NovelToon NovelToon

I Love You Pak Arman

Bab 1

JANGAN MENYAMAKAN NOVEL INI DENGAN NOVEL LAIN SEBELUM MEMBACA PENUH! DAMPAKNYA SANGAT BESAR PADA AUTHORNYA! INI MURNI PEMIKIRAN SENDIRI! KESAMAAN TOKOH, LATAR BELAKANG, ITU HAL WAJAR DALAM SEBUAH KARYA ATAU DUNIA PERFILMAN! JANGAN ASAL KETIK DAN MENIMBULKAN MASALAH! TANGGUNG AKHIRATKU DENGAN FITNAHMU!

Kriiiiiinnngggggg............

Terdengar kencang bunyi alarm, memekik telinga Sachinta yang masih ingin tenggelam dalam mimpi. Tangannya berusaha meraih jam weker Pikachu di meja samping tempat tidur. Matanya terasa masih lengket, akibat semalam begadang untuk bermain PlayStation.

"Duh, diam gitu loh! Gue masih ngantuk!" parau Sachinta melempar jam weker ke arah pintu masih terkunci dari dalam.

Entah sudah berapa banyak jam weker yang dihancurkan setiap pagi oleh Sachinta, dan setiap hari juga Mamanya harus membelikan jam weker baru. Karena alarm ponsel tak pernah mempan untuk membangunkan gadis tomboy tersebut.

Terdengar gedoran pintu keras dari luar, teriakan melengking juga mengiringi gedoran pintu kamar masih tertutup. Sachinta sudah terbiasa dengan suara itu setiap pagi, hanya menutup telinga dengan bantal.

"Mama dobrak apa kamu buka pintunya?!" teriak Syibil dari arah luar.

"Iya, Ma!" sahut Sachinta beranjak malas dari tempat tidur.

Melangkah membuka pintu, gadis berambut acak acakan tersebut membukakan pintu untuk mamanya. Mengintip sedikit, namun di dorong kuat oleh Syibil yang memiliki watak tak jauh dari anaknya.

"Aduh! sakit kali, Ma" protes Sachinta mengusap kening.

"Ya Tuhan, ini kamar apa kapal pecah?! setiap hari seperti ini, apa kamu engga bosan?!" mengomel Syibil melihat kamar putrinya sangat berantakan.

"Iya, nanti pulang sekolah dibersihin" malas Sachinta menjawab, tetap mengusap kening.

"Mandi sana! atau mama lempar kamu ke aquarium!" teriak keras wanita mengenakan daster bunga bunga biru tersebut, menunjuk arah kamar mandi.

"Ya kali aquarium? dikira aku ikan ****** apa?" menggerutu Sachinta melangkah ke arah kamar mandi.

"Ngomel, ngomel!" teriak wanita tengah menendang barang barang dilantai kamar putrinya itu melotot.

Seakan tidak mendengar protes mamanya, Sachinta terus melenggang menuju kamar mandi dan memulai acara mandinya. Tidak sampai lima menit, ia sudah kembali keluar dengan berseragam putih abu abu lengkap.

"Engga mandi?!" melotot Syibil ke arah putrinya.

"Mandi ma, tapi dingin banget makanya cuma dua jari aja yang di pakai" cengengesan sembari mengikat rambut di depan cermin meja rias.

Syibil membuang napas kasar mengamati putrinya, kepalanya terus menggeleng tak mengerti bagaimana jalan pikiran putri keduanya itu. Berbeda dengan kakaknya yang selalu bersih setiap waktu, meski ia seorang laki laki.

Tapi Sachinta, justru hanya suka senam dua jari dan menggosok gigi saja. Belum lagi rambut yang selalu terikat kebelakang, dengan topi baseball menghiasi. Terkadang Syibil merasa jika harusnya Sachinta adalah laki laki dan bukan perempuan.

Sikapnya benar benar tak mencerminkan kepribadian seorang gadis, hidupnya berantakan sama seperti kamarnya setiap hari. Mandi hanya satu kali setiap hari, dan selalu tiduran bersama ponsel ataupun stik game di tangan.

Setelah bersiap ke sekolah, Sachinta ikut turun bersama mamanya untuk makan sarapan. Sudah ada Bobby juga Leo di meja makan bersama. Keduanya menatap ke arah Sachinta dan menggelengkan kepala.

