NovelToon NovelToon

Mr.Love Love

Aturan Setelah Pernikahan

Menikah!

Satu kata itu kini memenuhi rongga dadaku. Berulang kali aku mencoba meyakinkan diri kalau aku memang benar-benar sudah menikah.

Hhhmmm!

Menghela nafas kasar! Hanya itu yang bisa ku lakukan saat aku mulai menyadari kalau aku sedang duduk diam di kamar yang luasnya dua kali lipat di bandingkan dengan bekas kamar ku yang dulu. Dan anehnya rumah ini adalah rumahku sendiri, mahar yang di berikan oleh dia yang saat ini menjadi kekakasih halalku.

Haruskan aku bahagia? Mungkin saja aku memang harus bahagia. Tapi... Aku tidak suka kesunyian ini. Aku juga tidak suka termenung di kamar tanpa melakukan apa-apa. Sekarang aku baru menyadari ternyata aku tipe gadis yang menyukai tantangan. Lalu, bagaimana caraku melewati kehidupan baru ini? Akankah pria yang ku nikahi sejam yang lalu membebaskan ku untuk beraktivitas di luar rumah? Entahlah, aku sendiri tidak tahu itu.

"Aisttt! Perkakas ini terlalu berat." Celotehku sambil mencopot satu per satu hiasan yang ada di kepalaku. Aku sendiri tidak tahu namanya.

"Aku benar-benar bodoh. Seharusnya aku mengikuti keinginan wanita itu untuk melepaskan semua perhiasan yang menempel di tubuhku sebelum pulang kerumah.

Karena lelah aku bahkan tidak mengizinkannya menyentuh kepalaku. Ini benar-benar konyol." Celoteh ku lagi sambil meletakkan mahkota yang ku copot secara paksa dari kepalaku.

Entah berapa banyak peniti yang tertusuk di kain penutup kepala yang kugunakan. Aku sendiri sampai kewalahan membukanya satu per satu. Mungkin karena kelelahan sampai membuatku sedikit kesal.

Troeeettttt!

Suara pintu terbuka dari luar. Untuk sesaat nafasku terasa tak beraturan. Aku sangat takut sampai aku tidak berani menatap kearah pintu. Sudah di pastikan dia pasti akan meminta haknya di malam pertama kami, dan hal ini semakin membuatku merasakan ketakutan luar biasa. Rasanya aku ingin berteriak. Aku juga ingin berlari keluar kamar dengan sisa-sisa tenaga yang ku punya.

"Aku pikir kau sudah tidur!"

Glekkkkk!

Aku menelan saliva sambil menahan rasa takut. Mendengar teguran yang tidak ku duga-duga membuatku sedikit merasa lega. Aku lega karena aku yakin malam ini tidak akan terjadi apa-apa di antara kami berdua, aku tidak hanya menebak asal. Aku bisa mengetahui itu dari nada bicara pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu.

"Ahhh iya. Maksud ku, aku belum mengantuk."

"Apa kau punya waktu? Ada yang ingin ku katakan! Lima menit cukup."

"Iya, ayo kita bicara." Balas ku sambil bangun dari posisi duduk ku.

Lima menit kemudian aku sudah duduk manis di sofa lantai bawah. Wajahku merunduk sempurna, aku bahkan tidak bisa menatap pria rupawan yang sudah menjadi suamiku itu. Dia terlalu menggemaskan dan aku takut terperangkap dalam pesona indahnya.

"Jujur, aku tidak tahu akan mengatakan apa padamu. Di depan kehendak Mama aku kalah tanpa bisa membantah.

Ada banyak hal yang ingin ku bicarakan. Tapi, lihatlah diriku? Saat melihat wajahmu aku mulai meleleh seperti garam yang terkena air.

Aku tidak tahu dari mana aku harus memulai pembicaraan ini. Duduk di depanmu saat ini membuatku merasa bersalah. Aku juga merasa panas dingin."

