NovelToon NovelToon

Mengubah Takdir Kakakku Jadi Suamiku

BAB 1 ~ Takdir yang Berubah ~

Robert Chandra terpaku menatap lurus orang-orang yang sibuk membantu dalam prosesi pemakaman itu. Sambil menggenggam tangan Livia, putri satu-satunya yang masih berumur enam tahun. 

Gadis kecil itu menatap heran pada keramaian yang terjadi sejak tadi pagi. Setelah setengah hari terbujur kaku dikelilingi orang-orang yang datang silih berganti. Isak tangis, ucapan duka dan doa-doa yang diucapkan orang-orang yang datang yang sama sekali tak dimengerti oleh Livia.

Tak ada setitik pun air mata menetes di pelupuk matanya. Gadis kecil itu masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Meski usapan di punggung, kata-kata menghibur, pelukan belasungkawa masih terus berdatangan padanya. Gadis kecil itu masih tak menitikkan air mata. Livia hanya duduk di samping jenazah ibunya.

Saat terdengar seseorang pelayat bercerita ibunya meninggal, Livia akan menjawab ucapan pelayat itu

"Mama belum meninggal tante, Mama hanya tidur, Mama mau istirahat dulu," ucap Livia menentang ucapan pelayat itu.

"Jangan nangis Om, Mama lagi tidur, Mama cuma capek, Mama cuma ingin istirahat," ucap gadis kecil.

Livia tak terima ibunya dinyatakan meninggal karena memang itu yang selalu diucapkan Mamanya saat dadanya terasa nyeri akibat serangan jantung yang dirasakannya. Setelah meminum obat Ny. Mina akan meminta putrinya untuk membiarkannya tidur sejenak. Rasa nyeri itu akan berkurang hingga hilang dengan beristirahat.

Ny. Mina yang menderita penyakit jantung koroner terpaksa menggantungkan hidupnya pada obat-obatan. Pemasangan ring jantung atau stent yang disarankan dokter untuk melebarkan pembuluh darah koroner yang telah menyempit atau tersumbat itu pun tak bisa dilakukannya karena pembuluh darahnya yang terlalu kecil untuk dipasangkan ring jantung.

Karena itu setiap kali mengalami serangan jantung. Ny. Mina merasakan nyeri dada dan dirasakannya semakin berat, terasa seperti ditekan beban atau seperti diremas yang disertai keringat dingin. Saat itu terjadi Ny. Mina akan meminta putrinya untuk duduk tenang di sampingnya.

Livia akan menunggu ibunya yang sedang beristirahat. Gadis kecil yang cantik itu akan duduk atau rebah di samping ibunya menunggu hingga si ibu kembali membuka matanya dan tersenyum.

"Putri Mama yang cantik ini sangat patuh. Terima kasih ya sayang sudah jagain Mama," ucap Mina sambil tersenyum.

Livia akan balas tersenyum lalu mencium pipi ibunya. Ny. Mina akan langsung memeluk putrinya dan membalas ciuman di pipi putrinya hingga berkali-kali.

Namun kali ini Ny. Mina masih belum bangun dari tidurnya hingga ayah Livia pulang dari kantor dan mendapati istrinya telah tiada. Sementara putrinya masih setia menunggu ibunya yang sedang beristirahat.

Tapi saat-saat menunggu tidak bisa berlangsung lama. Menunggu ibunya bangun tak bisa dilakukan Livia selamanya. Perlahan orang-orang mulai berdatangan, tahap demi tahap penyelenggaraan jenazah pun mulai dilakukan. Sementara Livia masih berharap ibunya membuka mata dan tersenyum padanya.

Hingga saat ibunya perlahan diturunkan masuk ke liang lahat, saat itulah Livia menyadari sesuatu yang tak diinginkannya. Livia teringat saat kucing kesayangannya mati, ayahnya menaruh kucing itu di sebuah lubang dan menguburnya.

"Kenapa Fluffy ditaruh di situ Pa?" tanya Livia tak mengerti.

"Ini namanya di kubur Nak, yang telah mati itu harus dikubur," jawab ayahnya sambil mulai menimbun.

"Kita nggak bisa ketemu Fluffy lagi ya Pa?" tanya Livia mulai berkaca-kaca.

"Ya sayang! Fluffy sudah mati, dia sudah pergi ke surga kita selamanya tak bisa bertemu lagi dengannya," jawab ayah Livia.

Mata Livia yang berkaca-kaca kini mengalirkan air matanya. Gadis kecil yang cantik itu menangis terisak-isak sambil menatap kuburan kucing kesayangannya.

Ny. Mina langsung datang dan menggendong putrinya dan menghibur putri satu-satunya itu.

"Jangan menangis sayang! Nanti kita cari gantinya yang lucu dan cantik seperti Fluffy, ya!" ucap Mina.

"Nggak mau! Nggak mau! Livia nggak mau yang baru. Livia mau Fluffy, Livia mau Fluffy!" seru Livia sambil menangis.

Ny. Mina berusaha keras menghibur putrinya dengan segala cara. Namun kali ini ibu yang selalu menghiburnya itu justru telah pergi. Itu adalah momen paling menyedihkan bagi Livia. Perpisahan yang paling menyakitkan melebihi saat kehilangan Fluffy dulu.

Karena setelah itu takkan pernah ada kesempatan lagi baginya menatap mata yang teduh itu. Mendengar suaranya yang lembut menghibur dan pelukan yang selalu menghangatkan hati dari ibunya yang cantik itu.

Livia tak percaya Mamanya pergi begitu saja, tanpa tanda-tanda, tanpa pesan atau kata-kata. Livia melepas tangannya dari genggaman ayahnya. Anak itu berlari mendekati liang lahat ibunya dan menjerit. Gadis itu tidak rela, tanah merah menimpa tubuh ibunya. Gadis kecil itu menangis sejadi-jadinya.

"Jangan! Jangan kubur Mama! Jangan kubur Mama! Mama belum mati!" teriak Livia sambil mengulurkan tangan kecilnya.

Tangis orang-orang di sekeliling makam itu menyeruak terdengar pilu. Ada yang menghindar pergi karena tak sanggup mendengar tangisan gadis kecil itu lagi. Seorang ibu-ibu langsung menggendong Livia dan beranjak pergi dari tepian makam itu.

Livia menjerit sambil berusaha turun dari gendongan itu, dengan susah payah ibu itu menahan tubuh kecil Livia. Tangan kecil Livia melambai memanggil Mamanya untuk kembali. Tn. Robert Chandra yang dari tadi hanya diam menatap kosong kini menangis tertunduk mendengar putrinya yang menjerit menangis memanggil Mamanya.

Livia beralih memandang ayahnya, tangan Livia menggapai ingin meraih ayahnya. Ibu itu menyerahkan Livia pada ayahnya. Gadis itu akhirnya menangis tersedu-sedu di bahu ayahnya.

Livia pasrah, Livia hanya bisa menangis sambil memeluk ayahnya dengan erat. Tangis ayah dan anak itu mengiringi prosesi pemakaman hingga semua tahap pemakaman itu selesai. Perlahan orang-orang pun mulai meninggalkan tanah pekuburan.

Isak tangis Livia masih terasa di bahu Tn. Robert. Pengusaha sukses itu membelai rambut anaknya. CEO perusahaan besar itu harus lebih tegar demi anak semata wayangnya. Laki-laki berwajah tampan itu tak ingin larut dalam kedukaan, dia ingin bangkit demi masa depan putrinya.

Namun sejak kepergian istrinya, Tn. Robert justru hanya mengurung diri di dalam kamarnya. Hingga berhari-hari dan tersadar saat putri kecilnya yang masuk ke kamar dan bertanya.

"Papa? Papa tidak ke kantor?" tanya gadis kecil itu.

Gadis enam tahun itu mungkin telah diajari bibi pengasuhnya. Asisten rumah tangga yang telah ikut dengan keluarga itu sejak keluarga itu baru menikah. Merasa khawatir dengan kondisi Tn. Robert yang hanya termenung di kamarnya.

Tn. Robert mengalihkan pandangannya pada putrinya yang terlihat telah tumbuh besar. Laki-laki itu tersenyum kemudian mengangguk. Hampir setiap hari putrinya mengingatkan agar Tn. Robert kembali ke dunia nyata.

"Papa, nanti jangan lupa jemput Livia ya!" ucap gadis kecil itu mengingatkan.

