NovelToon NovelToon

Pernikahan Terpaksa Tamara

Bab 1

“Ayah tidak mau tahu, kamu tetap akan ayah pindahkan ke pesantren!” Terdengar suara keras itu dari dalam rumah yang cukup megah di sebuah kota.

“Tapi, Yah. Apa aku salah membela temanku? Aku hanya....”

“Cukup banyak ulah yang kamu buat, itu sudah cukup membuat Ayah malu. Kamu persiapkan dirimu, besok Ayah akan urus semuanya.” Laki-laki bertubuh kekar itu masuk ke dalam kamar paling besar di rumah itu. Ia menutup pintu dengan keras.

“Bu, tapi aku...” Tamara menatap nanar ibunya.

“Sudah, ikuti saja kemauan Ayahmu. Itu yang terbaik untuk masa depanmu, Nak.” Wanita yang melahirkannya itu mengelus punggung anaknya dengan lembut.

“Kamu disana akan belajar menjadi wanita sholehah, Nak. Disana juga dekat dengan rumah nenek.”

Tamara adalah gadis cantik berkulit putih, kecantikannya seperti bidadari. Tetapi sayang dia salah pergaulan di sekolahannya. Ia bersama geng nya selalu membuat onar di sekolah, sehingga sering kali kedua orang tuanya mendapat surat panggilan.

Jika hidupnya di desa, mungkin dia akan disebut bunga desa. Banyak laki-laki yang mendekatinya. Tapi dirinya belum pernah tertarik dengan siapa pun laki-laki. Tamara bisa dikatakan gadis yang agak tomboy tidak suka berpenampilan feminim apalagi jika ia akan dikirimkan ke pondok. Yang artinya dia akan merubah penampilannya drastis. Setiap harinya akan memakai sarung dan baju yang longgar, juga berhijab.

Belum lagi kebiasannya yang suka tongkrong tidak jelas akan menghilang begitu saja.

***

Keesokan Harinya di sekolah.

Tamara berjalan menunduk dengan muka muramnya. Ia mengarah ke ruang kelasnya untuk berpamitan dengan semua teman-temannya, tak lupa teman satu gengnya.

“Lo yakin, Ra?” tanya Mega ketua geng

“Tak ada pilihan lain, Ga.”

“Masak Lo ga bisa bujuk bokap lo sih?”

“Bokap gue kalo udah ketok palu gak bisa di ganggu gugat.”

“Yahh, Ra. Masak beneran Lo bakal mondok sih. Apa lo yakin bakal betah?”

Teman-temannya terus saja merayu Tamara agar tak jadi pindah, sebab gadis itu terlalu baik. Ia sering membayarkan makanan ketika tongkrong. Tentu saja gengnya sangat menyukai Tamara.

“Maaf semuanya. Mungkin ini yang terbaik buat masa depan gue. Gue harap kalian gak akan melupakan gue. Gue pamit.”

Tamara meninggalkan tempat itu dengan langkah berat, laki-laki tampan sudah menunggunya di mobil.

“Ayo kita pulang, Yah.”

“Kamu sudah berpamitan dengan semuanya?”

“Sudah, Yah.”

Permana menjalankan mobilnya dengan laju cepat. Hari ini sudah menjelang siang, ia harus segera mengambil barang-barang anaknya yang sudah di siapkan istrinya.

Dirumah ada Mang Dadang yang tampak siap mengangkut beberapa koper dan tas yang kebanyakan isinya baju baru untuk Tamara mondok. Hampir semuanya baru, karena memang tak ada baju Tamara yang masuk kriteria mondok.

Sebelum berangkat ke pondok, Tamara berpamitan dengan ketiga Kakaknya yang tak kalah cantik darinya. Ayahnya sengaja menghubungi mereka agar berkumpul dirumah untuk kepergian Tamara.

