Pagi yang cerah dengan suara kicauan burung yang merdu membangunkan seorang gadis yang masih bergumul dengan selimut hangat miliknya. Sinar matahari perlahan masuk melalui celah-celah gorden kamarnya.
"Zee, bangun, Nak! Udah jam setengah delapan. Emangnya kamu gak sekolah hari ini?" ucap wanita setengah paruh baya yang berusaha membangunkan sang anak yang masih terbungkus selimut dengan membuka gorden dan masuk lah cahaya matahari yang masih malu-malu untuk menampakkan sinar terangnya.
Zee langsung terlonjak kaget saat mendengar penuturan sang Bunda.
"Bunda boong lagi!" ucapnya cemberut saat melihat ke arah jam dindingnya yang baru menunjukkan pukul 05.55.
Bunda Weni langsung terkekeh saat melihat sang anak yang kesal. Tidak ada cara lain untuk membangunkan sang anak kecuali dengan berbohong.
"Habisnya kalau kamu gak di bangunin tuh masih molor gak tau kapan bangunnya."
"Udah jangan cemberut mulu. Sana mandi! Trus siap-siap." lanjut Bunda Weni.
Dengan malas Zee turun dari kasur nya dan menyambar kimono yang tergantung di depan pintu kamar mandi nya.
Zee keluar dari kamar mandi nya dengan kimono yang masih membungkus tubuhnya dan handuk kecil yang membungkus kepalanya. Zee melangkahkan kakinya menuju lemari dan mengambil seragam sekolah miliknya dan kemudian memakainya.
Selesai memakai seragamnya, Zee kemudian menuju ke meja riasnya untuk mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah kering Zee kembali menyisir rambutnya supaya lebih rapi lagi dan menambahkan jepitan rambut berwarna pink di kepalanya.
Zee melihat dirinya dari pantulan kaca. Wajah yang natural tanpa menggunakan make up. Zee melirik botol kecil yang ia tau itu pelembap bibir. Zee hanya melirik nya saja tanpa mengambil dan menggunakannya karena di rasa bibir nya yang sudah merah alami tanpa harus menggunakan lipstik atau pun pelembap bibir.
Zee menyambar tas sekolahnya di meja tempat ia belajar saat sudah memastikan perlengkapan sekolahnya termasuk dengan topi nya karena hari ini hari senin. Jadi, sudah di pastikan upacara bendera akan di laksanakan.
Perlahan Zee menuruni setiap anak tangga untuk sampai di lantai bawah. Sesampainya di bawah, Zee langsung menyantap sarapan yang sudah di sediakan oleh Ibunda tercinta.
"Bund." panggil Zee.
"Kenapa sayang? Sarapan nya gak enak ya?" Zee langsung menggelengkan kepalanya.
"Adek mana, Bund?" tanya Zee saat tidak melihat adik laki-lakinya.
"Adek kamu lagi di depan tuh sama Ayah." jawab Bunda Weni. Pantas saja Zee tidak melihat kehadiran sang Ayah yang ternyata bersama adiknya.
"Aku berangkat ya, Bund." ucap Zee saat sudah menghabiskan sarapannya dan meminum segelas susu hangat yang baru saja Bunda Weni buatkan untuknya.
"Iya, yuk. Bunda anterin ke depan." Zee dan sang Bunda langsung melangkahkan kakinya menuju pintu depan.
"Kakak, udah siap?" tanya Alif adik laki-laki Zee dengan seragam putih birunya dengan rapi. Tidak lupa juga dasi yang sudah terpasang di lehernya. Jangan lupakan Ayahnya yang juga sudah rapi dengan pakaian khas kantornya untuk berangkat kerja, sekaligus mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Karena arah jalan tujuan mereka itu sama.
"Udah, yuk!" Zee langsung menuntun Alif menuju mobil Ayahnya yang sudah terparkir di halaman rumah setelah berpamitan.
"Bund, Ayah sama anak-anak berangkat dulu, ya." ucap Ayah Zaki berpamitan ke Bunda Weni dengan mengulurkan tangan kanannya.
"Iya, Yah. Hati-hati bawa mobil nya." jawab Bunda Weni yang menyambut uluran tangan sang suami dan langsung menciumnya.
