“Nah, kak Serena. Aku mau ngasih tau, kalau mulai sekarang aku sama Jevan udah resmi pacaran. Kakak merestui hubungan kami kan?”
Bagai tersambar petir di siang bolong, Serena nyaris menyemburkan jus apel yang baru diminumnya setelah mendengar berita yang baru disampaikan oleh adik kembarnya.
Kedua mata Serena membulat lebar, kaget bukan main mengetahui hal ini. Iris kecoklatannya menatap nanar sepasang kekasih baru yang duduk di depannya itu.
“Se-sejak kapan?” Mendadak lidah Serena terasa keluh untuk sekedar bertanya. Ah, tidak. Sebenarnya kalau boleh memilih, Serena enggan untuk bertanya lebih detail soal asmara kedua orang itu.
Bukan tanpa alasan mengapa Serena enggan, hanya mengetahui soal hubungan mereka berdua saja sudah membuat hatinya terasa sesak dan nyeri. Seperti baru diremas kuat oleh tangan tak kasat mata. Ini rasanya jauh lebih menyakitkan ketimbang awal dirinya mulai mengendus kedekatan Jasmine; adiknya kembarnya, dengan laki-laki yang disukainya secara diam-diam itu.
Jevano Alexander, sosok lelaki tampan dengan hidung mancung yang diam-diam menjadi crush abadi Serena selama empat tahun lamanya. Tepatnya sejak keduanya duduk di bangku kelas 2 menengah atas silam.
Dengan tanpa malu Jasmine mulai menceritakan bagaimana Jevano menyatakan cinta padanya dengan romantis di sebuah restoran bintang lima yang menyuguhkan pemandangan kota pada malam hari yang sangat cantik.
Sayangnya, Serena tidak ingin mendengar kelanjutan cerita romantis tentang kedua orang itu. Tidak di saat hatinya baru saja di landa remuk redam oleh karena patah hati untuk yang ke sekian kalinya. Ini bukan kali pertama Serena di buat patah hati oleh adik kembarnya sendiri, yang telah mencuri semua perhatian Jevano semenjak Serena memperkenalkan kedua orang itu.
Serena tahu, jauh dalam lubuk hatinya, dia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Mengingat bagaimana dekatnya Jevano dengan Jasmine dalam waktu yang sangat singkat, tatapan penuh damba yang tanpa sadar dilayangkan oleh Jevano pada adiknya, Serena sudah menduga jika mereka akan berakhir bersama bahkan meskipun dia berusaha menjadi penengah di antara kedua orang itu.
Atau mungkin memang sedari awal Serena tak pernah mempunyai kesempatan untuk menjadi yang paling spesial di mata Jevano.
Ya, Serena mestinya menyadari hal itu. Jasmine memang lebih cantik dan menarik ketimbang dirinya, tak heran mengapa Jevano lebih tertarik pada sosok Jasmine yang ceria dan cantik bagaikan Dewi.
Namun tetap saja, kenyataan ini begitu menusuk hati Serena yang selalu mengharapkan adanya kesempatan untuk dirinya dan Jevano bersatu dalam sebuah hubungan spesial. Mereka bahkan saling mengenal dan dekat lebih dulu sebelum Jasmine.
“Kak Serena?”
Panggilan Jasmine sontak membuyarkan lamunan Serena. “O-oh, jadi gitu ya...a-aku nggak percaya aja kalian bisa berakhir bersama. Baguslah kalau gitu, kalau itu Jevano orangnya, aku yakin dia nggak bakal ngecewain kamu.”
Serena ingin sekali merutuki mulutnya yang justru melontarkan kalimat bualan sekedar untuk menghibur hati Jasmine. Serena tahu, Jasmine sangat menantikan kalimat pujian terucap dari mulutnya. Gadis itu tak ubahnya seperti seseorang yang haus akan pujian dan perhatian. Dan bodohnya, Serena justru mengatakan kalimat yang semakin membuat hatinya sesak sendiri.
Jevano memang laki-laki paling baik dan pengertian yang Serena kenal. Itu sudah tak perlu diragukan lagi, Jasmine tidak akan kecewa bila bersama dengan Jevano. Tetapi sayangnya, Serena berharap orang yang berhasil memikat hati Jevano adalah dirinya, bukan Jasmine atau siapapun.
Semua ini benar-benar menyakitkan bagi Serena.
“Mukamu dari tadi kelihatan pucat. Kamu gapapa?” Suara husky yang menjadi favorite Serena terdengar. Jevano bertanya dengan raut muka kelihatan khawatir.