Ketiga kakak Tamara memang sudah memiliki rumah sendiri, mereka ikut suaminya masing-masing. Tetapi diantara semua anaknya memang hanya Tamara yang menyalahi garis keturunan Ayah dan Ibunya. Hanya Tamara yang salah bergaul. Meski ia juga memiliki adik tapi adiknya memiliki sifat yang lembut dan feminim sama dengan ketiga kakak perempuannya.

Pasangan Permana dan Sari memiliki lima anak perempuan yang cantik-cantik. Tak di pungkiri lagi karena pasangan tersebut juga tampan dan cantik.

“Kak, aku pamit ya.” Tatapan nanar Tamara kepada ketiga kakaknya bergantian.

“Hati-hati. Jaga diri di pondok ya, kakak akan merindukanmu.”

“Iya, Kak. Aku juga bakal rindu.”

Ia menunduk memegang pundak kecil yang tingginya hanya seperutnya.

“Dek, kamu baik-baik ya di rumah. Jaga Ayah Ibu dengan baik. Jangan seperti Kakak.”

Adiknya yang masih duduk di kelas satu menengah pertama menangis tersedu. Haru menyelimuti ruangan penuh kerapian itu.

“Kak, aku ga punya teman lagi di rumah. Kak, jangan pergi.” Difa semakin merengek, ia berlari menghampiri Ayahnya.

“Ayah, jangan pisahkan Difa dengan Kak Tamara. Difa kesepian, Ayah dan Ibu sibuk bekerja.”

“Sayang, kalian hanya berpisah dua tahun ke depan kok. Itu juga kalo nanti kamu rindu Ayah akan mengantarkanmu bertemu kak Tamara disana. Ayah janji.”

Tamara saat ini duduk di kelas dua pertengahan semester. Jadi kurang lebih ia akan mondok selama dua tahun disana.

“Ayah janji ya.”

“Iya sayang.”

Tamara diantar Ayah dan Ibunya yang di kemudikan Mang Dadang, sopir pribadinya.

Perjalanan ini sangat jauh. Rumah nenek Tamara dari ibunya berada di ujung selatan, dekat dengan pantai.

Karena mobil penuh dengan barang, jadi Difa tidak bisa ikut mengantar. Ia di rumah di temani ketiga kakaknya. Para suami mereka tak ikut pulang ke rumah karena tak bisa mengambil cuti dadakan.

Kak Safira, Kak Karina, dan Kak Ayu, adalah ketiga kakak Tamara. Mereka bertiga hampir mirip meski terpaut usia beberapa tahun.

Deburan ombak sudah mulai terdengar dari dalam mobil yang memecah hujan kala sore itu. Mang Dadang menepikan mobilnya di sebuah pondok pesantren ternama di wilayah itu. Ayah Tamara juga sangat mengenal pemimpin pondok itu. Itu sebabnya Tamara di kirim kesana agar Ayahnya dapat memantau lewat seseorang yang ia kenal disana.

Haji Maskuri, ulama terkenal di pondok itu. Dulu Permana mengenal Sari melalui beliau, Sari adalah murid terbaiknya. Sedangkan Permana teman semasa SMA-nya. Jadi usia keduanya lumayan terpaut jauh. Kendati begitu, Permana tetap terlihat awet muda dengan ketampanannya.

“Saya titipkan anak saya kepada anda, teman baikku,” Ayah merangkul Tamara kuat.

“Serahkan semua pada kami, insyaAllah kami akan menjaganya dengan baik. Tak usah cemas.”

“Terima kasih. Saya percaya itu.”

Ibu Tamara hanya bisa menghapus air mata yang membasahi pipinya. Meski beliau dulu juga merasakan mondok di tempat yang sama, tetapi sebagai seorang Ibu belum pernah merasakan ditinggal anaknya mondok. Hanya Tamara.

Nalurinya sebagai ibu tetap tidak bisa ia tutupi. Ada sedikit sesak di dada atas perpisahan dengan anaknya.

Tamara memeluk erat ibunya yang terisak pelan. Ia yang terlihat tomboy sebenarnya tak kuasa lagi jika harus berpisah dengan ibunya. Wanita terdekatnya selama ini.

