“Eh, ayoo buruan nanti ga dapat tempat strategis kita.” Tiga orang siswi melintas dengan cepat di depan Hanum.
“Gilaaa, aku tadi lihat loh pas mereka turun dari mobil. Beeuhh, keren abis.” Dua orang siswi berikutnya lewat di hadapannya dengan tergesa.
Semua mengarah ke satu lokasi yang sama, aula sekolah mereka.
Hanum melihat tidak hanya cewek-cewek itu yang menuju ke arah aula, tapi hampir semua siswa sedang berjalan ke arah aula.
Hanum mengikuti langkah mereka, berdesakan masuk melewati pintu aula yang sempit. Cacian dan sumpah serapah siswa lainnya, tidak ia hiraukan saat ia menginjak dan menyenggol mereka.
Ia hanya ingin tahu apa yang menyedot perhatian teman-temannya.
Hanum berusaha menerobos hingga barisan terdepan walau harus menerima berbagai macam umpatan kasar, ia sama sekali tidak peduli.
Mata Hanum tertuju pada sekelompok pria berkaos team basket, yang sedang bersiap untuk bertanding.
Mereka adalah Mahasiswa yang sedang melaksanakan pertandingan persahabatan, untuk mempromosikan kampus mereka di beberapa SMU termasuk sekolah Hanum.
“Itu … ituuuu yang namanya Alexander, duuh cakep banget ya.” Salah satu cewek yang berdiri di belakangnya berbisik pada teman di sebelahnya.
“Emang paling cool abiss, ya ampun meleleh hatiku, Sin,” timpal cewek yang lain.
Hanum mengikuti arah pandang mereka, ia memperhatikan cowok yang di maksud cewek-cewek tersebut.
Dalam sekejap seorang Hanum yang selalu cuek dengan penampilan dan selalu berpakaian norak, jatuh cinta pada Alexander Putra Prasojo.
Pria itu terlalu memukau dan bersinar di antara kawan-kawannya yang lain.
Tidak banyak berbicara, sorot mata yang tajam, postur tubuh yang tinggi dan dada yang bidang. Wanita mana yang tidak tertarik, apalagi untuk cewek-cewek ABG macam Hanum dan teman-temannya.
Pluit sudah dibunyikan tanda pertandingan basket akan segera dimulai. Sorak sorai penonton semakin semarak, beberapa suara wanita meneriakan beberapa nama cowok yang bertanding di tengah lapangan.
Nama Alexander ternyata yang paling sering dan keras diserukan oleh para wanita.
“Waah, dia idola rupanya,” gumam Hanum seraya membetulkan kacamatanya yang melorot, karena tersenggol siswa yang berdiri di sebelahnya.
“Diih, ngapain loe ngikut nonton di sini. Cari apaan?! emang ngerti tentang basket?” cela Berlin, salah satu siswi yang cukup populer di sekolah.
“Yee, emang kenapa? Suka-suka aku lah,” sahut Hanum cuek.
Hanum memang bukan tipe cewek yang mudah ditindas, sifatnya yang terlampau cuek membuatnya tidak peduli dengan penampilan.
Hanum seorang anak yatim piatu, sejak bayi di tinggal di panti asuhan oleh orang tuanya, tapi hal itu tidak membuat ia menjadi rendah diri. Pembawaannya yang riang dan optimis membuat ia menjadi kesayangan Ibu Anita, pengasuh di panti tempat ia tinggal.
Otak Hanum yang cerdas dan kreatif, membuat ia mendapatkan beasiswa dan dapat diterima di sekolah favorit yang ada di daerahnya.
Babak demi babak pertandingan basket sudah terlewati, suasana semakin tegang. Mata Hanum hanya tertuju pada satu pemain, ia merasa kasihan dan simpati pada perjuangan Alexander dalam mencetak point.
Melihat keringat Alex yang bercucuran, ingin rasanya Hanum berlari ke tengah lapangan lalu mengusap peluh pria itu dengan tangannya sendiri.