Jika sebelumnya Livia selalu di jemput ibunya. Kini gadis kecil yang cantik itu ingin selalu di jemput ayahnya. Livia tak bersedia dijemput oleh sopir ayahnya. Livia lakukan itu karena ingin perhatian dari ayahnya yang lebih banyak termenung. Keceriaan di rumah itu mendadak hilang sejak kepergian istri pengusaha sukses itu.

Namun kali ini Tn Robert benar-benar tak bisa menjemput karena sedang menunggu seorang utusan dari perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaannya. Melihat atasannya yang terlihat bingung, sekretaris Tn. Robert menawarkan diri untuk menjemput putri atasannya itu.

"Tapi dia tak mau dijemput oleh orang lain selain aku," ucap Robert khawatir.

"Tenang saja Tuan, aku pasti bisa membujuknya," ucap sekretaris itu sambil tersenyum.

Meski ragu akhirnya Tn. Robert mengizinkan sekretaris itu menjemput putrinya. Sekretaris yang baru satu bulan menggantikan sekretaris lamanya yang telah tua dan ingin pensiun. Sekretaris setia sejak masa Tn. Chandra, ayahanda Robert menjadi CEO di perusahaan itu.

Tn. Robert tak pernah ingin menggantinya namun karena merasa telah tua dan ingin menikmati masa tua bersama cucu-cucunya. Akhirnya sekertaris yang telah bekerja begitu lama di perusahaannya itu mengundurkan diri dan kini digantikan oleh Shanty Rahayu. Seorang sekretaris cantik, janda dengan dua orang anak.

Wajahnya yang cantik tak pernah mendapat perhatian dari Tn. Robert sebelumnya. Namun sekarang mau tak mau laki-laki tampan itu terpaksa menatapnya. Saat melihat wanita itu menggendong putrinya di punggung. Tn. Robert pun segera menghampirinya mereka.

"Kenapa harus digendong sayang, kasihan Tante ini capek gendong Livia," ucap Robert sambil mengangkat tubuh Livia dan menggendongnya.

"Tidak apa-apa Tuan. Tadi Livia bilang kakinya pegal gara-gara disuruh lari keliling aula waktu pelajaran olahraga. Jadi saya gendong saja, kasihan Livia," jawab Shanty Rahayu.

"Kamu baik sekali, terima kasih ya," ucap Robert.

Laki-laki itu menanyakan apakah Livia ingin segera pulang.

"Nanti aja Pa, pulang bareng Papa aja," ucap Livia.

"Nanti kamu bosan menunggu Papa di kantor. Livia pulang sekarang saja ya sayang," ucap Robert.

"Nggak mau Pa, Livia bosan di rumah sama Bi Iyah. Livia mau di sini aja, main sama Tante Shanty," jawab Livia.

"Baiklah kalau gitu maunya Livia, tapi kalau nanti ingin pulang, bilang sama Papa ya," ucap Robert.

"Ya Pa," jawab Livia.

Dan sejak saat itu Livia selalu menunggu ayahnya pulang bersama dari kantor dan selalu dijemput ke sekolah oleh Shanty Rahayu. Saat di kantor dan tak ada kerjaan, Shanty mengajak Livia bermain. Untuk mengurangi kebosanannya menunggu ayahnya pulang dari kantor.

"Kejar Livia Tante!" seru Livia sambil terus berlari di lorong gedung perusahaan ayahnya itu.

Shanty pun mengejar gadis kecil yang cantik itu.

"Awas hati-hati, jangan sampai jatuh!" teriak Shanty.

Gadis kecil itu masih tetap berlari.

"Awas jangan sampai kesenggol!" teriak Shanty.

Namun terlambat, Livia terlanjur menyenggol vas bunga besar itu. Saat Livia menoleh ke belakang tak sengaja gadis kecil itu menabrak sebuah vas bunga yang terlihat sangat mahal. Bunga dan tanahnya pun berhamburan.

Gadis kecil itu ketakutan, Shanty segera menghampiri Livia, mencoba menenangkan hati gadis kecil itu. Namun Livia terlanjur ketakutan, wajahnya terlihat pucat. Apalagi saat seorang ibu-ibu langsung datang dengan wajahnya yang sangar.

"Siapa yang lakukan ini? JAWAB?" tanya ibu-ibu itu dengan suara keras.

"Saya Bu, maaf saya tidak sengaja," jawab Shanty cepat.

"Kamu tahu berapa harga vas bunga ini. Bekerja setahun pun tak akan cukup untuk mengganti kerugian ini!" bentak ibu itu masih bernada tinggi.

Livia ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh Shanty Rahayu.

"Maaf Bu, tapi saya tidak sengaja," ucap Shanty mencoba mempertahankan diri.

"Tidak sengaja! Selama bertahun-tahun vas ini bertahan di sini tak ada satu pun yang berani menyentuhnya! Vas ini sudah ada saat Tuan Robert belum menjadi CEO di sini. Ini pemberian sahabat Tn. Candra dari Korea. Apa kamu tahu itu?" bentak ibu itu.

Shanty hanya bisa tertunduk. Wanita itu pasrah dengan hukuman yang akan diterimanya.

"Kamu dipecat tanpa pesangon!"

"Apa?" tanya Shanty kaget.

Setelah bekerja berbulan-bulan di situ, Shanty harus keluar tanpa bekal apa pun dan dia harus mencari pekerjaan lagi.

Bagaimana ini? Dipecat? Keluar dari perusahaan tanpa pesangon? Bagaimana aku bisa hidup dengan anak-anakku. Aku tidak punya tabungan. Lagipula sulit menemukan pekerjaan zaman sekarang ini. Jika bukan karena sekertaris lama itu mengambil pensiun, mana mungkin aku bisa bekerja di sini. Apa yang aku lakukan? Batin Shanty.

Shanty Rahayu berpikir mencoba untuk membujuk ibu itu hingga tak sadar Livia telah berlari ke ruangan ayahnya. Tn. Robert mendengar cerita dari Livia dan segera mendatangi Shanty dan ibu itu. Terlihat Shanty yang menangis memohon agar dirinya tidak dipecat.

"Sudah pergi sana! Kemasi barang-barangmu dan segera keluar dari perusahaan ini!" teriak ibu itu.

"Tidak perlu seperti itu, vas bunga itu memang berharga tapi tak senilai dengan kerugiannya kehilangan pekerjaan. Lagi pula Livia cerita kalau dia yang telah menyenggol vas bunga itu. Aku rasa Opa nya tidak keberatan jika dia memecahkannya tanpa sengaja," sela Robert.

"Tuan? Oh, Maaf Tuan, saya tidak tahu kalau ternyata yang memecahkan vas bunga itu ternyata putri Tuan," ucap Ibu itu dengan suara yang lebih lunak.

"Baiklah! Sekarang ibu sudah tahu, apa masih ingin memecatnya?" tanya Robert.

"Tidak Tuan," jawab ibu itu cepat.

Segera Tuan Robert menyuruh ibu itu membereskan pecahan keramik vas bunga itu. Tuan Robert pun menyuruh Shanty kembali ke meja kerjanya.

"Terima kasih telah melindungi putri saya. Harusnya tadi kamu berterus terang saja kalau Livia yang telah memecahkannya dengan begitu kamu tidak terancam akan dipecat," ucap Robert.

"Tidak apa-apa Tuan, saya kasihan sama Livia yang ketakutan. Saya juga tidak tega melihatnya merasa bersalah. Memang seharusnya saya lah yang bertanggung jawab atas apa pun yang diperbuat Livia. Karena Tuan telah memerintahkan saya untuk menjaga Livia," jelas Shanty panjang lebar.

Ucapan Shanty membuat hati Tn. Robert tergugah, baru kali ini ada seorang wanita yang begitu membela putrinya. Dua tahun berlalu sejak kematian istrinya, tak sedikit wanita-wanita yang mencoba untuk mendekatinya. Namun Tn Robert selalu menolak karena sikap mereka yang sama sekali tak peduli pada putri satu-satunya itu.

Tn. Robert pun bertahan tidak mencari pengganti istrinya, karena Tn. Robert Chandra sangat menyayangi putri tunggalnya dan tak ingin putrinya mendapatkan seorang ibu tiri. Namun, sekretaris cantik Tn. Robert itu begitu telaten mengurus segala keperluan Livia. Menjemputnya ke sekolah, menyiapkan makan siangnya bahkan membantu gadis kecil itu mengerjakan tugas sekolahnya.