Setelah kepergian Ayah dan Ibunya, Tamara tak henti menangis. Derai air matanya masih mengalir mengiringi kegiatan menata baju-bajunya di lemari yang sudah mereka sediakan untuk Tamara.

Ditemani Rista, teman barunya yang juga sekamar ia membereskan barang-barang.

“Sudah, jangan menangis terus. Kamu akan baik-baik saja disini. Aku akan menjadi teman baikmu. Namaku Rista,” ucap gadis itu mengulurkan tangannya.

“Terima kasih. Aku Tamara.”

Keduanya bersalaman sambil bercengkrama hingga masuk waktu magrib.

“Sudah magrib. Ayo kita segera ke masjid, jangan lupa pakai mukena sekalian.”

“Iya. Tunggu aku.”

Seusai sholat magrib berjamaah, kegiatan harian adalah menyetor ayat bagi penghafal Al- Qur’an.

Tetapi Tamara masih tahap awal belajar mengaji. Ia hanya menyetor bacaan. Semua memaklumi Tamara dan menerimanya dengan baik.

“Ternyata begini rasanya mondok,” ucap Tamara ketika sudah berbaring di atas kasurnya yang kecil. Tak seperti di rumahnya yang sangat luas.

“Iya, Ra. Aku menikmatinya.”

“Bagaimana kamu bisa menikmati? Apa ini adalah kemauanmu sendiri?”

“Tidak. Ini juga karena baktiku kepada kedua orang tua ku. Tapi ketika semua di nikmati akan menjadi mudah kita lakukan. Kalau kita selalu menyesali dan membandingkan maka akan sulit menjalaninya.”

“Oh begitu. Aku akan coba menikmati. Ohya, aku lupa belum beli kebutuhan pribadiku seperti alat mandi.”

“Tak apa, nanti ku antar ke toko dekat persantren ini.”

“Apa kita di izinkan keluar?”

“Iya. Asal tak lama dan tidak melebihi jam yang di tentukan. Habis isya’ kita kesana.”

***

Bab 2

Pertemuan Tamara dengan Reza berawal dari pesantren ini. Rumah Reza dekat dengan pesantren tempat dimana Tamara mondok. Ketika Tamara dan Rista keluar untuk membeli kebutuhan pribadi di toko terdekat , Tamara dan Rista di hadang oleh segerombol pemuda nakal.

Tamara dengan sifat tomboy nya tak pernah takut dengan gangguan pemuda itu. Tamara menghadapinya dengan santai karena ia jago silat. Hanya saja dia baru ingat kalau ia menggunakan sarung. Tentu saja itu akan menyulitkan untuk melawan.

Rista sedari tadi sudah sangat ketakutan. Ia tak mengira ada pemuda seperti itu di desa ini.

Saat Tamara memajukan diri, segerombol pemuda itu semakin menjadi. Ia ingin menangkap Tamara gadis yang sangat cantik itu untuk menjadi mangsa nya malam ini. Rista diminta untuk berlari oleh Tamara. Tapi Rista tak tega, ia berteriak meminta bantuan kepada warga.

Jalanan yang ia lewati memang cukup sepi malam itu, tak seperti biasanya.

Satu tangan pemuda telah berhasil memegang tangan berkulit putih itu. Mereka menarik Tamara. Tapi tiba-tiba dari belakang segerombol pemuda itu ada seorang pria tampan dengan beraninya menendang punggung mereka satu persatu dengan cepat.

Semua tercengang memperhatikan aksi pria itu. Tak satu pun dari mereka bisa bangkit kembali dari kekalahannya melawan pria tampan itu. Mereka memilih mundur dan membiarkan dua gadis itu berlalu.

Reza gegas berlari menghampiri Tamara dan Rista yang tampak ingin cepat menghilang.

“Tunggu..” teriak Reza

Mereka berdua berhenti, membalikkan badan dan mengucapkan terima kasih.

“Hanya terima kasih saja?”

