"*Ini dimana?" aku mengedarkan pandangan bergidik ngeri. Banyak mayat yang bergelimpangan diatas tanah yang kupijak.
Suara tangisan menyayat hati terdengar pilu. Aku berlari mencari asal suara. Aku terpaku melihat seorang pria bersurai putih menangisi seorang wanita.
Tapi, pakaiannya dipenuhi bercak darah. Aku menghampirinya dan terperanjat. Dia adalah aku dan pria ini.. Aku ingin melihat nya lebih dekat.
Tapi, kegelapan menyeretku. Membawaku ke tempat yang asing dan gelap. Aku mengedarkan pandangan dan terkejut. Tanah yang kupijak adalah darah yang berceceran. Aku termenung melihat semuanya.
Lalu, sebuah adegan muncul aku memperhatikan lamat. Wanita itu tersenyum menyuap dimsum ke mulut pria yang tersipu malu.
"Buka mulutmu,” pria itu menggeleng. "Aku bisa sendiri," wanita itu cemberut. "Ayolah kamu kan temanku bukan jadi pengawalku. Dan satu lagi jangan panggil aku Li Shuwang tapi Shuwang. Ayo buka mulutmu," pria itu membuka mulutnya.
Wanita itu tersenyum sumringah. Aku menghampiri nya tapi mereka hilang seperti bayangan.
"Tidak..tidak..tidak.. tunggu*.."
Aku terus berteriak hingga terbangun. Napasku tersengal jantungku berdetak lebih cepat. "Astaga aku mimpi apa tadi? Siapa pria itu? Dan kenapa aku bisa tewas disana?"
Aku menarik napas mengembuskannya pelan. Sinar mentari pagi yang menyilaukan menembus kamarku. “Ternyata hari sudah pagi,” gumamku meregangkan otot menghirup udara pagi yang menyegarkan.
"Li Shuwang, bangun sudah pagi. Nenek mau ke pasar,” seperti biasa nenek membangunkanku di pagi hari. Mengajakku ke pasar hanya untuk sekadar belanja atau menjual kayu bakar.
"Iya nek," sahutku. Aku beranjak bangkit melakukan aktivitas pagi seperti biasanya. "Nek,aku udah siap," nenek tersenyum mengusap pipiku lembut.
"Oh,cucuku yang cantik," aku tersenyum sumringah. "Ayo,nek kita segera pergi nanti dimsumku habis," nenek tertawa keras aku hanya tersenyum kecut.
"Li Shuwang, dipikiranmu hanya makanan saja," ejek nenek aku menjulurkan lidah. "Biarin," nenek menjewer telingaku. "Dasar cucu nakal," aku tertawa geli mendengarnya.
Kami melangkah pergi menuju pasar yang tak jauh dari rumah. Keadaan pasar yang ramai dan cuaca yang panas tak menyurutkan semangat kami.
Setelah,membeli berbagai macam barang kami memutuskan kembali. Tapi,ditengah jalan aku melihat seseorang yang memakai jubah.
Langkahku terhenti aku menoleh kebelakang. Aku terpaku melihat jubah itu. Air mataku tanpa sadar menetes.
"Dia.." bibirku bergetar menatap punggung nya yang hilang dibalik kerumunan orang. "Li Shuwang, ada apa?" tanya nenek khawatir.
"Tidak nek, bukan apa apa," sahutku mengusap air mata dan tersenyum. "Tapi,kenapa kamu menangis?" aku menggeleng pelan. Aku juga heran bagaimana bisa aku menangis hanya karena melihat orang asing.
"Nek,kita harus pergi aku lapar," ujarku nenek menghela napas. "Baiklah,jika kamu lapar kita juga harus segera pulang," ujar nenek melangkah lebih dulu aku menunduk.
"Kenapa aku menangis? Siapa dia?" gumamku mengikuti langkah nenek menuju rumah.
....
Ditengah malam yang gelap aku menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Aku bersedekap mengetuk jari yang lentik.
"Huft,sampai kapan aku akan menunggu disini?" gumamku kesal. "Haish,kalau begini aku akan meninggalkannya."