"Mas Araf tidak perlu sungkan padaku. Katakan apa pun yang mas Araf inginkan. Satu pintaku, jangan melakukan hal yang akan membuat kedua keluarga kita bertikai. Karena jika mas Araf sampai berani melakukan itu, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi musuh pertama bagi Mas Araf.

Aku tahu mas Araf sangat dekat dengan kak Alan, sedekat apa pun kalian, mas Araf tidak akan bisa mencegahku untuk berbuat nekat." Ucapku menegaskan.

Sabina... Kau benar-benar konyol. Apa yang kau katakan. Jika Mas Araf marah padamu kemudian kau di ceraikan di malam pertama pertikahan kalian bagaimana? Aku bergumam di dalam hati sambil menoleh kearah kiri, aku menggigit bibir bawahku karena aku sangat menyesal telah mengatakan omong-kosong.

Sedetik kemudian aku menatap wajah mas Araf, aku bisa melihat dengan jelas, tidak ada kebahagian yang terpancar dari wajahnya. Haruskan aku menangis? Jawabannya tentu saja tidak karena aku bukan wanita cengeng yang mudah mengeluhkan segala hal. Mungkin hanya aku pengantin menyedihkan yang tidak bisa melihat kebahagiaan dari wajah suaminya. Tidak apa-apa, yang penting semua orang sudah bahagia.

Apakah ini bisa di sebut dengan pengorbanan? Untuk siapa aku berkorban? Hidupku terlalu berharga untuk dikorbankan, jika dia yang ku sebut sebagai suami tidak bisa menerimaku sebagai bagian dari kehidupannya maka itu bukan kesalahanku.

Aku masih terdiam, kepalaku yang tadinya tertunduk kini terangkat dengan sempurna.

Cessss!

Tatapan kami saling beradu, untuk sesaat aku merasakan dadaku berdebar sangat kencang, seolah jantungku akan loncat keluar. Debaran ini, gelora ini, semuanya masih serasa bagai mimpi.

Aku tidak salah-kan jika mempunyai perasaan aneh ini untuk mas Araf? Jika bukan padanya lalu pada siapa lagi aku akan melabuhkan perasaanku? Walau kami menikah karena perjodohan tetap saja ini karunia dari yang Kuasa, dan aku sangat mensyukurinya. Gumamku dalam hati sambil melipat kedua lengan di depan dada.

Entah apa yang di pikirkan mas Araf? Wajah tampannya pun berubah seketika. Dia terlihat khawatir, dari tingkahnya aku bisa melihat kalau dia merasa tidak nyaman membicarakan masalah yang mengganggunya. Aku berharap masalah ini tidak sampai mengganggu hubungan kami, hubungan lama yang telah berubah menjadi pasangan suami-istri.

Suami-istri?

Rasanya aku ingin tersenyum mendengar ucapan itu. Tapi sebisanya aku berusaha menahan diri agar tidak terlihat seperti wanita gampangan di depan mas Araf.

"Aku tahu ini akan sedikit sulit untuk mu jika kau sampai mendengar ucapan omong-kosong ku. Walau demikian aku akan tetap mengatakannya.

Setelah mendengar yang akan ku katakan, kau bisa menghinaku sesuka hatimu, atau jika kau mau kau juga bisa menyiram wajahku dengan air yang ada di depanmu." Celoteh mas Araf tanpa beban.

Aku masih menunggu ucapan apa yang akan keluar selanjutnya dari lisan mas Araf. Apa aku mengganggunya? Jika demikian, seharusnya dia tidak perlu menemuiku. Aku bisa hidup seperti bayangannya, tidak bisa tersentuh namun selalu ada untuknya, saat ini dan selamanya.

"Kau bisa membaca surat ini terlebih dahulu, setelah itu kau bisa mengatakan pendapatmu." Ucap mas Araf sambil melaetakkan sebuah amplop coklat di depanku.