Lambat laun membuat hati Tn. Robert tergugah untuk menjadikan janda dua anak itu sebagai ibu dari putri satu-satunya. Atas izin dan dukungan dari Livia, sang ayah akhirnya mempersunting Shanty Rahayu sebagai istrinya.

"Apa Livia benar-benar setuju kalau Tante Shanty menjadi Mama baru untuk Livia?" tanya Robert kembali bertanya untuk meyakinkan hatinya.

"Ya Pa, Livia mau Tante Shanty menjadi Mama baru Livia," jawab Livia tetap setelah berkali-kali Tn. Robert bertanya padanya.

Livia semakin tegas menyatakan bersedia jika Shanty Rahayu menjadi ibu sambungnya.

"Kenapa?" tanya Robert saat ingin menidurkan putrinya itu.

"Karena Tante Shanty bilang, Tante Shanty sayang sama Livia, sayangnya sama seperti pada kedua anaknya," jawab Livia.

"Tante Shanty pernah bilang begitu?" tanya Robert kurang yakin.

Livia mengangguk sambil tersenyum.

"Sungguh! Tante Shanty pernah bilang begitu?" tanya Robert yang dibalas kembali dengan anggukan oleh Livia.

Hati Tn. Robert semakin mantap setelah lebih dari tiga tahun melihat kebaikan hati Shanty terhadap putrinya. Tn. Robert bahkan pernah menyaksikan sendiri Shanty Rahayu membela putrinya hingga sekretaris cantik itu terancam dipecat.

Mengingat itu Tn. Robert akhirnya memberanikan diri untuk melamar Shanty Rahayu. Wanita itu dengan berat hati menerima lamaran Tn. Robert karena trauma dengan pernikahan pertamanya yang mana Shanty mengalami KDRT dengan suaminya terdahulu. Namun karena rasa sayangnya pada Livia, Shanty akhirnya bersedia menerima lamaran Tn. Robert.

Pernikahan mereka pun diselenggarakan dengan mewah. Tn. Robert adalah seorang gentleman yang selalu ingin membahagiakan pasangannya. Melihat kehidupan Shanty yang baginya serba pas-pasan membuat Tn. Robert memanjakan calon istrinya dengan segala cara. 

Menjanjikan pesta termewah yang pernah ada, bulan madu hingga sampai tiga negara dan yang terlebih membuat Shanty ingin segera berkata 'ya aku bersedia' adalah dua set perhiasan yang membuat mata Shanty berkedip-kedip karena silau. Shanty Rahayu akhirnya menerima pinangan Tn. Robert dan mereka pun menikah.

Sepulang dari berbulan madu, Shanty pun resmi diboyong ke rumah megahnya. Shanty datang bersama kedua anaknya.

Radian Putra, hanya diam melihat kedua wanita itu terperangah saat mobil yang menjemput mereka memasuki sebuah kompleks perumahan mewah dengan tampilan yang elegan dan klasik berkonsep design mediterania.

Mobil yang membawa mereka pun sampai di depan pagar tinggi yang dapat terbuka dengan sendirinya, mobil itu pun melaju pelan memasuki pekarangan luas yang tertata rapi dan asri.

"Wah! Pagarnya bisa terbuka sendiri Ma!" ucap Monica nyaris berteriak.

"Mulai sekarang jangan panggil Mama, panggil Mommy," ucap Shanty tegas.

Monica mengangguk-angguk, entah mendengar ucapan ibunya atau tidak. Karena matanya telah terhipnotis oleh rumah megah dengan halaman depan dan belakang yang luas serta pagar yang tinggi menjulang itu. Ditambah unsur dekoratif seperti ukiran dan pahatan pada eksterior dinding. Penggunaan batuan alam dan marmer serta pilar-pilar kokoh itu memberikan kesan kemegahan bak sebuah istana.

Tn. Robert dan Livia menyambut kedatangan mereka di teras rumah yang luas itu. Livia yang begitu bahagia langsung memeluk Shanty. Wanita itu pun membalas pelukan Livia dengan hangat sementara putri kandungnya hanya sibuk melihat sekeliling rumah.

Shanty pun mengenalkan kedua anaknya pada Livia.

"Ini putra pertama Mommy, namanya Radian Putra sekarang sudah kelas tiga SMP," ucap Shanty memperkenalkan putra pertamanya.

Livia mengulurkan tangan untuk bersalaman namun Radian hanya memalingkan wajahnya.

"Dia memang pemalu," ucap Shanty cepat sambil tersenyum canggung.

Tn. Robert dan Livia beralih memandang Monica.

"Nah, ini adiknya, Monica, sekarang telah kelas 1 SMP. Mommy berencana akan memindahkan sekolah mereka secepatnya," ucap Shanty.

"Tidak perlu Shanty, jika mereka betah di sekolah yang lama tidak masalah. Mereka bisa ke sekolah diantar sopir," ucap Robert yang tak tega jika kedua anak itu harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru.

Monica pun mengangguk-angguk dan segera menyambut uluran tangan Livia lalu segera masuk ke dalam rumah tanpa dipersilahkan.

"Mama! Eh … Mommy! Di mana kamarku?" teriak Monica bergema dari dalam rumah.

Para pelayan yang sedang mengerjakan tugasnya kaget mendengar suara yang begitu kencang.

"Pilih mana yang kamu mau!" jawab Shanty dengan suara yang tak kalah kuatnya namun segera tercenung saat menyadari Tn. Robert dan Livia yang terpaku menatapnya.

Monica memilih kamar Livia karena warna cat kamar beserta interiornya yang begitu manis, pink lembut. Livia menatap ayahnya saat Monica menentukan kalau kamar Livia sekarang menjadi kamarnya. 

Tn. Robert mengangguk dan Livia pun tertunduk. Hari pertama mereka pindah ke rumahnya, Livia telah tergusur dari kamarnya. Namun semua rasa sedih ditepisnya karena rasa bahagianya memiliki Shanty sebagai ibunya.

Kehidupan Livia menjadi sangat bahagia, selain memanjakan putra putrinya, Shanty pun memanjakan Livia sebagai putri bungsunya. Namun semua berubah dua tahun kemudian saat Livia berumur 12 tahun. Kondisi perusahaan ayahnya terancam pailit dan itu membuat ibu tirinya perlahan-lahan membencinya.

...~  Bersambung  ~...

BAB 2 ~ Cobaan Beruntun ~

Shanty menatap para model yang berlenggang-lenggok memperagakan perhiasan yang hanya diproduksi dengan jumlah terbatas itu. Matanya hingga menyipit memperhatikan setiap detail barang-barang berkilau itu. Sebuah Club yang hanya beranggotakan wanita-wanita kelas atas yang merupakan istri-istri atau pasangan dari pria sekelas top level management perusahaan-perusahaan besar di tanah air.

Setelah menikahi Tn. Robert Chandra, Shanty Rahayu tak lagi mengenal kata-kata sederhana. Segalanya harus serba mewah dari gaun, tas, sepatu hingga perhiasan. Puluhan juta adalah harga terendah untuk semua itu. Meski dipandang sebagai orang kaya baru, Shanty tak peduli. Dengan keberaniannya membeli barang-barang yang sedang dipromosikan membuat perlahan-lahan Shanty diterima di Club yang khusus menampilkan acara-acara mode kelas atas itu.

"Tidak tertarik dengan itu Jeng Shanty?" tanya seorang wanita cantik yang duduk disampingnya.

"Itu bagus tapi aku yakin ini belum yang terbaik," jawab Shanty.

"Wah, harganya mencapai 5,5 M lho," lanjut wanita itu sambil menunjukkan katalog berisi daftar-daftar perhiasan yang sedang dipromosikan.

"Aku mau yang terakhir tampil, mereka pasti save the best for last,"

"Oh,"

Begitulah Shanty Rahayu, nyonya baru Tn Robert Chandra. Kehidupan yang glamor, barang mewah, shoping, arisan, rumpi, lingkungan yang terbatas dari golongan orang di kelas atas.