Melihat itu, Serena ingin tertawa sambil menangis. Jevano hanya baik kepada dirinya sebatas teman semata, tidak lebih dan tidak kurang. Bodohnya Serena selalu mengharapkan akan timbulnya perasaan cinta dalam hati Jevano mesti peluangnya amatlah tipis.
Serena menipiskan bibir, membasahinya sedikit agar tidak kelihatan kaku-kaku amat. Dia harus segera pulang sebelum air mata tumpah ruah di sana, di depan pasangan yang baru meresmikan hubungan mereka.
“A-aku sedikit kurang enak badan. Gapapa nih, pamit duluan?” Senyum tipis coba Serena ukir agar kedua orang di depannya percaya.
“Kak Serena sakit?? Kok nggak kasih tau sih kalau kak Serena lagi sakit? Tau gitu aku nggak ngajakin kakak ke sini!” Jasmine hendak bangkit dari duduknya, niat hati menghampiri Serena yang benar-benar kehilangan warna di wajah alias pucat.
Namun sebelum Jasmine berdiri, Jevano menahan lengan Jasmine dan mencegah gadis itu menghampiri Serena. “Biar aku aja yang bantu. Kamu pesenin taksi ya buat Serena?” pinta Jevano pada sang kekasih.
Mereka pergi ke kafe tempat mereka berkumpul ini memang tidak bersama-sama. Serena berangkat dari kampus jadi arahnya tidak sejalan dengan Jevano dan Jasmine.
Jasmine mengangguk mengiyakan, tangannya dengan cepat meraih ponsel yang tergeletak di samping piring yang masih bersih, lalu menghubungi pihak armada taksi untuk mengirimkan satu unit ke lokasi yang dia sebutkan.
Di sisi lain, Serena terpaksa berakting layaknya orang sakit demi mengelabuhi Jevano dan Jasmine. Ini memang cara yang salah dan sedikit jahat, di hari bahagia adiknya, dia malah berakting sakit begini. Tapi Serena tidak sepenuhnya berbohong sih, yang sakit bukan fisiknya melainkan hatinya.
Daripada Serena menangis hebat di sana, justru akan membuat Jevano dan Jasmine curiga, lebih baik Serena memilih pulang dan mengunci dirinya di kamar sampai dia puas melampiaskan kekecewaannya.
Tak berselang lama, taksi akhirnya tiba di depan kafe. Serena menolak tawaran Jevano yang memaksa ingin menuntunnya jalan sampai ke depan kafe. Itu agak berlebihan, lagipula Serena tidak mau merusak suasana romantis antara sang adik dengan Jevano lebih banyak lagi.
“Udah, aku gapapa. Kamu temenin Jasmine aja. Lagian taksinya udah sampai. Kalau gitu aku tinggal dulu ya?” pamit Serena pada Jevano dan Jasmine.
Sebenarnya Jevano tidak tenang membiarkan Serena pulang seorang diri dalam kondisi yang kurang sehat. Jevano tahu betul bagaimana Serena saat gadis itu sakit. Hal ini jelas membuatnya khawatir.
“Kalau udah sampai rumah, segera kasih kabar ya?” pesan Jevano sebelum Serena benar-benar angkat kaki dari kafe itu.
Jasmine memilih diam memperhatikan bagaimana kekasihnya begitu mencemaskan Serena.
Dengan agak kikuk Serena mengangguk kecil. Tak lupa dia berpamitan pada Jasmine dan mengucapkan selamat sebelum dia pergi.
Mau sesakit apa perasaannya, Serena tidak ingin membuat Jasmine kecewa atas sikapnya yang mungkin terkesan janggal di mata Jasmine. Adik kembarnya itu memiliki fisik yang lemah, jadi sebisa mungkin Serena harus menjaga agar perasaan Jasmine selalu dalam keadaan baik dan tidak membuat adiknya berpikir terlalu banyak.
.
.
Serena melangkahkan kaki jenjangnya dengan perasaan hampa dan sesak. Mulutnya tidak bisa menyunggingkan senyum barang sedikit pun. Mau menangis juga harus dia tahan terlebih dahulu supaya tidak ketahuan Jevano yang kemungkinan besar masih memperhatikan dirinya dari tempat lelaki itu berada.
Begitu masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu di depan kafe, Serena segera menyebutkan sebaris alamat rumah yang dia hafal di luar kepala. Pulang ke rumahnya sendiri bukan opsi terbaik yang Serena miliki, yang ada ibunya justru mengomeli dirinya karena tega meninggalkan Jasmine hanya berduaan dengan Jevano.
