Bandung, 2010
"Belajar yang rajin ya, Sayang," tutur lembut Yuliana, selalu menentramkan hati Nadira, yang tak lain adalah putri kandung semata wayangnya.
Piring-piring kosong menyisakan remah-remah sisa makanan disapu bersih dengan spons berbusa. Nadira menghentikan gerak tangannya yang sedang mencuci piring, lalu beralih menatap ibunya yang telah mengambil alih sebagian pekerjaannya.
"Iya, Bu. Nadira berjanji, akan mewujudkan keinginan Ibu dan Ayah. Jika Ibu dan Ayah ingin Nadira menjadi orang sukses kedepannya, maka itu yang akan Nadira usahakan," jawab Nadira, sesaat kemudian mengangguk meyakinkan.
"Hanya kamu harapan Ibu dan Ayah. Sebenarnya Ibu tidak ingin menuntutmu banyak, akan tetapi keadaannya seperti ini, Ibu hanya ingin kamu bahagia," ucap Yuliana.
"Nadira bahagia, Bu. Bahagia karena memiliki Ayah dan Ibu, yang merupakan pelita hidup Nadira." Nadira mengulas senyum manis di bibirnya untuk menunjukkan kesungguhannya pada Yuliana.
Kebahagiaan tidak terukur atas besarnya materi yang seseorang miliki. Kebahagiaan akan ada, saat seseorang bersyukur dan kerap memberikan kasih sayang untuk keluarganya. Nadira terlahir di tengah keluarga sederhana, keluarga yang menjunjung tinggi pentingnya kasih sayang dalam pertumbuhan pribadi yang baik untuk generasinya.
...----------------...
Lorong yang ramai dipadati para siswa dan siswi SMA Cakra Buana, menyuguhkan kebisingan tanpa mengusik Nadira yang masih fokus menatap buku novel di hadapannya. Gadis itu bukanlah seorang yang introvert hanya saja banyak yang enggan berteman dengannya karena kacamata tebal yang bertengger di pangkal hidung gadis tersebut, serta kepang dua yang menyatukan semua helaian rambutnya.
"Akh" rintih Nadira kesakitan, saat kepangan rambutnya ditarik paksa oleh Kesya dengan kuat.
"Pagi, cantik." Dialog Kesya yang setiap hari diucapkannya pada Nadira, saat dirinya mendapati gadis culun tersebut hanya fokus pada novel romansa yang dibacanya. "Bagaimana kabarmu pagi ini?" sambungnya, semakin menarik kuat kepangan rambut Nadira.
"Lepaskan, Kesya!" pekik Nadira yang hanya menimbulkan tawa bergema dari mulut Kesya, Mora, dan Yustin.
"Kami suka melihat kamu kesakitan seperti ini," tutur Mora, yang langsung mendapat anggukan persetujuan dari Kesya dan Yustin.
Kejadian itu bukanlah yang pertama kalinya. Nadira adalah sasaran empuk nafsu perundungan Kesya di sekolah. Sebagian siswa ada yang menganggap kejadian tersebut adalah hiburan semata yang menerbitkan gelak tawa hingga lupa akan kemanusiaan. Namun, sebagian siswa yang merasa iba juga tidak mendapatkan cara untuk membantu Nadira yang malang.
Rintihan Nadira terdengar merdu di telinga Kesya, hingga hal tersebut membuat Kesya kian menggebu-gebu dan semakin puas melakukan hal semena-mena pada Nadira tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkannya, sedangkan di posisi Nadira, gadis tersebut sedikit pun tidak memiliki keberanian untuk melawan Kesya, hingga dirinya acap kali mendapatkan perlakuan buruk yang sama sekali tak pernah dia inginkan.
"Lepaskan Nadira, Kesya!" pekik Farhan, yang seolah tak tahan lagi membiarkan Kesya melancarkan segala perilaku buruknya yang akan berimbas merugikan untuk Nadira.