Kehidupan kaum perempuan yang hanya mengenakan pakaian yang serba bermerek dari butik ternama. Tidak hanya itu, untuk tampil di depan umum Shanty dan kaumnya harus memiliki tas bermerk keluaran rumah mode kelas dunia asal Prancis, Inggris atau Italia dengan harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Pulang dengan menenteng paper bag dengan logo sesuai dengan barang yang dibelinya. Shanty dari pagi hingga sore menyerahkan segala urusan rumah dan anak-anaknya pada Bi Iyah. Asisten rumah tangga yang setia pada keluarga Tn. Robert Chandra.

Shanty sedang asyik memandangi perhiasan termahal yang berhasil di belinya melalui cermin besar itu saat Monica dan Livia masuk ke kamarnya yang luas dan mewah.

"Mommy lihat Livia jahat, dia ingin merebut sepatu Monic," ucap Monica mengadu.

Shanty yang sedang asyik mencoba semua perhiasan barunya paling tidak suka diganggu. Menatap kedua anak yang memiliki besar tubuh yang hampir sama.

"Mommy bilang apa? Jangan ganggu Mommy!" bentak Shanty.

"Tapi Mommy, Livia mau ambil sepatu Monic," ucapnya dengan manja.

"Kenapa? Kenapa kamu ambil sepatu Monic?" tanya Shanty membentak hingga mengagetkan Livia.

"Itu bukan sepatu Kak Monica, itu sepatu Livia. Tadinya Papa pilih untuk Kak Monica tapi Kak Monica nggak mau. Kak Monica pilih model lain, jadi Papa pilih itu untuk Livia. Sekarang Kak Monica malah ingin sepatu Livia," tutur Livia.

"Ya sudah, kalau Kakakmu ingin yang itu, dikasih saja apa susahnya sih?" tanya Shanty masih melirik indahnya kalung di lehernya itu melalui pantulan cermin.

"Tapi Livia nggak suka sepatu pilihan Kak Monica," jawab Livia sambil menunduk.

"Kamu sudah terbiasa mendapatkan apa yang kamu inginkan dari Papamu. Sekarang apa salahnya kamu mengalah sama Kakakmu yang mendapat tak sebanyak kamu!" bentak Shanty.

"Tapi Livia nggak suka …"

"CUKUP! KAMU TERIMA SEPATU ITU ATAU AKU BUANG!" bentak Shanty.

Livia menunduk lalu mengambil sepatu sekolah milik Monica yang dilemparnya sebagai pengganti sepatu Livia yang direbutnya. Sebagai ayah yang adil Tn. Robert memperlakukan ketiga anak-anak itu secara adil. Saat Tn. Robert ingin membelikan sesuatu maka semua akan kebagian. Kali ini Tn. Robert mengajak ketiga anak-anaknya membeli sepatu.

"Sepatu ini cantik Monica, ini cocok untuk sepatu sekolah seorang anak gadis yang baik," ucap Robert sambil menyodorkan sampel sepatu.

"Nggak mau ah, terlalu sederhana!" ucapnya ketus.

"Kalau Livia, mau sepatu ini?" tanya Robert yang sepertinya menyukai model sepatu itu.

"Mau Pa," jawab Livia langsung.

Tn. Robert tersenyum, pengusaha tampan itu akhirnya membebaskan Monica dan Radian memilih sepatu mereka sendiri. Monica mencari sepatu yang disukainya dari sudut ke sudut. Sementara itu Tn. Robert, Livia dan Radian yang tak terlalu memilih hanya bisa menunggu saudari mereka memilih sepatu yang disukainya.

"Yang ini Pa," teriak Monica.

"Kamu yakin yang ini?" tanya Robert.

"Ya, yakin," jawab Monica, yang akhirnya berhasil mendapatkan sepatu yang diinginkannya.

Akhirnya ketiga anaknya mendapatkan sepatu sesuai dengan keinginan mereka masing-masing. Awalnya Monica begitu bangga dengan sepatu pilihannya. Semua teman-teman kelompoknya mengagumi sepatu sekolah yang terlihat mewah itu.

Monica bahkan sering mengejek sepatu pilihan Livia. Namun Livia tak acuh dengan ejekan Kakaknya yang juga menjadi Kakak kelasnya di sekolah itu. Karena mereka bersekolah di SMP yang sama, Livia di kelas 7 dan Monica di kelas 9.

Seperti apa pun ledekan kakaknya Livia tak peduli, hingga saat gadis remaja itu harus melepas sepatunya untuk pelajaran olahraga yang menggunakan matras. Livia tak menemukan sepatunya saat pelajaran itu selesai. Sementara di ujung sana Monica dan kelompoknya justru cekikikan melihat Livia yang kebingungan mencari.

"Sudah dibawa kucing karena bau ikan asin!" teriak seorang teman Monica.

Monica dan teman-temannya langsung tertawa terbahak-bahak. Livia hanya bisa menatap dengan tatapan menghiba. Livia sudah cukup letih dengan pelajaran olahraga hari ini dan sekarang justru harus mencari sepatunya ke mana-mana.

Livia hendak melangkah mendekati kelompok usil itu memohon untuk memberitahu di mana mereka menyembunyikan sepatunya.

"LIVIA! INI SEPATUMU!" terdengar suara dari belakang.

Livia menoleh, begitu juga dengan keempat gadis-gadis usil itu. Ezra, sang ketua OSIS ganteng yang menjadi idola sekolah itu datang dengan menenteng sepatu Livia. Laki-laki remaja itu memberi kode agar Livia duduk di bangku panjang itu. Livia bingung, laki-laki tampan itu akhirnya menarik tangan Livia dan mendorongnya pelan hingga gadis itu terduduk.

Ezra, berlutut dan memasangkan sepatu Livia. Keempat gadis itu terperangah menatap kejadian itu. Salah seorangnya bahkan memukul bahu temannya sendiri karena kesal.

"Sepatumu bagus," ucap Ezra.

Ucapan yang singkat namun membuat Monica uring-uringan. Gadis itu hingga memukul-mukul kipas di tangannya hingga hancur dan melemparkannya begitu saja. Monica keluar dari aula itu dengan hati kesal dan diikuti oleh ketiga teman-temannya. Di rumah, Monica langsung mengklaim kalau sepatu Livia adalah miliknya.

Dan Livia harus menerima semua keinginan orang-orang di rumah itu. Ditambah lagi ibunya yang tak begitu sayang lagi padanya. Livia selalu mengalah dalam segala hal, Livia disalahkan untuk segalanya dan Livia harus bersedia menerima hukumannya.

Perubahan terjadi sejak hari itu, Tn. Robert pulang lebih cepat dengan wajah yang kusut. Berharap disambut oleh istrinya yang cantik untuk menghiburnya. Namun, Shanty tak berada di rumah. Wanita itu tak akan kembali dengan barang belanjaannya sebelum hari menjelang malam.

Tn. Robert yang kaget melihat belanjaan Shanty memohon agar wanita itu lebih berhemat karena situasi perusahaannya yang terancam pailit.

"Perusahaanku tidak mampu lagi membayar hutang pada kreditur. Kreditur mengancam akan mengajukan permohonan pailit pada Pengadilan Niaga, jika perusahaanku tak membayarkan kewajiban saat jatuh tempo. Pengadilan Niaga akan menyatakan status pailit pada perusahaanku. Pengadilan akan memutuskan menjual seluruh aset perusahaan untuk membayar kewajiban perusahaan pada kreditur.  Aku bisa kehilangan segala-galanya Shanty," ucap Robert sambil menjambak rambutnya sendiri.

"Lalu?" tanya Shanty dengan ringannya.

"Aku mohon mulai sekarang kamu jangan berfoya-foya …"

"BERFOYA-FOYA?" tanya Shanty dengan suara melengking.

Hingga membuat Tn. Robert kaget. Shanty membanting parfum mahal yang berada di atas meja rias itu lalu keluar dari walk in closet. Ruangan yang memajang gaun-gaun mewah dan aksesoris pendukung penampilan itu menjadi ruang favorit bagi Shanty.

Ruangan yang dibuat khusus untuk kegiatan merias diri dan menampung seluruh produk perawatan dan kecantikan Shanty. Ruangan indah yang dihiasi lampu chandelier dengan ornamen lampu kristal. Ditambah dengan closet island yang menempatkan sofa di tengah ruangan. Lengkap dengan segala macam produk perawatan dan kecantikan.

