NovelToon NovelToon

Baret Biru

1. Keluarga Pak Bagus

Menjadi sebuah kebahagiaan bagi keluarga yang memiliki anak-anak yang berprestasi, sholeh dan sholehah, juga berbakti pada kedua orang tuanya. Kebahagiaan dan nikmat berupa keluarga yang harmonis juga dirasakan oleh Bagus Wijaya. Selain karena memiliki seorang istri yang setia, baik hatinya dan begitu cantik, Bagus Wijaya juga dikaruniai dengan dua orang anak yang sangat membanggakan.

Anak pertamanya bernama Adnan, Adnan Dzaki Pratama. Didikan tegas penuh kedisiplinan darinya benar-benar membuahkan hasil. Adnan sejak kecil selalu menjadi juara kelas. Dia tidak pernah turun dari ranking 3 besar di sekolahnya. Selain itu, di mata para guru dia dikenal sebagai murid yang sopan dan berbudi pekerti.

Setelah lulus dari sekolahnya, alih-alih kuliah dia lebih memilih masuk ke akademi kepolisian dan berniat menjadi polisi persis seperti ayahnya. Anak itu berhasil lulus, dan ditempatkan di korps samapta. Walaupun dia sekarang bekerja di luar jawa, tapi anak itu selalu saja menyempatkan diri untuk paling tidak menanyakan kabar keluarganya. Terutama adik perempuannya, Kirana.

Kirana saat ini sedang menempuh bangku kuliah. Sudah 2 tahun sejak anak itu menjadi seorang mahasiswa. Dia sedang menempuh pendidikan di bidang ilmu manajemen bisnis. Tidak berbeda jauh dengan abangnya, Kirana adalah seorang gadis yang pantang menyerah dan pekerja keras. Sikap tegas dan disiplin yang tinggi membuat gadis ini tidak tersentuh oleh kenakalan remaja sama sekali.

Seperti kebanyakan hubungan kakak dan adik, Adnan dan Kirana juga sering bertengkar. Mereka selalu merebutkan apapun entah hal-hal kecil sampai hal yang besar. Ada satu perdebatan yang menurut kedua orang tuanya tidak akan pernah berujung adalah perdebatan tentang siapa yang lebih disayang oleh Papa. Entah sedang berhadap-hadapan atau hanya melalui telepon keduanya pasti berdebat.

“Mending abang nggak usah pulang ajalah. Rumah serasa surga nggak ada abang,” kata Kirana dengan maksud meledek.

“Eih enak saja kau. Mulut boleh bicara begitu. Tapi rindumu pada abang pasti sudah meronta-ronta kan? Abang tahu, bilang saja lah,” kata Adnan.

“Dih, rindu katanya. Nggak sudi. Rinduku itu buat Keenan nggak buat abang,” jawab Kirana lagi.

“Keenan lagi Keenan lagi. Bosan abang dengarnya.”

“Halah cemburu kan pasti.”

“Dih cemburu katanya, nggak sudi.”

Begitulah kalau dua bersaudara ini sedang saling menghubungi. Terhalang jarak tidak membuat perdebatan mereka mengalami kendala. Malah justru semakin hari semakin sering mereka berdebat. Terkadang keduanya akan saling mengejek di twitter, atau lewat chat, atau adu pamer di story.

Intinya dimana tempat semua bisa menjadi arena untuk keduanya. Namun begitu, kedua orang tuanya diam saja melihat tingkah Adnan dan Kirana karena mereka tahu begitulah cara kakak adik ini mengungkapkan perasaan sayangnya. Akhirnya perdebatan mereka malah menjadi musik yang indah untuk kedua orang tuanya. Sehari saja Adnan dan Kirana tidak adu argumen, sepi rasanya.

“Awas aja kamu nanti. Minggu depan Abang pulang. Siap-siap karmamu akan datang,” kata Adnan pada adiknya.

“Oh…, dengan kedua tangan terbuka akan kusambut saudara Ipda. Adnan Dzaki, akan kusiapkan istana yang megah dan mewah biar abang puas!” kata Kirana.