“Alex … Alex …Alex.” Suara dalam aula bergema saat Alexander menggiring bola.
Alex berhenti sesaat di tengah lapangan dan bersiap melompat, saat akan mengarahkan lemparan bola ke arah keranjang basket tiba-tiba, “I LOVE YOU ALEXANDER!” suara cempreng bak anjing yang dilempar sandal, menonjol di antara teriakan yang menambah semangat.
Bola yang seharusnya melambung tinggi mengarah ke keranjang basket dan masuk dengan sukses, seperti kehilangan tenaga dan menggelinding begitu saja.
Sontak semua mata yang di dalam aula mengarah padanya dengan tatapan menuduh.
Alex sempat kehilangan fokus dan terkejut saat akan mengarahkan tembakan ke arah keranjang basket, karena suara melengking yang sangat mengganggu pendengarannya.
Namun dengan cepat ia mampu menguasai keadaan. Alex kembali bermain dengan baik walaupun sempat gagal menambah point akibat teriakan gadis aneh itu, tapi tidak dengan rekan satu teamnya dan para pendukung Alex.
Mereka memandang Hanum dengan tatapan marah, menuduh, bermacam cacian keluar dari mulut mereka.
“Gu*oblok!”
“Bodoh!”
“Ngaca wooiii!”
“Udiikk!”
Bisik–bisik dan tawa mencela dari tribun atas hingga bawah, seperti dengungan lebah yang memenuhi aula.
“Siapa sih itu?”
“Astaga cari masalah tuh udik.”
“Dia kira Alex bakalan nanggepin gitu?”
Apakah Hanum tersinggung dan marah?
Ia sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya, matanya tetap tertuju pada satu mahkluk indah yang sedang berlari di tengah lapangan.
Tangannya tertangkup di depan dada, dengan wajah memuja. Bola matanya tidak lepas kemana Alex berlari.
“Lex, cewek aneh itu lihatin loe terus tuh,” celetuk teman satu teamnya, saat mereka istirahat duduk di sisi lapangan menanti pergantian babak selanjutnya. Alex hanya sedikit melirik tak acuh.
“Gilaaa, tatapannya kayak superman. Tajam banget hahahahaa ….” Salah satu temannya yang lain ikut menimpali.
Mungkin teman satu teamnya baru saja menyadari, tapi sebenarnya Alex sudah tahu sejak mereka masih bermain karena tatapan mata Hanum seakan menembus kaos basketnya dan membuat punggungnya bolong.
“Loe ganggu konsentrasi mereka deh,” Salah satu siswi memandang Hanum kesal.
“Gue ga ngapa-ngapin kok,” sahut Hanum.
“Mending keluarin deh anak ini dari aula, ganggu aja.”
“Iya, bikin sakit mata.”
“Kalo kakak-kakak Mahasiswa itu lihat ada cewek model Hanum di sekolah ini, bisa rusak image kumpulan bidadari sekolah kita.”
“Keluar loe!”
Suara-suara penolakan semakin santer terdengar. Hanum memberontak saat ada seorang siswi menariknya keluar dari aula.
“GA MAU!” Hanum bersikukuh tetap bertahan di tempatnya berdiri.
Namun semakin banyaknya yang menariknya keluar dari ruangan, membuat Hanum kalah kekuatan.
Ia dilempar begitu saja oleh teman-temannya keluar dari aula.
“AARRGHHHHH, AWAS KALIAN!” Hanum berteriak dari luar aula dengan tangan mengepal.
Hanum duduk di sisi aula menunggu hingga pertandingan selesai. Tidak sia-sia Hanum masih bertahan di luar aula. Setelah lebih dari tiga jam, pintu aula terbuka dan para pemain berjalan keluar termasuk Alex dengan diikuti para suporter.
“Kak Alex!” Hanum berlari mendekat.
Beberapa teman sekolahnya berusaha menahannya agar Hanum tidak dapat mendekat dengan para pemain.
