ada satu hal yang membuat larissa kurang menyukainya, yaitu postur tubuhnya. Hamzah mempunyai postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak tergolong pendek. Sedang Larissa menyukai pemuda yang memiliki postur badan tinggi besar, terlihat lebih gagah dan enak untuk dipeluk aja menurutnya.

Larissa berjalan menghampirinya. Setelah sedikit bertegur sapa, merekapun melangkah beriringan menuju arah tujuan mereka.

Sepanjang perjalanan, Larissa banyak mengajukan pertanyaan seputar pribadi Hamzah. Ia ingin mengenal dirinya lebih banyak. Hamzah menjawab pertanyaan Larissa dengan singkat, tapi tak menyembunyikan keramahan didalamnya.

Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya mereka pun sampai juga. Hamzah mengajak Larissa duduk di dekat terumbu karang yang berada disebelah timur pantai. Pemandangan yang sangat indah terhampar didepan mata. Mereka bisa melihat matahari terbit dari sana.

"Boleh nanya sesuatu nggak?" tanya Hamzah, membuka suara.

"Boleh, mau nanya apa?".

"Kamu sudah punya pacar belum?".

Larissa ingin tertawa mendengar pertanyaan Hamzah, tapi ia menahannya. Ia takut membuat Hamzah tersinggung. "Tidak, emang ada apa?".

"Nggak pa pa. Aku lega mendengarnya. Aku takut kamu sudah ada yang punya, dan dia marah padaku karena mengajakmu jalan".

Setelah itu, mereka banyak bercerita tentang diri masing-masing. Menurut pengakuan Hamzah, ia telah mengenal Larissa sejak kecil, dan ia mulai jatuh hati dengannya setelah melihat sosok Larissa saat dewasa.

Mendengar pengakuan Hamzah, membuat Larisa tergelitik hatinya untuk bertanya bagaimana ia bisa jatuh hati padanya. Hamzah pun menceritakan awal mula ia jatuh hati padanya.

Waktu itu Hamzah ingin memakan rujak buah. Dia pun membelinya pada Bu Ani, ibunya Larissa, karena rujak Bu Ani terkenal sangat enak. Kebetulan saat itu Larissa lah yang melayani. Saat itulah Hamzah mulai jatuh hati padanya.

Larissa tersenyum kecil mendengar cerita Hamzah. 'Kalau dibikin cerita kayaknya lucu. Judulnya 'cintaku bersemi di penjual rujak' gumam Larissa dalam hati.

Saking asyiknya mengobrol, membuat mereka tak menyadari jika matahari mulai tinggi. Hamzah pun mengajak Larissa untuk kembali pulang. Mereka berpisah di tengah jalan.

Sesampai dirumah, sebuah pesan masuk ke ponsel Larissa, ternyata itu dari Hamzah. 'Kamu sudah sampai rumah belum, Yank?'.

Larissa melongok membaca pesan tersebut, ia tertawa dibuatnya. 'Memang tadi dia nembak aku? kok dia manggil aku sayank?'.

Larissa tak memikirkan lagi dengan panggilan tersebut, karena sebenarnya ia merasa berbunga-bunga mendengar panggilan itu. Cepat-cepat ia membalasnya. 'Aku sudah sampai'.

Sejak saat itulah mereka sering bertemu. Membuat bunga-bunga cinta semakin merekah di hati Larissa.

FLASHBACK OFF

Bab 2

Hari ini adalah acara resepsi pernikahan mereka. Sejak pagi suasana rumah Larissa sudah ramai. Semua sibuk memastikan acara nanti berjalan dengan lancar.

Larissa sedang merias diri di kamarnya. Dibantu oleh Lia, sepupu sekaligus sahabatnya. Ia tampak cantik saat mengenakan kebaya berwarna ungu yang membalut tubuh rampingnya. Semakin menambah keanggunan dirinya.

Sejenak Larissa melihat pantulan dirinya di cermin. Ia tersenyum kecil mendapati bayangan dirinya disana. 'Setelah apa yang ku lalui selama ini, aku tidak menyangka akhirnya aku menikah juga'.

Rombongan pengantin pria telah datang. Larissa segera keluar dari kamar, menyambut kedatangan sang suami. Dan acara pun segera dimulai.