Walaupun dia berkata begitu, Kirana tetap saja berjingkrak. Hampir saja dia jatuh dari kursi jika bukan karena Keenan memegangnya. Keenan Raditya Ghifari adalah kekasih Kirana. Kirana dan Keenan sudah pacaran sejak duduk di bangku kelas 9 SMP. Keenan yang ketika itu adalah seorang ketua OSIS jatuh cinta pada wakilnya sendiri dan begitu lepas masa jabatan langsung saja dia pacari. Takut diserobot orang katanya.

Keenan adalah mahasiswa ilmu komunikasi di kampus yang sama dengan Kirana. Dari sekian banyak pemuda yang ingin dekat dan pacaran dengan Kirana ya hanya Keenan ini yang berhasil memenangkan hati Kirana. Keenan adalah sosok berhati lembut yang mampu melunakkan hati Kirana. Ketika pacarnya itu sedang dalam suasana hati yang tidak biasa, Keenan pasti punya cara untuk menghiburnya. Itulah kenapa kedua orang tua Kirana akhirnya merestui hubungan mereka berdua.

“Kan kebiasaan. Jadi cewek kalem dikit kenapa sih?” kata Keenan.

“Ya maaf sih,” kata Kirana yang barusan hampir terjatuh.

“Gitu ya, jauh kangen-kangenan kalau dekat cakar-cakaran. Nggak baik sama abang sendiri berantem mulu,” kata Keenan lagi.

“Ya dia yang mulai kok. Aku mah kalau nggak disenggol nggak akan ngebacok,” jawab Kirana dengan nada cuek tapi di wajahnya penuh dengan senyum.

Keenan hanya bisa geleng-geleng. Bagaimana dia tidak heran, kedua kakak beradik ini memang agak aneh. Dia punya satu kakak perempuan tapi tidak pernah tuh dia dan kakak perempuannya bertengkar. Mereka malah akur sekali seperti orang pacaran katanya.

“Jadi habis kelas mau survey?” tanya Keenan.

“Jadi.”

“Mau ke mana emangnya?”

“Legenda coffee,” kata Kirana membuat Keenan heran. Dia mau survey pasar atau mau nongkrong sih.

Jadi Kirana ini memiliki mimpi, dia ingin punya cafe sendiri yang bukan hanya nyaman dipakai untuk nongkrong tapi juga nyaman dipakai untuk bekerja. Cafe yang memiliki suasana produktif dan enak dipakai diskusi. Cafe yang akan menjadi sumber inspirasi untuk banyak ide ide cemerlang setiap yang datang.

“Yaudah aku jemput jam 2 ya. Aku kelas dulu,” pamit Keenan hanya diangguki oleh Kirana.

Setelah berpisah dari Keenan, Kirana menuju ke foodcourt kampus dan ikut bergabung dengan Lucy dan Ningrum yang sedang ghibah di salah satu mejanya. Kirana begitu saja duduk di samping Ningrum kemudian memeluk tubuh gembul gadis itu sambil memejamkan mata. Kedua sahabatnya ini sih sudah tidak kaget dengan tingkah Kirana karena memang begitulah tingkah gadis itu dari SMA. Lengket.

“Ki, habis ini lu jadi survey kan ya?” tanya Lucy.

“Jadi. Sama Keenan,” kata Kirana.

“Ye…, ini mah namanya sambil menyelam minum air dong, mau sekalian pacaran kan lo,” kata Lucy yang sudah paham gelagat Kirana.

“Yoi,” jawab Kirana sambil menaik turunkan sebelah alisnya.

“Inget lho jam 5 ngumpul di rumah Lucy. Lu hari ini survey ke Legenda sama Normal cafe,” kata Ningrum mengingatkan.

“Iya santai inget kok inget, nanti kalau ada waktu aku sekalian mau ke kopiku yang katanya rasa kopi di sana enak,” kata Kirana.