Sementara di tempat lain sama halnya dengan Zee. Beda nya cuma pemuda yang satu ini sudah rapi dengan pakaian santainya yang sedang selonjoran di sofa dengan matanya yang fokus ke arah TV.
"Zayn!" panggil Tuan Mahendra kepala keluarga Mahendra.
"Iya, Pa?" jawab nya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah sang Papa yang memanggilnya.
"Hari ini kamu belum bisa sekolah. Soalnya Papa masih ngurusin surat-surat pindahan kamu." jawab Tuan Mahendra.
Ya, Zyan adalah anak satu-satunya dari Tuan Mahendra dan Nyonya Anggi. Tuan Mahendra sengaja mengurus surat-surat pindahan sekolah untuk anaknya, Zayn. Tuan Mahendra merasa lingkungan sekolah yang Zayn tempati saat ini kurang bagus untuk tumbuh kembang Zayn yang baru menginjak sekolah menengah pertama. Jadi, Tuan Mahendra memutuskan untuk memindahkan Zayn ke sekolah yang lebih bagus lagi.
"Iya, Pa. Trus kapan aku masuk sekolah?" tanya Zayn.
"Paling lambat itu lusa. Tapi Papa usahain besok kamu udah masuk ke sekolah yang baru." jelas Tuan Mahendra. Zayn mengganggukkan kepalanya.
Zee keluar dari mobil sang Ayah setelah mobil yang Ayahnya kendarai itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Ia melirik arah jam tangannya yang menunjukkan pukul 06.45. Sebentar lagi upacara akan di mulai. Pikirnya.
Zee berjalan melewati lorong-lorong kelas. Terlihat banyak sekali murid-murid yang nongkrong di depan kelas sekedar bercanda gurau.
Langkah Zee terhenti di depan ruangan yang di atasnya tertulis kelas X IPS 4. Kelas X IPS 4 yang menjadi bahan obrolan para Guru atau pun murid-murid kelas lainnya karena kelas nya yang terkenal dengan murid paling bandel. Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa setiap Guru yang mangajar di sana akan terlihat lebih rileks dan menjadi awet muda saat mengajar karena murid-muridnya yang humoris dan selalu kompak.
Dari jauh kelas X IPS 4 itu sudah terdengar suara ribut yang bercampur aduk. Suara-suara tertawa dan teriakan menggema di ruangan kelas tersebut.
Buktinya sekarang. Saat Zee baru saja menampakkan dirinya, ia sudah melihat adegan-adegan aneh yang di lakukan temannya. Ada yang berfoto ria, menggosip dan bahkan tertidur.
Tukkk
Suara benda yang tepat mengenai kepalanya dan kemudian jatuh di lantai.
Zee menundukkan tubuhnya untuk mengambil benda tersebut. Pesawat kertas? Pikirnya.
"Zee, balikin!" teriak seorang gadis dengan name tag Nazwa Syahira.
"Punya, lo?" tanya Zee dengan santai nya membuka lipatan pesawat kertas itu. Zee tersenyum simpul saat melihat ada tulisan berukuran sedang di kertas tersebut.
"Aaaaaaa... Jangan di buka, Zee! Rusak nih huhuhu, ini ayang beb gue yang bikin. Tega-teganya lo rusakin." jawab Nazwa. Secepat kilat ia mendekati Zee dan merebut pesawat kertas yang sudah berubah menjadi rata di tangan Zee dan kembali melipat kertas tersebut menjadi semula.
"Pfttt... Lebay lo. Lagian ngapain main pesawat kertas di dalam kelas. Untung gue yang nemu, lha kalo orang lain tuh pasti langsung di sobek." balas Zee dengan tawa di akhir kalimatnya.
"Ishh..." Nazwa menghentakkan kakinya dan menjauhi Zee untuk kembali duduk di bangkunya kemudian mengadu kepada pacarnya. Zee terkekeh pelan saat melihat tingkah bucin dari teman kelasnya itu.
Zee berjalan menuju meja nya yang berada di pojok sebelah kanan. Ia mengabaikan adegan-adegan aneh yang di lakukan oleh para teman sekelasnya. Dengan santai Zee menaruh tas nya dan mendudukkan bokongnya di kursi miliknya.