Acara digelar dengan sangat sederhana. Tidak ada pelaminan, apalagi singgasana. Hanya beberapa kursi sederhana yang ditata rapi untuk para tamu, serta sebuah tenda untuk menaungi jalannya acara. Tapi semua itu tidak mengurangi kekhidmatan acara.

Pengeras suara mulai dihidupkan. Pembawa acara membuka jalannya acara dengan bacaan basmalah. Larissa duduk disamping Hamzah. Diapit oleh mbok puh Kasri, saudara tertua Baskoro, serta mbok puh Wati, adik Baskoro.

Semua susunan acara berjalan dengan lancar. Larissa berjalan menghampiri rombongan pengantin pria. Kebanyakan mereka adalah keluarga besar Baskoro yang berasal dari Magelang.

Baskoro merupakan anak ke tujuh dari dua belas bersaudara, itu sebabnya keluarga mereka sangat banyak. Mereka sengaja datang jauh-jauh untuk melihat keponakan mereka menikah.

Larissa menyalami mereka satu persatu, meminta restu darinya. Sambil bersalaman, Hamzah memperkenalkan mereka satu persatu. Ini adalah pertemuan pertama istrinya dengan keluarga besar dari ayahnya itu.

Acara pun telah usai, mereka kembali ke rumah masing-masing. Larissa masuk ke kamar, hendak melepas penat yang mendera. Tapi batu saja ia merebahkan tubuh, ia sudah dipanggil lagi. Dia harus melakukan ritual selanjutnya, yaitu weweh.

Dalam tradisi mereka, pengantin wanita harus mengantarkan jamuan makan pada masing-masing keluarga pengantin pria. Itulah yang disebut dengan weweh manten.

Semua keluarga sudah didatangi. Hanya tinggal satu keluarga saja, yaitu keluarga paman. Kakak dari ibu mertua larissa.

Masalah mulai datang, karena keluarga paman berada diluar kota, sedang mereka tidak mempunyai kendaraan untuk menjangkaunya. Mereka saling pandang untuk mencari solusi.

"Kalian naik bis kota saja. Sekalian bisa jalan-jalan berdua" ujar salah satu kerabat, memberi solusi.

Mereka setuju dengan ide tersebut. Mereka masuk ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap.

Masalah kembali muncul, karena mereka tidak mempunyai uang untuk ongkos naik bis. Mereka saling pandang, tak berselang lama mereka sama-sama tertawa.

"Kita ini lucu, Yank. Baru menikah tapi sudah ada masalah" ujar Larissa.

"Kita jalanin aja dulu, semua pasti ada jalannya. Ini aku ada beberapa uang amplop dari temen-temenku tadi" ujar Hamzah, menyerahkan beberapa lembar uang pada Larissa.

Larissa menerima uang tersebut. "Aku juga ada sedikit uang amplop dari temen. Lumayan buat tambah-tambah" mengambil amplop yang tadi ia simpan di lemari.

Mereka pun akhirnya berangkat ke rumah paman dengan menaiki bis kota. Hamzah membantu larissa membawa beberapa barang. Senyum tersungging terus terukir di wajah mereka.

Setelah beberapa lama, mereka pun sampai juga di rumah paman. Mereka disambut dengan hangat.

Paman memberi beberapa wejangan pada mereka, agar saling melengkapi dalam membina rumah tangga. Dia juga meminta maaf karena tadi tidak bisa hadir di acara resepsi pernikahan mereka.

Setelah berbincang cukup lama, mereka pun pamit pulang. Paman melepas kepergian mereka dengan doa restu.

Sepanjang perjalan pulang, mereka saling bergandengan tangan. Larissa merebahkan kepala di dada bidang suaminya. Hamzah pun menunjukkan perhatian pada istrinya. Mereka terlihat sangat bahagia walau ditengah keterbatasan.

Setiba di rumah, malam mulai merayap. Mereka melaksanakan sholat Maghrib berjamaah. Setelah usai, mereka lanjut dengan makan malam bersama. Kebahagiaan benar-benar terpancar di wajah masing-masing. Optimis untuk menjalani hidup baru mereka.

...****************...

Tiga hari sudah mereka resmi menjadi sepasang suami-istri. Sepupu ibu mertua Larissa datang ke rumah. Dia mengajak Hamzah untuk bekerja, melanjutkan proyek yang mereka ambil, tapi sempat terhenti karena mempersiapkan pernikahan ini.

