NovelToon NovelToon

Langit Jingga Mengubah Takdir

Jingga Buana

Happy Reading.

Namaku Jingga Buana berumur 19 tahun, tinggiku 170 beratku 100 kg. Gendut bukan? Karena beratku ini aku mendapat julukan gentong, kuda nil, Gajah buluk dan sebagainya, suka-suka mereka memanggilku.

Padahal waktu kecil, aku adalah gadis yang cantik. Begitu kata almarhumah bunda.

Aku menjadi gemuk saat menginjak usia 6 tahun lebih.

Saat Bunda meninggal dunia karena kecelakaan, dan ayah menjadi gila kerja berangkat pagi dan pulang malam. Kami jarang bertemu dan makan bersama.

Mungkin itulah pelampiasan ayah, untuk menghilangkan sepi dan rindu pada bunda.

Karena aku si gadis kecil kesepian, maka hiburanku adalah makan. Bibi juga sering membuat kue dan akan ku habiskan sambil menonton televisi.

Kebiasaan inilah yang membuat tubuhku mulai gendut, umur 7 tahun tinggiku mencapai 130 dan beratku 35 kg. Di tambah aku malas olahraga.

Teman-teman SD ku juga mulai mengejekku. Tapi mereka masih mau berteman denganku. Suatu hari ayah pulang cepat, dan mengatakan bahwa dia akan membawakan ibu baru untukku, juga dua kakak yang akan menemaniku.

Aku tidak suka saat ayah bilang akan membawa ibu baru, tapi saat dia bilang aku akan punya dua kakak, aku senang sekali. Akhirnya aku tidak kesepian lagi.

Beberapa minggu kemudian ayah membawa Mamah, begitulah aku harus memanggilnya kata ayah.

Namanya Widuri, nama yang cantik seperti orangnya, cantik. Dia datang dengan dua orang anak. Kevin berumur 13 tahun dan Kiara berumur 10 tahun. Mereka anak yang cantik dan tampan.

Waktu itu aku berpikir hari ku akan mulai menyenangkan, aku tidak akan kesepian dan ada yang akan menemani ku bermain juga belajar.

Tapi kenyataannya tidak demikian, mereka tidak mau bermain dengan ku. Justru aku selalu di bully mereka.

Aku dibilang gendut, jelek, gentong, dan sebagainya. Bahkan mereka sering memarahi ku kalau aku tidak menuruti kemauan mereka, sampai aku di pukul, di cubit atau di jenggut.

Saat aku mengadu pada ayah, dia justru marah padaku. Katanya aku yang nakal.

Dari situ aku tidak pernah lagi berkeluh kesah pada ayah.

Bahkan ketika ibu tiriku memukuliku, aku hanya pasrah menerima semuanya.

Tak ada lagi tempat mengadu. Ayah sudah tak menyayangiku. Dia lebih sayang pada mereka.

Penampilanku menjadi kucel, karena mamah membelikan aku baju sederhana berbeda dengan kedua kakakku yang serba bagus dan bermerk.

Walau ada asisten di rumah, mereka selalu menyuruhku.

Mereka juga tidak mau makan satu meja denganku. Aku selalu makan bersama bibi. Namun saat aku SMP, ayah memecat bibi. Saat itulah semua pekerjaan bibi, aku yang mengerjakan.Tidak boleh ada kesalahan, atau mereka akan memukuliku.

Aku sering tidur di kelas karena kelelahan. Teman SMP ku sering membuliku karena penampilanku yang kucel dan gendut. Aku menjadi pendiam dan tidak punya teman.

Saat memasak mamah selalu menyuruhku untuk membantu dan belajar masak, karena memasak nantinya adalah tugasku.

Begitulah kegiatanku setiap hari membersihkan rumah, memasak dan sekolah.

Ayah pernah mengatakan padaku “Hitung-hitung untuk mengganti uang sekolahmu kau bekerja di rumah.” Sedangkan aku ikhlas sebagai baktiku pada ayah yang telah membesarkanku.