“Bawain sekalian buat gue. Nih duitnya, varian apa aja yang penting manis, sisanya lo pake buat beliin Ningrum, elo, sama Keenan. Pokoknya tuh duit abisin aja sekalian buat snack. Bahasan kita bakal panjang hari ini. Sekalian juga lo pada bawa alat mandi biar sekalian ntar malem nginep. Parno gue di rumah sendirian, temenin gue ya,” kata Lucy sambil memberikan selembar 100 ribuan.

“Bokap nyokap kemana Cy?”

“Bokap masih di luar kota dan belum pulang, nyokap balik ke Sukabumi karena nenek sakit padahal tante masih liburan di Korea,” kata Lucy.

“Buset, nggak terus pulang gitu tante lu? Masih tetep jalan-jalan aja di Korea padahal mamanya lagi rumah sakit?”

“Ya gitu, habis denger kabar kalau sakitnya nenek nggak parah lanjut deh mereka liburannya. Keluarga gue emang aneh, udah jangan disamain sama keluarga kalian berdua,” kata Lucy.

Lucy, Kirana, dan Ningrum memang bersahabat dekat sejak masih SMA. Ketiganya bersahabat dekat bahkan walau memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Ningrum, ayahnya adalah seorang pekerja kantoran biasa di bagian marketing. Hidup pas-pasan namun begitu harmonis. Sedangkan Lucy sebaliknya.

Dia adalah putri tunggal seorang keluarga kaya raya. Papanya punya perusahaan property yang mana cakupannya sudah tidak hanya di satu kota saja. Dia terbiasa di rumah seorang diri dengan pengasuhnya sejak kecil karena Papa yang lebih sering kerja di luar kota dan Mama yang sibuk dengan keluarga besarnya yang katanya sih dekat tapi isinya hanya tentang pamer kekayaan.

Kalau untuk Kirana, dia sendiri tidak mampu mendefinisikan keluarganya itu tergolong keluarga yang bagaimana. Mau dibilang menengah kebawah tidak juga. Papa selain sebagai seorang perwira kepolisian beliau punya 2 buah rumah kos kosan yang dikelola oleh Mama juga satu warung makan di lantai 1 setiap kosannya. Keluarga dia terbilang cukup mampu.

Kalau soal keharmonisan, dia sendiri tidak bisa mendefinisikan bagaimana yang disebut harmonis itu. Keluarganya itu keluarga yang lurus. Setiap anggotanya sudah paham akan hak dan kewajibannya masing-masing. Papa bekerja mencari nafkah, Mama mengelola rumah, kakak yang menjadi pengayom bagi adik dan adik yang menurut pada semuanya. Ya hanya begitu.

Kirana, Lucy, dan Ningrum memulai ide untuk membuka cafe ini ketika masih di bangku SMA. Sama seperti kebanyakan siswa kelas 3 yang ada lingkaran kebingungan mau lanjut kemana, mereka juga sama. Suatu sore setelah kelas pengayaan, ketiganya mampir dulu di cafe menemani Lucy yang sedang malas berada di rumah karena kedua orang tuanya sedang berada di rumah.

Di cafe itu mereka mendapatkan service yang tidak memuaskan, sudah pesanan mereka lama datangnya, waitersnya tidak ramah, ya mereka akui makanannya enak tapi suasananya ramai bak pasar tumpah, ditambah lagi areanya yang full outdoor membuat asap rokok dimana-mana.

Dari sana ketiganya tiba-tiba nyeletuk kalau mereka ingin mempunyai cafe sendiri yang cozy, tenang, dan memahami apa mau pelanggan. Nekatlah ketika orang itu mengatakan niatnya pada orang tua masing-masing. Ningrum jelas ditentang oleh orang tuanya karena pasti tidak akan sanggup memberi modal. Kalau Lucy malah ditantang balik oleh Papanya. Sedang Kirana ya biasa Papa hanya bilang, “Ya sudah dicoba saja.”

Akhirnya mereka bertiga menantang diri mereka sendiri dengan berjanji akan masuk dalam jurusan yang sesuai dengan kebutuhan cafe dan mempelajari sebanyak mungkin ilmu yang diperlukan untuk merealisasikan mimpi mereka itu.

