"Ingat! Besok kamu harus melunasi tunggakan pembayaran uang SPP. Saya tidak mau tahu bagaimana cara kamu mendapatkan uang itu!" bentak petugas Tata Usaha SMA Karya Teladan.
Gadis yang bernama Rahma Dewanti hanya bisa menunduk pasrah. Keadaan ekonomi di bawah rata-rata membuat dia kesulitan dalam pembayaran biaya pendidikan. Selama ini dia selalu tepat waktu membayar uang sekolah. Semenjak tiga bulan terakhir, ibunya sering sakit-sakitan sehingga uang yang akan digunakan untuk membayar sekolah dipakai untuk biaya perobatan sang ibu.
"Baik, Bu" jawab Rahma lemah.
Dia berdiri dan meninggalkan ruang Tata Usaha itu dengan langkah lunglai. Teman Rahma, Tiara, yang selalu setia menemaninya heran melihat wajah lesu teman dekatnya itu.
"Ma, Kamu kenapa?" kata Tiara sambil menjajari langkah Rahma.
Rahma hanya menggelengkan kepalanya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak mau Tiara tahu kesusahannya. Walau bagaimanapun caranya dia akan tetap menutupi dari Tiara. Rahma tipe orang yang tidak mau menyusahkan orang lain.
"Kamu cerita dong kalau ada apa-apa! Atau kamu anggap aku orang lain, sampai kamu tidak pernah mau cerita tentang masalah kamu?" ucap Tiara sendu.
"Aku belum bisa bercerita sekarang. Nanti kalau aku sudah siap, aku pasti cerita semua ke kamu," jawab Rahma dengan senyum manisnya.
"Okelah kalau begitu. Aku akan tunggu waktu itu datang!" kata Tiara sambil memeluk Rahma.
Saat mereka berdua berjalan menuju ke kelas, ada segerombolan siswa sedang duduk tak jauh dari ruang BP dan Tata Usaha.
"Kenapa lagi tuh anak, dulu aja jadi siswi terbaik sekarang langganan ke ruang BP?" tanya salah seorang dari mereka.
"Paling nunggak SPP dia!" celetuk Rio, badboy di sekolah itu.
"Heh! Orang miskin sok kaya kek dia itu nggak pantes sekolah di sini. Sekolah karena beasiswa aja belagu, kek dia aja yang paling pintar!'' sahut Frans, teman dekat Rio.
Sejak masuk ke sekolah itu Rahma selalu di-bully karena ekonominya tidak mampu. Rahma yang sering mendengar kata-kata olokan dan makian itupun menjadi semakin minder. Begitu pun saat ini dia merasa menjadi orang paling hina.
"Sudah! Jangan ditanggapi, ayo kita ke kelas aja!" kata Tiara sambil menarik tangan Rahma menuju kelas mereka.
Hanya Tiara yang mau berteman dengan Rahma. Rahma hanya anak orang miskin, yang sekolah saja mengandalkan beasiswa saat masuk ke sekolah itu. Namun saat naik ke kelas XII, nilai Rahma turun sehingga beasiswa dicabut oleh pihak sekolah.
*
*
Sepulang sekolah Rahma langsung bekerja mengumpulkan berondolan di perkebunan kelapa sawit dekat rumahnya. Perkebunan itu milik orang tua Frans, teman satu sekolah Rahma.
"Kasihan!" ucap Frans pelan ketika Ia melihat Rahma di perkebunan milik ayahnya.
Frans sebenarnya menaruh hati pada Rahma tapi Ia tidak berani mengungkapkannya. Frans merasa belum saatnya untuk pacaran, masih ada tanggung jawab yang harus dilakukan.
Setiap hari sepulang sekolah, Rahma selalu mengutip berondolan. Pagi hari sebelum sekolah, Rahma mencuci pakaian milik tetangganya. Rahma dan ibunya mengambil kerjaan mencuci pakaian, mereka berdua mengerjakan semuanya bersama-sama.
Saat ini Rahma duduk di kelas XII SMA, Rahma yang memiliki otak cerdas bisa duduk di bangku SMA di usia belum genap 15 tahun. Walaupun usianya masih muda, tapi pikiran Rahma seperti pemikiran orang dewasa.
Rahma hanya tinggal berdua dengan ibunya, ayahnya pergi entah kemana sejak dirinya berusia dua tahun. Sejak balita hingga sekarang Rahma tidak pernah melihat wajah ayahnya secara langsung. Rahma hanya tahu wajah ayahnya dari foto pernikahan kedua orang tuanya, itupun sudah mulai rusak dimakan waktu.
