NovelToon NovelToon

Janda Daster Bolong

Perselingkuhanmu

Nur mendekat ke ruangan yang penuh dengan suara aneh, bulu kuduknya sampai berdiri mendengar itu. Tangannya membuka dengan hati-hati gagang pintu. Mata Nur menatap lekat apa yang dia lihat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Langit seakan runtuh menindihnya. Napas Nur tersengal tidak teratur dan mulutnya tetap menganga menyaksikan kejadian yang sangat tidak dia sangka.

"Bang Raditya!" teriak Nur melangkah cepat ke arah 2 insan yang sedang memadu cinta di atas ranjang tidurnya.

Nur langsung menyeret paksa wanita yang sedang nangkring di atas tubuh suaminya hingga wanita itu tersungkur ke lantai. Mereka sama-sama polos tanpa sehelai benang.

Raditya juga sangat terkejut dengan kedatangan Nur karena dia izin ke rumah orang tuanya untuk menginap di sana selama 3 hari. Siang ini, baru 2 hari tapi Nur tiba-tiba pulang ke rumah.

"Nur tidak nyangka! Abang setega ini!" kesal Nur memukul suaminya dengan sandal jepit yang dia pakai.

"Aku bisa jelasin Nur!" ujar Raditya, menahan timpukan Nur dengan tangannya. Namun, tangan Nur tidak berhenti tetap memukul bahu sang suami.

Wanita murahan itu tersenyum sinis sambil memungut bajunya yang berserakan di lantai. Satu persatu dia lekatkan di tubuhnya. Dia melangkah ke sofa kamar dan dengan santainya dia duduk di sofa itu, menyaksikan pertunjukan suami istri yang sedang beradu mulut dan fisik.

"Ape nyang akan Abang jelasin ke Nur! Semuanye udeh Nur lihat dengan mata pala Nur sendiri!" suara Nur meninggi, pukulannya semakin melemah karena kekuatannya seakan terkuras dengan kekesalan yang teramat. Mata Nur sudah basah dengan derai air mata. hidungnya juga sudah melelehkan cairan bening. Napas Nur tersengal-sengal. Kalau tidak karena ingat dosa sudah dia cincang 2 manusia hina itu.

Raditya diam. "Aku..., Aku hanya_"

"Hanya masukin si entu ke lobang neraka!" cekat Nur dengan geram, menatap ke arah pusaka milik suami yang cepat-cepat Raditya tutup dengan selimut.

"Kita bicarakan nanti," bujuk Raditya turun dari ranjang dengan selimut yang menutup tubuhnya. Dia mendekat ke arah Nur tapi Nur memundurkan tubuhnya merasa tidak sudi dipegang suaminya.

"Kagak perlu! Kite kagak perlu bicarakan ape-ape lagi! Nur kagak pengen dengar penjelasan apapun dari Abang!" geram Nur kemudian melangkah keluar dari kamar. Namun, sebelum keluar dari kamarnya, dia menatap wanita yang masih tersenyum menatap langkah Nur.

"Kite sama-sama wanita! Siap-siap lu terima karma karena perbuatan lu!" ancam Nur.

Wanita itu melebarkan senyumnya lalu tertawa kekeh hingga mulutnya terbuka lebar.

"Makan tuh sandal!" kesal Nur langsung menyumpal sandal jepitnya ke mulut wanita itu.

Wanita itu langsung menarik sandal dari mulutnya, wajahnya terlihat sangat kesal.

"Hei! Wanita gembrot! Wanita yang tidak ada menariknya-menariknya! Makanya ngaca tuh body kamu yang kayak drum minyak curah!" teriak wanita itu, tubuhnya yang akan keluar hendak mengejar Nur ditarik Raditya.

"Tidak usah diladeni," ujar Raditya.

Napas wanita itu tersengal-sengal, amarahnya sudah di ubun-ubun. Tatapan wanita itu kini beralih ke arah Raditya.

"Lagian kenapa tidak langsung kamu katakan kalau kamu muak dengan wanita gembrot itu!" teriaknya.

"Sayangku, aku..., aku tidak enak dengan orang tuanya."

"Alasan!" kesal wanita itu, kini kakinya melangkah ke nakas untuk mengambil tas.

"Kamu mau kemana sayang," cekat Raditya memegang tangan wanita itu.