2. Kemah

Hai hai hai~

Jangan lupa untuk vote, comment, and like ya biar author rajin update 🤗

...🌱Ji🌱...

"Kee, tadi abang ngajak aku ngecamp di GK. Aku mau ajak Lucy sama Ningrum terus aku disuruh ajak kamu juga,” kata Kirana ketika sedang video call dengan kekasihnya malam itu.

“Hari apa?”

“Berangkat besok, Minggu pulang,” kata Kirana.

“Boleh, kebetulan aku senggang 3 hari itu. Tadinya mau nganter Mbak Ayu belanja tapi dia sudah sama suaminya. Jadi aku nyamper ke rumah jam berapa nih?”

“Habis Dzuhur aja, soalnya kata abang ada satu temennya yang mau ikut tapi harus patroli dulu. Buat masalah tenda dan perlengkapan lainnya udah aku, Lucy, sama Ningrum yang cari jadi kamu tinggal bawa perlengkapan pribadi sama jajan yang banyak,” kata Kirana.

“Mau lumpianya Bunda nggak? Kebetulan Bunda mau buat. Kalau iya aku bawain.”

“Oh ya jelas nggak nolak. Aku mau dong yang banyak yah,” kata Kirana membuat Keenan tersenyum. Pacarnya itu memang doyan kulineran. Tapi berbeda dengan gadis lain, tubuhnya tidak menggemuk walaupun banyak makan ya karena polahnya yang memang seperti kuda lumping sih. Tidak pernah mau diam. Dia juga mempelajari bela diri sejak masih kecil jadi dibanding gemuk tubuhnya malah memadat berotot.

“Yaudah kalau gitu aku matiin dulu ya kamu tidur gih udah malem.”

“Eh tunggu. Bentar,” kata Kirana menahan Keenan agar tidak mematikan telepon. Keenan bisa melihat gadis itu beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari rumah.

“Ma, Bunda besok mau bikin lumpia.” tanya Kirana.

“Oh ya? Eh Keenan, Mama pesen dua kotak yang frozen nak. Besok bawa sekalian kamu ke sini,” kata Mama yang akhirnya bilang sendiri ke Keenan lewat handphone Kirana.

“Siap Ma, noted. 2 kotak frozen masing-masing isi 20 ya. Eh tumbenan Mama pesen sebanyak itu mau ada acara Ma?” tanya Keenan yang terdengar akrab dengan Mamanya Kirana.

“Nggak ada. Buat persediaan aja, soalnya Abang sama Adek kalau makan kaya orang kerasukan,” kata Mama membuat Kirana malu aibnya dibongkar di depan pacar.

“Ih Mama mah gitu,” kata Kirana. Dia bukannya kembali ke kamarnya malah meletakkan kepalanya di pangkuan Mama membuat Abang yang tadi duduk tenang sambil main game di handphonenya ikut melakukan hal yang sama di paha kiri Mama.

“Ki, aku matiin ya telponnya. Besok aku ke rumah jam 1 an, assalamualaikum,” pamit Keenan.

“Waalaikumsalam, good night Kee,” kata Kirana sebelum Keenan mematikan sambungan.

“Gid night ki, jijik aku dengernya,” kata Abang.

“Dih sirik tanda tak mampu,” cibir Kirana balik.

“Weh enak aja kalo ngomong. Abang tuh bukannya nggak mampu, cuma nggak mau aja. Tapi aslinya yang ngantri banyak kok,” kata Bang Adnan menyombongkan diri.

“Bang, Keenan saja sudah berani bilang mau ngelamar adekmu lho lulus kuliah nanti. Lha kamu yang sudah kerja kapan mau bawa pacar kamu ke rumah? Papa sudah nggak sabar mau gendong cucu nih,” kata Papa ikut duduk bergabung dengan keluarga kecilnya.

“Kalau Papa mau Papa bikin aja sendiri sama Mama,” kata Adnan membuat Mama menjewer kecil telinga putra sulungnya.