Sampai sekarang aku berumur 19 tahun dan kuliah. Kegiatanku masih sama.

Seperti saat ini, aku sedang membersihkan rumah di kala semua masih terlelap. Pukul 5 pagi semua pekerjaanku sudah beres tinggal memasak. Aku memutuskan sholat dulu baru masak.

...***...

Pukul 6 pagi sarapan sudah tersaji. Tak perlu aku memanggil mereka, nanti juga mereka akan datang sendiri.

Sementara itu aku bergegas pergi mandi, hanya butuh waktu sepuluh menit untuk mandi dan berpakaian. Aku tidak pernah berdandan, hanya menyisir dan mengikat rambut. Sekarang aku harus menjemur pakaian.

Setelah menjemur, aku langsung ke meja makan. Perutku keroncongan, di sana ada mamah. Apakah dia menungguku?

“Jingga, berapa tinggi kamu sekarang?” Mamah bertanya padaku setelah berdiri di dekatnya.

“170 cm.”

“berat?”

“100 kg.” Ada apa sebenarnya mamah menanyakan semua itu.

“Kamu gak sadar, kalau kamu itu gendut! Sekarang makan kamu akan mamah jatah.” Apa? tidak cukupkah mamah menyuruhku bekerja dan sekarang makan pun aku di jatah.

Mamah mengisi piring dengan setengah porsi nasi dan tempe goreng berbalut tepung.

“Ini makananmu, dan cepat selesaikan pekerjaanmu! Pokoknya semua harus sudah rapi sebelum kamu berangkat kuliah!” Kenapa mamah semakin kejam padaku? Apakah semua ibu tiri begitu? Diktator dan senang menyiksa anak tirinya.

Mamah lalu pergi meninggalkan aku di meja makan. Rasanya ingin ku menangis. Sampai kapan aku harus seperti ini?

Ayah, lihatlah aku. Anakmu ini membutuhkan pelukanmu, dan katakan semua akan baik-baik saja, yakinkan aku bahagia pasti akan datang menyambutku.

Percuma saja aku merasa sedih dan mengharapkan ayah. ku hapus air mata yang menetes di pipiku lalu duduk dan makan. Selesai makan, aku segera membereskan meja dan mencuci piring.

Sekarang saatnya berangkat kuliah. Saat aku melewati mamah yang sedang menonton. Dia memanggilku.

“Jingga, kamu tidak akan lagi di beri uang saku, biaya kuliahmu saja sudah mahal. Kalau kau ingin uang, cari saja sendiri. Cukup ayahmu membiayai kuliahmu. Untuk biaya selain itu kamu cari sendiri!” Masih belum puaskah kau menyiksaku mamah. Aku memang bukan anak kandungmu, tapi kenapa kau begitu ingin melihatku menderita? Apa salahku?

Aku tidak berkata apapun dan pergi berlalu setelah mendengar perkataan mamah. Oke! Aku akan mencari kerja sepulang kuliah nanti.

Aku berangkat ke kampus. Naik angkutan umum. Begitu sampai di kampus aku langsung menuju kelas yang akan ku pelajari hari ini.

Universitasku bukanlah universitas mahal dan terkenal seperti kedua Kakakku, hanya universitas swasta biasa. Meskipun seperti itu, penampilan mahasiswa dan mahasiswi di sini layaknya borju tapi KW.

Hanya aku yang berpenampilan sederhana, menurut mereka aku ini cupu. Mereka memanggilku Gacu [Gajah Cupu]

Untunglah aku sudah terbiasa dengan hinaan sejak aku kecil. Jadi apa yang mereka katakan tidak aku hiraukan.

“Hei Gacu, di cariin Sony tuh!” Aku tidak menanggapi ledekan mereka, dan terus melangkah melewati mereka.

“Iya, buat rubuhin pohon dekat rumah gue. Hahahaha ...!”

Teruslah kalian tertawa, setidaknya hidupku ini bisa menghibur kalian.