Tn. Robert duduk di sofa di tengah ruangan itu, laki-laki itu telah berkali-kali meminta istrinya untuk mulai berhemat sementara dia sendiri berusaha mencari pinjaman pada teman-teman sesama pengusaha. Namun di saat sulit tak ada satu pun yang mau menemuinya. Tn. Robert tiba-tiba dianggap sebagai seorang pengemis yang meminta-minta bantuan.

Laki-laki pasrah, seorang pun tak ada yang mendukungnya termasuk istrinya sendiri. Mereka justru sering cekcok karena Shanty sama sekali tak mau menurunkan sedikit saja hobby berfoya-foyanya.

Pandangan mata Tn. Robert mengitari sekeliling ruangan mewah itu. Laki-laki itu merasa semuanya akan segera direnggut darinya. Namun Tn. Robert tak ingin kehilangan keluarganya.

Untuk menghibur keluarganya dari berita buruk perusahaannya yang terancam pailit. Sang ayah mengajak keluarganya berlibur di Villa-nya di luar kota. Sejenak Tn. Robert melupakan kegalauan hatinya. Di Villa pinggir danau itu, Tn. Robert berhasil membawa keceriaan lagi dalam rumah tangganya.

Namun saat perjalanan Tn. Robert kembali teringat akan kondisi perusahaannya. Mencoba membujuk istrinya untuk menjual perhiasan-perhiasannya untuk membantu membayar hutang perusahaan. Shanty yang tak suka hobby dan barang-barangnya di usik. Mengamuk hingga kembali terjadi cekcok.

Tn. Robert tak konsentrasi dalam berkendara hingga akhirnya mengalami kecelakaan. Kenyataan pahit kembali harus dihadapinya. Kecelakaan itu mengakibatkan wajah Livia rusak dan terlihat menyeramkan.

"Kita harus melakukan rekonstruksi wajah pada Livia. Aku tidak ingin anak gadisku cacat selamanya," ucap Robert dengan wajah yang risau.

Namun Shanti Rahayu tak mengizinkan suaminya untuk melakukan rekonstruksi wajah terhadap Livia karena akan menelan biaya yang sangat besar sementara perusahaan mereka dalam keadaan sulit.

"Aku tak peduli, aku akan melakukan apa pun demi memulihkan wajah putriku. Kalau perlu aku jual rumah ini untuk biaya operasi Livia!" bentak Robert.

Shanty tak ingin itu terjadi, Shanty tak ingin kehilangan rumah yang menjadi kebanggaannya sebagai wanita kelas atas. Suara Shanty melunak, berusaha membujuk suaminya untuk tenang.

"Tak perlu menjual rumah sayang. Kita pasti akan lakukan operasi plastik pada Livia. Tapi tidak sekarang saat kondisi perusahaan sedang sulit. Aku janji aku akan menjual sebagian perhiasanku untuk membantu kita keluar dari ancaman pailit. Nanti jika kondisi perusahaan telah stabil kita bisa lakukan bedah rekonstruksi wajah Livia kalau perlu di luar negeri untuk mendapatkan hasil yang terbaik," bujuk Shanty dengan suara yang super lembut.

Tn. Robert terbujuk, terbayang perusahaannya yang bisa diselamatkan. Tn. Robert pun bertekad akan bekerja lebih keras demi mendapatkan kembali kejayaan perusahaan keluarganya itu. Tn. Robert tak ingin perusahaan turun temurun itu justru hancur di tangannya.

Tn. Robert memeluk putrinya dengan tangis yang tak bisa tertahankan. Teringat saat pertama kali dokter membuka kain kasa pembalut luka di wajahnya. Livia menjerit tak sanggup melihat wajahnya sendiri.

"Papa, kenapa wajah Livia seperti ini, Papa! Livia nggak mau seperti ini. Livia nggak mau Pa," jerit Livia pilu.

Dan sekarang Tn. Robert justru memutuskan untuk menunda rekonstruksi wajah Livia.

"Maafkan Papa Nak. Papa janji akan menyembuhkan luka di wajah Livia. Tapi Papa mohon kesabaranmu ya Nak. Kondisi perusahaan Papa sedang sulit, Papa tidak memiliki biaya untuk pengobatanmu. Nanti Mommy akan membantu menyelesaikan masalah perusahaan Papa. Begitu keadaannya membaik Papa janji kita ke luar negeri untuk melakukan bedah plastik. Livia sabar ya Nak, maafkan Papa, maafkan Papa," ucap Robert menangis.

Livia tak tega mendesak orang yang paling disayanginya itu. Tn. Robert telah begitu letih menjalani cobaan demi cobaan yang menghampirinya. Laki-laki empat puluhan tahun itu bahkan terduduk di lantai. Memohon maaf dan pengertian dari putrinya.

Livia mengetahui situasi perusahaan ayahnya sedang goncang. Sangat mengerti dan juga merasa sangat kasihan pada ayahnya. Namun, Livia sendiri tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa pasrah tak menuntut ayahnya.

"Papa jangan khawatir, Livia mengerti Pa. Livia akan sabar dan berdoa semoga keadaan perusahaan Papa kembali membaik," ucap Livia yang ikut duduk di lantai mengikuti ayahnya yang terduduk.

Mereka saling berpelukan dan menangis bersama. Livia merasa cuma ayahnya yang bersedih dengan kondisi wajahnya saat ini dan itu membuat Livia tak ingin menambah kesedihan ayahnya.

Livia terpaksa menjalani hidup dengan wajahnya yang telah rusak. Wajah gadis itu berubah 180° dari gadis yang cantik menjadi gadis buruk rupa. Di sekolah Livia terpaksa menggunakan masker untuk menutupi wajahnya yang telah cacat.

Kecelakaan tunggal itu membuat mobil Tn. Robert terguling dan jatuh di jurang yang cukup dalam. Nasib buruk tak dapat ditolak, jendela kaca di samping Livia pecah dan menghantam wajah Livia. Meski telah mencoba menjelaskan kecelakaan yang telah menimpanya, hanya beberapa dari teman-teman Livia yang bisa bersikap wajar, selebihnya mereka memilih untuk menghindar.

"Gue nggak kuat lihat wajahnya, dalam sedetik gue lupa wajahnya yang dulu saking menyeramkannya," ucap seorang teman kelas Livia.

Gadis-gadis itu tak bicara dengannya tapi Livia sayup-sayup mendengar orang-orang membicarakannya.

"Loe sih pake lihat wajahnya segala, udah bagus di tutupi masker loe malah pengen lihat," ucap yang lain.

"Abisnya gue penasaran, separah apa lukanya. Tapi hiii, kalau lagi makan pasti napsu makan gue langsung hilang," ucap yang lain lagi.

Livia hanya bisa tertunduk mendengar obrolan teman-teman sekelasnya. Livia tak berani lagi keluar kelas, apalagi bertemu dengan Ketua OSIS tampan yang menurut gosipnya sedang berusaha mendekatinya. Namun Livia juga tak sanggup mendengar obrolan teman-teman kelasnya. Gadis itu akhirnya memilih menyendiri di samping gedung sekolah. Di sana Livia bisa melepas masker untuk menghirup udara dengan lebih bebas.

"Di sini rupanya. Ini aku bawa roti untukmu," ucap Ezra.

Livia buru-buru meraih maskernya, namun tangan Ezra menghalangi gadis itu mengenakan maskernya.

"Gimana caranya makan jika pakai masker?" tanya Ezra sambil tersenyum.

Livia akhirnya memalingkan wajahnya karena maskernya yang telah direbut Ezra. Pemuda itu justru menarik dagu Livia mengarah padanya. 

Wajahnya sudah tak jelas, karena terlalu banyak luka yang dalam hingga kulit wajahnya seperti ditarik tak beraturan. Sudut bibirnya bahkan tak bisa terkatup lagi, batin Ezra.

Livia ingin memalingkan wajahnya namun cengkeraman tangan Ezra di dagunya sangat kencang hingga gadis itu seperti memampangkan wajahnya. Air mata Livia mengalir perlahan, menangisi Ezra yang masih menatap wajahnya. Livia merasa laki-laki itu juga akan jijik dan akan menghindar seperti teman-teman yang lainnya.

Melihat air mata yang mengalir di pipi Livia, Ezra meraih tengkuk Livia dan membenamkan wajah gadis itu di dadanya. Livia menangis sejadi-jadinya. Apa yang dilakukan Ezra justru membangkitkan kemarahan Monica. Melihat laki-laki yang telah menguasai hatinya itu masih mau mendekati Livia.