Jadi satu-satunya tempat yang dapat Serena tuju di saat genting seperti ini hanya satu; rumah sahabat baiknya, Helena.
“Udah lah, Ren. Aku bilang juga apa. Nggak bakal aman kalau kau bawa si Jevano berkenalan sama adikmu itu. Lihat kan akhirnya gimana? Direbut juga sama tuh cewe kecentilan. Cih.”
Serena sama sekali tidak merasa marah atas perkataan pedas yang dilontarkan oleh sahabat baiknya yang bernama Helena, atau yang akrab dia panggil dengan sebutan Helen.
Serena benar-benar pergi ke kediaman Helen ketimbang pulang ke rumahnya sendiri. Masa bodoh nanti Jasmine akan mencari keberadaannya atau tidak. Serena masih ingin menumpahkan semua kekecewaannya kedalam tangisan yang sudah dia tahan disepanjang perjalanan.
Helena mendengus panjang. Kasihan juga melihat sahabatnya yang selalu terlihat tegar dan kuat sekarang jadi lemah tak berdaya hanya karena patah hati yang disebabkan oleh adik dan orang yang empat tahun ini disukai oleh gadis itu.
Entah sudah berapa banyak tisu yang terbuang untuk mengusap airmata Serena yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Untung sahabat, untung sayang. Jadi Helena merelakan tisu rumahnya habis untuk menyeka airmata Serena saja.
“Hiks―rasanya sakit banget...nggak nyangka Jasmine bener-bener tega ngerebut Jevano seutuhnya..” racau Serena untuk kesekian kalinya.
Kuping Helena sampai gerah mendengar hal yang sama berulangkali. Kalau tidak nama Jevano ya Jasmine yang terus Serena sebutkan.
“Ya kamu sih. Nggak cepet-cepet tembak Jevanonya. Sekarang nyesel kan udah diambil duluan sama adikmu.”
Ini kalau posisi Serena sedang tidak bersedih, bakal dia tampol itu mulutnya si Helen yang pedas. Hobinya menyindir terus bukannya membantu atau menghibur hatinya yang lagi sedih begini.
“Kalau segampang itu, udah dari dulu aku lakuin. Kamu tau jelas apa sebabnya aku selalu urung mau ngungkapin perasaanku ke Jevano..” Suara Serena terdengar bergetar. Menunjukkan seberapa sedihnya gadis itu pada kenyataan yang terjadi.
Semua mungkin akan berjalan baik dan lancar-lancar saja jika bukan karena Jasmine. Serena sudah memiliki tekad hendak menembak Jevano sedari awal mereka dekat, sayangnya pertemuan tidak disengaja Jevano dengan Jasmine lah yang membuat semua rencana Serena kacau balau dan selalu gagal.
“Ya sih. Andai dulu mereka nggak pernah berjumpa, kayaknya Jevano udah jadi pacar kamu. Yah..mungkin ini jawaban dari Tuhan, kalau Jevano bukan jodohmu kali.”
Tidak ada yang bisa menebak bagaimana takdir itu berjalan. Termasuk Serena dan Jevano. Andai dulu Serena tidak mengajak Jevano berkunjung sebentar di rumahnya, mungkin takdir mereka akan berbeda.
Namun memutarbalikkan waktu juga mustahil dilakukan. Serena hanya bisa merutuki kebodohannya dimasa lalu dan menangisi kegagalannya meraih cinta pertamanya. Sudah jalan empat tahun ini, dan sekarang Serena benar-benar telah kehilangan Jevano.
“Empat tahun, Ren. Kamu udah berjuang demi menarik perhatian Jevano. Tapi apa? Jevano cuma anggap kamu sahabat doang, nggak lebih. Udah saatnya kamu berhenti ngejar cinta yang mustahil kamu raih itu dan move on.” Nasehat Helen sedikit meredakan tangisan Serena.
Perkataan Helena seakan baru saja menamparnya keras-keras dan memaksa dirinya untuk membuka mata lebar-lebar dan menerima kenyataan yang ada. Jevano telah memilih Jasmine dan Jasmine adalah satu-satunya orang dimuka bumi ini yang tidak bisa Serena kalahkan.
Ini sama saja menyuruh dirinya untuk mengakui kekalahan telak dan mundur.
“Gapapa kalau kamu masih mau nangis. It's okay, itu bentuk pelampiasan emosi kamu. Tapi nanti, kamu nggak boleh nangis lagi karena udah nggak ada gunanya lagi nangisin orang yang bukan milik kita,” kata Helena sambil mengusapi rambut lurus Serena.