5 jam aku kuliah. Sekarang waktunya aku pulang. Seperti niatku tadi pagi. Aku akan mencari kerja. Ternyata mencari kerja tidak mudah. sudah lima tempat yang kudatangi, tidak ada yang menerimaku. Sementara hari semakin sore.

Aku lelah sekali. Aku berjalan terus sampai aku melihat ada taman beratap langit jingga sungguh indah sekali, seperti namaku Jingga tapi aku dan hidupku tidak seindah langit Jingga.

Aku singgah sebentar ke taman itu. Dan duduk di ayunan.

“Hei Mbak, awas! Nanti ayunannya rubuh.” Sindir seorang pria yang sedang lewat padaku. Mendengar itu aku pun berdiri dan pindah ke tempat lain.

Aku duduk bersandar di bawah pohon rindang. Di sini sangat damai, dengan angin sepoi-sepoi membelai kulitku. Ku tutup mata, dan memohon pada Sang Pencipta. Ku ingin bahagia Tuhan. Berikan aku sedikit kebahagiaan dan kasih sayang yang tulus. Ku tumpahkan air mata, ku keluarkan bebanku.

Aku lelah ya Allah, bolehkah jika aku menyerah? Bunda, dekaplah anakmu ini dan belai rambutku. Aku rindu padamu. Aku semakin terisak teringat bunda. Andai bunda masih ada hidupku tidak akan seperti ini. Setelah merasa lebih baik, ku buka mata dan langit terlihat bagaikan lautan Jingga. Matahari semakin turun, aku lanjutkan mencari pekerjaaan.

...***...

“Baiklah Jingga, kau bisa mulai bekerja besok, pukul 4 sore sampai pukul 10 malam.”

“Terima kasih banyak Bu, saya akan datang besok. Saya berjanji akan bekerja dengan baik.” Alhamdulillah akhirnya aku di terima kerja.

“Iya, saya tunggu.” Ibu Fatimah begitu baik. Wajahnya cantik dan sangat murah senyum.

“Permisi Bu, sekali lagi terima kasih.” Aku berdiri setelah pamit padanya.

“Iya Jingga, hati-hati.” Aku tersenyum dan mengangguk. Alhamdulillah, akhirnya aku dapatkan pekerjaan. Terima kasih ya Allah.

Besok aku akan datang tepat waktu. Ibu Fatimah sangat baik dia memberiku kesempatan untuk bekerja di restorannya, tanpa memandang fisik. Walau aku bekerja hanya sebagai pencuci piring, tidak masalah yang penting aku dapat penghasilan.

...----------------...

Halo readers tercinta. Aku datang lagi dengan karya baruku. semoga suka dengan karya ini.

karya ini aku buat untuk lomba dengan tema Mengubah Takdir.

Mohon dukungannya ya jangan lupa klik 5 bintangnya terus masukin favorit. klik jempol dan tebar bunga 🙈

Makasih banyak sudah membaca cerita ini. Maaf masih banyak typo.

Love you All. 😘😘😘

Pergi.

Jingga Pov.

Sudah satu bulan aku bekerja, dan hari ini aku gajian. Aku berangkat kerja dengan semangat, karena akan menerima gaji.

Aku pulang kuliah jam tiga, tapi aku tidak ingin pulang. Mereka selalu sengaja menyuruhku agar aku telat bekerja. Aku langsung ke restoran setelah pulang kuliah.

Aku sampai di restoran, ini bukan pertama kali aku datang beberapa jam sebelum waktunya. Bila belum masuk jam kerjaku, mereka tidak akan menyuruhku. Walaupun begitu, aku kadang membantu, saat mereka butuh bantuan. Mereka semua orang baik, tidak ada yang membuliku.

"Loh, Jingga sudah datang. Kebetulan, sini! Ini ada makanan dari Ibu." Kak Wulan memanggilku, begitu dia melihatku masuk ke dalam ruangan karyawan.

"Alhamdulillah, rezeki anak soleh! Makasih Kak." Aku langsung mengambil makanan yang ada di ruang karyawan.