Tringgg
Diharapkan kepada seluruh siswa dan siswi untuk turun ke lapangan upacara dan mengikuti kegiatan upacara bendera hari ini
Baru saja Zee duduk, sudah terdengar suara bel dan speaker toa sekolah yang mengalun di telinga yang mendengarnya.
Kelas yang tadinya riuh kian menjadi riuh saat mereka mendengar suara itu. Dengan grasak-grusuk mereka mencari perlengkapan sekolah seperti dasi, topi dan bahkan ikat pinggang. Itu semua berlaku kepada murid cowok di kelasnya. Karena semua murid cewek yang sudah rapi sedari rumah.
Bisa habis mereka kalau ketahuan tidak memakai perlengkapan sekolah dengan lengkap.
"Woyyy... Dasi gue mana njirr." teriak Diwa sang murid paling bandel di kelas Zee di sela-sela keributan mereka.
"Lahh, mana gue tau. Gue bukan bini lo." balas Andre sang Ketua Kelas yang juga ikut meneriaki Diwa.
"Yang bilang lo bini gue siapa? Gue juga masih normal kali." sungutnya.
"Ya, lo nya aja yang gak jelas." balas Andre sambil memasang dasi di lehernya.
"Ck! Di mana sih?" ucap Diwa masih dengan membongkar tas miliknya. Hingga beberapa buku dan barang yang tidak berguna berserakan di mana-mana. Senakal-nakalnya Diwa, dia tidak pernah yang namanya tidak membawa buku. Meskipun buku yang ia bawa adalah buku pelajaran kemarin. Tapi nggak pa-pa lah. Pikirnya. Asal tidak membawa buku sama sekali.
Sampai-sampai Indah mendatangi Diwa. Dia dengan santainya berjalan mendekati Diwa.
"Ini apa namanya kalo bukan dasi? Kurang obat lo sampe amnesia gini." dengan santainya Indah menarik dasi yang sudah terpasang di leher Diwa entah sejak kapan dasi itu terpasang hingga Diwa berteriak kala lehernya yang tercekik.
"Woyyy, gue gak bisa nafas bego." ucap Diwa terbata-bata.
"Ohhh iya. Maaf maaf." tanpa rasa bersalah Indah kembali membenarkan letak dasi Diwa.
"Lo mau gue cepet mati haa?!" teriak nya kesal.
"Hehe, boleh sih."
"Psikopat lo!" Indah hanya tersenyum nyengir.
"Udah udah. Nih mau mulai upacara nya. Semua udah rapi kan?" tanya Andre sambil meneliti satu per satu murid di kelasnya. Sebagai Ketua Kelas yang bertanggung jawab. Andre harus mendisiplinkan teman-teman di kelasnya dan mengompakkan mereka.
Di rasa semua siap. Mereka sekelas keluar dari kelasnya dan menuju lapangan upacara dengan para cowok-cowok yang mamasang tampang coolnya. Serasa Zee ingin tertawa saat melihat tingkah para cowok di kelasnya. Tampang mereka yang cool dan cuek itu akan hilang berubah menjadi konyol saat mereka sudah berada di dalam kandangnya dan akan memasang kembali wajah coolnya saat berada di luar kelas.
"Zee!" Zee tersentak kaget saat ada yang tiba-tiba ada yang memeluk lengannya saat mereka dalam perjalanan menuju lapangan upacara.
"Kaget gue." ucap Zee saat melihat ke arah samping kanannya di mana Elsa sang sahabat yang tengah nyengir menatapnya.
"Hehe, maaf ye kan." balas Elsa.
Sesampai nya mereka sekelas di lapangan upacara yang ternyata sudah di penuhi oleh siswa-siswi baik itu kelas X, XI, dan XII.
Andre langsung memimpin barisan untuk merapikan kelasnya.
Upacara hari senin ini berjalan dengan cukup lancar tanpa hambatan. Hanya saja ada beberapa siswa yang jatuh pingsan saat upacara berlangsung. Mereka yang pingsan langsung di larikan menggunakan tandu menuju UKS.
