NovelToon NovelToon

Unconditional Love

Rintihan Terlepas

Bandung, 2010

"Kamu tahu, Nak? Ibu dan Ayah, kami berdua sungguh-sungguh berupaya membahagiakanmu, meski kami menyadari jika tidak sedikit kekurangan dari kami yang mungkin mengecewakanmu, tetapi itu bukan berarti kami tidak seutuhnya menyayangimu."

Meluaskan diri, bertumbuh, dan bersemi menjadi seorang remaja di tengah kesederhanaan, bukanlah semata-mata menjadi suatu kesialan bagi siapa pun yang menempati posisi takdir tersebut dengan kebesaran hatinya. Setiap orang memiliki pelabuhan sendiri dalam mengartikan kesederhanaan, memiliki pelukisan sendiri pada alur kehidupannya, dan memiliki suka duka sendiri yang membubuhkan kesan pada kisah terindah mereka. Hal yang serupa pun dimiliki oleh Nadira, yang sepanjang hidupnya bahkan tak pernah sempat untuk mengecam garis takdirnya. Bukan karena dia tak pernah susah, bukan karena dia tak pernah mengemban nestapa, melainkan karena kearifan batinnya, dan karena kerelaannya menjalankan ketetapan Tuhannya.

"Lama sekali Ibu ingin sampaikan ini kepadamu bahwa memang kesalahan kami menghadirkan seorang putri di tengah kesulitan yang masih kami alami." Yuliana terdiam sejenak. Selayang pandang tatapannya tertuju kepada gadis belia di sisinya, Nadira, putri kandung semata wayangnya. "Ibu ingin kamu yang mengubah keadaan, meski tak selayaknya Ibu meminta ini kepadamu. Namun, tolong cukupkan semua keterbatasan ini berhenti pada orang tuamu saja. Setelahnya, jadilah seseorang yang lebih berdaya, yang lebih mampu menggapai banyak kesempatan yang disediakan oleh semesta," imbuhnya.

Piring-piring kosong menyisakan remah-remah sisa makanan disapu bersih dengan spons berbusa. Nadira menghentikan gerak tangannya yang sedang mencuci piring, lalu beralih menatap ibunya yang telah mengambil alih sebagian pekerjaannya.

Sepasang netranya memanas dan dadanya seketika sesak bagai berupaya selaras. "Nadira diajarkan untuk mensyukuri banyak hal yang telah didapatkan, Bu. Nadira mengiakan kenyataan bahwa masih banyak hal yang perlu dimiliki dan digapai, tetapi untuk sekian waktu kehidupan yang Nadira jalani hingga detik ini, kenyataannya banyak sekali yang membuat Nadira perlu mengucapkan terima kasih."

Keduanya lantas disibukkan oleh perasaan yang kian terasa tak karuan hingga nyaris tak terkondisikan. Sepasang ibu dan putrinya kini tengah menyimpan air mata mereka dengan susah payah, dan bahkan bersedia melepaskan bulir itu kapan saja. Tanpa tanda-tanda akan adanya himpitan kasih sayang untuk menyudahi haru di pagi buta itu, Nadira dan Yuliana justru tampak memilih bergeming mengalih-alihkan pandangan tak tentu arah, mengamankan diri masing-masing dari hadirnya isak terburai yang niscaya sukar berkesudahan.

"Semua yang Ayah dan Ibu berikan kepada Nadira rasanya telah sangat lebih dari cukup. Adapun Nadira bercita-cita untuk mengusahakan masa depan yang lebih baik karena ini tujuannya adalah kalian." Nadira tak sanggup memandang wajah Yuliana pada saat-saat rawan hatinya. Ia meyakini jika hal itu terjadi maka kerongkongannya akan tercekat dan membelenggu kuasanya untuk berkata-kata. "Jangan menyalahkan apa pun, Ibu. Semua yang Nadira terima selama ini sangatlah bernilai dan berarti."

...----------------...

Seperti biasa, lorong yang dipenuhi langkah-langkah itu seakan menggemakan hiruk-pikuk, membiarkan suara bising bergulir bersama urusan yang tak pernah usai meski seiring waktu yang berlalu. Namun, hal itu sedikit pun tidak mengusik Nadira, yang tengah tenggelam dalam setiap lembar novel roman yang berada di tangannya. Setiap halaman yang tersibak pun tak pernah luput dari perhatian, membiarkan kata-kata itu menenangkan pandangannya. Gadis itu memilih bermanja bersama kisah fiksi yang diyakininya tidak akan nyata, ia memilih berbahagia bersama alur kisah rekaan yang mungkin berbanding terbalik dengan alur kehidupannya. Entah apa yang dicarinya, hingga ia terlena dan seketika kembali pada permukaan kesadaran saat salah satu dari kepang duanya ditarik paksa oleh seseorang.