Baru saja aku beranjak pergi seorang pria memakai pakaian hitam dan cadar menghampiriku. Surai hitam dan iris kuning keemasan cengengesan melihat wajahku yang sebal.
"Kenapa lama?" tanyaku jutek. "Maaf Li Shuwang tadi ada urusan," sahutnya aku mengangguk. "Baiklah,kita harus segera pergi sebelum fajar muncul."
Kami melompat tinggi berlari diatas atap rumah. "Kamu yakin akan melakukan ini?" aku terkekeh. "Tentu saja. Jangan biarkan si Chang Wing menikmati uang rakyat sekenanya."
"Terus,yang kita lakukan ini apa?" aku menatap tajam Yong nama pria yang bersamaku. "Iya, aku tidak akan bertanya lagi."
Kami terus meniti atap melangkah lebih cepat. Langkah kami terhenti di depan sebuah rumah besar.
"Kita sudah sampai," aku mengangguk memperhatikan para penjaga yang berdiri tegak. "Kamu sudah membawanya?" dia mengangguk.
Kami pun turun mereka langsung mengacungkan senjata. Yong merogoh saku melemparkan sebuah bom asap.
BUM!
Asap langsung mengepul keluar begitu asap nya terhirup mereka pingsan. Yong melangkah terlebih dahulu.
Aku mengikutinya dari belakang. Kami tetap waspada memasuki ruang kerja yang terlihat sepi. Bisa saja ini jebakan. Baru saja kubuka laci suara seseorang mengagetkan kami. “Jadi,kalian yang sedang jadi buah bibir para pejabat,” kami serempak menoleh.
Dibalik kegelapan seorang pria muncul. Dibawah cahaya bulan yang meremang aku bisa melihat wajahnya. Wajah yang tersembunyi di balik topeng. Dia menatap kami dingin. Bulu kudukku meremang aku mengeluarkan pedang. Begitu juga Yong dia sudah berdiri didepanku.
"Yong, apa yang kamu lakukan?” Yong menoleh. “Tetap dibelakangku. Aku akan tetap melindungimu,” aku terkesima. “Tapi, Yong-,” Yong menggelengkan kepala. “Tidak ada kata tapi. Dengarkan perkataanku saja itu sudah cukup,” dia menatap intens pria didepannya.
Aku mengintip sedikit di balik tubuh Yong. Surai putih yang bersinar dan iris safir itu nampak tidak asing bagiku. Aku tercenung melihatnya perasaanku campur aduk.
Aku memegang dada menahan rasa sakit yang mendera. Aku meringkuk, napasku tersengal, jantung ini terasa berhenti berdetak dan keringat dingin mengucur. Yong terkejut dia menghampiriku. Alis mata pria itu bertaut. Tatapannya yang dingin berubah keheranan.
"Li Shuwang kamu tak apa?" Aku menggeleng menarik napas. Aku mendongak melihat sepasang iris safir itu. “Siapa kamu dan mengapa kamu disini?” dia tersentak helaan napas berat terdengar.
"Aku kesini karena gubernur Chang Wing mengatakan padaku bahwa di Min Li banyak tikus yang berkeliaran di rumah bangsawan,” ujarnya menyeringai dia mengeluarkan pedang yang berwarna putih mengkilat. “Dan mereka menyuruhku agar membasmi tikus itu,” ucapnya terkekeh geli aku berdecak.
“Asal kamu tau dialah tikus sebenarnya. Apa kamu buta? Lihatlah Min Li banyak rakyat yang kelaparan dan berjuang hidup hanya sekadar untuk sesuap nasi. Kami sekarang terancam paceklik dan vampir mengincar kami. Bahkan, raja kami sendiri tidak pernah peduli sekalipun pada kami,” ujarku panjang lebar.
Yong menunduk dalam aku meliriknya. Maaf Yong aku tidak bermaksud menyakitimu, batinku. “Itu sebabnya kamu mencuri?” aku mengangguk beranjak bangkit. “Iya semua uang yang dia ambil milik rakyat. Dan aku akan mengembalikan semuanya pada mereka.”