...***...
"Yaampunn panas banget." ucap Elsa sambil menyipasi wajahnya menggunakan buku tulisnya. Kipas angin di kelasnya itu tidak sampai ke arah tempat ia duduk.
Sedangkan Zee dengan antengnya duduk sambil tangannya yang memegang kipas kecil yang ia bawa dari rumah. Rambutnya yang sedikit basah karena keringat melayang-layang karena terkena terpaan angin dari kipas di tangannya.
"Woyyy, Zee. Bagi-bagi dong." Elsa langsung merebut kipas angin kecil milik Zee dari tangan sahabatnya.
"Etdahh. Lo tuh ganggu aja deh. Gue juga gerah tau." balas Zee kesal.
"Pinjem doang bentar elahh. Pelit amat lo." itulah yang Zee sebalkan saat dirinya di katakan pelit. Padahal.
"Balikin gak!" pinta Zee.
"Bentar." jawab Elsa dengan santai nya.
*1 menit
2 menit
3 menit
4 menit*
Sudah lewat 5 menit Zee menunggu tapi sang empu yang meminjam kipasnya belum sama sekali menunjukkan rasa kepuasannya.
Zee yang greget akhirnya merebut paksa kipas angin miliknya di hadapan Elsa.
"Zee!!!" teriak Elsa. Dengan secepat kilat Zee melarikan dirinya beserta kipas angin yang ia pegang.
"Bunda, aku pulang. Assalamu'alaikum." teriak Zee saat baru saja pulang dari sekolahnya.
"Wa'alaikumsalam." jawab Bunda Weni yang datang dari arah dapur.
"Adek mana, Bund?" tanya Zee sambil menyalami sang Bunda.
"Ada, tuh lagi tidur di kamarnya lagi tidur."
"Tumben banget Bund adek tidurnya siang. Biasanya main game mulu." tanya Zee heran sambil melirik jam dinding rumahnya yang menunjukkan pukul 13.15.
"Capek mungkin."
Setelah adegan mengobrol ringan antara Zee dan sang Bunda. Kemudian Zee pemit ke kamarnya untuk mengganti baju dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya. Memang cukup melelahkan baginya sekolah full day. Tapi tak apa. Demi menuntut ilmu ia tak pernah menyerah meskipun ada sedikit kerikil saat ia menjalaninya.
Setelah berganti baju dengan pakaian santainya, Zee merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya sambil memeluk sebuah boneka panda berukuran besar. Boneka panda tersebut adalah pemberian sang Ayah saat merayakan ulang tahunnya yang ke-15 tahun. Sudah hampir 1 tahun lama nya boneka tersebut menemaninya setiap malam.
Drttt
Suara HP yang bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. Zee melirik arah nakas nya di mana ia meletakkan HP nya sepulang sekolah dan mengecasnya. Dengan malas Zee bangkit dari tidurnya dan mendekati nakas.
Zee membuka pin HP nya. Saat sudah terbuka, terpampanglah wallpaper HP nya. Wallpaper diri nya yang tengah memeluk boneka pemberian sang Ayah tahun lalu.
Zee membuka aplikasi yang berwarna hijau itu dan muncul lah beberapa pesan masuk. Penglihatannya terhenti saat melihat ada chat 1 menit yang lalu muncul beratas namakan Vani, yaitu anak tetangga depan rumahnya sekaligus sahabatnya.
Isi pesannya adalah Vani yang mengajaknya keluar untuk jalan-jalan sekaligus singgah di sebuah warung makan untuk menikmati bakso favorit mereka.
Zee yang suntuk dan lapar pun mengiyakan ajakan tetangganya itu.
Dengan cepat Zee kembali mengganti baju nya dengan sweater polos berwarna cream. Celana jeans, jangan lupakan sepatu kets berwarna putih yang melekat di kedua kakinya.
"Mau kemana, Zee?" tanya Bunda Weni sambil meneliti pakaian yang di pakai anaknya.
"Mau keluar, boleh kan, Bund?" tanya Zee meminta izin.
"Sama siapa?"