"Kamu langsung dari Kampus?" Kak Wulan bertanya sambil memakan kue bolu.

"Iya, Kak. Kalau pulang dulu pasti aku telat masuk kerja." Aku menjawabnya setelah menelan bolu yang ku makan.

"Kan baru jam 3 Jingga. Masa telat?"

"Iya, soalnya Mamah tiriku akan melakukan berbagai cara untuk membuat aku terlambat. Nyuruh inilah, itulah, hal yang gak penting aja di suruh."

"Udah kaya cinderella aja, nasib kamu!" Kak Wulan terkekeh.

"Hahaha ... mana ada cinderella gendut." Aku tertawa sambil membayangkan jadi cinderella dan berdansa dengan pangeran.

"Kamu itu sebenarnya cantik loh Jingga, gak gendut-gendut amat. Kamu kan tinggi, jadi gak begitu kelihatan gendut. Kamu harus rajin olahraga biar kulitnya kencang gak kaya gini nih ... glambir ke mana-mana."

"Aku malas Kak olahraga, juga gak ada waktu. Rutinitas aja udah bikin aku kuwalahan."

"Maaf loh ya Jingga, aku gak ada maksud apa-apa, aku cuma mau ngasih kamu support supaya kamu percaya diri. Sekarang gini deh, nih! Cuci muka sana!" Wulan teman kerja ku memberikan sabun cuci muka.

"Aku cuci muka?"

"Iya, kenapa emangnya? Pantes aja kamu jerawatan gak pernah cuci muka, ya?"

"Cuci kok, pakai sabun mandi biasa."

"Ya ampun Jingga, sabun muka sama sabun mandi beda sayang. Udah sekarang cepat kamu ke kamar mandi." Aku menuruti permintaan Kak Wulan.

Selama ini aku memang tidak pernah memakai sabun muka, aku tidak punya uang untuk membelinya. Aku pakai apa yang ada di kamar mandi.

Setelah selesai aku lalu kembali pada Wulan.

"Sini! Keringin dulu." Wulan mengelap wajahku dengan tisu. Lalu dia mengambil peralatan make upnya di tas.

"Aku mau di apain Kak?" tanya ku.

"Kamu diam, nurut aja Oke!"

Aku hanya diam, Wulan memakaikan aku lipstik, bedak dan sedikit alat yang di mata, aku tidak tahu namanya.

"Buka mata, sekarang coba kamu ngaca!"

Aku membuka mata dan berdiri lalu bercermin, Aku melihat dia, sosok manis sedang menatapku.

"Kak, ini aku?" Rasanya tak percaya aku bisa berubah seperti ini.

"Iya sayang, cantik, kan?" Kak Wulan benar, dia terlihat cantik. Apakah dia itu aku?

"Iya, dia terlihat lebih cantik walau gendut."

"Berdandan bukan cuma untuk terlihat cantik, tapi supaya kita lebih memancarkan aura yang kita punya dan percaya diri. Kamu aja melihat dia yang di cermin, terasa berbeda auranya, iya kan? Dia gendut tapi cantik."

"Iya, Kakak benar. Selama ini aku tidak punya uang, jadi tidak pernah beli barang -barang yang begini. Ponsel aja aku gak punya." Aku tidak pernah mementingkan hal seperti itu. Bagiku yang terpenting aku bisa melewati hari dengan baik.

"Nah, sekarang kamu kan gajian, kamu sisihkan sedikit untuk make up. Tidak perlu banyak yang penting ada lipstik sama bedak."

"Iya, Kak nanti aku akan beli, sama sabun mukanya juga."

"Beli yang khusus jerawat, ya."

"Iya, Kak. Makasih banyak."

"Sekarang kita kerja yuk, kamu ganti baju, aku keluar dulu."

"Iya, Kak." Aku mengganti pakaianku. Aku bercermin dan tersenyum pada sosok di balik cermin.