“Masih di sini aja, loe tuh bikin malu sekolah kita tau!” seru Berlin seraya mendorongnya menjauh.
“Apaan sih!” Hanum tetap merangsek maju.
“Kak Alex, foto bareng ya,” ucap Hanum dengan pandangan berharap, saat ia berhasil mendekat pada Alex.
“Ga pa-pa, biarkan aja,” ucap Alex saat Berlin ingin kembali menarik Hanum.
Hanum dengan gembira langsung mengeluarkan dari sakunya, ponsel jadul yang beresolusi sangat rendah.
“Senyum, ya Kak,” ucapnya dengan percaya diri, saat mengarahkan kamera foto ke hadapan wajah mereka berdua secara selfie.
Semua tertawa melihat Hanum yang tersenyum lepas sedangkan Alex hanya meringis kaku.
...❤❤...
Hai terima kasih sudah mampir ke karya ke tiga aku 🙏🤗
Mohon jgn lupa like tiap babnya ya.
Tokoh pria utama di cerita ini Alexander adalah putra sulung dari Beny prasojo, yang sudah baca novel pertama aku "CINTA JANGAN DATANG TERLAMBAT" pasti tau kan ya.
Ingatkan lagi aahh ..
Love/favorite ❤
Komen bebas asal santun 💭
Like / jempol 👍
Bunga 🌹
Kopi ☕
Rating / bintang lima 🌟
Votenya doong 🥰
...Impian itu harus dijemput karena terkadang ga punya ongkos untuk naik angkot...
...❤...
Hanum masih berdiri di tempatnya saat rombongan Alex bersama teamnya, sudah menaiki mobil dan keluar dari halaman sekolah mereka.
Ia terus memandangi fotonya bersama dengan Alex dengan perasaan bahagia.
“Ngimpi!” Ponsel yang ia genggam, jatuh ke lantai saat Berlin menyenggolnya dengan sengaja.
“Berlin!” seru Hanum kesal.
“Apa?! U … dik!” olok Berlin lalu pergi berlalu begitu saja bersama dengan teman-temannya, seraya tertawa mengejek.
Hanum mengambil ponselnya, lalu mengecek apakah masih bisa dinyalakan. Ia tersenyum lega saat ponsel keluaran sepuluh tahun yang lalu itu, masih berfungsi dengan baik terlebih fotonya dengan Alex masih terlihat sangat jelas.
...❤...
“Selamat siang, Bu,” sapa Hanum ceria, pada Ibu Anita pengasuh di panti tempat tinggalnya.
“Siang juga, dah pulang, Num? Ganti baju, cuci kaki, cuci tangan lalu langsung makan.” Hanum tersenyum mendengar pesan yang sama dan berulang, untuk semua anak panti yang baru pulang sekolah.
“Bu … Kampus Ungu itu mahal tidak ya?” tanya Hanum ragu-ragu. Ia tahu untuk anak yatim piatu seperti dirinya dapat sekolah sampai jenjang SMU saja sudah harus bersyukur, apalagi bisa kuliah.
Ibu Anita menghentikan kegiatannya menjahit baju adik-adik pantinya yang robek, lalu mengangkat wajahnya menatap Hanum sendu, “Kamu pingin kuliah, Num?”
Hanum menunduk tidak menjawab. Tidak, sebenarnya ia tidak ingin kuliah. Rencana awalnya adalah setelah lulus SMU, ia akan kerja di toko Pak Soleh.
Ia tidak berani bermimpi terlalu tinggi walau kata pepatah kita harus menggantungkan cita-cita setinggi langit, tapi ia belum menemukan pengait untuk menggantungkan cita-citanya.
Namun pertemuannya dengan Alexander siang tadi, kembali menumbuhkan semangatnya. Ada keinginan untuk selalu dekat dengan pria itu. Sosoknya bagai magnet di mata Hanum.
“Kak … Kak Hanum!” Andi, adik pantinya yang berusia tujuh tahun menggoyang-goyangkan lengannya.