Rahma bertekad mencari ayahnya setelah lulus SMA nanti. Dia akan ke ibukota untuk merubah takdir hidupnya sekalian mencari ayahnya. Menurut cerita ibunya, ayah Rahma orang dari ibukota yang merantau ke kampung ibunya.
Di tempat tinggal Rahma dan ibunya terdapat beberapa perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolah kelapa sawit. Ayah Rahma dulu seorang asisten perkebunan kelapa sawit, sedang ibunya hanya buruh harian di perkebunan kelapa sawit yang sama.
Saat usia Rahma dua tahun, Arya Dewanto, ayah Rahma dipindahkan ke kantor pusat di ibukota. Sejak saat itu tidak ada kabar sama sekali hingga saat ini.
Ibunya Rahma, Sarifah, bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan anaknya. Saat ini Sarifah sering sakit-sakitan, belum diketahui sakit apa karena belum pernah melakukan cek darah di rumah sakit yang dirujuk oleh Puskesmas setempat.
*
*
*
Hai jumpa lagi dengan saya butiran debu 🙋
Jangan lupa jejaknya ya!
Terima kasih 😘😘😘
"Saya mau bayar SPP atas nama Rahma Dewanti, Bu!" kata Tiara setelah duduk di depan meja petugas Tata Usaha di Sekolahnya.
"Tunggu sebentar! Aku lihat dulu!" jawab salah satu petugas Tata Usaha.
"SPP atas nama Rahma Dewanti sudah lunas semua. Uang ujian juga sudah lunas." sahut kepala Tata Usaha, orang yang tempo hari memarahi Rahma karena menunggak pembayaran SPP.
Hari Senin nanti sekolah mereka akan melakukan Try Out karena Ujian Nasional akan dilaksanakan sebulan lagi. Oleh karena itu semua pembayaran uang sekolah wajib dilunasi, tidak hanya uang SPP tapi juga uang ujian.
"Siapa yang membayar, Bu? Bukankah Rahma belum ada uang, ibunya sakit," tanya Tiara pada Kepala Tata Usaha, Sonia.
"Kamu tidak perlu tahu siapa yang sudah melunasi semua uang sekolah Rahma! Sebaiknya kamu belajar yang rajin untuk persiapan ujian nanti," jawab Bu Sonia meninggalkan Tiara sendiri, kembali pada pekerjaannya.
Akhirnya Tiara meninggalkan ruang Tata Usaha dengan hati bertanya-tanya siapa yang telah membayar uang sekolah Rahma. Tiara sangat tahu bagaimana keadaan Rahma saat ini. Untuk membawa ibunya berobat ke rumah sakit saja tidak mampu, apalagi melunasi semua uang sekolah yang bernilai jutaan.
Sekolah tempat Rahma adalah sekolah elit yang terkenal kualitasnya tapi sangat mahal. Rahma mendapatkan beasiswa siswa dengan nilai tertinggi sehingga anak orang miskin seperti dirinya bisa sekolah di sana.
Sesampainya di kelas, Tiara mendapati Rahma sedang menekuni bukunya. Rahma selalu mengisi waktu luangnya dengan membaca buku sekolah dan belajar. Tiara mendekati Rahma hendak mengagetkannya tapi tidak tega.
"Ma! Kamu sudah lama sampai kelas?" tanya Tiara sambil meletakkan tasnya di kursi sebelah Rahma.
Tiara tadi begitu tiba di sekolah langsung ke ruang Tata Usaha agar tidak ketahuan Rahma, ternyata niat baiknya sudah didahului orang lain.
"Baru saja! Tumben kamu kesiangan sampai di kelas, biasanya aku yang selalu belakangan?" jawab Rahma dengan senyum manisnya, terlihat lesung pipinya.
"I-iya, aku bangun kesiangan tadi!" Tiara gugup karena tidak pernah membohongi Rahma.
Tidak lama kemudian bel tanda masuk sekolah berbunyi. Para siswa masuk ke kelasnya, diikuti oleh guru yang akan mengajar. Begitu juga dengan kelas Rahma dan Tiara.
*
*
*
"Rahma, tunggu sebentar! Aku mau tanya sesuatu, tapi kamu jangan marah ya?" Tiara memanggil Rahma yang hendak menaiki sepedanya di tempat parkir sekolah.
Rahma ke sekolah dengan menggunakan sepeda kayuh. Hanya dirinya yang sekolah dengan menggunakan sepeda, teman-temannya banyak yang mengendarai motor dan mobil.
"Tanya apa? Kalau penting sebaiknya di rumah saja. Aku sedang terburu-buru, maaf!" jawab Rahma.