Mata Nadira memanas hingga terasa kabur saat cairan bening yang semakin penuh, hendak luruh dari balik kacamata tebalnya. Selalu seperti itu ujungnya, Nadira tidak pernah memberikan perlawanan hingga air matanya yang akan menjadi saksi penderitaannya.
Farhan dengan derap langkah yang cepat, segera menghampiri Kesya untuk membantu Nadira. Menurut Farhan, dirinya tidak akan menjadi pengecut jika hanya mencekal lengan Kesya. Lagi pula tujuannya sudah jelas adalah untuk membantu Nadira, yang merupakan teman satu kelasnya.
"Tidak usah ikut campur, bisa?" ujar Kesya, seraya menarik-narik lengannya dari cekalan Farhan.
"Hilangkan kebiasaanmu merundung orang lain, bisa?" Farhan kembali melemparkan pertanyaan tanpa berniat melepas cekalannya cepat-cepat.
"Apa pengaruhnya sama kamu, jika aku tetap memilih untuk merundung dia?" Kesya menatap iris Farhan dengan sangat intens.
"Jelas ini berpengaruh. Kamu harus tahu jika apa yang kamu lakukan tidak hanya akan berimbas buruk terhadap korbannya, melainkan juga akan berimbas terhadap banyak pasang mata yang menyaksikannya," terang Farhan. "Bagaimana kalau dari banyaknya siswa yang menyaksikan perundungan tadi, salah satu dari mereka akan melakukan hal yang serupa, maka bayangkan berapa banyak korbannya nanti? Kamu juga harus ingat, kemungkinan tidak akan hanya satu yang melakukan hal buruk sepertimu tadi, dan artinya akan lebih banyak korban yang mengalami guncangan dalam mentalnya, dan itu sangat berpengaruh pada kepribadiannya," sambungnya.
"Terserah apa katamu itu!" jawab Kesya tak acuh, sembari menarik kembali lengannya saat cekalan Farhan mulai mengendur.
Kesya mengajak Mora dan Yustin untuk kembali ke kelas mereka, sedangkan Nadira masih sibuk menghapus air matanya yang membuat pipinya basah. Farhan yang terus memperhatikan Nadira, lantas berinisiatif untuk mengeluarkan sapu tangannya dan ia berikan kepada Nadira.
"Nanti kotor," tolak Nadira, tampak sungkan.
"Kalau begitu tidak perlu kamu kembalikan. Pakai, dan sapu tangan ini untukmu," jawab Farhan.
"Untukku?" tanya Nadira, dengan salah satu alisnya yang terangkat.
"Iya untukmu, sebagai tanda persahabatan kita, bagaimana?" tawar Farhan.
"Bersahabat? Denganku? Apa itu tidak membuatmu malu?" cecar Nadira.
"Iya, denganmu, dan itu sama sekali tidak membuatku malu," jawab Farhan.
Netra coklat gelap Farhan menembus lantas menyibak keindahan manik mata Nadira yang tersembunyi dibalik kacamata tebal gadis tersebut. Dilihatnya kesedihan yang tertahan, rasa ingin dilindungi, dan tuntutan keadilan yang tersimpan rapi menjadi rahasia hati Nadira. Farhan turut iba menyaksikan perundungan yang dialami Nadira berulang kali, hanya saja baru kali ini dirinya ingin membantu gadis tersebut.
"Kamu tidak mau?" tanya Farhan.
"Mau," jawab Nadira dengan cepat.
"Kalau begitu kita bersahabat." Farhan mengulurkan tangannya ke hadapan Nadira, dan lelaki tersebut ingin gadis berkacamata di depannya itu membalas uluran tangannya.
"Terima kasih, Farhan." Nadira membalas uluran tangan Farhan, dengan kebahagiaan yang tidak dapat ia hilangkan dari dalam lubuk hatinya.