"Kamu terlihat cantik dan bahagia. Tapi hidupku tidak sebahagia itu." Jingga tersenyum getir.

...***...

Hari sudah malam saatnya aku pulang.

aku sampai di rumah pukul setengah sebelas malam. Ku langkahkan kaki, langsung naik ke atas untuk berganti baju.

"Sepi, berarti semua sudah tidur. Aku pakai baju ini aja, soalnya aku harus membersihkan rumah biar gak gerah." Aku memakai celana pendek dan kaos tanpa lengan.

Sebenarnya aku lelah, tapi berhubung besok aku ada kuliah pagi, jadi aku kerjakan sekarang.

Malam semakin larut sudah hampir jam 12 malam. Pekerjaanku sudah beres. Aku tinggal mencuci besok.

Tok ... Tok.

Siapa malam-malam ketuk pintu. Kuntil anak, pocong, tapi pocong gak bisa buka ketuk pintu, kan tangannya terikat.

Tok ... Tok.

Aku dekati pintu dan mengintip lewat lubang kecil. Tapi tidak ada orang.

Dug ... Dug.

"Eh ... kodok." Ngagetin aja. Aku langsung buka pintu karena penasaran.

"Eh, gentong lama banget buka pintu." Ternyata Kevin. Tercium bau alkohol. Aku tidak menanggapinya dan menutup pintu, kemudian berlalu pergi.

"Eh gentong, lo mau godain gue ya. Tapi lo sexy juga!" Aku lupa jika saat ini, aku memakai celana pendek dan kaos tanpa lengan. Aku langsung pergi dari hadapan Kevin. Tapi Kevin menarikku dan berusaha memelukku. Aku memberontak.

Plak.

Kevin menamparku dengan kencang.

"Jangan jual mahal gentong! gadis sepertimu yang bak Kuda nil ini, tidak akan ada yang mau!"

Aku tak perduli ucapannya. Aku segera lari menghindar. Tapi dia melempari ku dengan vas bunga yang ada di meja dan mengenai jidatku. Kepalaku terasa pusing, Terasa ada tetesan yang mengalir ke pipi. Sepertinya ini darah karena tercium bau besi.

Ku pegang jidatku, benar saja, ini darah. Kevin kembali mendekat, dia menarik tanganku serta menyeret ku, aku teriak sambil berusaha menendangnya.

Bugh ...

Tendanganku mengenai perutnya, namun tidak membuat cekalannya terlepas. Dia semakin marah. Dilepaskannya cekalan pada tanganku.

Bugh ...

"AAAA."

Kevin membalas menendang perutku, membuat aku terjatuh ke belakang. Rasanya sakit sekali. Reflek aku teriak.

"Ada apa ini?" Suara ayah terdengar, aku senang sekali. Akhirnya selamat dari predator. Semua terbangun karena suara gaduh ku dan Kak Kevin.

"Ini kenapa berantakan begini?Jingga apa yang kamu lakukan, kenapa vas Mamah pecah?" Mamah langsung menuduh ku.

"Bukan Jingga Mamah, tapi Kevin!" sanggah ku pada mamah.

"Kevin melempar Jingga pakai vas, biar dia sadar tidak bertingkah seperti ******! Liat aja pakaiannya. Dia mau menggoda Kevin Mah, Pah." Kevin memutar balikkan fakta dia justru memfitnah ku.

"Gak ... Kak Kevin bohong, aku tidak menggoda Kakak, justru Kakak melecehkan aku." Aku tentu saja membela diri dan mengatakan yang sebenarnya terjadi, berharap mereka akan percaya padaku.

"JINGGA! Kenapa kamu, berpakaian seperti itu? Kamu mau jadi ******, hah!" Hatiku serasa di tikam belati. Orang yang berharga bagiku tidak mempercayai ku justru mengatakan aku ******. Ayah, kau menganggap aku apa, selama ini?

"Tidak ... Ayah ... tidak!" Aku menangis kecewa juga takut. Wajah ayah begitu marah dan terlihat seram.