“Sangat disayangkan aku ingin membantu kalian. Tapi, tindakan kalian salah,” aku terkejut Yong mendongak dia berdiri disisiku. “Apa maksudmu?” dia menyeringai. “Disini aku hanya melakukan tugasku. Tidak ada sangkut pautnya dengan kalian,” ujarnya santai.
“Tapi, ini demi rakyat Min Li. Aku tidak mau mereka-“
“CUKUP! Li Shuwang jangan buang tenagamu. Biar kubereskan pria yang sudah menghalangi kita,” aku mengangguk pria didepanku menyunggingkan senyum. Bibirnya bergetar menyebut namaku.
“Li Shuwang,” ujarnya lirih. Yong menggeram marah giginya bergemulutuk. “Jangan panggil nama Li Shuwang dengan mulutmu yang kotor itu,” ujar Yong ketus.
PRANG!
Pedang yang ada di genggamannya terjatuh ke lantai. Air matanya mengalir dia tetap tersenyum padaku. “Shuwang, akhirnya aku menemukanmu,” ujarnya dengan sendu. Tanpa sadar air mataku ikut tumpah.
Aku mengusapnya. “Kenapa aku menangis? Apa yang kutangiskan?” gumamku. “Li Shuwang kenapa kamu menangis? Hei, apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa membuat Li Shuwang menangis?”
Yong mengacungkan pedangnya ke arah pria itu. “Shuwang, apa kamu mengingatku? Do Jian pengawal setiamu,” telingaku mendesing dan kepala yang mendenyut. “ARGH!” jeritku. Perlahan, pandanganku gelap tapi sebelum tubuh ini ambruk.
Suara teriakan mereka menggema di telingaku sebelum aku tenggelam di dalam kegelapan.
Aku memiringkan wajah melihat seorang wanita dengan tubuh berlumur darah dan seorang pria bersurai putih menangis. Sepertinya, aku kembali bermimpi di tempat yang sama.
"Putri,maafkan aku selama ini kasar padamu. Maaf,aku hiks..hiks seharusnya tidak seperti ini. Jika saja kamu memberitahu kebenarannya. Aku.. mencintaimu," aku terkesiap mendengarnya.
Kemudian, dia mengecup keningnya dengan air mata yang terus berlinang. Aku mengusap kening dan tersenyum. “Dikehidupan terdahulu aku mempunyai kekasih,” gumamku. Seseorang muncul dengan kuku yang teracung menyerang mereka dari belakang.
Aku yang melihat berusaha mencegahnya. Tapi, disaat bersamaan sesuatu terjadi. Suara ledakan disertai teriakan pria itu menghantam tubuhnya. Jerit kesakitan terdengar pilu.
Aku mengibaskan tangan menghalau debu yang beterbangan. Sesuatu yang mengejutkan muncul di hadapanku. Aku melongo melihatnya pria itu berubah drastis. “Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa berubah?”
Dia terkekeh dibelakangnya pria bersurai merah dengan iris kuning memasang mimik sendu.
Aku menghampiri mereka tapi menghilang. Sesuatu menarikku ke suatu tempat yang gelap. Napasku sesak tempat ini lembab, gelap dan dingin. Aku melihat sekitar tak ada cahaya yang terlihat. Yang ada hanya kegelapan di seluruh ruangan.
"Kamu sudah lihat semuanya?" suara seorang gadis terdengar bergema. Aku membalikkan badan dan terjungkal kaget. Gadis itu sangat mirip denganku. Dengan gemetar aku mengangkat jari telunjuk ke arahnya. “Si-siapa kamu?” tanyaku gugup dia menyeringai.
"Aku? Aku adalah dirimu Li Shuwang,” aku menggeleng kuat. “Tidak! Aku bukan makhluk sepertimu,” sergahku. Dia menyeringai sepasang taring itu kini mencuat keluar. Aku bergidik ngeri. “Aku sudah cukup memberimu waktu dan kesempatan. Dan sekarang kamu tidak mau mengakuinya.”
“Dasar manusia tidak tau terimakasih,” dia muncul didepanku sebelum aku berpikir apa yang akan diperbuatnya. Sebuah tamparan keras melayang di pipiku.