Hamzah menyetujui ajakan itu, lagipula mereka memang sedang butuh uang. Tidak mungkin bila dia berdiam diri terus. Dia merasa malu pada keluarga Larissa, apalagi saat ini mereka masih menumpang dirumah ibu.

"Pengantin baru belum seminggu kok udah buru-buru kerja. Takut banget nggak bisa makan. Itu pamali tahu, ntar rezekinya malah susah!" cibir salah satu tetangga.

"Rezeki itu asalnya dari Allah, Bu. Kita hanya bisa berusaha. Lagipula, kalau saya tidak bekerja, ibu mau ngasih saya makan!" ujar Hamzah halus, membalas cibiran itu.

Ibu tersebut terlihat kesal mendengar jawaban Hamzah. Ia mendengus sebal. "Dibilangin malah ngeyel. Ya udah , terserah. Saya sumpahin beneran kejadian, biar tahu rasa, kamu!" meninggalkan pekarangan rumahnya.

Hamzah mengusap dada mendengar perkataan ibu tersebut. "Sabar, Hamzah!".

"Kok ada ya, orang macam begitu!" ujar Larissa, ia ikutan kesal mendengar ucapan ibu tadi.

"Udah, biarin aja. Orang memang suka melihat hidup orang lain dari luarnya saja, tanpa tahu sebenarnya bagaimana. Kalau orang Jawa bilang, melu keplok, gak melu tombok! ( ikut bicara, tidak ikut merasakan!)" ujar Hamzah, menenangkan istrinya.

Hamzah mengajak istrinya masuk kembali kedalam rumah, agar dia tidak terus kesal dengan perkataan ibu itu. "Nggak usah dipikirin lagi ucapan ibu itu, ya. Yang terpenting Itu aku dan kamu, karena kitalah yang menjalani, bukan orang lain".

Larissa menghela napas untuk menghilangkan kekesalan dirinya. " iya, Yank, maaf!".

Hamzah tersenyum mendengar ucapan Larissa. "Yang harusnya minta maaf itu aku, bukannya kamu. Aku minta maaf, ya, karena belum bisa membahagiakan kamu!" ujarnya dengan sepenuh hati.

Larissa tersenyum mendengar ucapan Hamzah. "Tidak apa, Yank. Menjadi istrimu saja sudah membuatku bahagia".

Malam semakin larut. Mreka pun masuk ke kamar, mengistirahatkan tubuh mereka yang penat.

Keesokan hari Hamzah mulai bekerja. Setelah sarapan pagi, ia pun berpamitan pada istrinya. "Yani, aku berangkat dulu!"

"Iya, Yank. Kita berangkat sama-sama, ya. Aku juga mau keluar, mau bantuin ibu di warung lagi. Bosan kalau dirumah terus nggak ngapa-ngapain. Boleh, kan!"

"Tentu saja boleh! lagipula kita kan satu arah" ujar Hamzah, mencubit kecil hidung istrinya.

"Ish, kamu ini!" mendengus kesal, mengusap hidungnya yang terkena cubitan.

Hamzah tertawa melihat ekspresi Larissa. "Ya udah, ayo kita berangkat!".

Mereka pun berangkat dengan menaiki sebuah sepeda butut. Hamzah mengayuh sepedanya dengan penuh semangat. Sedang Larissa ada diboncengkan belakang, melingkarkan lengannya pada pinggang Hamzah. Mereka terlihat sangat mesrah. Tanpa perduli pada tatapan orang yang memandang rendah.

Setelah lama mengayuh, mereka pun sampai juga di warung ibu. "Nanti pulangnya tungguin aku, ya. Aku akan menjemputmu!".

Larissa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Hamzah pun berlalu, sedang Larissa membantu melayani pembeli yang mulai berdatangan.

Bab 3

Sepulang kerja, Hamzah lebih dulu menjemput Larissa. Mereka pulang ke rumah bersama-sama.

Sesampainya dirumah, mereka membersihkan diri secara bergantian. Dan setelah sama-sama selesai, Hamzah mengajak larissa untuk sholat ashar berjamaah, tapi Larissa malah terlihat gelisah mendengar ajakan itu. Tadi siang tiba-tiba ia datang bulan, dan sekarang dia bingung bagaimana cara untuk menyampaikannya. Ia takut Hamzah marah.