"Apa yang kamu lakukan?" Nadira merintih, tubuhnya menegang saat kepangan rambutnya ditarik kuat oleh Kesya.

"Pagi, cantik," sapa Kesya, seperti biasa, saat melihat Nadira yang tenggelam dalam dunia novel romansa yang ada di tangannya. "Bagaimana kabarmu pagi ini?" tambahnya, sembari menguatkan tarikan atas kepangan rambut Nadira, sengaja mengganggu ketenangan gadis itu yang tengah terhanyut dalam cerita fiksinya.

"Lepaskan, Kesya!" pekik Nadira, tetapi hanya tawa bergema yang muncul dari mulut Kesya, Mora, dan Yustin, mengisi ruang dengan canda yang tak kunjung henti.

"Kami senang melihatmu menderita seperti ini," kata Mora, disertai anggukan persetujuan dari Kesya dan Yustin.

Kejadian itu bukan yang pertama kali. Nadira selalu menjadi sasaran empuk nafsu perundungan Kesya di sekolah. Sebagian siswa menganggapnya sekadar hiburan, tawa mereka mengalir tanpa beban, seolah melupakan arti kemanusiaan. Namun, ada pula yang merasa iba, terperangkap dalam diam, tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu Nadira yang malang.

Rintihan Nadira terdengar bagai melodi di telinga Kesya, memicu hasratnya yang semakin membara, membuatnya kian puas melakukan segala kekerasan tanpa sedikit pun memikirkan dampak yang akan terlahir dari tindakannya. Sementara itu, di posisi Nadira, gadis itu terjebak dalam ketidakberdayaan, tak memiliki keberanian untuk melawan, hingga dirinya terus-menerus menjadi sasaran perlakuan buruk yang tak pernah diinginkannya.

"Lepaskan Nadira, Kesya!" pekik Farhan, suaranya membentang penuh kemarahan, tak mampu lagi menahan diri melihat Kesya terus-menerus menorehkan luka yang hanya akan semakin menyakiti Nadira.

Mata Nadira terasa panas, kabur oleh cairan bening yang semakin memenuhi pelupuk matanya, siap luruh dari balik kacamata tebalnya. Selalu berakhir seperti ini, tanpa perlawanan. Air mata, akhirnya, yang menjadi saksi bisu dari setiap penderitaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.

Dengan langkah cepat, Farhan mendekat, tak ragu menghampiri Kesya untuk menolong Nadira. Dalam hatinya, Farhan tahu, ia bukan pengecut hanya karena menahan lengan Kesya. Tujuannya sudah jelas—untuk melindungi Nadira, teman satu kelasnya yang kini terperangkap dalam penderitaan yang tak seharusnya gadis itu alami.

"Jangan ikut campur," ujar Kesya dingin, sembari berusaha melepaskan diri dari cekalan Farhan, menarik-narik lengannya dengan kasar.

"Apakah kamu tidak bisa hentikan kebiasaanmu yang seperti ini?" Farhan membalas, matanya tajam, tak berniat melepaskan cekalannya dalam waktu dekat.

"Apa urusannya denganmu, jika aku tetap memilih melakukan semua ini?" Kesya menatap iris mata Farhan dengan intens, seolah menantang.

"Ini semua salah, Kesya. Seharusnya kamu tahu itu," kata Farhan dengan nada tegas, matanya menatap tajam ke arah Kesya. "Apa yang kamu lakukan tidak hanya merugikan Nadira, tapi juga berdampak pada semua yang menyaksikan. Kamu tidak pernah tahu, dari sekian banyak yang melihat, mungkin ada yang akan meniru perbuatanmu." Farhan berhenti sejenak, menekankan setiap kata. "Kalau itu terjadi, bayangkan berapa banyak lagi yang akan bernasib seperti Nadira karena menjadi korban dari perbuatan bodoh orang-orang sejenismu. Dan jangan lupa, bukan hanya mereka yang melihat, tetapi imbasnya dapat merusak mental banyak orang, bahkan membentuk kepribadian mereka di masa depan."