Setidaknya Helena dapat memberikan dukungan emosional pada Serena supaya sahabatnya itu tidak terlalu terpuruk dalam kesedihan. Selama ini Serena selalu merasa dirinya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan saudara kembar gadis itu, jadi disini adalah peranan Helena untuk mendorong sahabatnya melebarkan sayapnya sendiri.
“Kamu pasti bisa move on. Come on~ Cowo nggak cuma Jevano aja yang ganteng. Carilah cowo yang bener-bener cuma mandang kamu doang, nggak yang lainnya.”
Helena mungkin mengatakan hal itu dengan perasaan ringan dan tanpa beban. Namun berbeda dengan Serena yang menangkap hal itu sebagai sebuah pekerjaan yang berat dan sulit dilakukan.
Jaman sekarang sulit untuk menemukan sosok pasangan yang benar-benar tulus mencintai satu orang dan tidak menebar kebaikan pada banyak wanita di luar sana. Serena pesimis, apakah masih ada laki-laki seperti itu di sekitarnya.
Sejauh ini satu-satunya laki-laki yang paling baik dan tidak penuh kepalsuan hanyalah Jevano.
Bahkan lelaki itu sama sekali tidak berusaha menutupi ketertarikannya terhadap Jasmine sekalipun didepan Serena.
“Suatu saat nanti pasti ada. Selain mencari juga kita harus sabar menunggu. Tuhan sayang sama anaknya yang baik. Jadi jangan patah semangat.” Helena tersenyum lebar sambil mengangkat satu kepalan tangannya ke udara sebagai bentuk semangat darinya.
Tak salah memang Serena berkunjung ke rumah Helena alih-alih pulang ke rumahnya sendiri. Helena selalu bisa membuat moodnya menjadi lebih baik dengan cara-cara yang tak Serena duga. Meskipun perkataan pedas dan menyindir tak jarang dilontarkan juga, tetapi Serena tahu Helena tidak mempunyai maksud jahat atas perkataannya.
Mungkin hal itu jugalah yang membuat pertemanan Serena dan Helena tetap awet sampai detik ini.
“Dari tadi ponselmu bergetar terus. Kayaknya ada yang menghubungimu tuh.” Helena memberitahu. Soalnya ponsel milik Serena diletakkan begitu saja diatas meja belajar. Otomatis getaran ponsel itu mengganggu ketenangan dalam kamar.
Sayangnya, Serena sedang tidak dalam mood baik untuk menerima panggilan atau sekedar mengecek notifikasi yang masuk. Lagipula Serena sudah meminta ijin pada sang ibu untuk menginap di rumah Helena untuk beberapa hari kedepan dengan alasan mengerjakan tugas bersama.
Serena cukup sering menginap di rumah Helena sejak jaman SMA dulu, jadi Serena selalu menyimpan beberapa setel pakaian ganti di lemari Helena sebagai antisipasi keadaan darurat. Dan langkah itu sangat efektif digunakan untuk saat-saat seperti ini misalnya.
“Aku capek banget, Len..” gumam Serena sambil menidurkan kepalanya dipinggiran ranjang Helena yang empuk.
Sedari tadi Serena menangis sesenggukan sambil duduk diatas karpet bulu berwarna coklat milik Helena. Sementara si pemilik kamar hanya memandangi Serena dari kursi gaming miliknya yang diletakkan di depan komputer.
“Tidur gih. Matamu udah sembab banget itu. Jamin deh, besok pasti jadi bengkak.” Perkataan Helena yang satu ini sama sekali tidak membantu.
Serena mencibir pelan sambil merangkak menaiki ranjang berukuran King milik Helena. Semenjak Serena sering menginap di kamar Helena, orangtua Helena memutuskan untuk mengganti kasur Helena yang semula hanya berukuran Queen jadi King. Beruntung orangtua Helena sangat pengertian dan sudah menyayangi Serena seperti anak sendiri. Jadi kedatangan Serena di kediaman Alford selalu disambut hangat oleh seisi rumah.
Bahkan kakak laki-laki Helena yang bernama Hendery juga sangat perhatian pada Serena.
Aneh sih, Serena yang hanya orang asing saja diperlakukan begitu baik oleh keluarga Helena. Sementara di rumahnya sendiri, eksistensi Serena hanya dianggap sebagai bayangan Jasmine semata. Mau sebagus apa nilainya, sebanyak apa piala yang Serena raih, orangtuanya hanya terpusat pada Jasmine seorang. Pujian yang mereka berikan pada Serena juga hanya berupa ucapan yang terkesan hambar. Serena jauh merasa nyaman berada di rumah orang lain daripada rumahnya sendiri.