Ayah menarik tanganku, lalu menampar wajahku.

Plak ... Plak.

Ku pikir ayah akan menolongku tapi justru semakin menambah lukaku. Tuhan ambillah nyawaku sekarang. Aku menangis terisak.

"Mah, ambilkan sabuk Papah!" Apakah papah akan mencambuk ku seperti biasa? Tidakkah cukup tamparan dan tendangan yang kudapat hari ini. Rupanya penderitaanku masih panjang. Apa yang Kau rencanakan untukku wahai Sang Pencipta? Mamah datang membawa sabuk papah.

"Sini kamu! Ayah besarkan kamu bukan untuk jadi ******!" Ayah menjjenggut rambutku.

"Ampun Ayah ... ampun!" tidak ada yang menolongku. Mereka semua tersenyum bahagia melihat aku tersiksa.

CETAK ... CETAK ...

Ayah memberikan aku cambukan di punggungku. Kadang mengenai tangan dan pahaku. Aku terjatuh tiarap. Ayah masih menyambukku.

Aku menggigit bibirku sekuat tenaga menahan rasa sakit. Bila aku teriak, mereka semakin senang. Setelah puas menyiksaku mereka semua pergi.

"Sebelum kamu tidur, bereskan semua kekacauan ini!" perintah mamah kemudian dia pergi. Meninggalkan aku dalam keadaan tak berdaya. Semua badanku terasa perih.

Aku tidak sanggup lagi ya Allah. Bawa aku pergi jauh dari sini.

Benar, aku akan pergi dari sini. Aku bangun perlahan, sakit sekali perutku. Aku berjalan tertatih menuju kamarku.

Aku mengganti baju dan memasukkan beberapa pakaian, lalu buku pelajaran, berkas-berkas penting, tak ketinggalan dompet dan uang gaji yang kuterima tadi.

Diam-diam aku pergi dari rumah. Di luar ternyata hujan besar dan suara petir menggelegar. Aku berjalan di bawah langit yang menangis, mungkin dia merasakan iba padaku yang penuh penderitaan. Terasa perih semua luka di badanku.

Semakin lama pandanganku semakin kabur. Aku lelah, tiba-tiba ku rasakan sesuatu menghantam tubuhku dan pandanganku menjadi gelap.

...----------------...

Langit Biantara

Selamat membaca.

Namaku Langit Biantara. Aku adalah seorang CEO dari perusahaan IT no 1 di Indonesia. Di umur yang menginjak usia 29 tahun aku cukup sukses dalam karirku, tapi tidak urusan percintaan.

Walau banyak wanita yang mengelilingiku, tidak ku temukan cinta. Aku hanya bersenang-senang melepas penat setelah seharian bekerja. Orang tuaku ingin aku segera menikah tapi sepertinya aku takut dengan pernikahan, dan hubungan yang mengikat.

Mungkin trauma melihat orang sekelilingku yang selalu curhat karena pusing dengan berbagai masalah setelah menikah. Bahkan Kakakku sampai bercerai. Orang tuaku juga bercerai walau mereka sudah rujuk kembali.

Saat ini aku berada di salah satu club malam di Jakarta.

"Ton, gue pulang dulu. Besok gue ada rapat."

"Tapi lo bisa Lang, pulang sendiri?

"Bisalah, udah biasa juga!"

"Iya, tapi kan, di luar hujan lebat, lo juga mabuk. Mending lo sewa supir deh."

"Gak usah. Gue gak begitu mabuk kok." Aku melihat ke arah wanita yang ada di pangkuanku.

"Aku pulang dulu cantik. Terima kasih sudah di temani." Aku memagutnya dalam sebagai tanda perpisahan.

Wanita itu, yang bahkan tidak ku tahu siapa namanya. Dia bangun setelah aku menciumnya. Lalu ku berikan dia uang.

Aku tidak pernah tidur dengan wanita just make out, sebatas itu. Karena bagiku berhubungan intim berarti terikat.

"Lang! Hati-hati." Teriak Anton.