“Kasihan Mama lah Bang, sudah tua sudah nggak sanggup ngeden. Lagian Abang mau punya adek bayi padahal umurmu sudah mau 23? Adek juga umurnya sudah 19 mau punya adek selisih umur segitu banyak?” tanya Mama pada kedua anaknya yang anteng dipangkuannya sambil dielus kepalanya oleh Mama.

“Nggak!” teriak keduanya kompak.

“Nggak usah teriak sudah malam,” tegur Papa.

“Tuh Abang yang mulai. Pokoknya aku nggak rela ya punya adek selisih usia 19 tahun. Bukannya dikira kakak nanti aku dikira ibunya lagi. Lagian Abang tuh cepetan nikah sih Bang, biar di rumah ini ada yang mawangi Abang. Biar setannya nggak lepas,” kata Kirana yang saling mengejek dengan Abangnya padahal Papa dan Mama ada di sana juga.

“Ehh enak aja main suruh nikah nikah dipikir nikah tuh enak? Nyawa orang itu, kalau nggak bisa kasih makan, nggak bisa kasih bahagia ngapain dinikahin. Eh Dek, Abang kasih tahu ya, selama Abang 2 tahun kerja di polres laporan soal KDRT tuh menggunung. Itu gara-garanya Nikah kecepetan, cuma perkara pengen doang.”

“Ya nggak papa sih biarin. Nih ya aku bakal buktikan kalau nikah cepet itu bukan kesalahan,” kata Kirana.

“Kalau dalam kasusmu kok sampai kamu nggak nikah nikah malah jadi zina. Sadar diri dong anda pacaran dari jaman masih anak bawang. Heran juga aku kenapa Keenan mau sama bentukan kaya kamu Dek,” jawab Adnan.

Keduanya sudah tidak berada di pangkuan Mama, melainkan duduk mengapit Mama membuatnya harus menutup kedua telinganya karena kedua anaknya ini berdebat di kanan kirinya.

“Abang gaje.”

“Adek lebih gaje.”

“Abang gaje.”

“Adek gaje.”

"Ee…, shtt…, udah. Stop! Pusing Mama dengernya. Iya adek nggak salah kalau mau nikah cepet, Abang juga nggak salah punya prinsip. Udah nggak usah berantem,” kata Mama.

“Hey kalian berdua, besok katanya mau ngecamp kan? Kalau kalian berantem terus kaya begitu nggak kasihan apa sama teman-teman kalian yang ikut?”

“Nggak.”

“Heleh, kalian ini. Nih Adnan bawa mobil Papa, jangan pakai motor. Inget kamu bawa anak gadis orang jangan macam-macam kamu. Kalau sampai ada apa-apa sama adek-adek, kamu dan Raihan yang akan Papa marahi pertama kali,” kata Papa sambil menyerahkan kunci mobil pada putranya.

“Udah sana bubar. Tidur. Besok pagi kalian berdua janji mau bantuin Mama belanja kan? Nggak ada kata kesiangan ya, jam 7 kita berangkat.”

...***...

“Eits lu duduk sama gue di depan, enak aja lu mau duduk sama Keenan. Zina kalian ntar,” kata Adnan sambil menahan kerah belakang Kirana yang akan duduk di belakang bersama pacarnya.

“Abang ih nyebelin banget sih jadi orang,” protes Kirana tapi tetap mengikuti arahan abangnya untuk duduk di depan.

“Zina dari mananya. Baru mau pegang tangan aja udah dipelototin, apalagi pegang yang lain babak belur kali gue dikeroyok dua orang, mana mantan atlet taekwondo semua lagi,” gumam Keenan.

“Lu berdua jadi suami istri udah berapa tahun masa belum pernah pegang pegang sih cupu,” ledek Lucy.

“Suami istri palamu! Nikah aja belum. Belum halal. Gue mau save kenikmatan buat malam pertama ntar,” kata Keenan seperti tanpa rasa takut.

“Ngomong lagi gue bogem beneran lu Kee,” kata Adnan dan Kirana dengan kompaknya.

“Ya Allah kayaknya aku salah pergaulan deh. Nggak ada yang normal apa di mobil ini satu aja gitu,” kata Ningrum.