Dan sekarang, satu-satunya alasan dia bertahan di rumah itu sudah menjadi milik Jasmine. Rasa ingin keluar dari rumah semakin melonjak naik. Serena sempat membicarakan hal ini pada kedua orangtuanya, dan masih teringat jelas dalan memori Serena, bila kedua orangtuanya sama sekali tidak keberatan atas keputusannya.
“Kalau aku tinggal sendiri, kamu mau nggak nemenin aku di tempatku tinggal nanti?” Pertanyaan itu Serena lontarkan pada Helena yang asyik memakan camilan diatas meja komputer.
“Tinggal sendiri? Maksudmu?” Alis Helena otomatis berkerut mencerna pertanyaan Serena yang tiba-tiba.
“Ya, sendiri. Aku pernah diskusi sama orangtuaku. Seperti yang kuduga, mereka sama sekali nggak keberatan semisal aku pengen hidup mandiri dan tinggal sendiri di apartemen,” jelas Serena panjang lebar.
Ini adalah kali pertamanya Serena memberitahu Helena. Gadis itu nyaris menggebrak meja komputernya gara-gara kaget bukan main. “Gila! Memangnya kamu berani?!”
Helena tahu jelas kalau Serena itu sedikit penakut. Tapi sampai senekat ini mau hidup mandiri, Helena sama sekali tidak menyangka Serena memiliki keberanian sebesar itu. “Nanti kita berjauhan dong? Jangan deh!” Yang tentunya sedikit membuat Helena dilema.
Nanti kalau tempat tinggal baru Serena semakin jauh dari rumahnya bagaimana? Helena belum berani mengendarai kendaraan sendiri, naik bus juga takut kalau cuma sendirian. Selama ini kan dirinya dan Serena selalu kemana-mana berdua.
“Nanti aku usahain nyari lokasinya yang deket-deket rumahmu deh. Kalau enggak gitu ya deket kampus biar kamu nggak kejauhan berkunjungnya. Gimana?” Keputusan Serena sudah bulat, Dia pengen hidup mandiri tanpa bayang-bayang sang adik dan Jevano lagi.
Untuk menyembuhkan patah hatinya, Serena harus hidup berjauhan dari orang yang membuatnya demikian. Mengingat seberapa manjanya Jasmine, Serena yakin sekali Jevano akan lebih sering berkunjung ke kediamannya lebih dari sebelumnya. Bertemu dengan Jevano dengan status barunya sebagai kekasih Jasmine, tentu itu menempatkan Serena dalam posisi yang tidak diuntungkan.
“Janji ya tapi? Jangan terlalu jauh! Atau aku paksa kamu tinggal di rumahku untuk selamanya!” ancam Helena yang tidak rela berjauhan dengan sang sahabat.
Serena tersenyum tipis menanggapi reaksi Helena. Mungkin hanya Helena satu-satunya orang yang merasa keberatan atas keputusannya yang tiba-tiba ini.
“Iya-iya. Aku janji. Aku istirahat dulu ya? Mataku udah berat banget dari tadi,” Serena meminta ijin untuk tidur lebih dulu. Menangis selama berjam-jam jelas menguras emosi dan tenaga.
Helena mengangguk mengiyakan. Serena menarik selimut bermotif bunga-bunga shabby lucu untuk membungkus seluruh tubuh gadis itu. Hanya dalam hitungan menit saja, Serena sudah terlelap dalam tidurnya.
Meninggalkan Helena yang memandang sendu sang sahabat yang selalu bernasib sial bila berputar disekitar adik kembarnya sendiri.
“Kasihan banget sih kamu, Ren. Mungkin dengan hidup sendiri, kamu bakal nemuin kebahagiaan dan kebebasan kamu. Gapapa, aku setuju kok, cuma kaget aja tadi. Asalkan kamu bahagia, aku juga turut bahagia,” ucap Helena dengan suara berbisik.
Apapun keputusan Serena, Helena akan menghargainya. Asalkan Serena senang, dia juga ikut senang. Sudah cukup lama Serena menderita di rumahnya sendiri yang selalu dibanding-bandingkan dengan Jasmine. Semoga ini menjadi keputusan terbaik untuk Serena.
“Hah? Serena mau tinggal di apartement sendiri?!”
Jasmine yang baru di beritahu orang tuanya sontak saja terkejut bukan main. Kembarannya itu bahkan baru pulang dari acara menginap dadakan di rumah Helena selama tiga hari lamanya. Pulang-pulang justru membawa kabar yang sama sekali tidak pernah Jasmine duga sebelumnya.