“Banyak gadis yang ingin mengenalku. Apa kalian tak ingin mengenalku juga? Namaku Reza,” ucap pria itu

“Aku Tamara dan ini Rista. Terimakasih Reza. Aku tak tau apa jadinya aku jika tak ada kamu,” ucap Tamara yang sudah membayangkan hal buruk akan terjadi.

Reza adalah warga sekitar pondok yang jago bela diri. Satu kampung bahkan sudah mengenalnya.

Gadis di desa itu juga banyak yang menyukai laki-laki itu. Sama halnya dengan Tamara yang tampaknya akan menyukainya.

“Kamu sepertinya anak kota ya?”

“Iya, aku baru saja masuk pondok sore tadi.”

Rista menarik tangan Tamara agar tak lebih lama lagi mengobrol. Karena pasti nanti Umi marah jika mereka melanggar aturan.

“Maaf kami harus kembali.”

Sesampainya di gerbang pondok, sudah ada umi dan juga suaminya, Haji Maskuri. Mereka cemas mengkhawatirkan keduanya yang belum pulang.

“Assalamu’alaikum. Maaf Umi, Abi, kami terlambat. Jangan hukum kami,” ucap Rista gemetar

Tamara hanya menundukkan kepala. Rista berniat ingin mengatakan semuanya yang terjadi tadi. Tapi di tahan oleh Tamara dengan mencubit tangannya. Tamara tahu jika Rista lapor pasti urusannya akan menjadi panjang dan tidak di izinkan lagi keluar. Bahkan Ayahnya akan diberi tahu tentang hal ini.

“Kalian kenapa terlambat? Rista kamu ajak kemana Tamara?” tanya Umi khawatir

Rista hanya menunduk tanpa menjawab. Umi menemukan ujung lengan baju Tamara sobek kecil,

“Ini kenapa, Mara?”

“Tadi ada sedikit kejadian, Umi.”

“Kejadian apa?”

“Hanya tersangkut, Umi. Tadi toko ramai berdesakan, saat kami melangkah ingin pergi saya ke dorong dan lengan bajuku tersangkut paku dinding. Jadi seperti inilah bajuku, Umi,” jelas Rista terbata

“Benar begitu, Rista?”

“Iya, Umi.”

Rista mengiyakan saja alasan tak masuk akal teman barunya itu sambil menahan tawa. Setelah Umi dan Abi menerima jawaban itu mereka menyuruh keduanya segera masuk dan istirahat. Umi dan Abi juga tahu sebenarnya ada yang mereka sembunyikan, tapi beliau lebih tahu mereka sedang ketakutan.

Dalam kamarnya yang sempit, Tamara tidak bisa tidur. Ia membelalakkan matanya ke langit-langit atap kamarnya ketika ingat Reza. Ketampanan Reza dua kali lipat dari Ayahnya. Baru kali ini Tamara bisa merasakan hatinya seperti di ketuk seorang laki-laki. Meskipun di kota banyak pria yang menyukainya tetapi belum ada pria setampan dan seberani Reza.

***

Kebiasannya bangun siang kini mulai terkikis. Ada Rista yang selalu menjadi alarmnya setiap hari.

Pagi jam empat mereka sudah harus berada di masjid dalam keadaan sudah mandi. Itu sudah menjadi peraturan pondok.

Sambil menunggu subuh mereka diwajibkan membaca Qur’an tapi tidak di setorkan.

Selama di masjid pekerjaan Tamara hanya menguap, semalaman ia tak bisa tidur karena banyak nyamuk dan udara yang panas. Dengan posisi duduk ia terlelap tidak sengaja hingga membuat dirinya jatuh. Orang-orang yang melihatnya tentu terkekeh. Rista menangkapnya lalu membangunkan temannya itu.

“Ra, Ra, ada Umi....”

“Sssrppp....” Tamara menyentuh ujung bibirnya sembari mengelap apakah ada sesuatu disana. Rista tertawa dengan membetulkan mukena temannya yang miring.