"Sip."

Aku berjalan keluar menuju mobil. Walau agak sempoyongan tapi aku dapat melihat dengan jelas.

Mobilku di mana? Banyak sekali mobil sama yang di sini.

Oh, iya. Aku lupa.

Tit ... Tit ...

Nah itu mobilku. Langsung aku aku buka pintu dan masuk ke dalam mobil.

Sebentar, tutup pintu, pakai sabuk pengaman, nyalakan mobil. Mana lubangnya ...

Nah ini dia ketemu. Mobil sudah menyala. Aku menjalankan mobil pelan-pelan. Sedikit pusing memang, tapi aku masih dapat mengontrol diri.

Hujan, sangat lebat. Suara petir bergemuruh. Ponselku berdering, aku mengambil head set di dash board mobil.

Saat akan ku pasang, head set malah terjatuh. "Sial!" Aku lihat jalanan sepi, kemudian aku menunduk dan mengambil head set. Tak sengaja aku menginjak gas.

Brak ...

Aku langsung mengerem karena aku merasa menabrak sesuatu.

Gawat! Apa atau siapa yang ku tabrak?

Aku turun untuk mengecek keadaan.

"Astagfirullah, gue nabrak cewek!"

"Siapa cewek ini?"

"Mba ... mba ... !" Aduh gimana ini, mana sepi lagi. Tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk mengangkatnya ke mobil.

Angkat sendiri mana kuat. Dia gemuk begitu.

Aku kembali ke mobil, mengambil ponsel dan menelepon ambulance.

Hujan lebat masih turun. Wanita itu kehujanan, kasihan dia. Aku ambil payung di bagasi. Lalu aku payungi wajahnya.

Wajahnya manis walau ada jerawat.

Lagian ini cewek ngapain tengah malam di sini hujan-hujanan. Eh tunggu dulu, dia bukan hantu kan? Aku sentuh dia untuk memastikan kalau dia manusia.

Syukurlah dia manusia. Mabukku langsung hilang, kalau dipikir-pikir, bisa saja aku lari, tapi aku adalah pria yang bertanggung jawab.

Dingin sekali rasanya. Bajuku basah, semakin dingin terkena angin malam.

Nguing ... Nguing ...

Akhirnya ambulance datang juga. Mereka kemudian membawa wanita itu. Aku mengikutinya dari belakang.

Sampai di rumah sakit, aku tidak langsung turun tapi mengganti bajuku. Untunglah aku selalu membawa salin.

Setelah selesai, aku ke dalam menyusul wanita tadi.

Aku bertanya pada petugas, pasien kecelakaan yang baru saja di bawa ke dalam.

Dia bilang pasien sedang diperiksa oleh dokter. Aku menunggu di ruang tunggu.

"Maaf, Mas. Anda yang bersama pasien kecelakaan itu?"

"Iya Sus."

"Mas, keluarganya?"

"Bukan Sus, saya orang yang tidak sengaja menabrak dia. Bagaimana keadaanya?"

"Maaf, tapi pasien meninggal dunia."

"Apa?" Innalillahi ... bagaimana ini? Aku secara tidak langsung telah membunuh wanita itu. Aku berjanji tidak akan pernah pulang dalam keadaan mabuk lagi.

"Terus, bagaimana Sus? Apa keluarganya bisa di hubungi? Kasihan wanita itu."

Aku merasa sangat bersalah. Aku meremas rambutku. Mengapa ini harus terjadi, ini karena aku takabur. Seharusnya aku mendengarkan Anton.

"Wanita? Maaf Mas? Tapi pasien yang meninggal adalah seorang pria."

"Apa? Mba bisa kerja yang bener gak, sih! Aku sudah panik dan merasa bersalah, ternyata Mba salah orang!" Aku marah pada suster ini. Hilang sudah kesopananku. Salah sendiri kenapa memberi infirmasi yang salah.

"Maaf Mas, tadi di tanya katanya iya."

"Kan memang dia pasien kecelakaan, makanya cari identitasnya yang benar!"