"Lo mau sekolah apa mau jadi preman pasar?!" tanya Leo sinis ke arah adiknya.

"Orang cantik kaya gini, masa iya dibilang preman sih? Abang nih udah mulai pakai kacamata harusnya, biar bisa lihat kecantikan ku yang berkilau" berlebihan Sachinta memainkan tangan di wajah, lalu duduk di samping kakaknya.

"Sebelas jari lagi?!" tanya Bobby menghapal kebiasaan putrinya.

"Hehehe, ilmu kecantikan yang hakiki tuh gitu Pa. Biar engga luntur kecantikannya" cengengesan Sachinta meraih roti dan mengoleskan selai coklat.

Leo melirik dan bergidik mendengar ucapan adiknya. Parasnya memang cantik, tapi sifat malasnya yang engga ketulungan membuat kecantikannya minus di mata keluarga.

Walaupun sudah berulang kali di peringatkan agar menjadi gadis bersih, agar ada laki laki yang melirik, tetap saja Sachinta tidak peduli. Baginya urusan laki laki adalah urusan paling menyebalkan di dunia, sampai sampai berjanji untuk tak akan pernah jatuh cinta.

Usai sarapan, Sachinta pergi ke sekolah dengan menaiki motor matic berwarna hitam miliknya. Sebuah motor n-max yang ia beli dengan hasil tabungannya sendiri.

Memang keluarganya tidak pernah memberikan apapun pada anak anak mereka secara percuma, mereka harus memiliki sebuah hal yang bisa di banggakan agar pantas di beri.

Meskipun tergolong keluarga kaya, orangtuanya tak pernah memanjakan Sachinta ataupun Leo. Keduanya harus bisa menjadi mandiri di usia muda, agar tak selalu menjadi anak yang bergantung dan tahu menikmati hasil orang tua saja.

"Leo, ikut meeting papa hari ini. Kamu engga ada kelas kan hari ini?" ucap Bobby seraya bertanya, sambil tetap menikmati sarapan.

"Iya, engga ada kok Pa" senyum Leo menjawab.

"Kalau aja adik kamu bisa sedikit kaya kamu, mungkin mama engga akan stres kaya gini setiap pagi" mengeluh Syibil menghela napas.

"Nanti juga berubah kalau udah ngerti cinta, Ma" santai Leo menjawab.

"Cinta?! siapa yang mau sama adik kamu? jorok, berantakan, Mama aja nih kalau jadi cowok pasti engga mau dekat dekat sama adik kamu" sahut Syibil bergidik sendiri membayangkan kebiasaan buruk putrinya.

Kedua laki laki di meja makan tersebut hanya tertawa. Sachinta bukanlah anak yang bisa untuk di marahi ataupun di diamkan. Entah seperti apa tepatnya menghadapi Sachinta. Keluarga hanya berharap agar Sachinta bisa menemukan laki laki yang di cintai, dan merubah kepribadiannya.

"Jodohkan aja apa ya?" tersirat pemikiran dalam kepala Syibil, membuat kedua laki laki tengah makan bersamanya tersedak.

"Sasa baru kelas tiga loh, Mama ini mikir apa coba?" protes Bobby mengarah ke istrinya.

"Iya, aku aja belum nikah Ma" protes Leo menambahkan.

"Udah, kalian percaya aja sama Mama" tersenyum dengan angan angan melambung tinggi.

"Tapi Ma, biarin aku nikah dulu kenapa sih? aku kan Abang, masa iya sih aku dilangkahi buat nikah?" memelas Leo memegang sendok sudah tertata nasi goreng, menatap ke arah mamanya.

"Kamu itu kan laki laki, jadi harus mapan dulu baru nikah. Lah adik kamu kan perempuan, jadi dia harus bisa dapat laki laki yang mapan. Mama ada satu teman mama juga bingung cari jodoh, mungkin aja dia mau jadi besan Mama. Nanti coba Mama hubungi dia" tersenyum senang, menepuk tangan.

Menatap tidak percaya, Bobby dan Leo pasti takkan bisa menolak apapun yang telah diputuskan oleh Ratu rumah mereka. Setiap apa yang sudah diputuskan oleh Syibil, takkan mudah untuk di rubah siapapun. Meski bumi terbelah pun, keputusan Syibil tidak akan bisa berubah.