Genta dipukul keras hingga mengeluarkan bunyi nyaring untuk menandakan waktu masuk kelas. Lalu lalang siswa siswi yang awalnya tenang, berubah menjadi hiruk pikuk langkah yang berlarian. Para widyaiswara mulai meninggalkan ruangan mereka dan beranjak menuju kelas-kelas yang berpencar.
Waktu terus berlalu walau jarang orang menghiraukan bunyi detak jarum jam. Nadira terus menyunggingkan senyum walau ketakutan selalu membara dalam hatinya. Mendapat bantuan dari Farhan justru membuat Kesya semakin geram padanya, serta tatapan tajam gadis tersebut terus membuat jantung Nadira berdebar-debar cemas. Meminta Farhan untuk turut bersamanya setiap waktu bukanlah ide yang bagus, Nadira tidak ingin kembali merepotkan lelaki yang telah berjasa padanya.
"Bahagia?" sahut Kesya dengan tiba-tiba mengadang jalan Nadira.
"Dia berhasil meluluhkan hati Farhan, pasti dia memberikan sesuatu kepada lelaki itu." Mora berpendapat sendiri. Sembari memegang bahu Nadira, Mora juga menatap jijik pada gadis berkacamata di hadapannya.
"Tetapi apa yang dia beri, ya?" Lagak Yustin, pura-pura berpikir.
Lorong yang sepi, sangat-sangat sepi. Nadira selalu menyendiri di sepetak lahan kosong belakang sekolah untuk menemukan ketenangan. Lalu lorong yang sepi tersebut adalah satu-satunya jalan yang paling dekat untuk menuju belakang sekolah. Namun saat ini, jalan yang selalu memudahkannya tersebut, mungkin akan berubah menjadi suatu bencana untuknya.
"Kamu tahu kan, kalau aku tidak akan menerima kekalahan!" Memekik sekeras apa pun belum tentu ada yang mendengar suaranya. Kesya dapat terus memekakkan telinga Nadira di lorong sepi tersebut.
"Akh" rintihan yang tak pernah didengar oleh Kesya, walau sebenarnya gadis itu tahu betapa sakitnya kulit kepala Nadira jika dirinya terus menarik kepang rambut gadis culun tersebut.
"Aku tidak tahu apa keuntungannya, tapi yang jelas aku sangat suka melihatmu menderita seperti ini," bisik Kesya, tepat di telinga Nadira.
Tangisan yang terdengar pilu, memecah keheningan bilik toilet perempuan. Nadira terus menghapus air matanya yang dengan senang hatinya terus terjun menciptakan titik-titik basah pada rok abu-abu Nadira.
"Aku ingin melawannya, akan tetapi sangat sulit untuk kulakukan," gumam Nadira, yang seakan menyadari kelemahannya.
Tidak pernah ada yang memperhatikan mata sembab Nadira saat gadis tersebut keluar dari toilet. Sesungguhnya Nadira sangat ingin ada seseorang yang memberikannya perhatian, walau hanya sekadar basa-basi mungkin itu akan lebih menyenangkan hatinya karena kehadirannya dihargai. Namun, kenyataannya adalah nihil, tidak ada yang memberikan basa-basi itu. Jangankan untuk sebuah basa-basi, bahkan Nadira tidak pernah mendengar seseorang menyapanya saat berpapasan.
Duduk di bangku taman, seraya menyibak tiap lembar halaman buku novel yang dibacanya. Hanya novel teman sejatinya, lalu bagaimana dengan Farhan? Sebenarnya Nadira tidak begitu menganggap kesediaan Farhan menjadi sahabatnya dengan sungguh-sungguh. Baginya, manusia adalah makhluk yang mudah datang dan mudah pergi walau tanpa ada alasan dibaliknya. Lalu tentang Farhan, Nadira menganggap lelaki tersebut sama dengan ungkapannya.