“Heh, ngatain temen Bang Adnan lu?” bisik Lucy pada sahabatnya. Sepertinya mereka tidak sadar kalau sejak tadi di sebelah Keenan ada teman Bang Adnan yang duduk dengan tenang memandangi keributan ini.

“Ehehehe nggak maaf Bang, nggak maksud ngatain. Bercanda doang Bang ampun yak,” kata Ningrum lagi.

“Ngapain lu begitu. Tuh orang kalo udah gila bisa lebih dari kalian tahu,” kata Adnan membela temannya. Entah pembelaan atau celaan yang penting ada yang membela.

“Eh iya si Abang belum kenalan namanya siapa Bang? Polisi juga?”

“Iya polisi, panggil aja Bang Raihan. Salam kenal ya semuanya,” kata orang bernama Raihan itu sambil menampakkan senyumnya.

“Bang tahu nggak?”

“Apa?”

“Senyum Abang manis, masih jomblo nggak?” tanya Lucy lagi langsung dengan jurusnya.

“Jomblo sih. Kenapa? Mau pdkt sama saya?” tanya Raihan pada Lucy.

“Jangan mau Cy, buaya darat tuh orang,” kata Adnan kembali mematahkan image temannya.

“Anjing emang ni orang satu. Woy lu beneran temen gue bukan sih?” kata Bang Raihan pada sahabatnya.

“Nah kan keluar aslinya,” kata Adnan yang sekarang malah berdebat sendiri dengan temannya.

“Darah emang lebih kental dibanding air. Nggak abang nggak adek sama aja,” gumam Ningrum sambil geleng-geleng bersama Lucy yang sama herannya.

3. Cemburu

Mereka sudah sampai di arena kemah sekarang. Adnan, Raihan, dan Keenan langsung mendirikan tenda sebelum gelap sedangkan Lucy, Ningrum, dan Kirana pergi ke tepi pantai untuk foto-foto dan main air. Adnan sebagai yang mengajak hanya bisa menghela nafas. Dia sudah tahu sih kalau adik perempuan dan teman-temannya itu tidak akan membantu, tapi masih saja dia mengharapkan mereka membantu.

Satu jam kemudian semua keperluan mereka sudah selesai disiapkan. Dua tenda berukuran sedang sudah terpasang. Lucy, Ningrum, dan Kirana menggelar salah satu tikar yang mereka bawa di depan tenda kemudian mulai menyalakan kompor. Angin malam mulai berhembus, jadi sebelum hari benar-benar gelap Adnan menemani adik-adik perempuannya ke kamar mandi terdekat agar mereka bisa membersihkan diri.

Sambil menunggu kedua teman Kirana yang belum selesai mandi, Kirana menyusul kakaknya untuk duduk di warung dekat dengan kamar mandi. Kakaknya duduk di sana ditemani segelas teh hangat. Kirana sudah biasa merebut makanan kakaknya, jadi dia santai saja menandaskan teh yang tersisa separuh gelas itu tanpa dosa sama sekali.

Adnan tiba-tiba membuka jaketnya kemudian dia taruh begitu saja ke pangkuan sang adik. Kirana sudah paham, dia memberikannya untuk Kirana pakai. Walau doyan berantem dan selalu berdebat, tapi Adnan tetaplah seorang kakak yang begitu mencintai adiknya. Selisih usia Adnan dan Kirana cukup jauh, dan sejak adiknya itu masih belum mampu menopang tubuhnya sendiri Adnan sudah selalu disampingnya siap untuk menjaga adiknya.

“Ya Allah lo mandi lama banget tuh karena keramas? Dari Kirana mandi, terus gue mandi lu baru keluar Cy,” kata Adnan protes.

“Ya elah Bang, kan udah biasa cewek mandinya lama,” kata Lucy.

“Kirana mandinya nggak lama,” jawab Adnan.

“Emangnya Kirana cewek?” Ningrum malah balik bertanya pada Adnan.