PLAK!
Aku meringis kesakitan. Tak sampai disitu dia mencengkram daguku erat. Mengangkat wajahku di hadapannya. Iris kami saling bertemu. Aku bisa lebih jelas melihatnya. Bagaimana mungkin dia sangat mirip denganku? Dan wujud ini … ini adalah wujudku saat itu.
Dia tersenyum seakan tau isi pikiranku. “Heh?! Ternyata kamu masih belum paham juga,” dia melepas cengkramannya. “Li Shuwang, apa kamu pernah bertanya mengapa memiliki kekuatan yang sempurna?” dia menghela napas panjang.
Aku menggeleng. "Kenapa? Apa kamu sungguh tidak penasaran? Bahkan, dengan mimpi yang terus berulang? Atau bagaimana bisa wujudmu berubah hanya karena saat bulan purnama?” aku menelan ludah terpaku. Alis matanya naik sebelah dia menyeringai. “Jangan terkejut begitu Li Shuwang. Karena aku bagian dirimu,” dia menunjuk tubuhku.
“Lalu, kenapa aku bisa tewas? Dan mengapa mimpi itu selalu datang?” dia mengembuskan napas kemudian mengempaskan tubuhnya ke kursi singasana yang entah kapan muncul.
Dia mendongak tersenyum. “Untuk saat ini aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Tapi, aku hanya minta kamu mencari pedang yong jian. Pergilah ke Wang Jian Li disana kamu akan menemukan semua jawabannya.”
Usai, mengatakan itu cahaya yang menyilaukan muncul. Aku memejamkan mata seperti ditarik aku terjaga dari tidurku.
Aku menarik napas panjang. Menarik surai frustasi mimpi tadi seakan nyata. Aku mengedarkan pandangan melihat sekeliling. “Ini dimana?” gumamku.
Sebuah ruangan yang luas dengan nuansa putih memanjakan mata. Aku berdecak kagum ruangan ini sangat bersih. Sepertinya, pemiliknya menyukai kebersihan. Tapi, disini tidak banyak peralatan yang ada. Hanya satu set meja yang diisi oleh buku, tinta dan kertas. Aku menoleh ke kanan dekat jendela.
Disana ada sebuah lemari dengan ukiran teratai. Lemari yang berukuran kecil namun imut. Aku terkikik geli. Lebihnya, tidak ada apapun disini selain ranjang.
Aku mencoba berjalan meski tubuh masih lemah. Aku menggeser pintu dan terkejut. “Ini dimana?” gumamku. “Kamu sudah bangun?” tatapanku beralih dan tersenyum kaku. “Apa kamu yang menolongku?” dia mengangguk.
“Lalu,ini dimana?” dia mengulurkan tangannya. Aku meneguk ludah. “Apa yang dia inginkan? Kenapa mengulurkan tangannya?” gumamku. Dengan ragu kusambut ulurannya dia tersenyum menarik tanganku.
Ternyata, dia mengajakku ke ruang makan. Kami menuruni tangga dan berbelok. Ruang makan yang berada dekat dengan dapur. Jendelanya menghadap ke kolam teratai. Aku tak berhenti kagum melihatnya. Senyumnya tersungging di bibir.
“Tuan, ini dimsum dan daging gulung tumis,” air liurku hampir menetes melihat makanan yang tersaji. “Li Shuwang, apa kamu tidak mandi dulu?” aku tersentak rasa malu menelusup ke hati. Aku menunduk dalam. “Ah,kalau begitu saya permisi dulu.”
Aku berlari ke kamar rasanya ingin menghilang saja. Aku lekas mandi dan berdandan. “Ayo makan nanti dingin,” ujarnya menyuap daging gulung tumis ke mulutnya. “I-iya,” ucapku kikuk duduk di dekatnya.
“Dimana kamu tinggal?” aku berhenti menyuap. “Mengapa kamu bertanya?” tanyaku balik. “Aku ingin mengantarmu pulang.”
“Tidak usah,” sahutku ketus. Dia mendongak sepasang iris kami bertemu. “Mengapa?” aku mengedikkan bahu. Suasana kembali lenggang kami kembali larut dengan rasa makanan yang terhidang.