"Lepaskan!" seru wanita itu dengan tatapan tajam.

Raditya memasang tubuhnya di depan wanita itu. Tangannya bergerak menyelipkan anak rambut yang terlihat menutupi sebagian wajahnya.

Wanita itu tadinya mengelak tapi dengan lembut dan senyum memelas, Raditya mengulang dengan menggerakkan tangannya.

"Sayang, kita ulang kegiatan tadi," bisik Raditya, tangannya sudah menggerayang hingga ke bagian sensitif.

Wanita itu mencoba tidak bereaksi. Bibir bawahnya dia gigit agar tidak mengeluarkan suara des*han. Namun, tangan Raditya semakin gencar bermain di bagian sana.

Aghhhhh... .

Suara itu terdengar sudah tidak beraturan, menambah gair*h Raditya untuk melanjutkan kegiatan panas yang sempat tertunda.

Mulut Raditya sudah menjam*h bibir wanita itu lalu meraupnya dengan rakus.

Wanita itu yang awalnya menolak kini mengalungkan tangannya di leher Raditya. Dia membalas pungutan Raditya. Suara des*han itu kini saling bersautan mengisi penuh ruang kamar. Ranjang panas itulah yang menjadi saksi bisu betapa kejam seorang suami mengkhianati istrinya.

Sementara itu, Nur tetap mengayuhkan sepeda motor ke rumah orang tuanya. Sepanjang jalan air matanya terus mengalir sambil sesenggukan.

Nur tidak peduli orang yang melewatinya memandang dengan tatapan aneh yang terpenting hati Nur sedikit merasa lega dengan air mata yang dia keluarkan.

Nur juga tidak menyadari. Kakinya hanya memakai satu sandal jepit dan daster harian yang dipakai Nur juga sudah terlihat kumal.

"Lu tega Bang!" Lu kagak peduli perasaan Nur dan kagak mikirin begimane nasib anak kite nantinye!" geram Nur, tangannya tetap memegang kemudi motor.

"Woe! Kalau nyetir lihat-lihat dong!" umpat seseorang karena hampir tertabrak sepeda motor yang Nur kendarai.

Nur tidak peduli itu, dia tetap melajukan motornya hingga sampai ke rumah orang tuanya.

"Ya Allah...kamu kenapa Nur? tanya Fatimah, melihat anaknya turun dari motor dan langsung guling di lantai teras rumah. Nur semakin mengeraskan tangisannya.

Fatimah mendekat ke Nur," Ya Allah Nur, Istighfar...jangan kaya bocah. Ayo masuk ke dalam, malu dilihat tetangga," ajak Fatimah mencoba mengangkat tubuh Nur untuk masuk ke dalam. Namun, tubuh gempal Nur tidak mampu diangkat oleh maminya, Fatimah malah terjungkal karena kewalahan memapah Nur.

"Mami nyindir Nur!" seru Nur melihat maminya jatuh tersungkur karena memapah dirinya. Entah mengapa Nur tiba-tiba sangat sensitif dengan bentuk tubuhnya. Dia melangkah sendiri masuk ke dalam rumah.

"Katakan pada Mami, apa yang terjadi?" tanya Fatimah, mengelus bahu Nur.

Nur tetap menangis tersedu-sedu tidak menjawab tanya sang mami.

"Ade ape sih Nur?" penasaran papi Rahmat yang berlari dari dapur.

"Nggak tahu itu Pi, pulang-pulang sudah begitu," tunjuk Fatimah.

Huh...huh...

Suara tangisan dari dalam kamar menambah ramai. Satu anak Nur keluar dari kamar sambil menangis. Satunya lagi yang masih 3 bulan menangis di ranjang tidur.

"Itu namanya, si emak yang bangunin anak tidur. Bukan emak terbangun dari tidur karena denger tangisan anak," ujar mami Fatimah lalu masuk ke dalam kamar mengambil bocah 3 bulan itu.

Anak Nur yang sudah 3 tahun memeluk tubuh Nur tapi Nur masih saja menangis tanpa henti.

"Udah Pi, ambil tu Gazali. Bawa dia keluar!" titah Fatimah pada suaminya agar mengambil anak Nur yang berusia 3 tahun.

Abang Reza muncul dari dapur. Kakak satu-satunya Nur itu melihat dengan pusing kejadian yang ada di ruang tengah.