Sungguh, aku merasakan khawatiran berlebihan setelah melihat Amplop coklat itu, bagaimana pula aku bisa memaksakan kehendak hatiku pada Mas Araf. Kehendak untuk tidak saling menyakiti dalam ucapan dan tindakan.

"Apa isi amplop ini, mas?"

"Sebuah surat!"

"Surat? Untuk apa? Bukankah aku ada disini? Jangan takut dan ungkapkan saja semua keluh kesah mas Araf."

"Pengacaraku membuat surat itu atas perintahku seminggu yang lalu. Di dalamnya di jelaskan aku akan memenuhi semua tanggung jawabku soal materi sebagai suamimu."

"Iyaa... itu memang tanggung jawab suami. Lalu, apa masalahnya sampai mas Araf menyodorkan amplop ini padaku?"

"Masalahnya adalah aku tidak bisa bersama mu jika hatiku belum bisa menerima kehadiranmu.

Aku bagai burung, aku yang awalnya selalu terbang bebas tiba-tiba sayapku seolah patah dan aku terjebak disini. Aku tidak ingin menghabiskan hidupku dengan melukai perasaanmu. Aku berharap kedua keluarga kita tidak akan mengetahui kalau aku mengatakan hal ini padamu, termasuk Alan."

Glekkkk!

Aku hanya bisa menelan saliva, mendengar ucapan mas Araf membuatku sedikit sedih. Apa menikahiku membuat hidupnya berada di dalam sangkar? Aku tidak ingin menjadi istri seperti itu.

"Jadi Amplop ini berisi tentang aturan setelah pernikahan yang sengaja Mas Araf susun agar kita tidak mengganggu privasi masing-masing? Aku menerima semua syaratnya, dan aku tidak akan mengatakan apa pun pada keluarga kita." Ucapku sambil berdiri.

"Apa mas Araf sudah selesai? Apa aku bisa pergi sekarang?" Aku bicara dengan nada lemah-lembut. Tidak ada balasan dari mas Araf selain anggukan kepala saja.

Sedetik kemudian aku mulai berjalan meninggalkan mas Araf, menaiki anak tangga satu demi satu. Entah kenapa ada setitik kesedihan yang singgah di hatiku. Aku merasa sedih karena aku tahu pernikahan ini terjadi hanya karena kedua keluarga menginginkan kami untuk bersama. Akan seperti apa akhir dari kisah ini aku sendiri tidak bisa menebak soal itu, yang jelas aku akan menyerahkan seluruh hidupku pada Tuhan yang menggenggam segala urusanku. Allah.

...***...

Suster Dadakan

"Apa yang sudah ku lakukan? Melihat wajah murung Sabina aku yakin dia sangat kesal padaku. Jika aku menegurnya sekarang, aku khawatir aku akan menjadi pelampiasan amarahnya." Celoteh ku sendiri sambil menuang air mineral kedalam gelas kaca yang ada di tangan ku.

Glek.Glek.Glek.

Aku meneguk air dingin yang ada di tanganku seperti orang yang tidak pernah minum selama berhari-hari. Sejujurnya dadaku terasa sesak, dan anehnya aku malah melampiaskan keluh kesahku dengan cara memaksakan diri melakukan hal konyol di depan Sabina, hal yang seharusnya tidak ku lakukan.

"Haruskah aku masuk kekamar? Bagaimana jika Sabina marah kemudian mengusirku? Apa sebaiknya aku tidur disini saja? Ahhhh.... Ini benar-benar membingungkan." Ucapku sambil menepuk-nepuk sofa yang ku duduki.

Uhuk.Uhuk.Uhuk

Tenggorokan ku terasa sedikit sakit, tanpa berpikir panjang aku langsung berlari kelantai atas. Di dalam tas medis ku ada obat yang biasa ku minum, sepertinya alergi ku kambuh lagi. Aku tidak ingin Sabina merawat ku setelah aku membuatnya kesal.