"Hai," sapa seseorang, yang tanpa sengaja menghentikan kegiatan Nadira menuju alam penuh ilusi dalam novel.
Nadira menurunkan buku novel yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Gadis tersebut mendapati Farhan telah tersenyum lebar seraya menatapnya dengan binar yang jelas. Nadira juga melihat Farhan membawa sebungkus roti dan satu botol air mineral bersamanya.
"Tidak makan?" tanya Farhan.
"Tidak." Geleng kepala Nadira, nyatanya semakin melebarkan lengkungan pada bibir Farhan.
"Kalau begitu, kita makan roti ini berdua," usul Farhan, sembari menyibukkan tangannya untuk membuka bungkus roti, lalu membagi roti tersebut menjadi dua, untuk diberikannya satu pada Nadira.
"Temani aku sarapan, ya," sambung Farhan, seraya menyodorkan separuh roti yang dibelinya kepada Nadira.
"Kamu belum sarapan? Kalau begitu, kamu habiskan saja semuanya." Nadira sebenarnya enggan menerima roti yang diberikan Farhan untuknya. Mendengar lelaki di sampingnya telah melewatkan makan paginya, Nadira tidak ingin Farhan membagi roti hanya untuk dirinya.
"Aku tidak berselera menghabiskan roti ini sendirian," tutur Farhan. "Lagi pula aku sudah mencuci tangan sebelum memegang roti ini," sambungnya, berusaha meyakinkan Nadira.
Nadira menerima roti pemberian Farhan untuk menyenangkan lelaki tersebut, dan benar saja, Farhan dengan lahap memakan separuh roti yang dimilikinya saat melihat Nadira ikut memakan separuh roti yang diberikannya. Mereka berdua lekas menghabiskan satu roti yang dibagi menjadi dua tersebut, lalu meminum air mineral yang telah dibeli oleh Farhan.
Sinar matahari tidak begitu terik, hanya menghangatkan dan itu sangat nyaman untuk Nadira. Berbincang berdua bersama Farhan untuk menghabiskan waktu istirahat, ternyata mampu menghapus kesedihan Nadira pada hari itu. Mendengar kelakar Farhan yang tiada henti, membuat Nadira memiliki alasan untuk tertawa. Hari itu sangat menyenangkan, bersama Farhan adalah hal yang menyenangkan, dan Nadira bersyukur untuk itu.
...----------------...
Berita di televisi yang sering menayangkan perihal bencana meletusnya Gunung Merapi hingga menyebabkan tiga ratus lima puluh tiga korban meninggal dunia, cukup membuat resah para pendengarnya. Ada yang turut bersedih membayangkan nasib sanak saudara mereka yang mungkin ada di sana. Ada juga yang bersedih walau tanpa ada sanak saudara mereka di tempat kejadian tersebut, karena anggapan orang seperti itu adalah semua yang terlahir di tanah Nusantara adalah saudara mereka.
Nadira turut merasakan kesedihan yang serupa, walau tidak ada saudaranya di sana. Membayangkan berapa banyak hati yang patah saat orang tersayang mereka dinyatakan sudah tak bernyawa. Membayangkan betapa pilunya tangisan anak-anak saat mendapati kedua orang tua mereka mungkin telah berpulang pada pelukan Sang Maha Kuasa. Masih banyak syukur yang dapat Nadira lantunkan untuk berterimakasih atas segala nasib baiknya jika dibandingkan dengan orang-orang di lokasi kejadian.
"Berkumpulnya kita di sini adalah untuk merancang program kerja yang sasarannya untuk para korban bencana alam meletusnya Gunung Merapi," ucap Sang Ketua Osis untuk mengutarakan maksud dan tujuannya mengumpulkan para anggota Osis.
"Kami meminta sebanyak-banyaknya usulan untuk dipertimbangkan demi memberikan yang terbaik untuk saudara kita di lokasi bencana alam," sambung Wakil Ketua Osis.