"Biar gue bawa si Nopal keluar. Nih mami bujuk Nur tuh biar diem. Mewek mulu!" kesal Reza langsung membopong ponakannya keluar dari ruang tengah.

"Nur..., ambil napas keluarkan perlahan," pinta Fatimah dan Nur menuruti ajakan maminya.

"Sudah mending?" tanya Fatimah.

Nur mengangguk.

"Beneran sudah mending tenang?" Fatimah memastikan dan Nur mengangguk dengan cepat.

"Sekarang katakan apa yang terjadi?" titah Fatimah mengelus bahu Nur.

"Bang Raditya Mi...bang Raditya..."

Huh...hah...

Nur kembali bersenandung ria dengan air mata yang membanjiri pipi.

"Jangan kenceng-kenceng nangisnya. Malu, nanti tetangga pada nimbrung ke mari," bujuk Fatimah.

"Kenapa dengan suami kamu?" sambung Fatimah.

"Die...die nyahok-nyahok di ranjang Mi..."

Huh...hah...

Suara tangis itu kembali berkumandang.

"Nyahok-nyahok apa maksudnya?" bingung Fatimah.

"Main kuda-kudaan dengan wanita lain Mi..." terang Nur masih dengan tangisnya.

Fatimah membelalakkan matanya, mulutnya menganga, sangat terkejut mendengar kalimat yang terlontar dari Nur.

"Be... bener itu Nur?!" tanya Fatimah memastikan.

Nur mengangguk dan meneruskan tangisnya.

"Maksud kamu, selingkuh?" Fatimah memastikan kembali.

Nur menjawab dengan tangisan yang semakin kencang.

Cerai jalan satu-satunya

"Lu kate ape Nur?! Si Raditya selingkuh?!" geram abang Reza kakak Nur.

Nur mengangguk sambil sesenggukan.

"Ape perlu aye potong nganu-nya biar kagak ade sekalian!" Reza terlihat menahan gemuruh jantungnya, napasnya juga terlihat tersengal-sengal.

"Potong aje sono Ja!" sahut papi Rahmat.

"Astaghfirullah haladhim...pada ngomong nglantur apa sih. Tenangkan Nur dulu dia masih shock dengan kejadian yang menimpanya. Satu lagi Za, sudah sana masuk dapur. Itu kacang kedelai belum digoreng. Ini sudah sore. Kamu mau jualan tidak?" titah Fatimah.

"Kagak Mi, aye kagak mood buat jualan!" jawab Reza.

Plak.

"Aduh! Sakit Mi," keluh Reza sambil mengelus bahunya yang kena tamparan maminya.

"Kalau mau tidak jualan ya dari pagi! Bukan sudah belanja barang, baru bilang tidak jualan!" protes Fatimah.

"Iye Mi! Ini mau ke dapur," sungut Reza.

"Ya Allah, Papi juga sama, sana bantu si Reza!" teriak Fatimah sambil menatap tajam ke arah suaminya yang masih betah duduk di kursi.

"Iye ni bangun!" sahut Rahmat.

"Bentar, aye mau mastiin si Nur dulu," lanjut Rahmat kemudian berjalan jinjit ke arah kamar Nur, tangannya pelan membuka gagang pintu kamar.

"Bagaimana Pi?" tanya Fatimah yang mengekor suaminya di ambang pintu kamar.

"Masih kelon sama Nopal, udeh biar sekalian Nur istirakhat. Kasian tuh dari tadi mewek mulu, kagak bisa berenti," ucap Rahmat sambil menutup pintu kamar dengan hati-hati.

"Ya Allah Si Gazali kemana Pi?"

"Astaghfirullah haladhim, tadi masih aye rendem di ember, noh di kamar mandi!" seru Rahmat dan keduanya kini berlari ke arah kamar mandi belakang.

"Ya Allah, untung tidak apa-apa Pi," ucap Fatimah melihat cucunya memasukkan semua sabun ke dalam ember besar hingga sabun batang itu sudah terkoyak kecil-kecil.

Bocah kecil itu tetap saja asik tanpa mempedulikan kakek dan neneknya yang khawatir.