Bukankah ini aneh? Aku tidak ingin memperlihatkan kelemahan ku di depan Sabina. Entah sejak kapan aku berpikir sakit itu kelemahan? Dan bukannya masuk keruang kerja, aku malah mengetuk pintu yang di dalamnya ada wanita yang sudah sah menjadi istri ku itu. Malam ini aku menyadari ternyata aku pria yang sangat konyol.

Tok.Tok.Tok.

"Boleh aku masuk?"

Aku bertanya sambil memegang tenggorokan ku yang masih terasa sakit. Tubuhku rasanya seperti di tinju oleh belasan pria, ini sangat sakit sampai aku merasakan nyeri di setiap inchi tubuh jangkungku.

Troetttt.

Pintu terbuka sempurna dan wajah cantik Sabina menampakkan kemilau indahnya. Rambut panjangnya ia biarkan terurai dan menutupi mata kanannya. Aku terpesona oleh keelokan parasnya, bukannya mengucapkan kata-kata sanjungan, sakit di kepalaku malah semakin menjadi-jadi.

Gdebukkkk!

Aku jatuh di atas tubuh ramping Sabina. Tubuh mungil itu tidak bisa menahan berat badanku, kami berdua tersungkur dan terbaring di lantai dengan tubuh Sabina sebagai landasannya

"Aauuuu pinggangku." Ucap Sabina lirih sebelum aku kehilangan kesadaran. Sedetik kemudian aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena aku benar-benar hilang kesadaran. Mungkin hanya aku pengantin yang pingsan di malam pertamanya, dan mungkin saja aku tidak akan bisa menatap wajah Sabina saat aku terbangun nanti di pagi hari.

...***...

Aahhhhh!

Aku meringis menahan sakit, bagaimana aku tidak akan merasakan sakit saat tubuh rampingku membentur lantai. Dan anehnya tubuh kekar Mas Araf malah menindih tubuhku. Aku tidak bisa bergerak, aku tidak bisa bernafas, aku juga tidak bisa mengendalikan gejolak di hatiku. Berada di dekat mas Araf terlalu berbahaya, aku tidak tahu kapan cinta ini akan semakin tumbuh dan semakin menggebu, sebelum terlambat aku harus menekan diriku. Aku tidak ingin terjebak dalam perasaan cinta sendirian.

"Mas Araf, bangun. Apa kau bisa mendengarku? Kau sangat berat." Celotehku sambil menepuk punggung Mas Araf. Yang ku ajak bicara bahkan tidak bisa merespon apa pun. Ku tebak dia benar-benar tak sadarkan diri.

Dia kenapa? Apa dia tersinggung karena tingkah lakuku saat kami berada di bawah? Tidak mungkin. Aku bahkan tidak mengatakan apa pun padanya. Jika ada yang harus pingsan karena terkejut seharusnya aku bukan dirinya. Ini benar-benar membingungkan.

Gdebukkkk!

Dengan sekuat tenaga aku mendorong tubuh mas Araf, sekarang tubuh kekarnya terbaring di lantai, sama sepertiku. Aku merasa bersalah, karena terlalu keras mendorong tubuh mas Araf, pundak kirinya membentur daun pintu, aku bisa merasakan itu pasti sangat sakit. Seandainya ia tersadar, aku yakin aku pasti dalam masalah besar.

"Apa yang harus ku lakukan? Sudah di pastikan aku tidak akan bisa mengangkat tubuh jangkungnya menuju tempat tidur." Celotehku sambil berdiri.

Dengan mengucap Bismillah aku mulai menyeret tubuh jangkung mas Araf. Sekali pun Aku tidak pernah membayangkan peristiwa ini akan terjadi secepat ini.

"Sedikit la-gi." Ucapku begitu tempat tidurnya tinggal selangkah lagi. Aku tidak pernah menyangka pernikahan akan semelelahkan ini di hari pertama.