"Naufal, aku akan menjadi yang pertama mengutarakan usulanku," ucap Kesya dengan girang, dan langsung mendapat perhatian dari Sang Ketua Osis.
Naufal adalah nama dari Sang Ketua Osis, lelaki tersebut sangat berwibawa dan layak memegang jabatannya sebagai Ketua Osis SMA Cakra Buana. Kesya yang begitu mengidolakan Naufal sejak pertama kali dirinya mengenal Naufal saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, tidak pernah kehabisan akal untuk mencari perhatian dari Sang Ketua Osis tersebut.
"Katakan," pinta Naufal dengan serius, karena program kerja tersebut ia rancang dengan sungguh-sungguh.
"Baiklah. Bagaimana kalau kita mengadakan bakti sosial, dengan menarik sumbangan di lingkungan sekolah kita untuk menjadi langkah yang pertama, lalu disambung dengan melakukan hal yang serupa di lingkungan masyarakat sekitar," ucap Kesya dengan lugas mengutarakan usulannya.
"Baik, dapat dimengerti. Lalu untuk mengadakan bakti sosial di lingkungan masyarakat, kita akan melakukannya dengan cara seperti apa?" tanya Naufal.
"Untuk di lingkungan masyarakat, kita dapat mendatangi rumah-rumah, atau meminta bantuan RT setempat, serta mengadakannya di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, atau yang lainnya," jawab Kesya.
"Bagaimana apa ada yang bisa menambahkan?" Naufal kembali bertanya.
Hanya hening yang didapatkan Naufal dari pertanyaannya. Ditatapnya satu-persatu para rekan organisasinya. Ada yang bungkam menundukkan kepalanya, ada yang pura-pura berpikir, ada yang pura-pura menulis, dan ada yang pura-pura berdiskusi. Naufal hanya memperhatikan para rekannya selama sepuluh menit dengan harapan akan mendapatkan usulan selanjutnya. Namun semua itu kosong, kenyataannya memang mereka semua hanya berpura-pura, hingga tatapan Naufal akhirnya tertuju pada gadis berkacamata yang menundukkan kepalanya di bangku paling sudut.
"Kamu, yang duduk di sudut." Suara Naufal memecah keheningan, membuat Nadira yang merasa terpanggil mendongakkan kepalanya.
Banyak yang mengucapkan syukur dalam hati karena akting mereka dalam berpura-pura sibuk, akhirnya berhasil. Sebenarnya tidak ada yang melintas di benak mereka hingga berpura-pura sibuk dijadikannya sebagai jurus paling ampuh untuk terhindar dari pertanyaan sulit yang dilontarkan Naufal.
"Saya?" Tunjuk Nadira pada dirinya sendiri.
"Iya, kamu." Naufal mengangguk. "Nadira, saya minta usulan kamu untuk program kerja Osis kali ini," sambungnya.
Dengan ragu-ragu dan kecanggungan yang besar hinggap dalam dirinya, Nadira tetap memberanikan diri untuk mengutarakan usulan yang terpendam dalam otaknya sejak awal. "Usulan saya adalah dengan mengadakan sebuah pameran seni," ucapnya, disambut gelak tawa dari Kesya dan kedua temannya.
"Pameran seni? Naufal, usulan itu sama sekali tidak masuk akal. Kita membicarakan tentang bencana alam, tapi dia justru ingin mengadakan pameran. Kita membahas rencana untuk ajang belasungkawa, bukan ajang untuk mencari apresiasi," sanggah Kesya dengan cepat.
"Diam, Kesya! Kita bisa dengarkan dulu maksudnya," tegas Naufal. "Lanjutkan, Nadira," sambungnya memberi kesempatan Nadira untuk menjelaskan.