Sachinta yang lebih akrab dengan panggilan Sasa oleh keluarga juga teman dekatnya, bahkan takkan mampu merubah keputusan mamanya. Biarpun semua orang mengatakan jika Sasa dan Syibil memiliki watak sama, sama sama susah di pahami. Bahkan Bobby juga terkadang kualahan sendiri menghadapi istrinya.

(Diharap tidak menyamakan atau membandingkan karya, bijaklah dalam berkomentar karena akan berpengaruh pada karya itu sendiri. Jangan lupa like dan komentar, karena itu GRATIS).

Bab 2

Di sekolah, Sachinta baru tiba dan di sambut oleh dua pasang mata sinis ke arahnya. Seorang lelaki bertubuh tegap, dengan kemeja warna putih juga celana Chino warna krem. Wajah dingin dengan sorot mata tajam, melipat tangan di balik pagar yang perlahan tertutup oleh satpam.

"Yah Pak, kan saya belum masuk? kenapa di tutup?" memelas Sachinta di balik pagar.

"Siapa suruh kamu telat setiap hari?!" tegas Arman selaku wakil kepala sekolah.

"Bukan saya yang mau Pak, takdir hidup saya yang mau" berkilah Sachinta dengan wajah meyakinkan.

Membuang napas kasar, tetap pada wajah dingin dengan sorot mata mematikan. Arman berdiri di balik gerbang melipat tangan, menggelengkan kepala berulang kali mendengar jawaban Sachinta. Sedangkan Budiono, satpam sekolah hanya bisa menahan tawa akan jawaban gadis tetap duduk di jok motor tersebut.

"Tunggu diluar sampai jam istirahat!" tegas Arman dalam nada dingin.

"Pak, saya ini siswa loh. Aturannya kan saya datang ke sekolah buat belajar, bukan nunggu gerbang sekolah" ucap Sachinta, ditinggalkan oleh Arman.

"Pak! Pak!" teriak Sachinta memanggil lelaki sudah berjalan masuk kedalam lingkungan sekolah.

"Udah neng, pasti neng belum kerjain PR juga kan?" tersenyum Budiono ke arah Sachinta yang juga melebarkan senyum.

"Hahaha, akting sedikit dong Pak" tawa Sachinta gembira.

"Ya udah, neng main game saja di depan. Saya masuk dulu ya, takut Pak Arman marahin saya nanti. Ini buat temannya neng" pamit Budiono, memberikan satu kantong plastik gorengan.

"Terima kasih banyak Pak Budi yang baik hati dan suka menabung" senyum Sachinta meraih kantung gorengan.

Budiono hapal betul kalau Sachinta tidak pernah mengerjakan PR matematika, dan selalu sengaja telat setiap jam pertama matematika. Ia memang jago berakting di depan wakil kepala sekolah, yang sebenarnya dalam hati sangat bahagia. Karena bisa bersantai dengan bermain game diluar sampai puas.

"Ini nih namanya keberuntungan!" tekan Sachinta dalam kata keberuntungan sambil duduk di atas jok motor, mulai memainkan ponsel dengan mulut mengunyah gorengan.

Dari dalam tanpa ia ketahui, Arman masih memperhatikan. Arman tidak pernah habis pikir dengan satu siswi yang di anggapnya bandel tersebut. Tidak pernah ada kapoknya walau sudah sering di hukum, namun masih mengulangi kesalahan yang sama hampir setiap hari. Tangan Arman seolah lelah mencatat nama Sachinta dalam buku hitam, dan memanggil orangtuanya.

Terlihat bahagia duduk santai menikmati gorengan, Sachinta tetap tidak menyadari sorot mata yang mengarah terhadapnya. Marah marah sendiri ketika game harus mati, membuat Arman terkejut akan banyak ekspresi yang keluar dari gadis cantik itu. Terkadang setiap tingkahnya, membuat semua guru hanya bisa menghela napas dan tersenyum Sajam Mungkin jika ia tak ada di sekolah, Guru akan kehilangan hiburan.

Meski bandel, Sachinta adalah murid yang paling bisa diandalkan dalam bidang olahraga. Berulang kali ia membawa harum nama sekolah dengan mengikuti beberapa turnamen, dan membawa kembali piala juara satu. Bagi Sachinta memang ia bisa bandel, tapi ia juga harus memiliki sisi lain yang bisa di banggakan. Walaupun otaknya dalam pelajaran tergolong tumpul, karena selalu tertidur dalam kelas.