"Itu sama Vani doang kok, Bund. Cuma jalan-jalan bentar trus nginem bakso di tempat biasa." jawab Zee yang menyengir di akhir kalimat nya.
"Yaudah. Hati-hati tapi ya." ucap Bunda Weni memberi izin.
"Yeyyy, makasih, Bunda." balas Zee dengan di akhiri sebuah kecupan singkat di pipi sang Bunda. Bunda Weni hanya menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah sang anak.
Zee keluar dari rumahnya dan berjalan menuju rumah sahabatnya itu yang hanya terletak di depan rumahnya.
"VANI! GUE SAMPE." teriak Zee di depan rumah Vani.
"Astaghfirullah." ucap Mela mama Vani terkaget saat mendengar teriakan anak tetangganya itu saat diri nya sedang menyiram tanaman di samping rumahnya.
Zee yang mendengar sebuah suara tak asing di telinganya pun melihat ke arah sumber suara yang baru saja menyelesaikan kegiatannya itu.
"Ehhh, Tante." celetuk Zee.
"Kamu tuh ya kebiasaan. Suka teriak-teriak mulu kalau mau ke sini." balas Mamanya Vani.
"Hehe, maaf, Tan. Gak di ulangin lagi kok." ucap Zee sambil menunjukkan jari nya yang berbentuk V.
"Vani nya ada, Tan?" tanya Zee.
"Ada, masuk aja ke dalam."
Setelah mendapatkan izin, Zee langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah tetangganya itu.
"Ehhh, Zee. Udah siap. Baru aja gue mau jemput lo." ucap Vani yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Kelamaan sih lo. Sendiri yang ngajak ehh malah telat." balas Zee.
"Udah sehat lo?" tanya Zee sambil mengecek suhu badan Vani dengan meletakkan telapak tangannya di dahi Vani.
"Udah kok."
"Jadi, besok udah bisa sekolah dong ya?" memang tadi pagi Vani tidak sekolah karena sakit. Vani mengangguk mengiyakan Zee.
"Berangkat yuk!"
Mereka berdua pun keluar dari dalam rumah Vani. Sesampainya di luar, sebuah teriakan yang memanggil nama mereka.
"Woyyy, Zee, Van. Kalian mau kemana?" tanya Elsa. Kebetulan sekali rumah mereka itu hanya berjarak beberapa meter saja. Rumah Zee yang di seberang sana dan rumah Vani dan Elsa berdampingan. Memang ribet, mereka bertiga sudah seperti saudara kembar.
"Mau keluar jalan-jalan trus mampir di tempat makan bakso favorit." jawab Vani.
"Ihhhh, kalian gak ngajak gue, curang lo pada." Zee terkekeh saat melihat ekspresi sahabat nya itu yang menggerutu sambil memasang wajah masamnya.
"Ya kan gue gak tau kalo lo itu mau ikutan juga." jawab Vani.
"Kalian tuh ya. Tunggu gue bentar. Awas aja di tinggalin, gue gantung kalian di pohon toge." secepat kilat Elsa langsung masuk ke dalam rumahnya untuk berganti baju.
"Ck! Itu anak nyusahin aja." Vani berdecak sambil duduk di atas motor miliknya.
Tidak lama kemudian, Elsa keluar dari rumahnya dengan pakaian yang sudah rapi.
"Udah, yuk. Gue ikutan." Elsa berdiri di depan Zee dan Vani sambil nyengir.
"Motor lo mana?" tanya Zee.
"Ada tuh di dalam." Elsa menunjukkan motornya yang berada di teras rumah nya.
"Kenapa kagak lo bawa Elsottt?"
"Lha kan pake motor lo." balas Elsa sambil menunjukkan motor Vani.
"Trus gue perginya gimana kalo lo mau naik motor Vani?" Zee menyesali otak sahabat nya yang sedikit lemot itu.
"Ya pake motor Vani juga lah." Zee langsung menepuk dahinya pelan sementara Vani sudah terkikik sedari tadi.
"Lo mau kita bonceng tiga? Mau lo kita di katain cabe-cabean?" jelas Zee dengan kesal. Elsa langsung menggelengkan kepalanya. Namun sesaat kemudian dia mencerna apa yang barusan terjadi.