Nadira mengangguk mantap, sebelum melanjutkan penjelasannya. "Diingat salah tujuan pameran adalah untuk ajang sosial kemanusiaan, kita dapat kaitkan tujuan ini dengan topik pertama kita. Kita akan mengadakan pameran, yang akan melibatkan banyak sekolahan di dalamnya. Lalu hasil dari penjualan karya yang kita peroleh akan kita alokasikan untuk para korban bencana alam," paparnya.
"Itu hanya akan membuang-buang waktu saja!" sanggah Kesya dengan cepat.
"Jangan hiraukan dia, lanjutkan saja, Nadira," ucap Naufal, yang tampak mulai tertarik dengan usulan Nadira.
"Yang ingin saya dapatkan dari rencana ini bukanlah besaran anggaran yang akan kita peroleh. Melainkan dari kesungguhan para generasi muda untuk membantu para korban bencana alam. Di sini bukan hanya kita yang akan berperan penting, melainkan akan ada banyak siswa dari banyak sekolahan, dan juga para kolektor serta pengunjung yang berkenan membeli karya para seniman muda kita." Dengan bersemangat Nadira kembali memaparkan maksudnya.
"Beri tepuk tangan untuk Nadira," ucap Naufal, yang disambut oleh tepuk tangan dengan antusias dari para rekan-rekan organisasi.
Nadira merasa tersanjung dengan apresiasi yang diberikan Naufal atas usulannya. Gadis tersebut tidak menyangka jika idenya akan mendapat tepuk tangan meriah dari rekan organisasinya. Namun kebahagiaan tersebut mendadak sirna, saat melihat tatapan tajam Kesya yang seperti hendak menelannya hidup-hidup.
"Baiklah terima kasih, Nadira. Jika program kerja yang kamu usulkan tadi mendapat persetujuan dari Kepala Sekolah, maka kamu harus siap-siap sibuk mempersiapkan rencana ini dengan saya," pesan Naufal, dibalas anggukan oleh Nadira.
"Terima kasih juga untuk semuanya, kehadiran kalian sangat berarti untuk kesuksesan organisasi kita," sambung Naufal. "Kalau begitu saya tutup rapat ini, dan kalian dapat kembali ke rumah masing-masing, sekarang," lanjutnya.
Meja rapat mulai ditinggalkan oleh para empunya. Nadira juga ikut keluar dari ruang Osis tersebut dengan langkah cepat untuk segera pulang, dengan tujuan agar terhindar dari amukan Kesya yang mungkin akan diberikan untuknya.
"Lepas, Kesya! Ini rasanya sangat sakit sekali!" pekik Nadira disela isak tangisnya yang semakin menjadi.
Sebab kejadian kemarin, saat Naufal berani membentak dirinya demi membela Nadira, Kesya hanya memendam dendamnya hingga menunggu saat yang tepat untuk membalas sakit hatinya. Tepat setelah lonceng tanda pulang sekolah dibunyikan, Kesya langsung menyeret Nadira saat menemukan kesempatan.
Lorong yang sepi, serta tidak ada sosok Farhan yang akan menggagalkan rencananya, waktu seperti itu sangat tepat untuk menyiksa Nadira. Kesya terus menarik lengan Nadira agar gadis berkacamata tersebut berhasil dia bawa ke toilet perempuan.
"Brak!" Kesya melantingkan tubuh Nadira hingga punggung gadis tersebut terantuk dinding dan menimbulkan suara gaduh.
Nadira sampai tak sanggup merintih saat mendapatkan rasa sakit yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Hanya wajahnya yang memucat sebagai tanda derita yang dialaminya. Dalam hatinya, Nadira terus melantunkan doa, dan meminta bantuan pada Sang Maha Kuasa agar dapat membantunya.
"Puas!" pekik Kesya, tepat di depan wajah Nadira. "Puas karena telah berhasil membuat aku malu di hadapan Naufal, kemarin?" Suaranya yang semakin keras membuat tubuh Nadira semakin bergetar hebat.