Nyonya Esther, selaku ibu dari si kembar Reinhart itu mengangguk pelan seraya menyesap teh hangat yang baru dibawakan salah seorang ART di kediaman mereka.
“Baguslah. Biar dia bisa belajar mandiri. Nggak bergantung sama orang tua terus,” pendapat Nyonya Esther terkait keputusan Serena yang tiba-tiba.
Keluarga Reinhart cukup terpandang di kota mereka dan terkenal sebagai pengusaha sukses di jaman ini. Mencarikan satu unit apartement dengan fasilitas terbaik bukanlah perkara sulit bagi keluarga itu. Sayangnya, Nyonya Esther tidak mengijinkan suaminya membeli satu unit apartement mewah untuk Serena.
Alasannya klasik; Serena masih terlalu muda untuk di beri tanggung jawab besar mengurus tempatnya tinggal sendiri. Jadi, pada akhirnya satu unit apartement sederhana dengan fasilitas seadanya lah yang menjadi ‘hadiah’ untuk Serena.
Namun bukan itu yang membuat Jasmine keberatan atas keputusan tiba-tiba ini.
“Terus, Ma...kalau aku minta tolong sesuatu sama Serena gimana? Makin susah dong buat nyamperin Serenanya!?” protes gadis bertubuh semampai itu.
Nyonya Esther berdecak pelan lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja kaca ruang tamu. “'Kan ada Bibi yang bisa bantu kamu. Kenapa sih kamu sepanik itu?”
Jasmine menggeram marah dalam hatinya. Tidak ada Serena, berarti tidak ada seseorang yang bisa dia mintai tolong mengerjakan tugas kuliahnya lagi. Oh, tidak...ini jelas malapetaka bagi Jasmine!
“Pokoknya jangan biarin Serena keluar dari rumah ini deh, Ma! Jasmine butuh dia banget!”
“Ya nggak bisa gitu. Semua udah di urus, Bahkan Serena udah tanda tangan kontrak apartementnya juga. Lagian Mama bisa bantu kamu kalau kamu butuh sesuatu. Apa sih yang kamu takutin?” Nyonya Esther heran dengan sikap Jasmine.
Jasmine mengacak rambutnya bak orang frustasi, sebelum melangkahkan kakinya naik menuju ke kamarnya sendiri sambil dihentak-hentakkan. Hancur sudah semua rencananya! Tanpa bantuan Serena, semua tugas kuliahnya pasti tidak akan beres tepat waktu atau lebih parahnya lagi, dia tidak bisa meraih nilai sempurna seperti semester-semester sebelumnya.
Arrgh! Jasmine ingin meledak saja rasanya.
Tapi apa sebenarnya yang mempengaruhi otak Serena sampai-sampai tercetus ide untuk angkat kaki dari rumah mereka?
Jasmine mencoba memikirkan segala kemungkinan yang menjadi penyebab hengkangnya Serena dari kediaman mereka.
Tapi apa?
Apa karena Serena sudah tidak kuat lagi menghadapi semua sikapnya terhadap kembarannya itu?
Atau Serena sudah tidak mau lagi membantunya mengerjakan tugas kuliah?
Atau ada alasan khusus mengapa tiba-tiba Serena pergi dari rumah seakan berniat mengasingkan diri?
Itu semua bisa menjadi garis besarnya sih. Jasmine sendiri menyadari, bila terkadang dirinya kelewatan memerintah dan menyuruh Serena ini-itu seenak hatinya. Tapi salah sendiri Serena tidak pernah protes atau bahkan mengeluhkan sikapnya ini, jadi Jasmine berpikir bila saudara kembarnya itu sama sekali tidak keberatan memenuhi semua permintaannya.
Begitu masuk ke dalam kamar pribadinya yang di dominasi warna pink, Jasmine langsung menjatuhkan tubuh lelahnya ke atas ranjang yang empuk. Seketika kepalanya pening hanya gara-gara memikirkan saudara kembarnya dan keputusan tak terduga yang di ambil oleh gadis itu.
Drrttt drrtt
Ponsel yang masih tersimpan dalam kantong celana tiba-tiba bergetar. Dengan malas Jasmine merogoh kantong celananya untuk mengeluarkan benda pipih tersebut.
Nama Jevano tertera pada ID si penelpon. Senyum lebar seketika terukir di bibir Jasmine sebelum jarinya menggeser tombol hijau pada layar.
“Ya, sayang? Ada apa?” Tumben-tumbenan Jevano menghubunginya terlebih dulu, tentu ini membuat Jasmine senang bukan main.