"Terserah dengan apa yang kamu katakan!" jawab Kesya dengan nada acuh tak acuh, sambil menarik lengannya kembali begitu cekalan Farhan mulai mengendur.

Kesya mengajak Mora dan Yustin kembali ke kelas, sementara Nadira masih terdiam, air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Farhan, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya mengeluarkan sapu tangannya dan memberikannya pada Nadira dengan lembut, berusaha memberi sedikit kenyamanan di saat itu.

"Nanti kotor," tolak Nadira, terlihat ragu dan sungkan.

"Kalau kamu berpikir begitu, maka tidak perlu kamu kembalikan. Gunakan saja, sapu tangan ini untukmu," jawab Farhan, senyum ringan terbit di wajahnya.

"Untukku?" tanya Nadira, salah satu alisnya terangkat, terkejut.

"Iya, untukmu, sebagai tanda persahabatan kita. Bagaimana?" tawar Farhan, matanya menatap dengan penuh pengertian.

"Bersahabat? Denganku? Apa itu tidak membuatmu malu?" Nadira bertanya dengan nada setengah tertawa, namun ada keraguan yang tersirat.

"Iya, denganmu, dan itu tidak membuatku malu sama sekali," jawab Farhan dengan keyakinan, menatap Nadira dengan tulus.

Farhan menatap dalam ke arah sepasang mata Nadira, yang tersembunyi di balik kacamata tebal, seolah mencoba menembus tabir yang menghalangi. Di sana, ia melihat kesedihan yang terpendam, hasrat akan perlindungan, dan sebuah tuntutan akan keadilan yang terbungkus rapat dalam diamnya. Farhan merasa iba, menyaksikan perundungan yang terus-menerus menimpa Nadira, namun baru kali ini hatinya tergerak untuk memberikan pertolongan.

"Kamu tidak mau?" tanya Farhan, suaranya lembut namun tegas.

"Mau," jawab Nadira, suaranya hampir tidak terdengar, namun cepat.

"Kalau begitu, kita bersahabat," ujar Farhan, mengulurkan tangan dengan penuh harap, berharap Nadira akan membalas uluran itu.

"Terima kasih, Farhan." Nadira membalas uluran tangan Farhan dengan lembut, dan meski hanya sekejap, kebahagiaan yang tulus mengalir dalam dirinya, sebuah perasaan yang selama ini tersembunyi jauh di dalam hati.

Genta dipukul keras, mengeluarkan bunyi nyaring yang menandakan waktu untuk masuk kelas. Lalu-lalang siswa-siswi yang sebelumnya tenang, tiba-tiba berubah menjadi hiruk-pikuk langkah yang berlarian. Para widyaiswara pun mulai meninggalkan ruangan mereka dan beranjak menuju kelas-kelas yang tersebar.

...----------------...

Waktu terus berjalan, meski jarum jam tak lagi diperhatikan banyak orang. Nadira terus tersenyum, meski dalam hatinya, ketakutan selalu membara. Bantuan yang diberikan Farhan justru membuat Kesya semakin geram, dan tatapan tajam gadis itu terus menghantui, membuat jantung Nadira berdebar kencang. Meminta Farhan untuk selalu berada di sisinya bukanlah pilihan yang bijak. Nadira tidak ingin kembali merepotkan lelaki yang telah berjasa padanya.

"Bahagia?" Kesya menyahut tiba-tiba, menghalangi jalan Nadira dengan tatapan penuh kebencian.

"Dia berhasil meluluhkan hati Farhan, pasti dia memberikan sesuatu pada lelaki itu," komentar Mora, suaranya penuh penilaian, sembari memegang bahu Nadira dengan erat, matanya menatap jijik pada gadis berkacamata itu.

"Tapi, apa ya yang dia beri?" Yustin berpura-pura berpikir, nada suaranya seolah ingin mengejek.

Lorong itu sepi, sangat sepi. Nadira selalu memilih menyendiri di sepetak lahan kosong di belakang sekolah, mencari ketenangan yang sulit ia temukan di tempat lain. Lorong sepi itu adalah jalur tercepat menuju ke sana, namun kini, jalan yang selama ini memudahkannya, mungkin akan berubah menjadi bencana bagi dirinya.

"Kamu tahu kan, aku tidak akan menerima kekalahan!" teriak Kesya dengan suara keras, meski tak ada yang akan mendengar jeritannya. Hanya Nadira yang harus menanggung kebisingan itu, seperti siksaan yang tak berkesudahan.