Kedua orang itu kalau hanya dengan Adnan memang sudah tidak canggung. Sejak mereka berteman, mereka sering main ke rumah masing-masing untuk nongkrong. Kadang di rumah Lucy, kadang di rumah Ningrum, kadang juga di rumah Kirana. Mama bilang mending mereka nongkrong dan ramai di rumah dibanding di tempat lain.

Di tenda, Raihan dan Keenan yang sudah lapar mulai misuh-misuh, “Adnan kemana anjir nggak balik-balik,” gumam Raihan.

“Pasti nungguin Lucy makanya lama,” kata Keenan.

“Oh iya, lo lama sahabatan sama mereka bertiga?” tanya Bang Raihan.

“Nggak begitu lama sih, bisa kenal deket sama mereka juga karena pacaran sama Kirana Bang, kalau nggak ogah deket-deket cewek rempong modelan Ningrum apalagi Lucy,” kata Keenan.

Raihan hanya ber 'oh’ ria, dia menarik gitar yang dibawanya kemudian mulai genjreng-genjreng bersama Keenan yang mengikuti melodi yang dia petik.

“Suara lo bagus juga,” puji Raihan.

“Gini gini aku mantan vokalis band Bang,” puji Keenan membanggakan dirinya.

“Mantan? Kenapa nggak dilanjutin?”

“Biasa, konflik internal. Ada salah satu personil yang suka sama Kirana tapi dia main belakang. Nggak suka aja sama caranya, mending dia ngomong langsung di depan apa maunya. Aku lebih seneng diajak bersaing secara sehat ketimbang main tikung,” kata Keenan.

“Lo kayaknya sayang banget ya sama Kirana?”

“Banget Bang. Walaupun secara fisik dia nggak cewek banget, terkesan tomboy, barbar, dan keras, tapi suka aja aku. Dia langka, dia beda dari yang lainnya, dan ada satu sifat dia yang nggak pernah dia perlihatkan selain ke aku sama Bang Adnan, makanya aku bertahan sama dia,” kata Keenan tanpa sadar dia tersenyum.

Raihan ikut tersenyum, kemudian menepuk pundak Keenan, “langgeng ya kalian,” kata Raihan.

“Aamiin Bang, makasih doanya. Nanti kalau aku sama Kirana beneran nikah abang kuundang ke nikahan. Dateng ya Bang,” kata Keenan.

“Nah, kalau lo udah serius sama dia kenapa nggak lo lamar aja sekarang? Kelamaan nunggu apaan?”

“Nunggu restu dari Papanya dia. Papa bilang mau terima lamaranku cuma kalau aku sudah punya kerjaan, paling nggak sudah sarjana lah. Ya bener sih tapi kalau dipikir-pikir. Orang tua mana sih yang rela anaknya dinikahi sama pengangguran. Mau dikasih makan apa nanti. Lagian aku sama Kirana belum genap 20 Bang. Kita berdua masih terlalu kecil,” kata Keenan.

Kalau Raihan diberi kesempatan untuk jujur, dia sebenarnya ingin bilang dia tertarik pada Kirana. Persis seperti yang dikatakan Keenan tadi, Kirana berbeda dari yang lain. Dia memiliki daya tariknya sendiri bak magnet yang mampu menarik apa saja mendekat padanya. Tapi setelah apa yang dituturkan Keenan barusan, Raihan jadi langsung berusaha mengubur perasaannya kembali, jangan sampai tunas itu membesar dan merusak segalanya. Faktanya laki-laki di hadapannya ini sudah memiliki niat serius pada Kirana dan bukan hanya Kirananya saja yang sudah merestui tapi juga seluruh keluarganya. Agaknya tidak pantas kalau tiba-tiba Raihan datang untuk meminta Kirana dari pelukan pemuda ini.

“Kee,” panggil Kirana.

Dia baru selesai mandi, setelah meletakkan alat mandinya kembali ke dalam tas dia langsung duduk tepat di sebelah Keenan. Gadis itu baru saja mandi, tapi tidak keberatan duduk di sebelah Keenan yang Raihan tahu berkeringat banyak sore ini. Dua gadis yang lainnya sedang berada di dalam, dari suara dan wangi parfum yang dia cium dia tahu kalau kedua gadis sahabat Kirana itu sedang bersolek. Kata-kata Keenan terbukti benar, Kirana memang berbeda dengan gadis yang lain. Raihan seolah-olah kembali diingatkan kalau dia harus segera mundur. Dia tidak pantas merebut Kirana dari pemiliknya.