Usai sholat subuh kemudian semua santri menuju dapur untuk mengambil sarapan yang sudah di sediakan oleh tim piket hari ini.

Dengan meneguk teh dari gelasnya, Rista membisikkan sesuatu di telinga Tamara.

“Ingat... Kamu nanti akan masuk sekolah pertama kali disini. Kamu akan berkenalan di depan kelas. Jadi persiapkan dirimu.”

“Itu gampang. Aku sudah biasa berbicara di depan publik, Hahaha. Bahkan aku sering membuat malu,” candanya

“Rupanya kamu sudah berbakat.” Mereka sama-sama tertawa

Di sekolah SMA barunya.

“Perkenalkan teman-teman, saya Tamara Adelia Permana. Kalian boleh panggil sesuka hati, asal jangan panggil nama terakhir saya. Ayah saya akan marah.”

“Terimakasih Tamara atas perkenalannya. Mungkin ada yang ingin ditanyakan pada Tamara?”

Semua terdiam. Hanya satu orang yang kemudian melontarkan pertanyaan. Murid paling bandel di pondok.

“Tamara, kamu sudah punya pacar belom?” tanya Antok, murid pindahan juga dari kota. Bernasib sama dengan Tamara beberapa bulan sebelumnya.

“Jangan bertanya seperti itu, Anto,” ujar bu Afifah.

“Tak apa bu akan saya jawab. Belum, aku masih jomblo seumur hidup. Yang mau daftar boleh tapi harus seleksi dulu, hatiku tidak mudah di ketuk harus di dobrak.” Semua murid di kelas itu tertawa

“Sudah sudah... Tamara hanya bercanda ya.” Bu Afif menenangkan kelas yang gaduh dibuat anak didik barunya itu.

Sepertinya akan ada tambahan tenaga ekstra yang harus ia keluarkan untuk mendidik anak itu. Hingga beberapa hari telah berlalu. Tamara sekarang sudah satu bulan berada di tempat itu.

Ia merasa suntuk dengan hari-harinya. Tak ada acara tongkrongan. Tentu saja. Sampai suatu hari ia meminta izin kepada Umi untuk keluar sebentar dengan alasan membeli kebutuhan bulanan, kali ini tanpa Rista.

Dirasanya Rista teman tak sefrekuensi dengannya. Umi mengizinkan hanya beberapa menit saja. Tamara mengangguk. Padahal ia berniat untuk lebih lama. Ia ingin ke pantai yang tak jauh dari toko.

Di toko tersebut dirinya hanya mengambil kebutuhan ketika datang bulan. Setelah itu ia pergi ke belakang balai desa. Disana ia menemukan pantai kecil yang pemandangannya luar biasa. Tamara berjingkat jingkat kegirangan, melepaskan penat yang selama ini melekat ditubuhnya. Ia bahkan berguling di pasir pantai sampai bajunya kotor sekali. Baru ia sadari setelah bajunya basah terkena ombak.

“Duh. Gimana ini, pasti ketahuan sama Umi.”

“Ada yang bisa saya bantu, bidadari?” Tamara sontak kaget ada yang memanggilnya bidadari. Ternyata Reza.

“Za, ternyata kamu. Apa kamu punya baju wanita yang longgar? Milik adek kamu mungkin? Aku boleh pinjam? Bajuku basah dan kotor seperti yang kamu lihat.”

“Ayo ikut aku.”

Reza mengajaknya berjalan agak jauh dari bibir pantai sampai berhenti pada toko oleh-oleh yang berjejeran disana.

“Ambilah sesukamu. Aku yang akan bayar.”

***Apakah Tamara akan ketahuan oleh Umi? Atau akan ada orang yang melaporkan mereka kepada pihak pesantren?

Yuk nantikan terus kisahnya 😘😘***

...Terimakasih sudah setia membaca novel pertamaku ini...... LOPE SEKEBON BUAT KALIAN 😍😍😍😍💞💞💞💞...