Rintihan Nadira terlepas begitu saja, hilang dalam kesunyian yang tak terdengar oleh siapapun. Bahkan oleh Kesya, yang sebenarnya tahu betapa sakitnya kulit kepala Nadira setiap kali kepang rambutnya ditarik dengan kasar. Meski tak ada kata yang keluar, rasa perih itu tetap ada, tersembunyi dalam diamnya. Nadira menanggungnya sendirian, sementara semua orang terus berlalu tanpa sejenak pun menoleh pada kesengsaraannya.

"Aku tak tahu apa keuntungannya, tapi yang jelas, aku suka sekali melihatmu menderita seperti ini," bisik Kesya, suaranya berbisik tepat di telinga Nadira, seolah ingin mengintip setiap rasa sakit yang tengah dirasakan gadis siksaannya.

Unconditional Love 2

Tangisan yang terdengar pilu, memecah keheningan bilik toilet perempuan. Nadira terus menghapus air matanya yang dengan senang hatinya terus terjun menciptakan titik-titik basah pada rok abu-abu Nadira. 

"Aku ingin melawannya, akan tetapi sangat sulit untuk kulakukan," gumam Nadira, yang seakan menyadari kelemahannya. 

Tidak pernah ada yang memperhatikan mata sembab Nadira saat gadis tersebut keluar dari toilet. Sesungguhnya Nadira sangat ingin ada seseorang yang memberikannya perhatian, walau hanya sekadar basa-basi mungkin itu akan lebih menyenangkan hatinya karena kehadirannya dihargai. Namun, kenyataannya adalah nihil, tidak ada yang memberikan basa-basi itu. Jangankan untuk sebuah basa-basi, bahkan Nadira tidak pernah mendengar seseorang menyapanya saat berpapasan. 

Duduk di bangku taman, seraya menyibak tiap lembar halaman buku novel yang dibacanya. Hanya novel teman sejatinya, lalu bagaimana dengan Farhan? Sebenarnya Nadira tidak begitu menganggap kesediaan Farhan menjadi sahabatnya dengan sungguh-sungguh. Baginya, manusia adalah makhluk yang mudah datang dan mudah pergi walau tanpa ada alasan dibaliknya. Lalu tentang Farhan, Nadira menganggap lelaki tersebut sama dengan ungkapannya. 

"Hai," sapa seseorang, yang tanpa sengaja menghentikan kegiatan Nadira menuju alam penuh ilusi dalam novel. 

Nadira menurunkan buku novel yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Gadis tersebut mendapati Farhan telah tersenyum lebar seraya menatapnya dengan binar yang jelas. Nadira juga melihat Farhan membawa sebungkus roti dan satu botol air mineral bersamanya. 

"Tidak makan?" tanya Farhan. 

"Tidak." Geleng kepala Nadira, nyatanya semakin melebarkan lengkungan pada bibir Farhan. 

"Kalau begitu, kita makan roti ini berdua," usul Farhan, sembari menyibukkan tangannya untuk membuka bungkus roti, lalu membagi roti tersebut menjadi dua, untuk diberikannya satu pada Nadira. 

"Temani aku sarapan, ya," sambung Farhan, seraya menyodorkan separuh roti yang dibelinya kepada Nadira. 

"Kamu belum sarapan? Kalau begitu, kamu habiskan saja semuanya." Nadira sebenarnya enggan menerima roti yang diberikan Farhan untuknya. Mendengar lelaki di sampingnya telah melewatkan makan paginya, Nadira tidak ingin Farhan membagi roti hanya untuk dirinya.

"Aku tidak berselera menghabiskan roti ini sendirian," tutur Farhan. "Lagi pula aku sudah mencuci tangan sebelum memegang roti ini," sambungnya, berusaha meyakinkan Nadira.

Nadira menerima roti pemberian Farhan untuk menyenangkan lelaki tersebut, dan benar saja, Farhan dengan lahap memakan separuh roti yang dimilikinya saat melihat Nadira ikut memakan separuh roti yang diberikannya. Mereka berdua lekas menghabiskan satu roti yang dibagi menjadi dua tersebut, lalu meminum air mineral yang telah dibeli oleh Farhan. 