“Kamu udah denger belum? Kalau Serena sekarang tinggal sendiri di apartement?”
Pertanyaan yang sama sekali tidak ingin Jasmine dengar. Moodnya kembali buruk dalam sekejap. Senyum langsung sirna dari wajah cantik gadis tersebut. “Tau. Kenapa memangnya?” Tanpa sadar Jasmine menjawab dengan nada ketus.
Oh, ayolah! Dirinya sudah lelah, dan lagi memikirkan soal Serena yang tak lagi tinggal serumah dengannya semakin membuat Jasmine pusing.
“Kamu tau alasannya? Kalian bertengkar?”
Jasmine sama sekali tidak menyukai kekhawatiran yang tersirat dalam pertanyaan Jevano. Hei, sekarang Jevano adalah kekasihnya! Jasmine tidak suka bila Jevano terlalu memikirkan gadis lain yang bukan dirinya!
“Tanya aja sendiri. Aku sama dia nggak bertengkar sama sekali kok. Udah, kalau kamu menghubungiku cuma buat nanyain soal Serena, mending nggak usah telpon sekalian!” ketus Jasmine pada akhirnya.
Nyaris saja Jasmine memutuskan sambungan mereka secara sepihak, Jevano kembali bersuara dengan nada selembut mungkin guna menenangkan emosi Jasmine yang mulai meluap ke permukaan.
“Iya, iya. Nggak nanya lagi deh. Nanti mau dibawakan apa? Habis latihan band ini aku mau mampir bentar.”
Ini yang selalu membuat mood Jasmine membaik dengan cepat. Jevano selalu tahu cara ampuh apa yang berhasil meluluhkan emosi sang pujaan hati.
“Bawain kesukaanku aja. Aku tunggu di rumah ya?”
“Ya, sayang. Tunggu aku, hm. Jangan ngambek lagi. Aku cuma cinta sama kamu,” ucap Jevano di seberang sana.
Yang tentunya berhasil membuat jantung Jasmine berdebar sangat cepat dan kedua pipinya memerah panas.
“Iya, iya. Aku juga cinta kamu, Jevano~ Hati-hati di jalan, sayang.”
Panggilan pun terputus sampai di situ. Jasmine tersenyum lebar sembari membuka chatroom miliknya dengan Jevano. Jevano adalah lelaki idaman yang sudah lama dia impikan. Sejak pertemuan tak sengaja mereka di anakan tangga kediaman Reinhart, sukses membuat dunia Jasmine menjadi lebih berwarna dan dipenuhi bunga-bunga.
Dalam waktu sangat singkat, Jasmine sudah jatuh hati pada ketampanan Jevano. Maka dari itu, untuk bisa mendapatkan Jevano dan mempertahankan lelaki itu di sisinya, Jasmine rela melakukan segala cara.
Sekalipun itu artinya, dia harus merebut Jevano dari tangan kakaknya sendiri.
Jasmine sama sekali tidak merasa bersalah.
...***...
“Fiuh~ Ternyata capek juga ngedekor tempat tinggal sendiri..”
Serena meluruskan kedua kakinya yang sedari tadi berjinjit demi meletakkan jam bulat pada dinding kosong di atas meja televisi ruang tamu.
Semua perlengkapan rumah sudah dikirimkan oleh sang ayah, jadi Serena tinggal menata perabotan sesuai keinginannya.
“Ren, bagian dapur sama kamar mandi udah beres. Nanti kamu cek lagi, kali aja ada yang nggak sesuai seleramu.” Helena keluar dari dalam kamar mandi luar yang terletak di dekat dapur unitnya yang berukuran minimalis. Yah, cukup lah kalau untuk memasak dua orang saja.
“Makasi banyak, Len. Duduk dulu, kita istirahat di sini dulu ya. Plastik sofanya belum kubuka satu-satu.” Serena menepuk ruang kosong yang ada di sebelah kanannya, mengisyaratkan Helena agar duduk di sisinya.
Kali ini mereka terpaksa duduk bersila di atas lantai karena plastik yang membungkus sofa belum di buka oleh Serena.
Beberapa waktu yang lalu, Hendery sempat mampir sebentar untuk membantu menggeser perabotan yang lumayan berat. Kakaknya Helena itu tidak datang seorang diri, tetapi bersama salah satu teman baiknya, kalau tidak salah namanya Marcus.
Serena benar-benar terbantu sekali dengan kedatangan dua lelaki itu. Ini kalau dia sendiri bersama Helena yang menggeser atau mengangkat perabotan berat bisa tepar cepat mereka.