Bu Sarifah sedang sakit, sehingga Rahma harus cepat sampai rumahnya. Cucian yang diambil dari tetangganya belum sempat dicucinya tadi pagi. Semalaman dia begadang menunggui Ibunya yang sakit.
"Baiklah, nanti sore aku ke rumah kamu!" ucap Tiara akhirnya.
Rahma langsung meninggalkan Tiara begitu mendapat jawaban dari temannya itu. Rahma mengayuh sepedanya seperti orang kesetanan. Dia takut terjadi apa-apa pada Ibunya. Ibunya di rumah hanya sendirian saja. Selain itu dia juga harus menyelesaikan semua cucian tetangganya.
Perjalanan Rahma memakan waktu dua puluh menit. Rahma langsung menyimpan sepedanya di samping rumah begitu sampai.
"Bu, Rahma pulang!" teriak Rahma begitu memasuki rumahnya.
Bu Sarifah yang kebetulan baru terbangun dari tidurnya menyahut seruan anaknya.
"Iya, sayang!" jawab Bu Sarifah dari dalam kamarnya.
Rumah itu terdiri dari dua kamar tidur berukuran tiga kali tiga serta ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Kamar mandinya terletak di belakang rumah, kamar mandi dengan dinding plastik terpal berada di samping sumur gali. Sumur tanpa mesin pompa air, mengambil air menggunakan tali yang diikat dengan ember.
Rahma langsung menuju ke kamar mandi setelah melepaskan sepatunya dan menyimpan tasnya di kamar.
"Ibu sudah makan?" tanya Rahma di gawang pintu kamar ibunya.
"Sudah!" jawab Bu Sarifah lirih.
"Syukurlah kalau Ibu sudah makan. Obat Ibu masih ada 'kan?" tanya Rahma lagi.
"Tinggal untuk nanti malam. Besok Ibu harus ke Puskesmas lagi ambil obat. Kamu nanti temui mang Parjo ya, besok antar Ibu ke Puskesmas!" pesan Bu Sarifah.
Mang Parjo adalah tukang ojek di kampung Rahma, Dia yang biasa mengantarkan Bu Sarifah bepergian.
"Iya, Bu! Nanti sekalian antar baju Bu Monica, Rahma singgah di rumah mang Parjo," jawab Rahma.
"Kamu makan dulu sebelum kerja, biar tubuhmu kuat!" kata Bu Sarifah lirih, air matanya sudah mengembun di pelupuk mata.
"Maafkan Ibu, Nak! Kamu harus ikut menanggung beban Ibu!" lanjut Bu Sarifah.
"Ibu ngomong apaan sih? Rahma pasti makan sebelum kerja. Hari ini Rahma cuma mau nyuci dan menyeterika baju saja. Ibu tidak usah khawatir!" jawab Rahma sambil meninggalkan ibunya.
Rahma mulai merendam pakaian dan menimba air untuk mencuci pakaian.
Sore harinya Tiara datang ke rumah Rahma. Ada perasaan yang mengganjal di hatinya.
"Rahma... Rahma!" panggil Tiara dari samping rumah Rahma.
Rahma yang kebetulan baru pulang mengantar baju langsung mempercepat langkah kakinya.
"Iyaa, aku datang!" sahut Rahma dari kejauhan, takut Tiara pergi lagi.
Rahma segera menghampiri Tiara yang sedang duduk di bangku kayu panjang yang ada di samping rumahnya.
"Maaf, nunggu lama! Tadi aku mengantar baju ke rumah Bu Monica lalu singgah ke rumah mang Parjo," ucap Rahma dengan nafas memburu karena tadi sedikit berlari untuk mempercepat langkahnya.
"Nggak lama kok, aku juga baru sampai! Ibu mana?" jawab Tiara sambil berdiri dari duduknya.
"Ibu di dalam, ayo masuk! Kita ngobrol di dalam aja!" ajak Rahma, menarik tangan sahabat karibnya.
"Ibu, Ara datang!" ucap Tiara begitu memasuki rumah itu.
Bu Sarifah yang sedang di kamar pun bangkit dari tempat tidurnya hendak menjumpai teman Rahma.
"Ibu kenapa keluar, rebahan aja di kamar!" tegur Tiara, merasa tidak enak karena membuat Bu Sarifah terbangun.
"Ibu capek tiduran terus! Ibu juga ingin jalan-jalan walaupun hanya di dalam rumah," jawab Bu Sarifah lirih sambil berjalan pelan menuju kursi di depannya.