"Ye untung! Orang tadi Reja datang nyelametin tuh bocah, kalau kagak ada reja entahlah bocah itu pasti Udeh nyemplung ke bak mandi nyang luasnya sehektar ntuh!" celetuk Reza yang tadi membantu Gazali turun dari kursi yang dia bawa karena akan mengambil air dari bak mandi yang memang dalamnya satu meter dan tinggi baknya satu meter.

...****************...

Nur keluar dari ruang sidang. Matanya yang sudah sembab semakin sembab manakala mengingat hasil sidang tadi.

Hakim sudah mengetuk palu untuk perceraiannya dengan Raditya.

Semua seperti mimpi bagi Nur. Manisnya cinta dia cecap begitu lama dari menjalin hubungan sebagai pacar hingga sah menjadi suami istri, kini semuanya berakhir di pengadilan.

Ada lega sekaligus ada rasa kehilangan. Tidak mudah bagi Nur yang dari awal hanya menjatuhkan hatinya untuk Raditya seseorang, untuk seketika dapat melupakan semuanya.

Walaupun sebenarnya hatinya sangat sakit sekali, tapi tetap saja ada sisa rasa walau sebutir pasir untuk sang mantan suami, apalagi pernikahannya dikarunia 2 anak putra.

Menjalin hubungan pacaran selama 3 tahun ditambah 4 tahun setelah menikah nyatanya tidak membuat mereka berjodoh.

Nur menatap Raditya yang menampakkan wajah tanpa dosa. Dia tersenyum mengangguk menyapa Nur dan kedua orang tua Nur. Seketika orang tua Nur memalingkan pandangannya karena merasa muak dengan sapaan dari mantan menantunya, Raditya. Muak mengingat dengan perbuatan mantan menantu pada anak perempuan satu-satunya. Namun, yang lebih memuakkan, tidak ada kata maaf keluar dari mulut Raditya. Sedangkan Nur, dia hanya diam tanpa membalas sapa itu.

Sidang tidak berjalan dengan alot karena masing-masing pihak sudah sepakat untuk mengakhiri secara damai. Nur yang merasakan hatinya teramat sakit hanya bisa pasrah dan tidak mau menjalani proses sidang perceraian secara lama. Hanya butuh waktu 3 bulan hakim sudah mengetuk palu perceraian mereka.

Rumah yang dulu ditempati jatuh ke tangan Raditya karena memang separuh uangnya milik Raditya. Sedangkan mobil, jatuh ke tangan Nur. Sebenarnya papi Rahmat menyuruh agar Nur meminta rumah itu. Namun, Nur lebih memilih mobil dari pada rumah yang mengukir kenangan yang sangat menyakitkan bagi Nur. Ya, kenangan mata yang secara langsung menyaksikan adegan laknat sang mantan suami dengan kekasihnya.

"Gue pengen pites tuh orang!" geram Reza melihat Raditya.

"Sudah Bang, kagak usah diributin lagi. Nyok pulang, Nur mau istirakhat, badan berasa lemes kagak karuan," pinta Nur menarik lengan kakaknya.

"Papi juga gemes ame tuh anak. Kagak Ade akhlaqnye! Orang pinter tapi kagak dipake ntu otaknye!" sambung Rahmat.

Nur digandeng Fatimah jalan menuju mobil. Rahmat dan Reza baru menyusul ke tempat parkir mobil.

"Kagak usah ngebut Ja, lu biasa naek mobil pick up giliran pake mobil beginian ngebut kagak kire!" celetuk Rahmat mendapati mobil yang dikendarai anaknya melaju dengan kecepatan tinggi.

"Ye Pi, ini juga dipelanin," sahut Reza.

"Tisunye mana Mi?" pinta Nur.

"Ya Allah Nur, kamu nggak lihat? Sudah habis. Koe nangis yo ora itungan! Kosi tisu sak bal ludes! (Kamu nangis saja tidak ada perhitungan! Sampai tisu satu bal habis tidak bersisa!)" gerutu Fatimah sambil nunjuk tisu yang berserakan di bawah.

"Ntuh Nur nyang make semua Mi?" tanya Nur merasa terkejut dengan apa yang dilakukannya.

"Yo! Emange simbahmu! (Ya! Dikira nenek kamu!)" jawab Fatimah dengan kesal.

"Mi, Nur mau nangis lagi begimane nih?"

Hah....huh....

"Lanjut terus. Kalau sudah capek bilang ke Mami ya," greget Fatimah.