"Assalamu'alaikum, dokter Alam. Ini Sabina, tolong datang kerumah sekarang. Mas Araf pingsan, gejalanya terlihat seperti orang yang keracunan makanan, atau bisa saja dia alergi terhadap sesuatu, di wajahnya terlihat bintik-bintik merah seperti jerawat yang baru saja tumbuh." Ucapku dengan nada khawatir begitu ponsel yang ku letakkan di atas nakas berada di tangan ku dan tersambung dengan dokter keluarga Wijaya.

"Iya... Baiklah. Akan butuh satu setengah jam untuk sampai disana, jika memungkinkan tolong berikan dokter Araf obat.

Jika itu benar-benar alergi, tolong cari obat di dalam tas medisnya. Beliau selalu membawa obat itu kerumah sakit." Ucap dokter Alam di sebrang sana. Dari nada suaranya sepertinya ia sedang berjalan.

"Baiklah. Terima kasih." Balasku kemudian mematikan ponsel. Aku berjalan menuju kamar sebelah, kamar yang ku ketahui sebagai ruang kerja mas Araf.

Aku tahu rumah ini rumah yang mas Araf beli setahun yang lalu, rumah yang ia beli dengan hasil menabung selama dua tahun lamanya. Yang membuatku sangat menghormati mas Araf, dia pria yang mandiri dan berbudi luhur. Aku sendiri tidak tahu kenapa dia bisa bicara ketus padaku di lantai bawah tadi padahal sebelumnya dia tidak pernah melakukan itu.

"Ini dia." Ujar ku begitu obat alergi yang dokter Alam maksud ada di tanganku, obat yang selalu mas Araf bawa kemana pun dia pergi. Aku tidak pernah menyangka pria setangguh dirinya bisa kalah di hadapan Alergi yang biasanya diremehkan oleh sebagian orang.

Aku berlari menuju kamar tempat mas Araf terbaring tak sadarkan diri, netraku membulat sempurna dan aku mulai menghela nafas kasar. Tak ada pergerakan dari sosok rupawan itu. Dia seorang dokter dan lihatlah dirinya? Dia bahkan tidak bisa berkutik.

"Sebenarnya kau ini dokter atau kuli bangunan? Kau bahkan tidak bisa merawat dirimu dan kau anggap dirimu dokter hebat.

Malam ini aku memakluminya, jika hal seperti ini terjadi lagi aku tidak akan merawatmu. Kau terlalu berat untuk wanita sekecil diriku. Aku tidak bisa mengangkatmu." Celotehku sambil mengangkat kepala mas Araf dan memasukkan obat kedalam mulutnya.

Dia mulai bergerak, dia membenamkan kepalanya di dadaku, dia merangkul tubuhku, menarikku kedalam dada bidangnya. Matanya masih tertutup, apa mas Araf sedang berpura-lura pingsan kemudian mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti yang sering terjadi dalam drama romantis yang sering ku tonton? Hampir saja aku meninju perut berototnya, namun gerakan tangan ku terhenti saat mendengar mas Araf bergumam.

"Mam... Araf kedinginan! Tolong berikan selimut itu. Araf janji Araf akan jadi anak yang penurut. Araf juga janji Araf akan mengikuti keinginan Mama untuk menikahi Sabina."

Tanpa terasa air mataku menetes dan mendarat tepat di pipi kiri mas Araf, aku mulai menatap wajah tampannya. Mas Araf memiliki alis yang tebal, tatapan matanya sangat tajam, hidungnya mancung laksana gunung pembatas, bibirnya tipis, dia juga memiliki bulu-bulu halus di wajahnya, bulu-bulu halus yang sengaja ia biarkan tumbuh sebagai pemanis di wajah tampannya.

Terkadang aku tidak memiliki keberanian untuk menatap mas Araf, aku takut terperangkap di netra coklat miliknya, terperangkap pada pesona indahnya.

Sabina... Sadarlah! Apa yang akan terjadi padamu jika mas Araf tahu kau menatapnya dengan tatapan cinta. Kau akan malu, sangat malu sampai kau tidak akan berani menatap wajahmu di cermin. Aku bergumam di dalam hati sambil perlahan melepaskan tangan Mas Araf yang masih melingkar di pinggangku.