Tanpa mereka ketahui Monica menemui orang tua Ezra dan menceritakan kedekatan Ezra dan Livia. Orang tua Ezra kaget saat melihat foto Livia yang diperlihatkan Monica. Gadis itu berharap orang tua Ezra akan melarangnya berhubungan dengan Livia.

Namun apa yang terjadi justru tak diharapkannya, Ezra justru dipindahkan ke sekolah lain membuat Monica semakin kesal pada Livia. Dan gadis itu menjadi sasaran kemarahan Monica. Gadis itu mengambil buku cetak yang sedang dibaca Livia dan memukulkannya ke kepala dan tubuh gadis itu.

"Dasar tak tahu diri, lihat akibat perbuatanmu, gara-gara kamu dia dipindahkan ke sekolah lain," ucap Monica masih terus memukulkan buku itu ke tubuh Livia.

Kemarahan Monica tak hanya itu, dia sama sekali tak sempat mengetahui nomor ponsel Ezra yang bisa dihubungi. Orang tua Ezra pun tak bersedia memberitahunya. Yang gadis itu tahu Ezra dipindahkan ke luar negeri.

Livia menangis dan menjerit menerima pukulan yang bertubi-tubi diarahkan ke tubuhnya. Tiba-tiba Radian datang dan mendorong tubuh Monica hingga jatuh ke samping. Monica terkejut begitu juga dengan Livia.

"Sekali lagi aku dengar ribut-ribut, aku jahit mulutmu," bentak Radian pada Monica.

Laki-laki itu kesal karena mulut Monica yang terus memaki. Kamar Radian yang bersebelahan dengan kamar Livia membuat Radian mendengar apa pun yang terjadi di sebelah kamarnya. Makian dan bunyi barang-barang yang berjatuhan membuat laki-laki yang suka keheningan itu merasa terusik.

Monica pergi dengan menghentakkan kaki, baru kali ini kakak laki-lakinya itu membentaknya. Meninggalkan Livia yang membereskan kamarnya sambil sebentar-sebentar menghapus air matanya. Sesekali gadis itu menoleh keluar kamar, berterima kasih dalam hati pada kakak laki-lakinya yang telah menghentikan perbuatan Monica.

Penderitaan Livia tak sampai disitu, kondisi perusahaan ayahnya tak kunjung membaik. Shanty tak mau lagi mengorbankan perhiasannya dan Tn. Robert tak bisa memaksanya lagi. Tn. Robert tak mampu lagi membayar gaji karyawan perusahaan hingga terjadi kerusuhan pada aksi demo pekerja, Tn. Robert Chandra terbunuh.

Livia menjerit histeris saat mendengar ayahnya tewas karena jatuh dari lantai tiga karena terdorong karyawan demo yang merangsek masuk. Shanty tentu saja panik mengingat perusahaan yang benar-benar terancam pailit dan hutang gaji karyawan yang harus dibayarkan.

Di tengah kebingungannya, pengacara Tn. Robert datang dan menceritakan asuransi jiwa dengan premi tertinggi milik Tn. Robert. Mendengar itu Shanty langsung mengurus klaim asuransi berjumlah sangat besar itu dan perusahaan pun dapat diselamatkan.

"Terima kasih Tuan Rizaldi, tanpa klaim asuransi itu, kami benar-benar akan menjadi gembel," ucap Shanty lega.

"Selain itu, saya juga akan membacakan surat wasiat Tn. Robert tentang semua harta warisan yang ditinggalkan beliau," ucap Tn. Rizaldi.

Shanty beserta seluruh anak-anak mendengar Tn. Rizaldi membacakan surat wasiat Tn. Robert. Namun Shanty Rahayu terkejut luar biasa saat mendapati suaminya menyerahkan seluruh warisan atas nama Livia Chandra, putrinya kandungannya, saat gadis remaja itu beranjak dewasa kelak.

...~  Bersambung  ~...

BAB 3 ~ Hari Terakhir Livia ~

Livia tahu kondisi perusahaan ayahnya tak kunjung membaik. Tak sengaja Livia mendengar percakapan ayahnya dan Shanty.

"Cukup Pa, aku tak mau menjual perhiasanku lagi, untuk apa aku membeli selama ini jika akhirnya harus aku jual," ucap Shanty.

"Ini hanya untuk sementara, nanti jika kamu bisa membelinya kagi. Demi berhemat dilakukan pemotongan gaji seluruh karyawan. Bahkan ada yang belum bisa dibayarkan. Sementara kamu masih terlihat berfoya-foya, itu membuat para karyawan tak percaya kalau aku tak mampu membayar karyawanku. Hentikan kebiasaanmu membeli produk bermerek dengan harga yang fantastis, setidaknya untuk saat ini," ucap Robert memohon dengan wajah yang murung.

Livia menitikkan air mata mendengar suara ayahnya yang menghiba. Belum pernah seumur hidupnya terdengar begitu memohon. Sementara suara Shanty terdengar seperti tak peduli. Livia ingin menyerahkan perhiasan miliknya yang pernah dibelikan ibu kandungnya. Hanya sepasang anting-anting yang melekat dirinya sejak gadis itu masih kecil.

Gadis itu kembali ke kamarnya dengan air mata yang masih mengalir. Terisak-isak sendiri di kamarnya, Livia mencoba untuk tidur. Di tengah malam ayahnya masuk ke kamar dan menggenggam kedua tangan putrinya.

"Pa?" Terdengar suara Livia yang bangun.

"Maaf Nak, Papa membangunkanmu?" tanya Robert dan Livia menggeleng.

"Sebenarnya Livia susah tidur," jawabnya.

"Kenapa?"

"Selalu ingat kesulitan perusahaan Papa," jawab Livia.

"Itu bukan urusanmu Nak, itu urusan Papa. Biar Papa yang pikirkan, kamu masih kecil belum menjadi tanggung jawabmu. Nanti kalau sudah besar, kamu boleh mengambil semua tanggung jawab Papa … kalau Papa sudah tidak ada," jelas Robert.

Hening, keduanya terdiam.

"Pa, Livia punya anting-anting bisa dijual nggak Pa untuk bantu perusahaan Papa," ucap Livia.

"Bisa," ucap Robert sambil tersenyum. "Tapi, tidak cukup untuk membiayai kebutuhan perusahaan Papa. Jadi disimpan saja ya Nak, karena cuma itu yang kamu punya. Kamu dan Mama adalah orang-orang sederhana yang tak pernah memiliki keinginan untuk mengoleksi perhiasan, tapi itu pembelian Mama bukan? Simpan saja baik-baik sebagai kenangan-kenangan dari Mama," ucap Robert lalu tertunduk menangis.

Livia bangun dan duduk di samping ayahnya.

"Papa kenapa?"

"Livia, Papa minta maaf Nak. Karena tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu. Papa tahu sejak awal menikahi Shanty, kamu banyak mengalah demi mereka. Papa minta maaf Nak, Papa gagal mendidik mereka dan maafkan Papa karena kondisi kita jadi seperti ini," ucap Robert sambil membelai wajah Livia yang telah rusak.

Laki-laki itu menangis mengusap bekas-bekas luka di wajah Livia. Penyesalan terbesar Tn. Robert adalah tak sanggup membiayai operasi plastik putrinya. Gadis itu menangis tersedu-sedu melihat ayahnya yang begitu sedih. Kedua ayah dan anak itu menangis bersama.

Siangnya Livia mendapat panggilan dari guru piket. Gadis itu diminta untuk ke rumah sakit karena ayahnya yang sedang kritis.

"Papa kenapa? Papa kenapa?" tanya Livia di sepanjang jalan menuju rumah sakit.

Guru wali kelas itu hanya bisa menangis sambil memeluk Livia. Gadis itu menangis sesenggukan. Sesampai di rumah sakit Livia langsung memeluk ayahnya yang telah tiada.

"NGGAK! NGGAK! NGGAK!" Jangan tutup wajah Papa! Jangan tutup wajah Papa!" jerit Livia sambil menggelengkan kepalanya.

Tangan Livia menyibak kain putih yang ingin ditutupkan ke wajah ayahnya. Tangisnya yang pilu memecah keheningan di instalasi gawat darurat itu. Livia tak bisa menerima kenyataan. Dokter itu akhirnya menggelengkan kepala pada suster yang ingin menutupi wajah Tn. Robert.