Hah...huh... .

Lagi Nur tarik suara dengan lelehan air mata yang tanpa batas. Tangan Nur kemudian menarik jilbab yang menjuntai untuk mengelap air mata dan ingusnya.

"Jorok banget sih Nur!" protes Fatimah.

"Mami sih, pake bentak Nur segala! Ntuh kasihan sih Nur mewek lagi," bela Rahmat.

"Bukan bentak! Empet aja lihat Nur yang tidak ada berhentinya menangisi Raditya! Wong Lanang sembrono koyo kae be ditangisi bae! Koyo ora ono lanangan liyo! (Lelaki kurang ajar seperti dia saja ditangisi terus! Kaya tidak ada lelaki lain!)

"Wajar Mi, Nur pan lagi bela sungkawa atas kematian pernikahanye," sela Reza.

"Alhamdulillah nyampe," ujar Rahmat begitu mobil terparkir sempurna di halaman rumah.

"Opa...!" teriak Gazali langsung memeluk Rahmat.

"Tidak rewel kan Dah," tanya Fatimah begitu turun dari mobil sudah ada adik iparnya yang sedang menggendong Naufal di teras rumah.

"Kagak Mpok, ya sekedarlah namanya juga bocah, ntuh si Gajali yang malah mewek terus nanyain mamanye," jawab Saodah.

Nur langsung masuk ke dalam tanpa menyapa anaknya.

"Si Nur nape Mpok?" penasaran Saodah karena tidak biasanya Nur menampakkan wajah yang kusut.

"Ya Allah Dah, kamu tahu sendiri, dia barusan mengikuti sidang perceraian."

"Eh ya, astaghfirullah haladhim ampe lupe Mpok. Begimane hasilnye Mpok?"

"Ya Alhamdulillah, sudah ada putusan dari hakim."

"Ape Mpok putusanye?" cekat Saodah karena penasaran yang begitu tinggi.

"Ya Allah Dah, belum juga ngomong main potong saja."

"Maaf Mpok," ucap Saodah sambil nyeringis.

"Alhamdulillah akhirnya secara resmi Nur sudah cerai dengan Raditya."

"Innalilahi wa innalilahi rojiun, sayang sekali Mpok, padahal tuh laki cakep kebangetan, kok ampe pisah gitu ame Nur," celetuk Saodah.

"Cakep si cakep tapi kalau kelakuannya nggak bener? Sama saja bohong!" kesal Fatimah.

Huh... hah....

Fatimah dan Saodah langsung lari masuk ke dalam mendengar tangis Nur karena kali ini Nur menangis histeris dan tak kalah histeris Fatimah melihat darah segar mengucur dari tangan Nur.

"Astaghfirullah Nur..." teriak Fatimah.

like, komen, favorit, hadiah.🙏

Bangkit dari Keterpurukan

Fatimah langsung lari masuk kamar Nur karena kali ini Nur menangis histeris dan tak kalah histeris Fatimah karena melihat darah segar mengucur dari tangan Nur.

"Astaghfirullah Nur..." teriak Fatimah.

"Allahuakbar Nur...Istighfar Nur! Istighfar! Dosa besar! Kena laknat Allah kalau lu ampe nglakuin ntuh!" seru Rahmat lari dari arah dapur.

"Ya Nur, jangan sampai pikiran kamu dibutakan karena cinta," Fatimah menangis dan menepuk-nepuk dadanya karena elu hatinya di situ teramat sakit.

"Ya Nur, dosa, dosa besar," sambung Saodah.

Huh... hah...

Tangisan Nur semakin keras, tangan satunya menunjukkan buah apel sekaligus menunjuk tangannya atau tepatnya jari telunjuk yang berdarah.

"Mami, Papi, ncing Odah, nape sih pikiranye pada negatip. Nur itu ngiris buah apel terus kena jari Nur, masak iye bunuh diri yang diiris ntuh jari, yang diiris ye nadi!" elak Nur diikuti tangis kembali.

"Alhamdulillah," serentak Fatimah, Rahmat, dan Saodah.

Nur langsung menaikkan dua alisnya mendengar mereka berucap syukur.

"Jari Nur kepotong nape jadi Alhamdulillah!" protes Nur masih dengan tangis menyertainya.