Untuk apa aku malu? Dia suami ku bukannya selingkuhanku. Siapa yang akan berani memakiku hanya karena aku mencintai suamiku sendiri? Aku kembali bergumam, kali ini aku mengusap wajah tampan mas Araf dengan jemari lentik ku. Bibir tipisku mengukir senyuman. Sepertinya malam ini aku harus merawat mas araf, dan ini untuk pertama kalinya aku akan bertindak sebagai seorang suster, suster dadakan.

...***...

Persahabatan

Ada semacam ketertarikan satu sama lain di setiap persahabatan, tidak ada persahabatan tanpa ketertarikan. Itu adalah kebenaran yang pahit. Bahasa persahabatan bukanlah kata-kata semata, tapi bahasa persahabatan adalah penuh makna. Dan banyak orang yang akan keluar masuk di dalam hidup kita, tapi hanya sahabat sejatilah yang akan meninggalkan jejak di dalam hati kita.

Seperti malam ini aku merasa sedih melihat sosok ceria mas Araf terbaring lemah di atas tempat tidur, aku merasa terikat dengannya dan aku merasa sedih atas ketidak berdayaannya.

"Sabina, dugaanku benar! Araf memang mengalami alergi parah. Entah makanan apa yang tidak bisa ia makan sampai wajahnya di penuhi bintik merah. Demam memperburuk kondisinya. Aku berharap kau bisa merawatnya dengan baik. Aku sudah memberinya obat, Insya Allah bintik-bintik merahnya akan segera menghilang.

Jangan biarkan dia memakan makanan berat, untuk sarapan besok pagi kau harus memberinya bubur hangat. Mungkin dengan mendapat perlakuan manis dari istrinya dokter Araf akan lekas sembuh." Ucap dokter Alam panjang kali lebar, bukannya memberi semangat padaku dia malah terkekeh sambil menepuk pundakku.

Perlakuan manis!

Setelah dokter Alam pergi, dua kata itu terus saja menari di memori otakku. Bagaimana aku bisa memberi perlakuan manis pada mas Araf saat jiwanya belum menerima kehadiranku. Entah apa isi amplop yang ia berikan sampai-sampai aku merasa bergetar saat memegangnya.

"Hmmm... Aku harus apa jika kau seperti ini? Kau tidak menolakku, kau juga belum menerima kehadiranku. Aku marah padamu. Tapi, saat melihatmu tertidur, kau terlihat seperti kucing menggemaskan, seketika amarahku langsung menguap keangkasa. Dan aku tidak akan pernah menghina mu di belakang pungggungmu.

Aku juga bukan wanita yang akan menyembunyikan perasaanku. Kau bisa menolakku sekuat yang kau bisa, tapi kau harus ingat jangan pernah menjalin hubungan dengan wanita lain selama kau masih terikat dengan ku. Jika kau berani melakukan itu, aku tidak tahu seburuk apa tingkah yang akan ku tunjukan di depanmu." Celotehku sambil menatap jemariku yang masih di genggam erat oleh mas Araf.

Sementara itu tangan ku yang satunya lagi mengusap puncak kepala mas Araf. Mama biasanya melakukan hal yang sama saat beliau ingin menenangkan ku. Dan anehnya aku malah melakukan hal yang sama pada dia sosok rupawan yang saat ini telah resmi menjadi pendamping hidupku.

Sungguh, moment ini terasa sangat manis. Lebih manis dari madu. Apa lagi yang lebih baik dari ini? Saling menggenggam jemari dan terlelap di atas tempat tidur yang sama.

Entah dari mana datangnya keberanianku, aku menatap wajah rupawan mas Araf yang masih terlelap dengan tatapan penuh kasih sayang dan Cinta, tanpa berpikir panjang aku malah mendaratkan ciuman di puncak kepalanya.