“Kee, mandi gih. Ntar lu balik gue bikinin mie cup,” kata Kirana.

“Oiya lo jadi bawa minyak goreng kan? Lumpia dari Bunda di goreng sekalian aja buat cemilan,” kata Keenan kemudian beranjak berdiri, masuk ke dalam tenda kemudian keluar membawa dua kotak berisi lumpia, “Yang ini biasa, yang ini ada cabenya buat Kirana,” kata Keenan menyerahkan dua kotak itu ke tangan Kirana.

Adnan sudah membuat api unggun agar yang gadis bisa mulai memasak air dan menggoreng. Adnan tetap membantu untuk membuat dudukan agar wajan yang mereka bawa tidak gosong terbakar api. Keempat orang itu mengelilingi api sedangkan Keenan pergi mandi bersama Raihan.

Malam itu mereka semua menikmati terangnya malam ditemani mie cup dan lumpia buatan ibunya Keenan. Raihan yang fasih bermain gitar terus menerima request dari kedua teman Kirana. Dia duduk di antara Lucy dan Ningrum di depan tenda yang perempuan sedang Keenan dan Adnan duduk mengapit Kirana di depan tenda satunya.

“Uh uh uh, nguapnya gede amat neng,” kata Keenan melihat Kirana di sebelahnya menguap.

“Ngantuk,” jawab Kirana kemudian menyandarkan tubuhnya ke bahu sang kakak.

“Tidur sekalian di dalem sana,” kata Adnan.

“Ogah ah yang lain aja masih di si…,”

“Uhuk…, uhuk…,” tiba-tiba terdengar suara orang tersedak membuat semua mata tertuju pada sumber suara yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raihan.

“Kenapa lo?” tanya Adnan.

“Gila ini lumpia apa omongan tetangga woy pedes banget buset.”

“Bang Raihan salah ambil punya Kirana ya?” kata Lucy sambil menyodorkan sebotol air.

“Gimana nggak pedes isinya campur cabe rawit,” kata Keenan.

“Kok bisa kemakan sih perasaan udah aku pisah Bang,” kata Kirana yang merasa bersalah, “Abang nggak papa?” tanya Kirana.

“Nggak kok nggak papa,” kata Raihan sambil tersenyum.

Fiks, gadis ini memang berbeda. Ini sih bukan hanya sekedar pedas, mulutnya terbakar ini. Untuk menghilangkan rasa pedasnya Raihan sampai harus menghabiskan setengah botol besar air mineral.

“Bang, aku bawa susu nih. Di minum aja, biar perut Abang nggak sakit,” kata Kirana menyerahkan satu kotak kecil susu strawberry.

“Makasih ya, besok Abang ganti deh,” kata Raihan.

“Nggak usah Bang. Aku bawa banyak kok,” kata Kirana lagi sambil tersenyum.

Raihan meraihnya. Sekali lagi dia berterima kasih dan langsung meminumnya sampai habis. Dia bahkan tidak perlu sedotan. Dia lebih memilih membuka lipatan di ujung botolnya kemudian mengguntingnya agar kotak itu bisa terbuka.

Keenan memandangi tingkah Raihan. Cara laki-laki itu minum susu kotak persis dengan cara Kirana. Gadis itu tidak pernah menggunakan sedotannya. Bukan hanya pada susu kotak, kalau gadis itu minum es juga tidak menggunakan sedotan. Dia lebih suka meminumnya langsung dari mulut gelas. Dalam hatinya ada satu titik kecemburuan sekarang dan dia tidak begitu suka dengan perasaannya yang satu ini.

Keenan itu bukan pencemburu, dia tidak peduli mau Kirana dekat dengan siapa saja. Tapi kali ini dia merasakan firasat yang tidak mengenakkan melihat mereka sedang membicarakan cara unik itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!