Melihat kegelisahan di wajah istrinya, hamzah pun bertanya, "Ada apa, sayank? Kok, kamu terlihat bingung?".

Larissa masih bingung bagaimana cara mengatakannya. "Emh..anu yank".

"Anu apa? Ayo katakan saja, tidak usah ragu".

"Emh... sebenarnya aku sedang datang bulan" ucap Larissa setengah ragu, ia menundukkan kepala sambil mengigit bibir bawahnya.

"Waduh, pengantin baru merana. Harus berpuasa karena tragedi berdarah" ucap Hamzah berkomentar. Ia tertawa renyah sambil menepuk jidatnya sendiri.

Karena kesibukan setelah pernikahan kemarin, mereka belum sempat menikmati malam pertama mereka. Dan sekarang Larissa malah kedatangan tamu bulanannya.

"Maafkan aku, Yank. Aku juga baru tahu tadi!" ucap Larissa tak enak hati. Ia merasa bersalah, takut Hamzah kecewa.

Hamzah tertawa melihat ekspresi wajah Larissa. Sedang Larissa merasa kesal karena malah ditertawakan olehnya. "Kok,malah ditertawakan, sih!".

"Muka kamu lucu kalau lagi cemberut" ujar Hamzah, masih tetap tertawa.

Larissa semakin kesal dibuatnya. "Nggak lucu!" menyebikkan ujung bibir.

Hamzah malah semakin terpingkal-pingkal. Air mata sampai keluar dari matanya. Ia memegangi perutnya yang mulai sakit.

Setelah beberapa saat, Hamzah pun berhenti tertawa. "Ya sudah, tidak apa-apa. Ini juga bukan kesalahan kamu, kok!" ucap Hamzah setelah berhasil menguasai dirinya kembali.

"Tapi, Yank. Aku nggak enak sama kamu".

"Nggak pa pa. Kamu nggak usah merasa nggak enak gitu sama aku. Lagipula ini kan emang hal yang wajar, itu menunjukkan kalau sistem reproduksi mu sehat-sehat saja. Mungkin waktunya aja yang kurang tepat" ujar Hamzah menenangkan.

"Beneran, Yank?" ucap Larissa, mencari kebenaran dalam ucapan Hamzah.

Hamzah mengangukkan kepala sambil tersenyum. Larissa memasang senyum lebar. Ia lega karena Hamzah tak mempermasalahkan datang bulannya ini.

"Kalau gitu, aku sholat dulu. Kamu istirahat saja dulu, nanti kita makan sama-sama" ujar Hamzah.

Hamzah menghamparkan sajadah diatas lantai. Kemudian ia melakukan empat rakaat shalat ashar. Sedang Larissa merebahkan diri diatas kasur, menunggu suaminya selesai sholat.

Setelah selesai sholat, mereka menuju meja makan dan makan bersama.

...****************...

malam hari Hamzah mendapat kabar jika anak bibinya yang masih bayi telah meninggal dunia. Mereka diminta datang kesana untuk membantu mengurus jenazah.

Hamzah gegas mengajak Larissa untuk takziyah kesana. Mereka mengendarai sepeda butut yang tadi dia gunakan, karena hanya itu satu-satunya alat transportasi yang dia punya.

Setelah beberapa lama mengayuh sepeda, mereka pun sampai juga disana. Kedatangan mereka disambut dengan suara cemoohan dari beberapa orang.

"Ha ha ha lihat itu, mereka kesini naik sepeda butut!".

"Iya, mau aja sih wanita itu diboncengi dengan sepeda jelek".

"Iya, ya. Dia kan cantik. Kok mau aja dinikahi sama laki-laki kere kayak gitu".

"Mungkin dia diguna-guna kali, sampai mau menikah dengannya".

Hamzah hanya mengelus dada mendengar cemoohan mereka. Ia tak ingin menanggapi perkataan mereka. Lagipula kalau dipikir-pikir tidak ada untungnya juga. Malah akan menambah masalah saja nantinya. Apalagi dalam suasana yang sedang berduka seperti saat ini.

Sedang Larissa terlihat menundukkan kepala. Air mata menitik dari pelupuk matanya.