***

Bel istirahat pertama pun berbunyi, Arman menghampiri Sachinta di luar gerbang. Matanya membulat terkejut tak percaya, melihat gadis yang tengah di hukum itu malah asik tertidur di atas motor. Untung saja tingkahnya tidak seperti kuda ketika tidur, hingga tidak khawatir terjatuh walaupun sudah satu jam lebih ia terhanyut dalam mimpi.

"Ya Tuhan, malah tidur pulas banget?!" gumam lirih Arman mengamati wajah lelap Sachinta.

"Bangun!" teriak Arman kencang, mengejutkan Sachinta langsung terbangun.

Arman menopang tubuh Sachinta yang hampir terjatuh karena terkejut. Tanpa sengaja, ia memeluk tubuh gadis paling tidak di sukai di sekolah. Gadis yang selalu membuatnya geram setiap kali melihat. Menelan saliva nya kasar, Arman mendorong tubuh Sachinta hingga hampir terjatuh bersama motornya. Untung saja, Arman cepat menahan setir motor dan tak sampai terjatuh.

"Bapak kalau mau peluk peluk itu dilihat dulu, saya ini murid loh Pak. Bisa saya laporkan ini ke Kepala Sekolah" ucap Sachinta mencoba mengumpulkan nyawa.

"Masuk dan isi data kamu di kantor!" tegas Arman berlalu pergi.

"Wangi juga tuh si killer" tertawa kecil, menyalakan mesin motor.

Membawa motornya ke dalam dan meletakkan di tempat parkir, Sachinta melepas jaket dan berjalan ke arah kantor wakil kepala sekolah karena sudah di tunggu Arman di sana. Berjalan santai dengan topi sudah dikenakan, Sachinta seperti anak tanpa dosa menyapa teman temannya dengan melambaikan tangan.

"Permisi Pak, boleh saya masuk?" basa basi Sachinta usai mengetuk pintu.

"Cepat isi dan kembali ke kelas, jalani hukuman kamu sepulang sekolah!" tegas lelaki tengah berdiri melipat tangan depan dada, tepat di samping meja.

"Baik Pak" berjalan masuk dan duduk mengisi data pada buku pelanggaran.

"Buka topi kamu, dan letakkan di meja saya beserta ponsel kamu!" tegas Arman, mengejutkan gadis masih memegang pena berwarna hitam tersebut menoleh cepat.

"Lah, kan yang telat saya Pak bukan topi sama HP saya? kenapa mereka ikut di hukum juga?" sahut Sachinta, di balas mata melotot oleh Arman.

"Iya, iya" pasrah Sachinta mulai melepas topi dan meletakkannya di atas meja, bersama dengan ponsel yang sudah ia ambil pada tas ransel berwarna biru muda miliknya.

Menggerutu dalam hati karena harus terpisah dari dua benda kesayangannya, Sachinta terus mengisi buku pelanggaran. Arman memperhatikan buku yang tengah diisi oleh gadis berambut panjang sampai pinggang tersebut.

"Sudah Pak" ucap Sachinta menyerahkan buku tebal panjang ke arah Arman.

"Pulang sekolah kembali lagi kemari untuk menentukan hukuman kamu!" dingin Arman.

"Baik, Pak" pasrah kembali Sachinta, dengan hati sangat ingin marah.

Ia pun keluar ruangan dengan hati kesal dan mengumpat, memberikan banyak sumpah serapah untuk Arman dalam hatinya. Baru kali ini Arman menyita ponsel juga topi yang menjadi ciri khas Sachinta selama ini. Entah apa yang dipikirkan Arman hingga mengambil semua barang kesayangan Sachinta.

Begitu tidak terlihat lagi Sachinta, Arman mulai duduk dan meraih topi milik Sachinta. Bibirnya tersenyum sengit melihat topi baseball dengan nama Sasa pada bagian samping. Tangannya beralih meraih ponsel dan dilihatnya wallpaper pada ponsel berwarna putih di tangannya.

"Kalau saja tidak bandel, pasti dia akan secantik foto ini" tanpa sengaja Arman bergumam mengamati wajah cantik Sachinta pada wallpaper ponsel.

"Jadi penasaran seperti apa dia sebenarnya" gumam kembali Arman.