“Jika kamu tidak mau bicara. Aku takkan memaksa,” aku tersentak dan menatapnya lamat. “Apa kamu marah?” entah kenapa ada rasa sakit saat dia mengacuhkanku.
TOK! TOK! TOK!
“Pelayan, buka pintunya,” titahnya pelayan itu mengangguk dan menggeser pintu. “Silakan masuk.”
“Li Shuwang,” aku menoleh dan terkejut. “Yong,kenapa kamu datang kemari?” Yong menghampiri meja makan dan duduk. “Aku merindukanmu,” ucapnya aku menggaruk pipi yang tak gatal. “Kalau kamu hanya datang menganggu. Sebaiknya, pulang saja. Shuwang masih butuh istirahat.”
Yong mendelik tajam. “Terus, apa saya harus angkat kaki begitu tuan?” cibirnya. “Kalau kamu tau diri dan mengerti silakan saja,” Yong berdecih menatapku. “Li Shuwang jaga kesehatanmu,” Yong menggebrak meja dan pergi. Aku mengusap dada.
“Selama aku tak ada kamu dikelilingi pria yang tidak berguna,” aku terperanjat. “Apa maksudmu?” dia menyesap teh melati dan tersenyum. Senyum yang membuat siapapun meleleh melihatnya. “Kamu sungguh melupakanku,” ucapnya sendu.
“Aku tidak bermaksud begitu,” ujarku gelagapan. “Lalu?” aku terdiam dia menghela napas berat. “Apa kamu ingat namaku?” ragu aku menggeleng.
“Sepertinya, kita akan mulai dari awal lagi,” dia berdiri dan menunduk. “Perkenalkan namaku Do Jian.”
“Li Shuwang,” dia mengangguk tiba tiba aku teringat nenek. “Ya ampun nenek. Maaf Do Jian aku harus segera pulang,” ujarku panik. Aku pun bergegas keluar sebelum Do Jian bicara atau menahanku lebih lama.
Hari sudah siang napasku sudah hampir habis. “Ah, ternyata rumahnya sangat jauh dari tempatku,” gumamku berjalan diantara keramain rakyat Min Li. “Butuh tumpangan?” aku mendongak ternyata Yong yang menaiki kereta kuda. “Tidak usah terimakasih,” ucapku dengan langkah cepat. “Li Shuwang, tunggu!” dibalik kereta kuda Yong dua orang pria berpakaian prajurit menghampiriku.
Aku menggigit bibir bawah. Sial! Ada prajurit istana. Aku masuk ke dalam pasar. Menyatu dengan kerumunan hingga tanpa sengaja aku menabrak seseorang. “Maaf,” mata membulat melihatnya. “Kamu,” tunjukku.
Dia mengulurkan tangan dengan ragu aku menerimanya. “Sebuah kebetulan kita bertemu di sini,” aku mengangguk menoleh ke belakang. Berharap jika mereka berhenti mengejarku. “Ada apa?” dia ikut melihat ke arah yang kutuju. “Tidak ada,” ucapku.
“Dan terimakasih,” aku melenggang pergi tapi dia menarik lenganku. Membuat aku terjatuh ke dalam pelukannya. “Jangan pergi,” bisiknya lirih tubuhku terpaku.
“A-apa yang kamu lakukan?” aku mendorongnya dengan sekuat tenaga. “Shuwang, mengapa kamu melupakanku begitu mudah? Padahal dulu kita … kita …” dia menelan ludah menunduk.
“Maaf tapi aku saat ini-,” aku terkejut melihat mereka disini. “Cepat cari dia! Jangan sampai tidak ketemu.”
Aku pikir mereka tidak akan mengejar sampai kesini. “Aku harus pergi,” kudorong tubuhnya menjauh. Dia mencekal lenganku. Aku terjatuh lagi dalam pelukannya. “Apa yang kamu-,”
Dia menempelkan jari telunjuk di bibirnya. “Diamlah,” aku terdiam meringkuk di pelukannya. Di tengah keramaian orang semua mata tertuju pada kami. Aku membenamkan wajah di dada bidangnya.