Sinar matahari tidak begitu terik, hanya menghangatkan dan itu sangat nyaman untuk Nadira. Berbincang berdua bersama Farhan untuk menghabiskan waktu istirahat, ternyata mampu menghapus kesedihan Nadira pada hari itu. Mendengar kelakar Farhan yang tiada henti, membuat Nadira memiliki alasan untuk tertawa. Hari itu sangat menyenangkan, bersama Farhan adalah hal yang menyenangkan, dan Nadira bersyukur untuk itu. 

...----------------...

Berita di televisi yang sering menayangkan perihal bencana meletusnya Gunung Merapi hingga menyebabkan tiga ratus lima puluh tiga korban meninggal dunia, cukup membuat resah para pendengarnya. Ada yang turut bersedih membayangkan nasib sanak saudara mereka yang mungkin ada di sana. Ada juga yang bersedih walau tanpa ada sanak saudara mereka di tempat kejadian tersebut, karena anggapan orang seperti itu adalah semua yang terlahir di tanah Nusantara adalah saudara mereka. 

Nadira turut merasakan kesedihan yang serupa, walau tidak ada saudaranya di sana. Membayangkan berapa banyak hati yang patah saat orang tersayang mereka dinyatakan sudah tak bernyawa. Membayangkan betapa pilunya tangisan anak-anak saat mendapati kedua orang tua mereka mungkin telah berpulang pada pelukan Sang Maha Kuasa. Masih banyak syukur yang dapat Nadira lantunkan untuk berterimakasih atas segala nasib baiknya jika dibandingkan dengan orang-orang di lokasi kejadian. 

"Berkumpulnya kita di sini adalah untuk merancang program kerja yang sasarannya untuk para korban bencana alam meletusnya Gunung Merapi," ucap Sang Ketua Osis untuk mengutarakan maksud dan tujuannya mengumpulkan para anggota Osis.

"Kami meminta sebanyak-banyaknya usulan untuk dipertimbangkan demi memberikan yang terbaik untuk saudara kita di lokasi bencana alam," sambung Wakil Ketua Osis. 

"Naufal, aku akan menjadi yang pertama mengutarakan usulanku," ucap Kesya dengan girang, dan langsung mendapat perhatian dari Sang Ketua Osis. 

Naufal adalah nama dari Sang Ketua Osis, lelaki tersebut sangat berwibawa dan layak memegang jabatannya sebagai Ketua Osis SMA Cakra Buana. Kesya yang begitu mengidolakan Naufal sejak pertama kali dirinya mengenal Naufal saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, tidak pernah kehabisan akal untuk mencari perhatian dari Sang Ketua Osis tersebut.

"Katakan," pinta Naufal dengan serius, karena program kerja tersebut ia rancang dengan sungguh-sungguh. 

"Baiklah. Bagaimana kalau kita mengadakan bakti sosial, dengan menarik sumbangan di lingkungan sekolah kita untuk menjadi langkah yang pertama, lalu disambung dengan melakukan hal yang serupa di lingkungan masyarakat sekitar," ucap Kesya dengan lugas mengutarakan usulannya. 

"Baik, dapat dimengerti. Lalu untuk mengadakan bakti sosial di lingkungan masyarakat, kita akan melakukannya dengan cara seperti apa?" tanya Naufal. 

"Untuk di lingkungan masyarakat, kita dapat mendatangi rumah-rumah, atau meminta bantuan RT setempat, serta mengadakannya di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, atau yang lainnya," jawab Kesya. 

"Bagaimana apa ada yang bisa menambahkan?" Naufal kembali bertanya. 

Hanya hening yang didapatkan Naufal dari pertanyaannya. Ditatapnya satu-persatu para rekan organisasinya. Ada yang bungkam menundukkan kepalanya, ada yang pura-pura berpikir, ada yang pura-pura menulis, dan ada yang pura-pura berdiskusi. Naufal hanya memperhatikan para rekannya selama sepuluh menit dengan harapan akan mendapatkan usulan selanjutnya. Namun semua itu kosong, kenyataannya memang mereka semua hanya berpura-pura, hingga tatapan Naufal akhirnya tertuju pada gadis berkacamata yang menundukkan kepalanya di bangku paling sudut. 

"Kamu, yang duduk di sudut." Suara Naufal memecah keheningan, membuat Nadira yang merasa terpanggil mendongakkan kepalanya. 