Livia menangis sejadi-jadinya, kenyataan harus melihat wajah orang tuanya ditutupi kain putih untuk kedua kali tak bisa diterimanya. Namun sekarang Livia telah cukup dewasa. Gadis tiga belas tahun itu telah cukup mengerti keadaan bahwa melarang suster menutup wajah ayahnya takkan bisa membuat ayahnya hidup lagi.

Kembali Livia menjalani prosesi pemakaman orang yang disayanginya. Namun kali ini gadis itu hanya berdiri terpaku dengan air mata yang selalu meleleh meski sesering apa pun dia mengusapnya. Tak lagi ada jeritan untuk menghalangi tugas para pengubur jenazah.

Papa pasti bahagia bersama Mama 'kan? Livia ikhlas Pa, asalkan Papa bahagia di sana bersama Mama, batin Livia dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

Livia beranggapan bahwa dengan kepergian ayahnya itu membuat penderita ayahnya di dunia juga telah berhenti sampai disitu. Ayahnya tak perlu lagi menangis sambil memeluknya. Tak perlu sedih melihat wajahnya yang telah rusak. Tak perlu lagi memikirkan perusahaannya. Tak perlu merasa bersedih menghadapi keluarganya yang tak peduli padanya.

Tanpa sadar Livia mengangguk, dengan air mata yang masih mengalir deras. Gadis itu akhirnya mengikhlaskan kepergian ayahnya. Meninggalkan Livia yang harus menjalani hidup berempat bersama keluarga tirinya meski dalam kesehariannya merasa hidup seorang diri.

"Bi Iyah harus dipecat."

"Apa? Kenapa Mom?" tanya Livia yang tak ingin berpisah dengan satu-satunya orang yang masih peduli padanya.

"Kamu tidak lihat, Papamu sendiri tak bisa membayar gaji karyawannya. Lalu bagaimana kita bisa mengatasinya?" Ucap Shanty balik bertanya.

"Tapi Bi Iyah sudah lama ikut kita," ucap Livia sambil tertunduk.

"Kalau dia mau bekerja tanpa makan tanpa digaji tidak apa-apa. Para karyawan yang berdemo itu mungkin membiarkan kita bernapas sebentar saja. Setelah itu mereka akan kembali menagih gaji yang belum mereka dapatkan. Belum lagi hutang yang harus dibayarkan pada pihak ketiga. Dari mana semua itu kita dapatkan? Kita harus berhemat mulai sekarang," ucap Shanty di depan ketiga anaknya.

Kata-kata yang pernah diucapkan Papa, kini muncul dari mulut Mommy. Tapi Papa memang berhemat, bagaimana dengan Mommy? Apakah bisa berhemat? Batin Livia bertanya-tanya.

Livia menoleh ke arah Bi Iyah yang hanya tertunduk pasrah. Baginya tak masalah jika tak digaji asalkan bisa tetap di sisi putri dari majikannya yang telah diasuhnya sejak bayi. Namun Bibi itu tahu, Shanty dengan berbagai alasan sudah tidak menginginkannya lagi berada di rumah itu.

Livia menangis saat menatap kepergian Bibi yang sedari kecil mengasuh dan merawatnya. Kasih sayang Livia pada Bi Iyah sama seperti rasa sayangnya pada kedua orang tuanya. Bi Iyah pun merasakan demikian, Livia sudah seperti putrinya sendiri.

Keesokan harinya keluarga Chandra kedatangan seorang tamu. Tn. Rizaldi, yang mana adalah pengacara Tn. Robert.

"Maaf saya baru tahu kecelakaan yang menimpa Tuan Robert di tanah air karena saya baru pulang dari luar negeri," ucap Rizaldi.

Shanty mengangguk-angguk, dengan penuh tanda tanya di kepalanya. Pengacara Tn. Robert itu akhirnya menceritakan maksud kedatangannya bahwa Tn. Robert adalah nasabah pemegang premi asuransi jiwa dengan besaran premi tertinggi.

Tn. Rizaldi mengeluarkan sebuah map berlogo perusahaan asuransi yang berisi lembaran polis asuransi. Tn. Rizaldi menyerahkan kontrak perjanjian kerjasama Perusahaan Penyedia Asuransi dengan Tn. Robert Chandra sebagai nasabah Pemegang Polis.

Shanty Rahayu menerima dan segera membacanya. Raut wajahnya sedikit berubah saat melihat nominal manfaat yang bisa diterimanya dari klaim asuransi itu. Shanty langsung menyetujui untuk mengurus klaim asuransi berjumlah sangat besar itu. Dengan nominal itu Shanty bisa memenuhi kewajiban perusahaan pada kreditur hingga kondisi perusahaan itu pun dapat diselamatkan.

Setelah perusahaan stabil, Tn. Rizaldi pun kembali datang untuk membawakan surat wasiat dari Tn Robert Chandra.

"Suamiku membuat surat wasiat?" tanya Shanty tercengang.

Tn. Rizaldi mengangguk, seorang asisten yang ikut menjadi saksi pembuatan surat wasiat itu mengeluarkan sebentuk amplop tertutup. Shanty dan semua anaknya duduk berhadapan dengan para pengacara itu.

Mata Shanty tak berkedip saat menatap amplop yang dibuat dengan akta di hadapan notaris itu. Sebuah akta yang memberikan kejelasan kepemilikan harta benda yang ditinggalkan suaminya saat suaminya meninggal dunia.

Berbeda dengan Livia yang memandang amplop itu dengan tatapan yang sayu. Dengan matanya yang berkaca-kaca gadis itu membayangkan ayahnya memikirkan dan menulis surat wasiat itu. Livia tertunduk sambil menghapus air matanya. Jika boleh diganti dia tak inginkan akta wasiat itu muncul, dia ingin ayahnya yang kembali padanya.

Surat wasiat itu pun dibacakan. Shanty beserta seluruh anak-anak mendengar Tn. Rizaldi membacakan surat wasiat Tn. Robert. Namun Shanty Rahayu terkejut luar biasa saat mendapati suaminya menyerahkan seluruh warisan atas nama Livia Chandra, putrinya kandungannya, saat gadis remaja itu beranjak dewasa.

Sementara Shanty dan anak-anaknya hanya mendapat uang bulanan sama seperti sebelum Tn Robert meninggal. Darah di dalam tubuh Shanty terasa mendidih saat mendengar pembacaan surat wasiat itu namun Shanty berusaha untuk tenang. Berbeda dengan Livia yang terkejut dan Monica yang ternganga.

"KURANG AJAR! KURANG AJAR! SETELAH SEKIAN LAMA MENDAMPINGIMU HANYA UANG BULANAN YANG AKU DAPATKAN? MENURUTMU SIAPA YANG MENYELAMATKAN PERUSAHAANMU? KURANG AJAR! KURANG AJAR!" teriak Shanty sambil mengobrak-abrik isi kamarnya.

Livia mengerti kemarahan ibu tirinya, namun dia sendiri tak punya kuasa apa-apa. Meski tak bicara secara langsung namun dalam kesehariannya Shanty semakin membenci Livia. Shanty menjadikan gadis berwajah cacat itu sebagai asisten rumah tangga di rumahnya sendiri.

Jika terjadi kesalahan maka tak segan-segan Shanty menghukumnya. Seperti hari ini, Livia terlambat menyiapkan sarapan untuk mereka. Gadis itu pun tak mendapat jatah sarapan. Namun beruntung saat melangkahkan kakinya ke sekolah dengan lunglai, Radian melempar kantong plastik berisi sandwich buatan Livia sendiri.

"Kak!" teriak Livia.

Laki-laki yang tak pernah tersenyum itu menghentikan langkahnya.

"Ayo makan sama-sama," ucap Livia riang.

Gadis itu tahu persis, Radian hanya memakan sepotong dan selebihnya ada di kantong plastik itu.

"Aku tidak suka!" ucapnya lalu melanjutkan langkahnya.

Radian yang memang tak pernah ingin menikmati kemewahan di rumah itu selalu memilih naik angkutan umum untuk ke sekolahnya dan sekarang Livia pun begitu. Mobil milik ayahnya dikuasai sepenuhnya oleh Shanty, sementara mobil Shanty beserta sopir untuk menunjang aktivitas Monica.