"Kan dia gak bawa identitas Mas. Kalau bukan Mas, berarti orangnya telah kabur!"

Perawat itu pergi. Aku kembali akan duduk.

"Mas, yang bersama pasien wanita itu?"

"Iya Dokter. Bagaimana keadaanya?"

"Dia mengalami, dislokasi pada lutut. Mas siapanya?"

"Saya yang bertanggung jawab pada pasien itu. Saya tidak sengaja menabraknya."

"Di sekujur badan wanita itu, terdapat luka cambuk. Sepertinya lukanya masih baru. Apa Anda tahu mengenai hal ini?"

"Saya tidak tahu, Dok. Saya baru bertemu dengannya, saya bahkan tidak menyentuh dia sama sekali. Setelah menabrak dia, saya langsung memanggil ambulance."

"Sepertinya wanita ini mengalami penyiksaan, punggung tangan dan paha terdapat luka cambukan, perutnya ungu seperti bekas tendangan. Ditambah kakinya mengalami dislokasi dan lutut. Pasien harus di rawat di rumah sakit."

"Baik Dok, rawat saja yang penting dia sembuh, saya yang akan menanggung semua biayanya."

Dokter itu kemudian pamit pergi. Aku ikut bersama perawat, untuk mengurus administrasinya.

Setelah beres aku kemudian menelepon ke mamah.

"Halo Mah, Langit sekarang ada di rumah sakit." Aku langsung bicara begitu telepon di angkat.

"Apa? Rumah sakit? Kamu kenapa?"

"Langit gak apa-apa Mah, tapi Langit nabrak orang. Dia harus di rawat."

"Mamah, kan udah bilang. Jangan suka keluyuran malam. Kamu sih gak pernah dengerin orang tua ngomong." Mamah marah-marah di seberang sana. Heran padahal dia kan baru bangun tidur.

"Iya, Mah."

"Udah gini aja, baru iya mah. Di rumah sakit mana?"

"Rumah sakit, Kasih Bunda."

Tut ...

Sambungan terputus. Mamah pasti sedang bersiap ke sini.

Sementara itu, pasien sudah akan di pindahkan ke kamar. Aku minta kelas yang paling mahal. Bukan apa-apa, aku ingin tidur dengan nyaman. Aku tidak mungkin membiarkan dia sendiri.

Pasien di bawa ke kamar VIP, aku mengikuti mereka di belakang. Wanita itu masih pingsan.

Sekarang aku berada di kamar mawar no 01.

Aku duduk di sofa memperhatikan wanita itu. Kasihan dia, sebenarnya apa yang di alaminya? Siapa yang sudah menyiksanya.

Tok ... Tok ...

Aku mendekati pintu begitu mendengar suara ketukan.

Ketika ku buka ternyata Mamah dan Papah.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Tidak Mah, ayo masuk."

"Dia, orang yang kamu tabrak?"

"Iya."

"Parah gak, Lang?"

"Lututnya bergeser. Tapi sebenarnya sebelum kejadian itu sepertinya dia habis di siksa."

"Apa? Di siksa bagaimana?"

"Dokter bilang sekujur badannya ada luka cambukan, perutnya juga ungu seperti bekas di tendang. Wajahnya juga ada memar, Mamah liat sendiri."

"Kasihan sekali, Lang. Bahkan penderitaannya bertambah. Dia harus ditabrak olehmu." Mamah melotot padaku.

"Iya, Mah Langit juga merasa bersalah padanya. Karena itu Langit akan merawatnya sampai dia benar-benar pulih total. Dokter bilang dia harus diet karena lututnya tidak akan mampu menampu berat badannya. Bagaimana kalau dia tinggal di rumah kita? Sampai dia benar-benar sembuh."

"Mamah setuju. Kita harus bertanggung jawab dan merawatnya. Kita akan membawanya pulang."

"Ngh ... Bunda."

Terdengar suara lirihan. Alhamdulillah wanita itu sudah sadar.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!