Melihat sang istri bersedih, Hamzah pun menghampiri untuk menghiburnya. Ia meraih tubuh Larissa ke dalam dekapannya. "Jangan bersedih, sayank. Tidak usah dimasukkan kedalam hati. Tidak ada gunanya memikirkan ucapan mereka. Hanya akan mengotori hati dan pikiran kita saja".

Larissa mendongakkan kepala, memandang wajah suaminya. "Aku bersedih bukan karena ucapan mereka yang menyakitkan hati, Yank. Tapi aku bersedih karena memikirkan mu!" menatap dengan wajah sendu.

"Memikirkan aku? memangnya aku kenapa?" menatap tak mengerti.

"Kamu laki-laki baik, yank. Aku tidak suka melihat mereka menghinamu seperti tadi".

Hamzah tersenyum mendengar jawaban Larissa. "Kamu tenang saja, aku tidak apa-apa".

"Tapi....".

"Sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Bukankah aku sudah pernah bilang, yang terpenting itu aku dan kamu. Karena kitalah yang menjalani, bukan mereka" ucap Hamzah, menghapus air mata Larissa.

"Sekarang senyum, dong. Aku tidak suka melihatmu bersedih begini".

Larissa pun menunjukkan senyuman termanisnya, membuat hati Hamzah bahagia melihatnya. "Nah, gitu dong. Kalau tersenyum gini kan cantik".

"aku tuh emang cantik dari lahir!" ucap Larissa narsis.

"Oh, iya ya, Aku lupa!" menggaruk kepala yang tak gatal. " Istriku ini memang paling cantik sedunia!" memuji sambil mencubit ujung hidung Larissa.

Larissa tersenyum mendengar pujian Hamzah. Mereka sama-sama tersenyum.

"Sekarang kamu tungguin di rumah ibu saja, ya. Tadi paman memintaku ke pemakaman untuk mengecek sudah selesai apa belum pembuatan liang lahatnya" ucap Hamzah.

Larissa mengangguk. Ia pun segera menuju ke rumah orang tua Hamzah. Kebetulan letaknya berada dibelakang rumah duka.

Setelah Larissa pergi, Hamzah pun menuju area pemakaman untuk mengecek. Dan setelah beberapa lama ia pun kembali lagi.

Selang beberapa menit setelah Hamzah datang, jenazah telah tiba dari rumah sakit dalam keadaan siap untuk dikebumikan. Sejenak ia disemayamkan didalam rumah.

Anak bibi yang meninggal dunia itu baru berusia beberapa Minggu. Ia dilahirkan dengan keadaan yang cukup mengkhawatirkan. Ia terlilit tali pusar dan tidak bisa menangis saat lahir. Dokter pun segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan nyawanya.

Selama beberapa hari menjalani perawatan, keadaan bayi itu belum juga ada perubahan, bahkan keadaannya semakin memburuk, bahkan ia sempat kritis. Dokter berulang kali melakukan cuci darah, tapi tak juga menunjukkan hasil yang memuaskan.

Akhirnya keluarga sepakat untuk melepas semua peralatan yang menempel ditubuhnya. Mereka tak tega melihat kondisinya. Selain itu mereka juga terbentur dengan biaya rumah sakit yang semakin hari semakin banyak.

Sebelum dibawa ke pemakaman, paman memberikan sebuah nama pada bayi tersebut. Namanya adalah Zulkarnain.

Paman menciumi wajah anaknya yang telah terbujur kaku. Air mata bercucuran, tapi ia mencoba untuk mengikhlaskan kepergiannya

Sedang bibi tidak bisa melihat wajah anaknya untuk terakhir kali. Ia tak diberi kesempatan untuk itu. Keluarga takut bibi tidak bisa menerima kepergian anaknya.

Malam semakin larut, jenazah segera dibawa ke pemakaman. Dengan menggunakan sebuah kain gendong, paman membawa tubuh anaknya. Ia memutuskan ia sendirilah yang membawa tubuhnya.

Dengan air mata bercucuran, paman mengantarkan tubuh itu ke liang lahat. Diiringi oleh sanak saudara dan beberapa tetangga dekat.

Selesai menguburkan jenazah anak itu, mereka kembali ke rumah masing-masing, begitu pula halnya dengan Hamzah dan Larissa. Mereka langsung merebahkan tubuh yang lelah sesampainya di rumah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!