"Nggak mungkin, nggak suka. Biasanya Kak Radian selalu menghabiskan sandwich buatan Bu Iyah," ucap Livia sambil mensejajarkan langkah mereka meski agak kesulitan karena Radian dengan tungkai kakinya yang panjang membuat satu langkah Radian menjadi dua langkah bagi Livia.

"Memangnya ini buatan Bi Iyah?" tanya Radian tanpa menoleh.

"Aaah, Kakak banyak bicara sekarang. Aku jadi tahu suara Kakak," ucap Livia sambil mengangkat wajahnya demi menatap pemuda tampan itu.

Livia memang jarang mendengarnya berbicara. Belakangan agak sering namun hanya untuk menghentikan keributan yang ditimbulkan oleh teriakan Monica yang menganiaya Livia. Dan Livia tentu saja tak memperhatikan suara Kakak laki-lakinya itu karena sedang menangis.

"Makasih ya Kak, karena Kak Radian sering menolongku," ucap Livia tulus.

"Aku tidak menolongmu, aku hanya tidak suka keributan," ucap laki-laki pendiam itu.

Mendengar Radian bicara lagi, Livia tertawa. Setelah hitungan tahun gadis itu tak lagi bisa tertawa. Sejak wajahnya rusak ditambah ayahnya yang meninggal tiba-tiba. Bagi Livia meski Radian tak berniat menolongnya tapi menghentikan perbuatan Monica, itu menjadi sebuah pertolongan baginya.

Gadis itu mengeluarkan sandwich dari kantong plastik itu dan menyodorkannya ke mulut Radian.

"Nggak mau!" ucapnya ketus.

"Ayolah satu sandwich untuk Kakak, satu sandwich untukku. Kakak harus makan lebih banyak dariku karena Kakak lebih tua dan lebih tinggi. Ayo Kak," ucap Livia.

"TIDAK MAU!" ucapnya keras dan segera naik bus menuju sekolahnya.

Langkah Livia terhenti karena Livia harus memilih bus yang berbeda. Gadis itu melambaikan tangannya yang menggenggam sandwich sambil tersenyum. Radian yang tadinya tak peduli akhirnya menoleh dan menatap wajah yang tertutup masker itu. Hanya menatap mata Livia yang menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum.

Radian bersikeras tak mengambil sandwich yang disodorkan Livia karena dirinya masih dibekali uang jajan. Berbeda dengan Livia yang hanya dibekali ongkos angkutan umum. Radian kembali menoleh ke arah Livia yang masih melambai-lambai. Entah apa sebabnya laki-laki itu ingin kembali melihat Livia yang masih melambaikan sandwich padanya.

Sepulang sekolah Livia di jemput oleh Shanty dan Monica. Mereka mengajak Livia berlibur ke Villa.

"Tapi aku tak bawa pakaian ganti Mommy?" tanya Livia.

Shanty sedikit kaget dengan pertanyaan Livia. Namun segera wanita itu mencari alasan.

"Ini acara dadakan untuk memberi surprise pada Radian. Dia dinyatakan lulus di universitas di luar negeri," ucap Shanty seenaknya.

"Benarkah? Wah Kak Radian hebat," ucap Livia kagum.

Rasa kagum dan sayang Livia pada Kakaknya yang satu itu semakin menjadi. Baginya meski terlihat tak acuh dan ketus tapi Radian satu-satunya keluarga yang tidak pernah menyakitinya.

Sepanjang perjalanan Livia bahagia karena akan ikut merayakan keberhasilan Kakak laki-lakinya itu. Namun mesin mobil tiba-tiba mati. Shanty segera mengarahkan mobil itu ke pinggir.

"Kenapa Mommy?" tanya Livia.

"Entahlah tiba-tiba mesinnya mati. Ayo kita turun dulu, minta bantuan pada orang lewat," ucap Shanty.

Mereka bertiga pun turun, di daerah pengunungan dan sepi. Monica dan Shanty melihat-lihat ke jalanan apakah ada mobil atau siapa pun yang lewat. Namun jalan dengan hutan, tebing dan jurang itu sangat sepi dilalui. Terlebih bukan saat liburan.

Posisi mobil yang berhenti di pinggir jurang itu pun sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Livia juga melihat ke kanan dan ke kiri namun tetap tak melihat siapapun. Lelah melihat ke jalan Livia menoleh ke arah belakangnya.

Namun tiba-tiba Shanty dan Monica mendorong gadis itu hingga terperosok jatuh ke dalam jurang. Dengan senyum puas kedua wanita berhati iblis itu meninggalkan lokasi yang menjadi saksi bisu kejahatan mereka. 

Setiap kali Shanty melihat Livia, setiap kali itu pula kebenciannya bertambah. Teringat harta warisan suaminya yang begitu diharapkannya jatuh ke tangan anak tirinya itu tanpa menyisakan apa pun untuk dia dan anak-anaknya.

Namun jika Shanty sedikit sadar diri, harusnya dia bersyukur atas apa yang telah diberikan suaminya selama ini. Kehidupan mewah yang tadinya hanya sebuah halusinasi baginya bisa tercapai berkat Tn. Robert yang menikahinya demi putrinya. Namun kenyataannya kasih sayang yang tadinya terlihat tulus ternyata penuh kepalsuan.

Sangat wajar jika Tn. Robert lebih mengkhawatirkan putrinya. Karena Tn. Robert tahu. Jika seluruh warisan jatuh ke tangan putrinya, Livia tak akan menelantarkan ketiga orang itu. Sebaliknya jika semua warisan diserahkan pada istrinya itu, maka dengan mudah wanita itu mengusir Livia.

Namun mengharapkan Shanty menjadi orang yang tahu diri dan tahu berterima kasih adalah hal yang percuma. Hatinya telah dipenuhi oleh rasa dendam hingga akhirnya Shanti Rahayu merencanakan pembunuhan terhadap putri tirinya sendiri.

Keesokan harinya Monica membuat kehebohan yang membuat Radian keluar dari kamarnya karena kesal.

"Kak lihat, Livia bunuh diri," ucap gadis itu sambil memperlihatkan buku harian Livia.

Tertulis kesedihan dan penyesalannya atas kecelakaan yang menimpanya hingga akhirnya merusak wajahnya. Di sana juga tertulis rasa sedih Livia karena kehilangan ayahnya hingga gadis itu merasa tak mampu lagi meneruskan hidupnya.

Radian langsung membuka lembaran-lembaran sebelumnya. Terlihat tulisan yang sama, Livia benar-benar menulis penyesalannya itu. Kata-kata 'rasanya aku tak sanggup lagi meneruskan hidupku' menjadi senjata bagi Monica untuk meyakinkan Kakaknya.

Gadis yang selalu usil dan ingin tahu isi diary Livia itu pada suatu hari menunjukkan diary itu pada ibunya. Awalnya hanya untuk menertawakan gadis malang itu namun sekarang digunakan sebagai alibi atas Livia yang tak pulang sejak berangkat sekolah kemarin pagi.

Radian tak menyangka hari itu, hari di mana mereka berjalan bersama adalah hari terakhir baginya menatap adik tirinya itu. Karena tanpa disadarinya, ibu kandungnya telah merencanakan pembunuhan terhadap gadis malang itu 

Meski tak begitu dekat, meski merasa tak menyayangi Livia. Namun saat-saat terakhir bersama gadis itu terbayang dalam ingatannya. Suara tawanya, sipit matanya saat tersenyum, dan lambaian tangannya. Tak bisa lenyap dari pikiran Radian hingga tanpa terasa air matanya menetes.

Shanty mengumumkan kehilangan putrinya dengan menampilkan bukti rasa penyesalan dan kesedihan Livia, rasa putus asa hingga tak sanggup hidup lagi yang tertuang dalam buku harian Livia. Ditambah dengan berita ditemukannya mayat beberapa kilometer dari lokasi di dorongnya Livia.

Shanty Rahayu bebas menguasai kekayaan almarhum suaminya.

Namun tanpa diketahui Shanty, Livia yang jatuh ke jurang dengan sungai di bawahnya itu. Diselamatkan oleh seorang dokter bedah plastik yang sedang memperingati hari kematian putrinya di lembah dengan sungai tepat di mana Livia jatuh.

Livia dijadikan putri angkatnya dan dibawa ke luar negeri untuk melakukan rekonstruksi wajah. Livia yang cantik, cerdas dan kaya raya kembali mendekati keluarga itu yang tak lagi mengenalinya untuk membalas dendam.

...~  Bersambung  ~...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!