“Nanti kalau udah beres semua, aku traktir kamu, kakakmu sama temen kakakmu makan bareng deh,” kata Serena kemudian.
Kalau soal makanan sih, Helena dan Hendery mana pernah nolak. “Harus dong. Masa nggak ada bayarannya sama sekali,” gurau Helena sambil terkekeh jenaka.
Unit apartement yang dibelikan oleh orang tua Serena memang tidak mewah dan luas sekali, setidaknya pantaslah untuk di huni maksimal dua orang. Balkonnya juga ada dua; di kamar utama dan ruang tamu, sudah cukup bagus dan simpel sesuai keinginan Serena.
Sebenarnya Helena merasa ini tidak adil untuk Serena. Semua teman-teman satu kampus juga tahu siapa itu keluarga Reinhart dan seberapa kayanya keluarga itu. Tapi menghadiahkan satu unit apartement sederhana begini untuk Serena?
Helena semakin yakin kalau Serena cuma dianaktirikan oleh anggota keluarganya sendiri. Melihat kenyataan yang ada, Helena jadi merasa bersimpati atas nasib sahabat baiknya ini.
Namun seberapa besar Helena merasakan kesedihannya pada nasib malang yang menimpa Serena, dia berjanji tidak akan menunjukkan emosinya pada Serena secara terang-terangan karena tahu benar Serena benci dikasihani.
“Setelah ini, apa yang mau kamu lakuin?” Helena memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus melalui balkon yang terbuka membuat udara di dalam apartement terasa sejuk.
Serena menggidikkan bahu pelan. Tak tahu juga apa yang akan dia lakukan setelah ini. Tujuan utamanya sudah tercapai, kini waktunya Serena bereksplorasi mencoba segala kegiatan yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.
Dalam hal ini, wawasan Helena lebih luas dari Serena. “Gimana kalau nyoba kerja part time dulu? Lumayan 'kan, bisa menghasilkan uang daripada gabut di kamar doang.”
Usulan Helena menarik juga, sayangnya Serena sedikit ragu. Pasalnya, menyandang nama Reinhart sedikit menyulitkan dirinya mencari pengalaman kerja di dunia luar. “Mau sih. Tapi kamu tau sendiri, aku sering di tolak gara-gara tau nama keluargaku,” tutur Serena dengan ekspresi menyendu.
Sebelum ini, Serena sudah beberapa kali mencoba mencari pekerjaan paruh waktu untuk mengisi waktu luang sekaligus mencari pengalaman. Tetapi sayang, begitu mengetahui nama keluarga yang disandangnya, para pencari kerja langsung menolak dirinya secara mentah-mentah.
Helena tampak berfikir sejenak. Sebenarnya dia menerima tawaran kerja dari salah satu kenalan di kampus, boleh juga kalau Serena yang mengambil alih tawaran itu ketimbang dirinya.
“Ada nih, temen aku nyari karyawan. Dia nawarin aku kemarin. Tapi aku tolak soalnya aku lagi nggak butuh kerja. Gimana, mau ambil nggak?”
Keluarga Alfrod alias keluarga Helena sendiri bukanlah keluarga menengah ke bawah, jadi mau Helena kerja atau tidak, tabungan gadis itu tetap akan terisi penuh meski Helena tidak meminta.
Serena sedikit iri akan hal itu. Meskipun dirinya berasal dari keluarga berada, tetapi entah mengapa uang dalam tabungannya sangat minim, sangat berbanding jauh dengan jumlah saldo dalam tabungan milik Jasmine yang pernah ditunjukkan sendiri oleh sang pemilik.
Maka dari itu, Serena tidak bisa menggantungkan hidupnya hanya mengandalkan uang kiriman orang tuanya. Bekerja adalah satu-satunya opsi terbaik untuk menyambung biaya hidupnya sendiri.
“Boleh. Aku mau. Kirimin aja alamatnya, nanti aku akan ke sana.”
Ini salah satu hal yang membuat Helena bangga menjadi sahabat Serena. Serena bukan tipe anak yang mudah menyerah sekalipun hidupnya berada di titik terendah tanpa ada yang mengulurkan tangan.
“Udah kukirim. Kalau kamu mau, aku bisa nemenin kamu ke sana. Mau sekalian ngenalin kamu ke ownernya langsung,” kata Helena yang tentunya tidak di tolak oleh Serena.
Kalau bekerja ada temannya 'kan enak, lebih seru. Serena makin tidak sabar memulai lembaran barunya sebagai pribadi yang lebih mandiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!