“Apa?”
“Ditanya Ibu tuh, Kak Hanum ngelamun terus.”
“Kamu mikirin apa sih, Num. Sampe Ibu ngomong dari tadi ga ditanggepin.” Hanum hanya menyengir, rupanya ia larut dalam bayangan wajah Alexander sampai tidak mendengarkan penjelasan Ibu pantinya.
“Ibu tadi bilang, kalo kamu bener pingin kuliah di Kampus Ungu, Ibu bisa minta bantuan pak Beni. Kamu kan pintar, Num. Mungkin bisa ikut tes jalur khusus.”
“Malu ah, Bu. Minta tolong terus,” ucap Hanum pasrah. Pak Beni adalah konglomerat di daerahnya, hampir segala bidang usaha di daerahnya ini adalah miliknya.
Pak Beni juga adalah sebagai donatur tetap dan utama, di panti mereka sejak lama. Ia sudah menyekolahkan banyak anak panti yang berprestasi, termasuk Hanum. Akan tetapi jenjang paling tinggi masih tahap SMU jika Hanum dibantu kuliah, maka ia akan jadi anak panti pertama yang berstatus mahasiswi.
“Kenapa harus malu, kamu ga nyogok untuk bisa kuliah. Kamu tetap ikut tes masuk untuk bisa diterima, hanya bedanya kamu dibantu sedikit lebih mudah agar tidak dipandang sebelah mata sama orang lain karena kamu asalnya dari panti asuhan.”
“Lagian putra sulung Pak Beni si Alexander juga masih kuliah disana, jadi dia pasti tau caranya masuk di sana,” lanjut Ibu Anita.
“Siapa, Bu??” Radar Hanum seketika langsung aktif, saat mendengar nama Alexander disebut.
“Anaknya Pak Beni.”
“Iyaaa, sapa namanya tadi??” desak Hanum.
“Alexander,” jawab Ibu Anita.
Otak Hanum bekerja dengan cepat, tidak mungkin ia menunjukan foto berdua dengan Alex pada Ibu Anita, itu sungguh memalukan.
Kira-kira ada berapa nama Alexander di daerah kecil tempat ia tinggal, pria asli di daerahnya ini biasanya bernama Anto, Andi, Joko, Kirman, Budi dan lainnya tidak ada bau-bau bulenya sama sekali. Kampus di daerahnya pun hanya satu, ya Kampus ungu itu.
“Namanya bagus banget, pasti ganteng,” pancing Hanum.
“Ibu terakhir ketemu setahun lalu. Ganteng memang, putih, tinggi, rambutnya ikal mirip bapaknya, tapi agak pendiam anaknya.” Senyum Hanum terkembang mendengar penjelasan Ibu pantinya. Sudah dipastikan ciri-ciri yang dijabarkan Ibu pantinya adalah Alexander kesayangannya.
“Gimana, mau ga kuliah di sana? Nanti Ibu tanyakan sama Pak Beni, mumpung anaknya masih kuliah di sana, tahun depan dia sudah lulus. Pegang usaha Pak Beni yang di kota,” lanjut Ibu Anita.
“Hah?!” Baru saja dia mendapat kabar gembira, tiba-tiba harus menerima kabar yang mengecewakan.
Jadi untuk apa ia masuk Kampus Ungu, jika buruannya tidak ada di sana?
“Ibu telepon Pak Beni dulu ya.” Ibu Anita mengambil ponselnya, lalu mencari sebuah nomer di dalamnya.
“Jangan!” seru Hanum. Ibu Anita memandangnya heran, “Ga usah, Bu. Hanum ga pingin kuliah. Hanum mau cari kerja aja, biar bisa belikan Ibu sama adik-adik rumah panti yang besar.” Hanum memandang Ibu pantinya penuh dengan keyakinan.
“Kamu yakin, Num? Pak Beni bisa bantu loh. Kamu kan cerdas, Num, sayang kalo ga nerusin kuliah." Ibu Anita masih bersikukuh.