"Astaghfirullah haladhim, Mami ambilkan betadine sama perban," cekat Fatimah lari mengambil kotak P3k.

Setelah kotak itu ditemukan dengan cekatan Fatimah melakukan pertolongan pertama pada jari Nur. Namun, apa yang dilakukan Nur? Dia tetap nyeringis kesakitan sambil menghabiskan buah apel yang dipegang. Kali ini tidak pakai potong segala, langsung giginya yang mengoyak dengan sempurna kemudian dia telan.

"Ngamel aje Nur!" celetuk Rahmat.

"Ya Allah Pi, pan lihat sendiri, tadi pagi Nur sarapan seumprit. Habis ntuh langsung ke pengadilan dan di sono kagak makan ape-ape ampe Juhur. Eh pulang-pulang buka tudung dalemnye kosong melompong, ya udeh Nur makan seadenye nyang ade di kulkas," sanggah Nur.

Rahmat mencibirkan bibirnya, "Seumprit apanye! Orang satu piring penuh gitu! Mami lu aje porsinye kurang dari ntuh!" gerutu Rahmat.

"Bagi Nur ntuh dikit Pi," ujar Nur dengan senyum nyeringis.

"Sudah, itu Alhamdulillah darahnya berhenti. Cukup makan apel saja Nur, hitung-hitung sekalian diet," sahut Fatimah setelah jari Nur terpasang perban.

"Diet apaan Mi, Nur bukannye tetep cantik begini," lirih Nur, wajahnya tertunduk lesu.

"Mami! Ntuh mulut jangan asal jiplak kalo ngomong!" ujar Rahmat tidak suka kalau anak perempuan satu-satunya jadi tertunduk sedih karena itu.

"Tapi bener Bang ape kate mpok Fatimeh. Nur kudu diet, bodynye tuh liat, udah kaya kuda nil. Padahal dulu Nur pan cantik mempesona, tinggi, langsing, pokonye cakep deh dari pade nyang sekarang nih," ucap Saodah tanpa filter sedikitpun, padahal selama ini Fatimah dan Rahmat menjaga mulutnya karena Nur terlalu sensitif kalau dibilang over weight alias kelebihan berat badan.

"Saodah!" teriak Rahmat dan Fatimah bersama juga dengan tatapan mata yang tajam terarah ke Saodah.

Saodah nyeringis kemudian merasa ngeri dengan tatapan berkilat dari dua pasang suami istri di depannya.

"Aye ternyata ade perlu Mpok, aye pergi dulu ye," seloroh Saodah tangannya menyerahkan Naufal ke Fatimah, setelah Naufal yang sedang tertidur pulas itu pindah tangan Saodah langsung ambil langkah seribu.

Huh... hah....

Tangis yang sedari tadi ditahan pecah sudah tapi tetap mulut Nur juga aktif mengunyah apel yang dia gigit.

"Aku mau nidurin Naufal, urus itu Nur Pi," ujar Fatimah melangkahkan kaki ke kamar Nur.

"Ndasku pleker krungu koe nangis bae Nur! (Kepalaku retak dengar kamu nangis terus Nur!)," gerutu Fatimah setelah beranjak pergi dari Nur dan Rahmat.

"Kok jadi Papi yang ngurusin Nur!" protes Rahmat tapi tangannya menepuk pelan bahu Nur agar anaknya diam.

"Udeh yuk Nur salat Juhur dulu, biar ati adem," ajak Rahmat dan diangguki oleh Nur.

...****************...

"Assalamualaikum," sapa seorang gadis cantik kemudian mencium punggung tangan Fatimah.

"Waalaikum salam cah ayu. Lama Mami tidak bertemu dengan kamu, Ya Allah semakin cantik saja kamu," puji Fatimah.

"Ayo masuk, biar Mami panggilkan Nur,"

"Di sini aje Mi, biar adem, silir-silir kena angin luar," jawabnya.

"Ya sudah kalau mau di sini saja," ujar Fatimah.

"Nur...Nur...ada teman kamu Nih," teriak Fatimah kepalanya dia dongakkan masuk hingga ambang pintu agar suaranya sampai ke dapur karena posisi nur sedang membantu papinya menggoreng kedelai.

"Ye Mi, tanggung nih mau mateng," jawab Nur dari dalam sana.

"Ditunggu Sya, kata Nur masih tanggung," ujar Fatimah, tangannya bergerak melanjutkan menyapu.