Nadira hanya bergeming tak bersuara, yang ada hanya air mata yang semakin membasahi wajahnya. Tak ditatapnya netra Kesya yang menyiratkan kebencian yang amat besar padanya. Nadira hanya menunduk memperhatikan kerak pada lantai toilet yang telah menguning.
"Jawab, Nadira! Jawab!" Kesya yang semakin jengkel pada Nadira, memutuskan untuk mengangkat wajah Nadira dengan mencengkeram dagu gadis tersebut agar lebih mudah untuk ditatap olehnya.
"Salahku di mana, Kesya? Naufal hanya menanyakan pendapatku, lalu apa salahnya dengan itu?" Nadira menahan sakit di dagunya demi memberi jawaban yang jelas kepada Kesya.
"Itu salah! Seharusnya kamu tidak perlu menyampaikan usulan dalam bentuk apa pun!" terang Nadira. "Kamu ingat? Karena usulan bodoh yang kamu katakan, citraku menjadi buruk di hadapan lelaki yang amat aku cintai, apa kamu paham?" sambungnya.
"Maaf." Nadira kembali menundukkan wajahnya.
"Maaf katamu? Semua itu tidak akan ada artinya, sekarang!" Kesya semakin berapi-api menunjukkan kekesalannya. "Kamu harus tetap mendapat hukuman!"
"Akh" Nadira harus kembali merasakan sakit saat Kesya kembali melantingkan tubuhnya, bedanya untuk kali ini Nadira masih sanggup menjaga keseimbangannya.
"Byur!" Satu ember penuh berisi air disiramkan kepada Nadira oleh Kesya. Habis basah kuyup seragam Nadira, dan hal tersebut membuat tangisnya semakin menjadi.
Nadira melihat Kesya pergi meninggalkannya begitu saja setelah melancarkan aksinya. Nadira yang lemah, tak kuasa membela dirinya, hanya menangis yang dapat dilakukannya untuk mengungkapkan betapa sulitnya jalan hidupnya. Cukup lama Nadira berdiam diri di dalam toilet, dia tidak ingin ada yang melihat seragamnya basah kuyup. Nadira berniat menunggu beberapa lama lagi hingga seragamnya sedikit mengering.
"Hai," sapa seorang gadis, seraya melangkahkan kakinya mendekati Nadira.
"Maaf, ya. Aku tadi melihat semua yang Kesya lakukan sama kamu, tapi jangankan untuk membantu, mengintip saja rasanya sudah gemetaran," sambung gadis tersebut, membuat lengkungan tipis terukir di bibir Nadira.
"Tidak masalah, Tina. Terima kasih karena sudah peduli," jawab Nadira.
Tina mengangguk pelan, lalu sesaat kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Pakai ini saja, nanti kamu akan sakit jika terlalu lama mengenakan pakaian basah," ucapnya seraya memberikan kaos dan rok midi yang dibawanya kepada Nadira.
"Ini boleh aku pakai?" tanya Nadira, dibalas anggukan cepat oleh Tina.
Setelah Farhan, sekarang Tina. Nadira merasa bahwa pertolongan Tuhan nyata didapatinya. Ada keresahan dalam hatinya jika ternyata kehadiran Farhan dan Tina akan berakhir kepergian yang menyakitkan. Sebenarnya Nadira ingin tidak begitu berharap, akan tetapi dirinya juga tidak dapat memungkiri adanya kesenangan dalam hatinya.
Lima menit adalah waktu yang dihabiskan Nadira untuk mengganti seragamnya dengan kaos dan rok midi yang Tina berikan untuknya. "Sudah," ucapnya setelah keluar dari bilik toilet lalu sesaat kemudian menunjukkan pakaian Tina yang pas melekat di tubuhnya.
"Mau pergi bersamaku sebentar?" tawar Tina.
"Kemana?" tanya Nadira.
"Kita mencari makan siang, aku lapar sekali." Tina mengelus perutnya dengan lembut.