Mulai mengecek ponsel milik muridnya, Arman melihat lihat WhatsApp yang isinya hanya guyonan receh, ibu jarinya menggeser pada galeri dan dilihatnya banyak sekali foto foto Sachinta bersama Syibil. Terlihat mirip juga begitu akrab, bibirnya mulai tersenyum melihat galeri foto yang di rasa cukup konyol dengan pose pose Ibu dan anak tersebut.

Bab 3

Setibanya di kelas, Sachinta langsung menghempaskan tas di atas meja dan meletakkan kepala di atasnya. Masih terasa kesal dan ingin marah, karena ponsel yang merupakan sebagian dari hidupnya harus dipisahkan begitu saja.

"Kenapa Lo?" tegur Ria duduk di samping Sachinta dan menatap terheran.

"Si killer, masa HP gue engga salah apa-apa main sita aja sih? rese banget kan tuh orang?" kesal Sachinta bercerita, tetap merebahkan kepala di atas tas ransel miliknya.

"Lah, kok bisa? Lo simpan film film aneh kali di ponsel Lo, terus ketahuan deh" santai Ria dengan mengunyah coklat di mulutnya.

"Emangnya Lo?! enak aja, gini-gini gue manusia baik-baik" sahut Sachinta memalingkan wajah ke arah lain.

"Gue kenapa? gue cuma punya film drama Korea aja di HP gue" polos Ria yang sedikit lemot.

"Tau lah" singkat Sachinta kesal.

"Kiki tuh" seru Ria melihat ke arah laki laki yang melintas depan kelas, menggoyangkan lengan sahabat baiknya.

"Bodo, palingan juga mau ketemu ceweknya yang ganjen itu" tambah kesal Sachinta berucap.

Rizki atau lebih akrab dipanggil Kiki, adalah cinta pertama Sachinta dari ia mulai pra MOS. Tapi cinta tulus yang diberikan hanya mendapat satu jawaban selama ini, yaitu bertepuk sebelah tangan. Tragis dan sangat menyakitkan untuk diingat kembali. Pasalnya Kiki sudah mengincar satu cewek populer di sekolah bernama Girli.

Cewek cantik, tinggi, seorang model yang memiliki kulit seperti susu. Bahkan lalat saja bisa bercermin sebelum terpeleset, ketika hinggap di kulitnya. Terlalu sempurna untuk menjadi seorang gadis SMA, apalagi perlakuan semua murid dan guru terlalu pilih kasih padanya.

Kiki dan Girli sudah jadian semenjak mereka duduk di bangku kelas dua awal. Terang terangan Kiki mengutarakan perasaan di hadapan semua murid sewaktu jam makan siang di kantin, tepat di hadapan Sachinta juga. Tidak perlu lama, Girli langsung menerima ungkapan perasaan dari idola basket tersebut.

Semenjak hari itu, Sachinta seolah tak memiliki hasrat untuk ke sekolah dan tidak pernah lagi ke kantin untuk makan. Hatinya tidak sanggup melihat kemesraan serta kedekatan yang ditunjukkan Girli dan Kiki bersama. Seperti tersayat dengan benda tajam, lalu di berikan air perasan jeruk nipis. Itulah perasaan Sachinta ketika melihat kedekatan keduanya.

Bel waktu istirahat usai pun berbunyi, mata pelajaran satu persatu di lalui dengan malas tanpa konsentrasi. Pikirannya melayang pada game yang belum terselesaikan pada ponselnya. Matanya juga sayup sayup tak mampu terbuka, mendengar penjelasan Guru seperti sebuah dongeng yang lembut mengantarkannya terlelap.

Sampai saat jam sekolah berakhir, Sachinta berusaha membuka mata kuat dan berlari ke arah kantor wakil kepala sekolah kembali untuk mendapatkan HP miliknya. Napasnya sudah terengah berlari menuruni anak tangga, namun tak di dapati Arman di ruangannya.

"Sial! kemana lagi sih nih orang?!" jengkel Sachinta menghentakkan satu kaki di atas lantai, tepat di hadapan ruangan Arman.

Mondar mandir menunggu Guru yang telah menyita ponselnya, Sachinta terlihat gusar dalam penantian. Hingga lima belas menit berlalu, tidak terlihat juga batang hidung lelaki berwajah dingin dengan sorot mata menyeramkan itu. Tanpa putus asa, Sachinta menunggu di depan ruangan, terus berdiri dan berjalan kesana kemari.