Wajahku memerah menahan malu. Kenapa aku menuruti perkataan pria ini? Umpatku. Suara derap kaki terdengar mendekat tubuhku gemetar. Dia mengelus punggungku lembut.
“Maaf pak. Apa anda melihat seorang gadis lewat sini?” mata mereka melirikku curiga. “Tidak,” sahutnya singkat. Mereka saling tatap kemudian pergi. “Percuma saja. Mereka tengah bercumbu di tengah keramaian. Sungguh tak tau malu.”
Begitu mereka menjauh. Aku menghela napas panjang. “Siapa mereka? Dan kenapa mengejarmu?”
“Mereka …” aku baru sadar jika kami sedang dipasar. Bisa bahaya jika mereka mendengar obrolan kami. “Ikut aku,” aku menarik lengannya. “Kemana?” aku memutar bola mata malas.
“Rumah,” sahutku singkat. Dia ber oh pelan mengikuti langkahku. Rumahku berada di pinggiran kota. Kota kecil yang kumuh dan dihuni oleh rakyat miskin.
Sangat menyedihkan. Setiap akhir bulan para prajurit datang dan memungut pajak. Tak ayal sebagian dari mereka membawa cambuk. Jika ada rakyat yang tidak membayar mereka takkan segan mencambuk mereka.
Keringat mengucur begitu aku tiba di rumah. Hari sudah beranjak sore. Tetangga yang melihat kami berbisik. Dia menyunggingkan senyum. Aku mendengus menyikut lengannya.
“Maaf,” ucapnya cengengesan. Aku mengetuk pintu terlebih dahulu. Tapi, pintu tak kunjung dibuka. Dahiku berkernyit melirik tetangga yang menjauh. Sesuatu mencurigakan disini, batinku.
Kubuka pintu pelan dan terkejut. Seisi rumah berantakan aku terkesiap. “Nenek! Nenek!” pekikku memanggil beliau. Tapi, tak ada jawaban. Aku berkeliling mencari di seluruh ruangan.
Dia juga ikut membantu. “Coba geledah semua tempat. Aku yakin nenekmu ada di suatu tempat,” air mata mengucur deras. Gelisah dan takut menyergap hati. Aku berusaha menenangkan pikiran. Tapi pikiranku semakin kacau.
Kulangkahkan kaki menuju dapur. “Nenek!” pekikku kencang sontak dia datang dan menghampiriku. Memelukku erat mengirim ketenangan dan kehangatan.
Tangisku semakin keras beberapa tetangga masuk. Mereka saling tatap dan diam. Aku mendekati nenek yang sudah terbujur kaku. Tubuhnya memucat dan di lehernya ada bekas gigitan.
“Itu ulah vampir Xiedee,” bisiknya lirih. “Tapi, mengapa mereka melakukannya?” tanyaku di sela isak tangis. “Kapan kejadian ini terjadi?”
“Semalam,” ucap mereka gugup. “Apa kalian melihat siapa pembunuhnya?” mereka menggeleng. “Kami hanya mendengar teriakan. Tapi, kami tak berani masuk. Kami takut mereka perampok.”
“Baiklah,kalau begitu aku akan membawa mayatnya pergi,” ucapnya. “Kamu mau membawanya kemana? Aku ingin nenekku disini,” dia tersenyum.
“Tidak, aku harus membawa nenekmu ke tempat yang layak. Tenang saja,” ucapnya berdiri. “Semuanya bubar. Biar aku yang mengurus masalah ini,” dalam sekejap mereka bubar.
Aku memeluk nenek erat. Air mataku tak berhenti mengalir. “Nenek, bangun. Jangan tinggalkan Li Shuwang sendirian,” aku mengguncang tubuh nenek berharap dia sadar. Tapi usahaku sia sia belaka. Dia menyentuh pundakku. “Shuwang, sudahlah jangan menangis lagi. Arwah nenekmu tidak akan tenang jika kamu menangis terus,” aku menoleh.