"Hehe, bentar." Vani langsung berlari menuju rumahnya dan segera mengeluarkan motor kesayangannya.
"Yuk!" ucapnya dengan helm yang sudah terpasang.
Mereka pun melajukan motor nya menuju tempat tujuan dengan Zee yang di bonceng Vani dan Elsa yang mengendarai motornya sendirian.
Tujuan pertama mereka adalah danau. Setelah puas menikmati pemandangan danau yang menyegarkan mata. Mereka langsung melanjutkan perjalanannya menuju tempat makan yang biasa mereka datangi dan memesan bakso yang berukuran jumbo.
"Zee, jangan banyak-banyak cabe nya. Ntar lo sakit perut lagi." peringat Vani saat melihat Zee yang menuangkan sambal ke dalam mangkuk yang berisikan bakso itu dengan banyaknya.
"Gak enak kalo gak pedes." dengan santainya Zee menyuapkan bakso yang telah ia beri sambal membuat Vani meringis melihatnya.
"Ya tapi kan di sesuain juga." timpal Elsa dengan mulut nya yang sudah penuh dengan bakso. Tapi apalah daya, sudah terlanjur.
...***...
Secepat kilat Zee bangkit dan menuju kamar mandinya untuk menuntas kan sesuatu yang sedari tadi menghantuinya.
Setelah selesai, Zee keluar dari kamar mandinya dengan berjalan lesu sambil memegang perutnya.
Ya, saat ini dirinya yang tengah di landa sakit perut karena tadi sore ia yang banyak menuangkan sambal di mangkuk bakso nya. Alhasil. Sudah di peringati oleh sahabatnya tapi tetap saja bandel.
Dengan terpaksa Zee keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga di tengah malam buta.
Zee membuka kulkasnya dan mengambil sebotol air dingin kemudian menuangkannya ke dalam gelas. Segar nya air yang melewati tenggorokannya.
Ceklekkk
Lampu yang tadi mati seketika menyala.
"Zee, ngapain kamu, Nak?"
Uhukkk uhukkk
Zee terbatuk kaget saat sedang meminum airnya ketika sang Ayah memanggilnya. Dengan telaten Ayah Zaki mengusap pundak anaknya.
"Ayah, ngagetin aja ihh." ucapnya kesal.
"Maaf, Ayah kan gak tau kamu lagi minum." jawab Ayah Zaki.
Bunda Weni yang tertidur kemudian mendengar keributan yang berasal dari arah dapur menjadi terbangun. Bunda Weni juga menyadari bahwa sang suami tidak ada di sampingya.
"Ayah, Zee, ngapain malam-malam kok ribut?" tanya Bunda Weni dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Itu Bund. Ayah ngagetin Zee." adu Zee.
"Ayah?" Bunda Weni menatap Ayah Zaki.
"Apa, Bund? Ayah gak salah apa-apa ya. Ayah cuma nanya Zee ngapain, tapi ehh langsung kaget." jelas Ayah Zaki. Bunda Weni akhir nya mengangguk mengerti.
Takkk
Dengan tiba-tiba Zee meletakkan gelas yang ia pegang tadi di atas meja. Zee berlari menuju toilet yang berada di dekat dapur. Mau ke kamarnya rasanya tidak sempat karena dirinya yang sudah tidak tahan dengan perutnya yang sedari tadi serasa di remas-remas.
"Zee, kamu kenapa?" tanya Bunda Weni khawatir. Zee tidak menjawab melainkan langsung masuk ke dalam toilet.
"Zee kenapa, Yah?"
"Ayah juga gak tau. Nanti coba tanya aja pas Zee nya udah selesai." terpaksa akhirnya sang Bunda dan Ayah Zaki menunggu di dapur.
Zee keluar dari toilet dengan badannya yang terasa lemas.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda Weni melihat anaknya lemas.
"Kayaknya kebanyakan makan cabe deh, Bund." jelasnya.
"Astaghfirullah." seketika Bunda Weni langsung istighfar.
"Yaudah kamu masuk kamar ya. Nanti Bunda anterin obat nya." Zee mengangguk dan menaiki anak tangga satu per satu menuju kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!