Banyak yang mengucapkan syukur dalam hati karena akting mereka dalam berpura-pura sibuk, akhirnya berhasil. Sebenarnya tidak ada yang melintas di benak mereka hingga berpura-pura sibuk dijadikannya sebagai jurus paling ampuh untuk terhindar dari pertanyaan sulit yang dilontarkan Naufal. 

"Saya?" Tunjuk Nadira pada dirinya sendiri. 

"Iya, kamu." Naufal mengangguk. "Nadira, saya minta usulan kamu untuk program kerja Osis kali ini," sambungnya. 

Dengan ragu-ragu dan kecanggungan yang besar hinggap dalam dirinya, Nadira tetap memberanikan diri untuk mengutarakan usulan yang terpendam dalam otaknya sejak awal. "Usulan saya adalah dengan mengadakan sebuah pameran seni," ucapnya, disambut gelak tawa dari Kesya dan kedua temannya. 

"Pameran seni? Naufal, usulan itu sama sekali tidak masuk akal. Kita membicarakan tentang bencana alam, tapi dia justru ingin mengadakan pameran. Kita membahas rencana untuk ajang belasungkawa, bukan ajang untuk mencari apresiasi," sanggah Kesya dengan cepat. 

"Diam, Kesya! Kita bisa dengarkan dulu maksudnya," tegas Naufal. "Lanjutkan, Nadira," sambungnya memberi kesempatan Nadira untuk menjelaskan. 

Nadira mengangguk mantap, sebelum melanjutkan penjelasannya. "Diingat salah tujuan pameran adalah untuk ajang sosial kemanusiaan, kita dapat kaitkan tujuan ini dengan topik pertama kita. Kita akan mengadakan pameran, yang akan melibatkan banyak sekolahan di dalamnya. Lalu hasil dari penjualan karya yang kita peroleh akan kita alokasikan untuk para korban bencana alam," paparnya. 

"Itu hanya akan membuang-buang waktu saja!" sanggah Kesya dengan cepat. 

"Jangan hiraukan dia, lanjutkan saja, Nadira," ucap Naufal, yang tampak mulai tertarik dengan usulan Nadira. 

"Yang ingin saya dapatkan dari rencana ini bukanlah besaran anggaran yang akan kita peroleh. Melainkan dari kesungguhan para generasi muda untuk membantu para korban bencana alam. Di sini bukan hanya kita yang akan berperan penting, melainkan akan ada banyak siswa dari banyak sekolahan, dan juga para kolektor serta pengunjung yang berkenan membeli karya para seniman muda kita." Dengan bersemangat Nadira kembali memaparkan maksudnya.

"Beri tepuk tangan untuk Nadira," ucap Naufal, yang disambut oleh tepuk tangan dengan antusias dari para rekan-rekan organisasi. 

Nadira merasa tersanjung dengan apresiasi yang diberikan Naufal atas usulannya. Gadis tersebut tidak menyangka jika idenya akan mendapat tepuk tangan meriah dari rekan organisasinya. Namun kebahagiaan tersebut mendadak sirna, saat melihat tatapan tajam Kesya yang seperti hendak menelannya hidup-hidup. 

"Baiklah terima kasih, Nadira. Jika program kerja yang kamu usulkan tadi mendapat persetujuan dari Kepala Sekolah, maka kamu harus siap-siap sibuk mempersiapkan rencana ini dengan saya," pesan Naufal, dibalas anggukan oleh Nadira. 

"Terima kasih juga untuk semuanya, kehadiran kalian sangat berarti untuk kesuksesan organisasi kita," sambung Naufal. "Kalau begitu saya tutup rapat ini, dan kalian dapat kembali ke rumah masing-masing, sekarang," lanjutnya. 

Meja rapat mulai ditinggalkan oleh para empunya. Nadira juga ikut keluar dari ruang Osis tersebut dengan langkah cepat untuk segera pulang, dengan tujuan agar terhindar dari amukan Kesya yang mungkin akan diberikan untuknya. 

Unconditional Love 3

"Lepas, Kesya! Ini rasanya sangat sakit sekali!" pekik Nadira disela isak tangisnya yang semakin menjadi. 

Sebab kejadian kemarin, saat Naufal berani membentak dirinya demi membela Nadira, Kesya hanya memendam dendamnya hingga menunggu saat yang tepat untuk membalas sakit hatinya. Tepat setelah lonceng tanda pulang sekolah dibunyikan, Kesya langsung menyeret Nadira saat menemukan kesempatan. 