"Baiklah." Nadira mengangguk mengiakan.
Tina menggenggam erat tangan Nadira, dan membawa gadis tersebut keluar dari kamar mandi. Nadira terus memperhatikan genggaman tangan Tina, genggaman yang belum pernah dia dapatkan dari seorang teman. Kisah di bangku sekolahnya senantiasa kelabu, tidak ada warna canda tawa bersama teman atau sahabat, dan kesenangan yang lainnya. Hanya akhir-akhir ini rasa kenyamanan itu datang, diawali dari kehadiran Farhan, lalu disusul oleh Tina.
Tina menunjuk ke arah seberang jalan, di mana telah terparkir Honda Jazz keluaran tahun dua ribu lima. Tina mengatakan bahwa mobil tersebut milik keluarganya, dan Tina meminta Nadira untuk ikut bersamanya menaiki mobil tersebut.
"Kita akan mencari makan siang di mana?" tanya Nadira, beriringan dengan suara deru mesin mobil.
"Kita akan ke restoran, kita akan makan banyak dan makan enak, dan tenang saja, aku yang akan mentraktir," jawab Tina, seraya mengacungkan kedua ibu jarinya di hadapan Nadira.
Nadira mengangguk pelan, lalu kembali fokus memandang jalanan melalui kaca jendela mobil yang sengaja dibuka. Dirasakannya angin sepoi-sepoi membelai lembut wajahnya yang masih menyisakan jejak kesedihan. Ranting-ranting pepohonan seolah melambai menyapa Nadira yang terus menyembulkan kepalanya ke luar jendela. Entah apa yang ingin dicari Nadira, gadis itu merasa betah berada di posisi seperti itu.
"Apa yang kamu lihat, Nadira?" Tina menarik tangan Nadira, untuk kembali dia genggam.
"Tidak ada," jawab Nadira.
"Kamu masih bersedih karena Kesya?" Tina menarik tangan Nadira, agar gadis tersebut dapat menatap wajah sembab Nadira.
Nadira mengembuskan napasnya, lalu memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya pada Tina. "Aku sudah tidak sanggup menjalani hidup yang seperti ini, rasanya sangat menyakitkan dan aku juga tidak tahu bagaimana cara mengubahnya," ucapnya.
"Apa yang membuat Kesya marah padamu, tadi?" Tina berusaha mencari akar permasalahannya agar dapat menemukan solusinya.
"Naufal, Naufal membentaknya karena membelaku," jawab Nadira.
"Kalau begitu tidak akan sulit membuatnya menderita." Ucapan Tina mendapatkan tatapan bingung dari Nadira.
"Bagaimana caranya?" tanya Nadira.
"Mudah saja, buatlah Naufal mencintaimu mati-matian, hingga membuat lelaki itu tidak memiliki alasan untuk mendekati Kesya." Tina menunjukkan kesungguhannya untuk membantu Nadira.
"Buruk sekali idemu itu. Dengan aku yang seperti ini, kamu hanya akan mengajariku berhalusinasi," jawab Nadira, sembari terkekeh kecil.
"Tidak halusinasi, Nadira. Aku akan buktikan semuanya besok, tunggu aku pukul setengah enam pagi, aku akan tiba di rumahmu tepat pukul itu." Tina mengakhiri ucapannya, dan menyisakan tanda tanya besar dalam benak Nadira.
Nadira menatap gadis cantik yang duduk di sampingnya dengan rasa penasaran yang besar. Nadira ingin tahu apa rencana Tina yang sebenarnya, akan tetapi gadis tersebut harus menunggu jawabannya esok. Apa pun rencana Tina, Nadira tetap optimis bahwa gadis itu akan membantunya berubah. Membawa kehidupan yang lebih baik dari kehidupannya saat ini, serta akan menutup mulut Kesya yang penuh hinaan, dan membantunya menjunjung tinggi harga dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!