Bab 3

Dengan cepat Tamara mengambil baju longgar berwarna sama dengan baju yang ia kenakan tadi agar Umi tak curiga.

Setelah mencobanya dan terlihat cocok, Reza membayar. Tak hanya baju, rupanya Reza juga membelikan sarung dan jilbabnya.

“Totalnya dua ratus lima puluh ribu, Mas Reza,” ucap seorang kasir toko yang sangat mengenal Reza.

Reza mengambil tiga lembar uang seratus ribuan dari dalam dompet kunonya.

“Kembaliannya ambil saja.”

“Makasih, Mas. Sering-sering ya!” Tampak bahagia pegawai wanita di kasir itu mendapat uang tips dari anak bosnya sendiri yang sedang menyamar menjadi pembeli. Reza hanya membalas senyum lalu pergi bersama Tamara.

“Aku juga mau ucapin makasih, Za. Kamu udah dua kali nolongin aku.” Belum sempat Reza menjawab, gadis cantik itu tersentak ketika melihat jam di dinding di salah satu toko. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.

“Aku harus balik sekarang, Za!”

Tamara berlari dengan cepat sampai mengangkat sarungnya keatas mendekati lutut. Reza sebagai laki-laki normal yang melihat kaki mulus itu terbuka seketika menelan ludah, pikirannya berlari ke arah tak tentu. Dengan cepat ia memalingkan pandangan.

“Besok aku tunggu disini lagi, jangan lupa!” Teriak Reza dengan keras

Umi sejak tadi sudah mondar-mandir di depan gerbang. Abi yang melihat itu kemudian menghampiri Umi. Rupanya Abi akan mengajak Umi untuk pergi ke pernikahan temannya saat itu juga.

Umi tidak berani bilang ke Abi kalau sedang menunggu Tamara yang belum balik lagi ke pondok. Beliau kemudian menitipkan Tamara kepada Rista untuk mencarinya dan segera membawa pulang.

Mobil kecil milik Abi terlihat keluar dari gerbang, Tamara yang hampir saja berpapasan memundurkan langkahnya. Ia mencari celah diantara bebatuan dekat gerbang untuk bersembunyi.

“Heeeeiii!! Kemana aja kamu?” tanya Rista memukul bahu Tamara dari belakang yang cukup membuatnya kaget.

“Ini, aku cuma beli ini doang kok.”

“Kata Umi, kamu sudah satu jam pergi.”

“Iya, tadi belinya agak jauhan. Aku mandi dulu ya, sayang.. Daaaa.” Gadis cantik itu segera menghindar dari segala pertanyaan teman sekamarnya itu. Ia tahu pasti Rista akan mewawancarainya dengan teliti seperti Umi.

Beruntungnya Tamara tidak langsung bertemu dengan Umi dan Abi. Meskipun nanti setelah mereka pulang akan tetap di interogasi tapi setidaknya saat ini ia bisa sedikit bernafas lega.

Suara beduk magrib sudah terdengar jelas, para santri gegas merapatkan diri ke masjid untuk sholat magrib dan menyetor ayat.

Tamara yang melihat mobil Umi dan Abi sudah memasuki gerbang tampak gugup. Dia berharap Umi akan melupakan keterlambatan Tamara tadi.

Setelah menyetor ayat kepada Umi, dia hanya diam dan menghilang perlahan dari pandangan umi. Umi mengetahui kalau Tamara menghindar. Umi bukannya membiarkan begitu saja, tapi tidak tepat menanyakan hal itu ketika masih banyak orang disana. Nanti Umi akan menghampiri Tamara di kamarnya.

“Alhamdulillah.... Lolos lagi gue,” gumamnya di kamar.

Tok tok.

Terdengar dari luar ada orang yang mengetuk pintu kamarnya. Tamara mengira itu Rista.

“Masuk aja, Ris, orang gak di kunci!” ucapnya pelan

Tapi tidak ada jawaban dan tidak ada orang yang masuk. Pintu itu diketuk lagi, kali ini menggunakan salam. Tamara tentu kaget mendengar salam itu. Suaranya jelas tidak asing lagi baginya.