“Bu, kesuksesan itu ga harus berasal dari bangku kuliah. Hanum mau secepatnya mencetak duit.” ‘Dan mencetak anak juga,’ tambahnya seraya terkikik dalam hati.
...❤...
Hanum benar-benar konsisten dengan keinginannya. Ia menyelesaikan tingkat SMU dengan nilai yang sangat memuaskan, bahkan ia peringkat umum dari seluruh SMU di daerahnya.
“Kamu yakin, Num?” Ibu Anita masih berusaha menahannya keluar dari panti.
Ia memutuskan pergi ke kota untuk merantau, sebenarnya tidak benar-benar merantau karena ia sudah punya tujuan khusus sesampainya di kota besar itu. Ia akan bekerja di perusahaan milik Alexander.
Selama enam bulan terakhir, ia sudah menyelidiki dan memastikan bahwa PT. Pesona Ragam Lahan, perusahaan property milik keluarga Pak Beni yang memegang kepemimpinan adalah Alexander Putra Prasojo bakal calon suaminya nanti.
Bukankah kita harus selalu optimis? Hanum terkikik membayangkan mimpinya yang terdengar memalukan.
“Eh!, kamu ini kok malah ketawa-ketawa sendiri. Lihat tuh adik-adikmu nangis kamu mau pergi, kamu malah senang.” Bu Anita menepuk pundaknya, menyadarkannya dari lamunan tak tahu dirinya itu.
“Maaf, bukan gitu maksud Hanum.” Bibirnya mencebik melihat Ibu asuhnya itu cemberut kesal.
“Hanum juga sedih harus pisah, tapi Hanum janji pasti nanti kalo pulang bakal bawa duit yang buuaaanyaaakkk buat ibu sama adik-adik.” Hanum memeluk Ibu pantinya dengan erat. Adik-adik pantinya ikut memeluk mereka berdua, seraya berteriak gembira mendengar kakak mereka akan pulang dengan membawa uang yang banyak.
...❤...
Hanum memandangi kamar kosnya yang berukuran 2x3m, cukuplah untuk dirinya hidup sendirian. Satu buah kasur kapuk di lantai tanpa dipan, dan satu lemari kecil untuk bajunya, hanya itu isinya sudah cukup mewah untuk Hanum
Dengan berbekal uang yang hanya cukup selama enam bulan, ia harus segera mendapat pekerjaan sebelum uang itu habis.
...❤❤...
Ingatkan lagi aahh ..
Love/favorite ❤
Komen bebas asal santun 💭
Like / jempol 👍
Bunga 🌹
Kopi ☕
Rating / bintang lima 🌟
Votenya doong 🥰
Mampir juga di karyaku yang lain ya 🙏
Hanum tidak menginginkan pekerjaan yang lain, karena ia sudah mentargetkan hanya ada satu perusahaan yang harus menerimanya bekerja.
Hanum membuka tirai jendela kamar kosnya, ia memandang gedung berwarna kecoklatan yang menjulang tinggi di antara gedung lainnya.
Pada puncak gedung itu, sebuah papan bertuliskan PT. Ragam Pesona Lahan dan ia sangat yakin Alexander ada di dalamnya.
“Tunggu aku di sana ya, Sayang. Aaahhhhhh ….” Ia merasa malu sendiri dengan apa yang diucapkannya. Hanum bergulung-gulung di atas kasur tipis beralaskan sprei yang sudah pudar warnanya.
...❤...
Tidak mau menunggu lebih lama lagi, pagi ini Hanum sudah berada di dalam lobby PT. Ragam Pesona Lahan, dengan berpakaian kemeja putih yang longgar. Emm … lebih tepatnya putih kekuningan, karena lama disimpan dalam lemari. Celana kain hitam milik Ibu Anita yang kebesaran, dan ia ketatkan dengan ikat pinggang.
“Selamat siang, saya mau melamar pekerjaan,” ucap Hanum dengan percaya diri pada bagian receptionist, yang memandangnya dengan kening berkerut.