Sabina... Kau benar-benar nakal. Berani sekali kau mencuri ciuman. Aku tidak pernah tahu ternyata kau pencuri ulung. Bagaimana jika mas Araf tahu kalau kau menciumnya saat dia sedang tidak sadar? Jika itu sampai terjadi kau tidak akan sanggup menatap wajahnya. Aku bergumam di dalam hati sambil mengangkat kepalaku dan menghentikan ciumanku di puncak kepala mas Araf.

...***...

Allah akbar... Allah akbar...

Allah akbar... Allah akbar...

Aku terbangun tepat saat Azan subuh mulai bekumandang di seantaro kota, sekujur tubuhku terasa mati rasa namun sekuat tenaga aku berusaha untuk bangkit dari ranjang tempatku tidur semalaman.

Aku tidak sadar kalau aku tertidur sambil menggenggam jemari lentik Sabina. Aku harus kekamar mandi, membersihkan diri kemudian menghadapkan wajahku pada dia yang maha pemberi kehidupan, Allah.

Baru saja aku akan bangkit dari tempat tidur, aku menyadari Sabina mulai terbangun, perlahan ia melepaskan jemari lentiknya dari genggaman tanganku, entah kenapa aku memilih berpura-pura tidur disaat Sabina menyentuh keningku dengan tangannya.

"Kau tidak demam lagi, syukur lah." Ucap Sabina dengan nada suara pelan.

Huammmm!

Sabina menguap sambil menutup bibir dengan tangan kanannya. Berjalan perlahan menuju kamar mandi sambil menggerakkan tubuhnya yang mungkin saja terasa ngilu karena ia tidur sambil duduk. Aku tidak pernah membayangkan akan menjadi gangguan untuk Sabina di malam pertamanya tinggal di rumahku.

Tak butuh waktu lama untuk sabina berada di kamar mandi, ia keluar hanya dengan handuk yang melilit setengah tubuhnya. Wajahnya terlihat berseri-seri, aku yakin dia pasti berpikir kalau aku masih tidur, nyatanya aku sedang berpura-pura tidur.

Araf... Ada apa dengan mu? Apa kau pria sejati? Kenapa kau berpura-pura tidur sementara kau tahu kau tidak tidur? Apa kau ingin mencuri kesempatan dalam kesempitan? Dasar payah! Aku bergumam di dalam hati sambil menatap tubuh Sabina yang berdiri di depan lemari.

"Mas araf masih tidur, apa sebaiknya aku mengganti baju disini saja? Tidak. Tidak. Bagaimana jika mas Araf pura-pura tidur seperti yang ada dalam drama?" Celoteh Sabina sambil menenteng pakaian di tangannya.

Jujur, mendengar ucapan Sabina rasanya aku ingin tertawa lepas. Ini lah efek buruk terlalu sering menonton drama, seorang istri selalu saja curiga pada suaminya. Perlahan Sabina berjalan kearah ranjang tempat tidur, ia menatapku dengan tatapan penuh curiga. Sedetik kemudian ia melambaikan tangannya di depan wajahku.

Tuhan... Ini benar-benar tantangan besar, berikan aku kekuatan agar aku tidak tertawa. Jika tidak, Sabina akan tahu kalau aku sedang berpura-pura. Ucapku lirih dalam hati sambil menggigit bibir bawahku agar tawaku tidak keluar.

"Syukurlah mas Araf masih tidur. Kekhawatiran ku benar-benar tidak berguna." Gerutu Sabina sambil berjalan mundur. Sabina mulai melepaskan handuk di kepalanya kemudian perlahan menyingkap handuk yang ada di tubuhnya.

Sebelum bertindak terlalu jauh aku segera memperbaiki posisi tidurku, berusaha menahan gejolak di hatiku kemudian membelakangi Sabina yang saat ini sedang sibuk dengan aktivitas berganti pakaian.

...***...