“Umi.....” Bibirnya bergetar

“Boleh Umi masuk?”

Tamara menarik pintu dari dalam

“Silakan masuk Umi, ada yang bisa Tamara bantu, Umi?” Umi lalu mengambil duduk dan menyuruh Tamara duduk di dekatnya.

“Umi tahu, kamu tadi main ke pantai kan?”

“Iya Umi, maafkan Tamara. Tamara sangat jenuh sekali di kamar ini terus. Bolehkan Tamara sesekali main ke pantai?”

“Boleh.. Umi akan memberikan waktu bergantian bagi anak-anak Umi untuk main ke pantai. Namun tetap dalam pengawasan.”

“Terimakasih Umi.” Tamara memeluk Umi seperti ibunya sendiri. Terlebih saat ini dia sangat rindu dengan ibunya yang sudah lama tidak berkunjung karena sibuk bekerja.

***

Seiring berjalannya waktu, Reza dan Tamara saling jatuh cinta. Mereka bertemu secara diam-diam di toko Reza. Reza mengajaknya naik ke balkon di lantai tiga tokonya, dekat ruangan kerja Reza. Di tempat itu pemandangan sangat indah, terlihat jelas hamparan lautan di depan mata.

Reza berniat untuk mengungkapkan perasaannya kepada Tamara saat itu juga.

Reza mempersilahkan duduk di balkon tempat favorit Reza. Ia menekuk lututnya di depan Tamara dan memberikan setangkai bunga mawar putih kesukaan Tamara.

“Ra, saat ini aku putuskan aku benar-benar memiliki perasaan jatuh cinta denganmu,”

“Apakah kamu juga memiliki perasaan yang sama kepadaku? Aku tidak akan memaksamu untuk memilihku, tapi aku akan sangat bahagia jika aku bisa memilikimu.”

“Za, aku tak tahu apa yang ada dalam hatiku ini. Yang aku tahu aku selalu dibuatmu tenang. Sejak kamu menolongku pertama kali, hatiku mengatakan kamu adalah laki-laki pemberani yang bisa melindungiku.” Tamara mengambil nafas sejenak sebelum melanjutkan lagi.

“Aku rasa jika di dekatmu aku merasa aman. Aku juga bisa belajar banyak darimu, belajar menjadi pengusaha dan tentu saja belajar bela diri. Aku tipe wanita yang tidak mudah jatuh cinta, Za. Tapi kamu dapat membuatku jatuh cinta. Aku menyukai laki-laki pemberani dan mandiri sepertimu.”

Reza sangat bahagia mendengar ucapan gadis yang dicintainya itu. Kebahagiaannya membuat ia mengucapkan suatu janji.

“Ra, aku janji akan menikahimu.”

“Aku masih sekolah, Za. Jangan ngawur.”

“Maksudku setelah kamu menyelesaikan pendidikan SMA mu disini.”

“Tapi Ayah tentu tak menginginkan aku menikah muda. Aku pasti harus kuliah dulu.”

“Aku akan membiayai kuliahmu setelah kamu menikah denganku, Ra.”

“Kita bicarakan hal itu nanti saja setelah aku lulus, bicaralah kepada Ayahku.”

“Baiklah sayangku.” Reza tersenyum sangat tampan, kemudian ia mencium kedua tangan putih itu sehingga membuat Tamara salah tingkah. Pipinya berubah menjadi kemerah-merahan. Wanita itu juga terlihat sangat cantik.

Keduanya lalu turun dari balkon lantai tiga. Tamara harus kembali sesegera mungkin. Kali ini ia beralasan membeli baju kepada Umi.

Apakah hubungan Reza dan Tamara akan segera diketahui?

Terimakasih sudah setia membaca novel pertamaku ini🤗🤗😍😍😍😘😘

Nantikan kisah selanjutnya yaa..... Lope Lope buat semua 😍😍❤️❤️❤️❤️❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!