“Tidak! Aku tak percaya nenek pergi meninggalkanku. Nenek janji akan terus bersamaku. Aku tidak akan membiarkanmu membawa nenek,” dia menggelengkan kepala. “Shuwang kamu hanya membuat nenekmu tersiksa. Relakan saja biarkan dia tenang di sana,” ujarnya membujukku.
Dia mengusap air mataku dan tersenyum. “Jangan sedih Shuwang. Kamu takkan sendiri aku akan terus menemanimu,” aku menunduk dalam.
…
Di pemakaman kota Min Li tak ada keluarga dan tetangga yang datang. Hanya aku dan Do Jian yang disini. Pikiranku hampa menyaksikan semuanya.
Do Jian mengelap peluh yang menetes. Dia melaksanakan pemakaman sendirian. Dia menarik napas dan mengembuskannya pelan. “Berdoalah Shuwang,” aku mengangguk memanjatkan doa.
“Do Jian terima-,” pandanganku buram. Tubuhku terhuyung dan
BUK!
Semuanya gelap samar kudengar suaranya memanggil. “Shuwang, bangun! Bangun! Astaga, sadarlah!”
Aku membuka mata perlahan. Menghela napas panjang. “Sepertinya dia membawaku lagi,” gumamku beranjak bangkit. Ruangan ini sama seperti kemarin aku pingsan. Aku memegang kepala yang terasa sakit. “Ugh,” keluhku.
“Shuwang sudah sadar?” dia masuk dan duduk di dekatku. “Iya,” sahutku singkat. Tenggorokanku terasa kering dan leher ini di cekik sampai susah bernapas. Aku memegang leher Do Jian panik.
Deru napasku tidak beraturan. Tubuhku melemah. Apa yang terjadi? Apa ini sudah bulan purnama? Aku menatapnya khawatir. “Ting … galkan … aku … sen … diri,” ucapku terbata.
Rasa sakit itu kian mendera. Aku semakin menderita. “Sakit,” gumamku menahannya. “Tenang saja Shuwang. Aku ada disini. Jangan takut,” aku menggeleng.
Bodoh! Bukan aku takut seharusnya kamu yang takut. Apalagi sekarang aku mulai di kuasai oleh makhluk itu, batinku. Perlahan, wujudku berubah dan rasa sakit itu berubah menjadi haus. “ARGH!” erangku.
Dan seperti yang kutakutkan wujud itu mengendalikanku. Aku memiringkan wajahnya dan menyeringai. Taring yang mencuat dan kuku yang panjang.
“Shuwang,” ucap Do Jian bergetar. “Sudah kubilang pergi. Tapi kamu tidak mendengarkanku,” ucapku mengalungkan lenganku ke lehernya. Mengendus aroma madu dari tubuhnya.
“Aromamu sama seperti dulu, Do Jian,” ucapku tersenyum. Dia menarik pinggangku. Kedua iris kami bertemu. “Sepertinya, dia mengendalikanmu dengan sempurna seperti dulu,” bisiknya.
“Tentu saja. Aku tetaplah orang yang sama,” aku membuka hanfunya sedikit, menggigit tengkuknya. Tubuhnya menegang. “Rasa sakitnya akan sebentar sayang,” Do Jian terkekeh. “Kamu menggodaku,” sarkasnya aku berdecih.
Cairan kental merah itu membasahi kerongkonganku. Rasa haus itu hilang begitu saja. “Do Jian kamu tau?” alis mata Do Jian terangkat. Setelah menghisap darahnya aku merasa tenang. Kutatap lekat pemilik manik safir.
“Apa?” tanyanya penasaran. “Kamu itu mempunyai aroma darah yang memikat,” ujarku. “Jadi kamu hanya menginginkan darahku?” aku tertawa kecil dan mengusap bibirnya. Wajahnya memerah tapi seulas senyum tersungging di bibirnya. “Kamu menggodaku lagi.”
“Aku tidak menggodamu,” alis matanya terangkat. “Lalu?” aku menggeleng. Kurebahkan diriku di kasur yang empuk. Kutarik selimut menutup diri. Do Jian menatap bingung.
“Hari hampir pagi. Aku harus tidur dulu.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!