Aku berjalan pelan sambil menuruni anak tangga, dadaku masih terasa sesak namun aku berusaha memaksakan diri untuk bersiap dan berangkat kerumah Mama.

"Mas Araf ada disini? Maafkan aku, seharusnya aku lebih cepat membawakan sarapan untukmu. Lihatlah diriku, aku bahkan terlihat seperti ibu rumah tangga yang kurang cekatan. Ternyata aku gagal di hari pertamaku." Ujar Sabina sambil melipat kedua lengannya di depan dada.

"Gagal? Siapa bilang kau gagal? Justru aku sangat salut padamu, aku salut karena kau berperan sangat baik, merawatku dan menyiapkan sarapan untukku." Ucapku sambil duduk di meja makan.

"Apa kau yakin akan menggunakan itu?" Aku menunjuk kepala Sabina.

"Aahhh... Ini?" Balasnya singkat sambil memegang kain penutup kepalanya.

Untuk kedua kalinya aku melihat Sabina menutupi kepalanya dengan kain penutup, dia terlihat anggun mengenakannya. Hanya saja aku tidak ingin dia memaksakan diri untuk menggunakannya karena berada disisiku, aku tidak ingin melihatnya menggunakan kain penutup kepala jika dia berniat membukanya lagi. Bagiku, setiap wanita itu terlihat anggun saat dia menutupi bagian tubuh yang seharusnya tidak mereka tampakkan di depan pria lain. Jika Sabina telah memutuskan menggunakan jilbab maka aku tidak akan membiarkannya melepasnya lagi.

Aku memang playboy, tapi aku tidak pernah berpikiran sempit, apa lagi sampai berpikiran buruk pada wanita manapun.

"Iya... Aku memutuskan untuk memakainya. Aku tidak akan pernah melepasnya. Jika mas Araf marah karena aku memakai jilbab, maka jawabannya bukan aku yang salah melainkan ada yang salah dengan hatimu." Ucap Sabina menegaskan. Tatapan matanya tajam.

Entah kenapa aku membayangkan sedang berdebat dengan Sabina, aku yakin jika itu benar-benar terjadi aku pasti akan kalah. Menatap mata indahnya saja aku mulai menciut.

"Tidak. Aku tidak akan melarang mu. Kau bisa memakainya." Ucapku singkat, bibirku memamerkan senyuman.

"O iya, Mama telpon. Beliau meminta kita berkunjung kerumahnya. Ada tradisi penyambutan menantu. Aku sendiri tidak tahu kalau ada tradisi seperti itu dalam keluargaku." Sambungku lagi. Sabina yang mendengar ocehanku hanya bisa menganggukkan kepala pasrah.

"Habiskan sarapanmu, setelah itu kita akan berangkat."

Sekarang giliranku yang mengangguk mendengar ucapan Sabina, apa pernikahan itu sungguh sesimpel ini? Bicara di meja makan, tersenyum bersama, dan saling menatap dalam diam? Entahlah aku sendiri tidak tahu itu. Saat ini aku memikirkan Alan, aku berharap dia menjadi penasihatku dalam urusan cinta dan rumah tangga, karena tidak ada pria yang lebih mencintai istrinya melebihi dirinya.

Untuk sesaat aku kembali fokus. Aku yakin Sabina belum membaca amplop itu, jika dia sudah membacanya dia pasti akan mengabaikanku.

Ooohhhh tidak, bagaimanapun caranya aku harus mengambil amplop itu. Hal pertama yang harus ku lakukan adalah mengenalnya, memulai persahabatan dan berbagi suka dan duka. Aku yakin rasa cinta akan tumbuh laksana mawar di taman bunga, merekah indah dan subur untuk selama-lamanya. Aku bergumam di dalam hati sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ku tatap wajah Sabina, ia terlihat biasa-biasa saja. Sementara diriku? Aku seperti cacing kepanasan, aku bahkan tidak bisa mengontrol hati ku agar tidak berdegup kencang.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!