“Memang lagi buka lowongan pekerjaan?” bisik salah satu receptionist pada teman sekerjanya. Temannya yang ditanya hanya mengangkat bahu lalu memandang Hanum dari atas hingga bawah.
Hanum tidak peduli dengan tatapan mereka, ia tetap menebarkan senyuman yang diyakini sebagai senyum terbaiknya.
“Maaf ya, Mba. Kantor ini belum buka lowongan pekerjaan.”
“Saya mau kerja apa aja, apaaaa aja. Tolong dong, Mba.” Hanum menarik tangan receptionist itu dan menggengamnya erat.
“Mba jangan gini, nanti kalo ada lowongan bisa melamar lagi.” Receptionist itu berusaha menarik tangannya.
“Tolooonglah, Mba. Kerja apapun aku mau kok." Hanum masih bersikukuh mengejar receptionist yang mulai ketakutan itu.
“Feb, panggil satpam gih. Bos bentar lagi dateng loh.” Usul salah satu receptionist yang lain.
Namun terlambat, Alexander sudah masuk ke dalam lobby bersama dengan seorang tamu asing. Alex terus berbicara dalam Bahasa Inggris dengan tamu penting itu dan ia tidak memperhatikan kekacauan yang dibuat oleh Hanum.
“Kak Alex!” panggil Hanum dengan mata berbinar. Semua mata tertuju pada Hanum termasuk Alex dan tamunya.
Para karyawan yang saat itu berada di lobby, melongo melihat Hanum memanggil Bos mereka hanya dengan nama saja.
“Kak Alex, aku mau kerja di sini. Kak Alex kan Bos, aku pasti diterima kan?” Hanum memberanikan diri menggenggan tangan Alex. Seluruh karyawan serempak terkesiap, saat Hanum melakukan tindakan berbahaya itu.
Alexander terkenal di antara karyawannya, sebagai seorang pemimpin yang sangat dingin dan irit berbicara. Tidak ada yang berani menyela pembicaraannya ataupun menolak permintaanya. Alexander adalah seorang CEO, yang susah didekati oleh siapapun.
“You’re wife?” tanya si bule.
“No! Ah … I’m sorry. Let me handle it first.” Alex member kode pada satpam yang bersiap di kejauhan, agar segera mendekat.
“Kak Alex!, aku diterima kerja di kantor ini, please,” ucap Hanum panik, saat satpam itu semakin dekat.
“Iya … iyaa!” jawab Alex asal, lalu berjalan cepat menyusul si tamu bule yang sudah duluan di depan lift bersama dengan sekertarisnya.
“Kalian dengar sendiri kan? Aku diterima kerja di kantor ini,” ucap Hanum pada semua karyawan yang masih menatapnya dengan pandangan aneh.
“Jadi aku kerja di bagian apa?” lanjutnya sambil tersenyum lebar. Karyawan lain hanya terdiam dan saling memandang bingung.
...❤...
Lalu disinilah akhirnya Hanum berada. Ruangan kecil berdebu dan suram, berisi setumpuk berkas yang tersusun acak di setiap raknya.
Ia bertugas menyusun semua dokumen lama menurut nomer, departement dan tahun terbit.
Selain itu ia mempunyai tugas mengantar paket, surat, dokumen dari luar ataupun antar karyawan.
Bagian personalia terpaksa menerimanya bekerja, karena hukumnya satu kata yang terucap dari mulut Alexander adalah sebuah mandat yang tidak boleh dilanggar.
Hanum sama sekali tidak keberatan dengan pekerjaannya. Walaupun ia harus berada di ruangan yang sempit dan pengap selama berjam-jam, atau ia harus naik turun tangga berkali-kali dalam sehari karena harus mengantar paket maupun surat untuk para staff.
“Iya …iya, benar sekali. Saya pun senang Pak Beni, kalo keponakan saya bisa jadi menantu di keluarga Bapak hahahahaaa ….”