Lorong yang sepi, serta tidak ada sosok Farhan yang akan menggagalkan rencananya, waktu seperti itu sangat tepat untuk menyiksa Nadira. Kesya terus menarik lengan Nadira agar gadis berkacamata tersebut berhasil dia bawa ke toilet perempuan. 

"Brak!" Kesya melantingkan tubuh Nadira hingga punggung gadis tersebut terantuk dinding dan menimbulkan suara gaduh. 

Nadira sampai tak sanggup merintih saat mendapatkan rasa sakit yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Hanya wajahnya yang memucat sebagai tanda derita yang dialaminya. Dalam hatinya, Nadira terus melantunkan doa, dan meminta bantuan pada Sang Maha Kuasa agar dapat membantunya. 

"Puas!" pekik Kesya, tepat di depan wajah Nadira. "Puas karena telah berhasil membuat aku malu di hadapan Naufal, kemarin?" Suaranya yang semakin keras membuat tubuh Nadira semakin bergetar hebat. 

Nadira hanya bergeming tak bersuara, yang ada hanya air mata yang semakin membasahi wajahnya. Tak ditatapnya netra Kesya yang menyiratkan kebencian yang amat besar padanya. Nadira hanya menunduk memperhatikan kerak pada lantai toilet yang telah menguning. 

"Jawab, Nadira! Jawab!" Kesya yang semakin jengkel pada Nadira, memutuskan untuk mengangkat wajah Nadira dengan mencengkeram dagu gadis tersebut agar lebih mudah untuk ditatap olehnya. 

"Salahku di mana, Kesya? Naufal hanya menanyakan pendapatku, lalu apa salahnya dengan itu?" Nadira menahan sakit di dagunya demi memberi jawaban yang jelas kepada Kesya. 

"Itu salah! Seharusnya kamu tidak perlu menyampaikan usulan dalam bentuk apa pun!" terang Nadira. "Kamu ingat? Karena usulan bodoh yang kamu katakan, citraku menjadi buruk di hadapan lelaki yang amat aku cintai, apa kamu paham?" sambungnya. 

"Maaf." Nadira kembali menundukkan wajahnya. 

"Maaf katamu? Semua itu tidak akan ada artinya, sekarang!" Kesya semakin berapi-api menunjukkan kekesalannya. "Kamu harus tetap mendapat hukuman!"

"Akh" Nadira harus kembali merasakan sakit saat Kesya kembali melantingkan tubuhnya, bedanya untuk kali ini Nadira masih sanggup menjaga keseimbangannya. 

"Byur!" Satu ember penuh berisi air disiramkan kepada Nadira oleh Kesya. Habis basah kuyup seragam Nadira, dan hal tersebut membuat tangisnya semakin menjadi. 

Nadira melihat Kesya pergi meninggalkannya begitu saja setelah melancarkan aksinya. Nadira yang lemah, tak kuasa membela dirinya, hanya menangis yang dapat dilakukannya untuk mengungkapkan betapa sulitnya jalan hidupnya. Cukup lama Nadira berdiam diri di dalam toilet, dia tidak ingin ada yang melihat seragamnya basah kuyup. Nadira berniat menunggu beberapa lama lagi hingga seragamnya sedikit mengering. 

"Hai," sapa seorang gadis, seraya melangkahkan kakinya mendekati Nadira.

"Maaf, ya. Aku tadi melihat semua yang Kesya lakukan sama kamu, tapi jangankan untuk membantu, mengintip saja rasanya sudah gemetaran," sambung gadis tersebut, membuat lengkungan tipis terukir di bibir Nadira. 

"Tidak masalah, Tina. Terima kasih karena sudah peduli," jawab Nadira.

Tina mengangguk pelan, lalu sesaat kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Pakai ini saja, nanti kamu akan sakit jika terlalu lama mengenakan pakaian basah," ucapnya seraya memberikan kaos dan rok midi yang dibawanya kepada Nadira. 

"Ini boleh aku pakai?" tanya Nadira, dibalas anggukan cepat oleh Tina. 

Setelah Farhan, sekarang Tina. Nadira merasa bahwa pertolongan Tuhan nyata didapatinya. Ada keresahan dalam hatinya jika ternyata kehadiran Farhan dan Tina akan berakhir kepergian yang menyakitkan. Sebenarnya Nadira ingin tidak begitu berharap, akan tetapi dirinya juga tidak dapat memungkiri adanya kesenangan dalam hatinya. 