"Lo engga pulang?" tegur salah seorang laki laki teman kelas Sachinta mendekat.

"Gue kan telat, jadi harus nunggu hukuman. Lagipula HP gue di sita, gue engga bisa pulang tanpa HP gue" sahut gadis tetap berdiri tersebut santai.

"Pak Arman udah pulang kali Sa, Lo pulang aja" ucap Nino, mengejutkan Sachinta menoleh ke arahnya.

"What?!" terkejut Sachinta.

"Iya, dia udah pulang dari sebelum jam pulang tadi. Mendingan lo pulang aja, besok juga bakal ketemu" jelas Nino selaku ketua OSIS, melemaskan tubuh Sachinta seketika.

"Lo tau rumahnya gak?" memelas Sachinta.

Nino meraih ponsel dan menunjukkan GPS lokasi rumah Arman, dan dihapal berulang oleh Sachinta. Mengangguk seolah mengerti, tapi melihat lagi dan lagi.

"Lo tau gak sih?" tanya lelaki masih memegang ponsel di samping Sachinta.

"Hehehehe, engga tau" cengengesan memasang wajah bodoh, Sachinta menggaruk kepalanya.

"Aduh!" Nino menepuk jidatnya keras, kembali Sachinta cengengesan.

"Udah lah Lo tunggu aja besok, lagian hukuman Lo belum ditentuin juga kan? pulang aja sana" ucap Nino mematikan ponsel dan memasukkan pada saku celana.

"Lo anterin gue dong, entar gue kasih upah deh. Janji!" merengek dan mengangkat dua jari memasang wajah sok imut.

"Males banget gue, upah Lo paling mahal juga gorengan seribu perak!" malas Nino melangkah pergi, dikejar oleh Sachinta menarik lengannya.

"Please dong, itu game belum tamat bentar lagi gue menang. Kalau nunggu besok, otak gue keburu jongkok duluan" merengek kembali menarik lengan Nino dan menggoyangkan berulang.

"Hmmmm" Nino menghela napas panjang, menatap gadis di sampingnya tengah mengedipkan mata berulang kali sambil wajah di pasang imut.

"Oke lah, Lo ikutin gue dari belakang. Tapi gue ke kantor dulu antar tugas" pasrah Nino tidak bisa menolak.

"Yeeeee, makasih banyak Abang Nino" berlompatan kegirangan.

Ingin memastikan jika Nino benar benar mengantar, Sachinta mengikuti dari belakang sampai ke ruang guru. Setelah selesai menyerahkan tugas, keduanya berjalan bersama menuju tempat parkir untuk mengambil kendaraan masing masing.

Nino kerap kali datang ke rumah Arman, karena memang mereka adalah saudara sepupu. Lagipula jalan rumah Nino juga satu arah dengan rumah Arman, rumah mereka pun berdekatan. Jadi tidak ada salahnya sekalian membawa Sachinta bersama.

Satu jam lebih lima belas menit, keduanya tiba di sebuah rumah mewah dengan pagar besi menutupi. Nino menekan bel rumah yang terdapat banyak mobil di teras tersebut. Sachinta hanya diam menunggu di atas motor, tidak lagi berpikir apa yang akan di hadapi karena baginya ponsel adalah hal paling berharga untuk ia dapatkan saat ini.

"Masuk aja sendiri, gue mau pulang" seru Nino setelah melihat seorang pembantu berlari hendak membuka pagar.

"Lah, temenin gue bentar aja dong. Kan upah Lo belum gue kasih" tersenyum memainkan mata, lagi lagi Nino hanya bisa menghela napas panjang.

"Eh mas Nino, kenapa engga langsung masuk aja?" tegur pembantu rumah Arman sambil membuka pagar, mengejutkan Sachinta.

"Bang Arman ada bi? bilangin nih ada yang mau ketemu" sahut Nino makin mengejutkan Sachinta dan berjalan mendekat.

"Lo panggil Abang?" tanya Sachinta heran.

"Lah emang Abang sepupu gue, masa gue panggil om? yang salah aja Lo?!" celoteh Nino santai, berjalan masuk kedalam rumah meninggalkan Sachinta bengong.

"Yang bener aja!" teriak Sachinta mulai tersadar dan berlari mengejar Nino ke dalam, merangkul pundak Nino hingga lelaki lebih tinggi itu kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!