“Saya sudah taruh profile calon mantu Bapak di meja Alex, saya yakin 100% putra Pak Beni langsung jatuh cinta.”
“Waah, benarkah? Berarti ga perlu pakai perkenalan dan perjodohan lagi. Mereka bisa langsung menikah.”
“Benar … benar, Pak Beni anak muda jaman sekarang kalau sudah asyik dengan dunia kerjanya, lupa sama masa depannya hahahahaha ….”
Hanum terpaku mendengar pembicaraan seorang pria berperut buncit lewat ponsel yang diyakininya lawan bicara di seberang sana adalah Pak Beni, Papa dari Alexander.
Suaranya yang lantang, membuat siapapun pasti menoleh padanya.
Otak Hanum langsung berkerja merangkai kata demi kata yang diucapkan pria itu.
‘Alex, menikah, menantu, perjodohan. Alexander, calon suamikumau dijodohkan dan langsung menikah?!’
‘TIDAK … TIDAK BOLEH!!’
Rasa penasaran, membawanya ke depan ruangan Alex. Saat jam istirahat lantai di ruangan para petinggi terlihat sepi.
Alex sudah dipastikan tidak ada di ruangan sejak dari pagi. Sekertarisnya yang bahenol, sedang makan di kantin dengan para fans garis kerasnya.
Perlahan Hanum mendekat ke arah dua daun pintu besar yang tertutup rapat. Ia mendorong perlahan dengan satu jarinya … Pintu terbuka!
Tidak mau membuang waktu, Hanum segera memeriksa semua berkas yang ada di meja Alex.
Sebuah map berwarna pink mencuri perhatiannya, ia segera membukanya dan melihat beberapa lembar foto dari segala sisi dan biodata pribadi seorang wanita.
“Ciihh, menang di dada dan bokong aja,” sungutnya, “Wajahnya cantik juga … rambutnya juga bagus … memang cantik sih,” lanjutnya sedih.
“Mau cantik bagaimanapun, Alexander tetap akan jadi suamiku!” tekad Hanum, dengan cepat ia keluar dari ruangan CEO membawa map berisi biodata wanita cantik yang akan dijodohkan dengan Alex.
“Pak Amir, saya kan mau melamar kerja di kantor depan tuh. Boleh ga cetak foto sama daftar riwayat hidup di sini,” rayu Hanum pada staff personalia yang berkumis lebat.
“Kamu ga betah kerja di sini?” tanya Pak Amir, yang jika berbicara kumisnya ikut bergerak-gerak.
“Betaaahh, tapi di sana posisinya bagus, Pak. Sekertaris katanya, saya kan pingin dapet gaji besar juga.”
“Kamu mau jadi sekertaris??” tanya Pak Amir tidak percaya.
“Ho oh, boleh ga, Pak?” desak Hanum. Ia khawatir waktu istirahat berakhir, dan sekertaris Alex yang bahenol itu sudah kembali ke tempatnya. Lebih gawat lagi, jika Alex sudah kembali ke ruangannya.
“Ya, sudah. Mana filenya?” Hanum segera mengirim berkas dan file foto ukuran 3x4 yang dipakainya untuk melamar pekerjaan.
“Terima kasih, Pak Amir, kalau saya sukses nanti jasa-jasa Bapak akan selalu saya kenang,” ucap Hanum, setelah semua berkas yang diminta ada ditangannya.
“Ya … ya, sahut Pak Amir tak acuh, dengan gerakan tangan ia mengusir Hanum dari ruangannya. Alasan satu-satunya ia membantu Hanum adalah, agar gadis itu segera mengundurkan diri, karena dirasa membebani pengeluaran gaji karyawan yang tidak perlu.
...❤❤...
Ingatkan lagi ya 🙏
Love/favorite ❤
Komen bebas asal santun 💭
Like / jempol 👍
Bunga 🌹
Kopi ☕
Rating / bintang lima 🌟
Votenya doong 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!