"Ye Mi," jawab Tasya, tangan Tasya merogoh tas kemudian mengambil ponsel untuk mengurai kejenuhan.

"Mami masuk dulu ya," pamit Fatimah selesai dia menyapu.

"Ye Mi, silahkan," jawab Tasya matanya beralih tatap dari ponsel ke mami Fatimah.

"Tasya...," seru Nur memeluk tubuh sahabatnya.

"Allahuakbar, berasa dipeluk kuda nil," canda Tasya.

Nur langsung melepas pelukannya dan mengerucutkan bibirnya.

"Becande, kagak usah masukin ati," ujar Tasya.

"Begimane perasaan lu? Udah plong cerai ma ntuh orang?"

Nur mengangguk.

"Orang kagak ade ati! Dulu aje nguber-uber lu setengah mati. Giliran dapet eh sia-siain. Padahal lu ame die kan udeh ade 2 buntut!" geram Tasya.

"Wanita murahan ntuh ngomong, gue wanita gembrot kagak ade menarik-nariknye," lirih Nur.

"Bener ntuh!" celetuk Tasya dengan spontan.

"Tasya!" greget Nur.

"Maap dimaap Nur, ntuh emang realitanye," lirih Tasya.

"Ape gue seburuk ntuh Sya?"

"Boleh gue jujur Nur?"

Nur mengangguk.

"Lu kagak nangis semisal gue jujur?" Tasya memastikan.

"Gue kagak bakal nangis, ngomong buruan!"

"Ok! Gue mau ngomong sejujur-jujurnye," Tasya menarik napas, mengeluarkan perlahan agar lebih rileks.

Tasya mengambil ponselnya, mengusap ponsel itu dan membuka galeri foto, lalu menunjukkan foto itu ke Nur.

"Ni siape?" retoris Tasya.

"Ye ntuh jelas guelah! Emang lu lupe ape? Ntuh poto pas kite ikut acare ulang tahun kampus kite," seloroh Nur.

Tika mengangguk, kemudian menye-croll galeri foto dan menunjukkan foto lain.

"Nyang ni?" tunjuk lagi Tasya.

"Ntuh juga gue," ucap Nur dengan nada melemah.

"Beda kagak?"

Nur mengangguk lemah.

"Ape yang bikin beda?"

"Gue yang sekarang melar," lirih Nur.

"Nah! Ntuh tahu sendiri pan! Makanye Nur, kagak salah kalau wanita laknat ntuh ngomong lu gembrot dan kagak menarik," simpul Tasya.

Nur mengerucutkan bibirnya, pelupuk matanya langsung tergenangi air bening.

"Terus gue harus ngapa?" tanya Nur dengan suara parau.

"Lu kudu tampil cantik lagi dan bales ntuh perbuatan suami lu nyang kagak ade akhlaqnye!"

"Tampil cantik?" Nur memastikan ucapan sahabatnya.

Tasya mengangguk. "Lu dari orok pan emang cantik Nur, cume setelah lu bersuami malah jadi begini? Kagak bisa ngrawat tubuh ame fashion lu kagak ngikuti perkembangan," ujar Tasya melihat tampilan Nur dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Rambut ntuh maen cemplon tapi kagak disisir, bau lu kaya orang belon mandi satu minggu, dan satu hal lagi yang bikin gue empet. Lu kagak punye baju ye Nur?"

Nur spontan melihat baju yang dikenakannya.

"La ni baju Sya! Emang lu kira yang gue pake ape?" Ini baju kebesaran buat emak-emak seluruh Indonesia, Daster!"

"Gue tahu ntuh daster Nur! Cuman kagak gini juga Nur!" Tasya mengangkat dua tangan Nur.

"Nih daster lu pada banyak jendelanye! Kedua ketek kelihatan beleber. Kalau kagak gitu dibagian pantat ada nyang robek, udeh gitu kancingnye ade nyang ilang! Begini begimane lu ade menariknye?" jujur Tasya.

"Seburuk ntuh Sya?

Tasya mengangguk.

"Yuk berubah! Gue bimbing lu biar ubah diri dan bangkit dari keterpurukan," ajak Tasya dan diangguki Nur.

Yuk kasih vote, like, komen, dan hadiah jangan lupe pencet tanda lopenye🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!