Mereka bertiga pun duduk bersama, bercerita tentang apa saja yang tadi mereka kerjakan. Tiara yang hendak bertanya pada Rahma pun menunda tujuan utamanya datang.
Tak lama kemudian Bu Sarifah pamit ke kamar mandi. Tiara pun menggunakan kesempatan itu untuk mengutarakan tujuannya datang.
"Ma, Ibu sudah pernah dibawa ke rumah sakit yang di kota belum?" tanya Tiara sedikit takut, takut menyinggung perasaan teman dekatnya itu.
"Kami belum ada uang untuk membayar cek darah seperti yang disarankan oleh dokter di Puskesmas. Bukan hanya tes darah tapi juga rontgen. Biayanya tidak sedikit, sedangkan tabunganku belum cukup." jawab Rahma sedih.
Tiara mendekat pada Rahma kemudian digenggamnya keduanya telapak tangan Rahma.
"Aku datang sebagai saudara, besok kamu bawa Ibu langsung ke rumah sakit. Ini uang untuk biaya cek darah dan rontgen. Tidak banyak sih, semoga bisa membantu." ucap Tiara.
"Tapi..."
"Tak ada penolakan! Aku tidak mau ada penolakan lagi. Aku sudah anggap kamu dan Ibu sebagai keluarga sendiri. Keluarga itu saling bantu!" kata Tiara tegas, Ia tulus ingin membantu Rahma.
"Aku anggap ini pinjaman, nanti kalau aku sudah punya uang cukup, aku pasti membayarnya!" Rahma mau menerima uang dari Tiara.
"Besok kita ke sekolah hanya mengambil kartu ujian Try Out, pulangnya cepat. Jadi kita bisa mengantar Ibu sama-sama ke rumah sakit," ucap Tiara bersemangat.
"Aku belum bayar tunggakan uang sekolah. Apa aku boleh ikut ujian Try Out?" tanya Rahma.
"Pasti bisa!" jawab Tiara yakin.
"Cuma Try Out ini, pasti boleh ikut. Kalau Ujian Nasional baru berpikir ulang mereka untuk mengijinkan kamu ikut ujian. Maaf, nggak bermaksud menghina!" imbuh Tiara.
"Semoga! Aku harus bekerja lebih keras lagi untuk mengumpulkan uang bayar sekolah!" ucap Rahma menyemangati diri sendiri.
"Pasti bisa!" jawab Tiara memberi semangat pada sahabat karibnya.
Mereka berpelukan setelah saling memberi semangat. Tak lama kemudian Tiara pamitan karena hari sudah mulai gelap menunjukkan malam telah tiba.
*
*
*
"Tiara Melani Putri!" panggil guru yang membagikan kartu ujian Try Out untuk hari Senin.
Nama Tiara paling akhir dipanggil di kelas itu. Sedangkan Rahma sudah menerima kartunya tadi sebelum Tiara. Setelah menerima kartu ujian semua, semua siswa pun dipulangkan.
Tiara dan Rahma meninggalkan sekolah bersama-sama. Rahma menumpang mobil Tiara, tadi pagi saat berangkat sekolah Tiara mengajak Rahma berangkat sama. Mereka hari ini berencana membawa Bu Sarifah ke rumah sakit. Saat mereka ke sekolah, Bu Sarifah ke Puskesmas untuk meminta surat pengantar berobat ke Rumah Sakit Umum.
Sesampainya di rumah Rahma, Bu Sarifah sudah pulang dari Puskesmas siap berangkat ke Rumah Sakit Umum yang ada di kota mereka. Mereka bertiga berangkat bersama setelah Rahma dan Tiara mengganti pakaian mereka, dari seragam sekolah ke pakaian biasa.
Perjalanan menuju ke Rumah Sakit Umum di Kota memakan waktu satu jam. Mereka sampai di Rumah Sakit saat matahari mulai meninggi. Rahma lalu mendaftar atas nama ibunya setelah itu menuju ke ruang praktek dokter yang dirujuk oleh Puskesmas. Mereka menunggu sekitar satu jam baru nama Bu Sarifah dipanggil untuk diperiksa.
Setelah diperiksa Bu Sarifah diberi surat pengantar lagi untuk melakukan cek darah dan rontgen. Ruang praktek dokter dengan tempat melakukan cek darah dan rontgen berbeda-beda. Sehingga Bu Sarifah harus banyak berjalan dan kelelahan.
Sekitar jam dua siang, Bu Sarifah selesai melakukan pemeriksaan lengkap. Hasilnya dapat diambil seminggu kemudian. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang setelah membayar semua tagihan biaya perobatan dan lain sebagainya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!