Lima menit adalah waktu yang dihabiskan Nadira untuk mengganti seragamnya dengan kaos dan rok midi yang Tina berikan untuknya. "Sudah," ucapnya setelah keluar dari bilik toilet lalu sesaat kemudian menunjukkan pakaian Tina yang pas melekat di tubuhnya. 

"Mau pergi bersamaku sebentar?" tawar Tina. 

"Kemana?" tanya Nadira. 

"Kita mencari makan siang, aku lapar sekali." Tina mengelus perutnya dengan lembut. 

"Baiklah." Nadira mengangguk mengiakan. 

Tina menggenggam erat tangan Nadira, dan membawa gadis tersebut keluar dari kamar mandi. Nadira terus memperhatikan genggaman tangan Tina, genggaman yang belum pernah dia dapatkan dari seorang teman. Kisah di bangku sekolahnya senantiasa kelabu, tidak ada warna canda tawa bersama teman atau sahabat, dan kesenangan yang lainnya. Hanya akhir-akhir ini rasa kenyamanan itu datang, diawali dari kehadiran Farhan, lalu disusul oleh Tina. 

Tina menunjuk ke arah seberang jalan, di mana telah terparkir Honda Jazz keluaran tahun dua ribu lima. Tina mengatakan bahwa mobil tersebut milik keluarganya, dan Tina meminta Nadira untuk ikut bersamanya menaiki mobil tersebut. 

"Kita akan mencari makan siang di mana?" tanya Nadira, beriringan dengan suara deru mesin mobil. 

"Kita akan ke restoran, kita akan makan banyak dan makan enak, dan tenang saja, aku yang akan mentraktir," jawab Tina, seraya mengacungkan kedua ibu jarinya di hadapan Nadira. 

Nadira mengangguk pelan, lalu kembali fokus memandang jalanan melalui kaca jendela mobil yang sengaja dibuka. Dirasakannya angin sepoi-sepoi membelai lembut wajahnya yang masih menyisakan jejak kesedihan. Ranting-ranting pepohonan seolah melambai menyapa Nadira yang terus menyembulkan kepalanya ke luar jendela. Entah apa yang ingin dicari Nadira, gadis itu merasa betah berada di posisi seperti itu. 

"Apa yang kamu lihat, Nadira?" Tina menarik tangan Nadira, untuk kembali dia genggam. 

"Tidak ada," jawab Nadira.

"Kamu masih bersedih karena Kesya?" Tina menarik tangan Nadira, agar gadis tersebut dapat menatap wajah sembab Nadira. 

Nadira mengembuskan napasnya, lalu memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya pada Tina. "Aku sudah tidak sanggup menjalani hidup yang seperti ini, rasanya sangat menyakitkan dan aku juga tidak tahu bagaimana cara mengubahnya," ucapnya.

"Apa yang membuat Kesya marah padamu, tadi?" Tina berusaha mencari akar permasalahannya agar dapat menemukan solusinya. 

"Naufal, Naufal membentaknya karena membelaku," jawab Nadira. 

"Kalau begitu tidak akan sulit membuatnya menderita." Ucapan Tina mendapatkan tatapan bingung dari Nadira. 

"Bagaimana caranya?" tanya Nadira. 

"Mudah saja, buatlah Naufal mencintaimu mati-matian, hingga membuat lelaki itu tidak memiliki alasan untuk mendekati Kesya." Tina menunjukkan kesungguhannya untuk membantu Nadira. 

"Buruk sekali idemu itu. Dengan aku yang seperti ini, kamu hanya akan mengajariku berhalusinasi," jawab Nadira, sembari terkekeh kecil. 

"Tidak halusinasi, Nadira. Aku akan buktikan semuanya besok, tunggu aku pukul setengah enam pagi, aku akan tiba di rumahmu tepat pukul itu." Tina mengakhiri ucapannya, dan menyisakan tanda tanya besar dalam benak Nadira. 

Nadira menatap gadis cantik yang duduk di sampingnya dengan rasa penasaran yang besar. Nadira ingin tahu apa rencana Tina yang sebenarnya, akan tetapi gadis tersebut harus menunggu jawabannya esok. Apa pun rencana Tina, Nadira tetap optimis bahwa gadis itu akan membantunya berubah. Membawa kehidupan yang lebih baik dari kehidupannya saat ini, serta akan menutup mulut Kesya yang penuh hinaan, dan membantunya menjunjung tinggi harga dirinya. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!